• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 2"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan GBHN adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan diprioritaskan berdasarkan sistem pembangunan di bidang ekonomi.1Hal tersebut selaras dengan arah, kebijakan pembangunan di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.2

Upaya pembangunan ekonomi tersebut bukanlah semata-mata menjadi tugas pemerintah, tetapi sektor swasta juga memegang peranan yang sangat besar. Sektor swasta, baik perorangan maupun badan hukum dapat ikut melaksanakan pembangunan selain dari modal sendiri juga yang sangat diperlukan adalah pembiayaan yang diperoleh dari pengucuran kredit oleh bank. Dalam hal ini perbankan berfungsi sebagai pranata yang strategis dalam kegiatan perekonomian, karena kegiatan usahanya terutama menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Secara etimologi kredit dapat diartikan pada dua kegiatan, yaitu menjual dengan kredit atau membeli dengan kredit. Kesamaan dari pengertian di atas terletak pada

1

Propenas 2000-2004, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 21.

(2)

kegiatan pembayarannya, yaitu pembayaran yang dilakukan dengan angsuran. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawicredere yang berarti percaya. Jadi seseorang yang telah mendapatkan kredit dari bank berarti ia telah mendapatkan kepercayaan dari bank tersebut.3

Bank sebagai badan usaha dalam memberikan kredit kepada nasabahnya berusaha mendapatkan keuntungan. Dalam menjalankan usahanya, risiko yang mungkin timbul akibat pemberian kredit yaitu tidak kembalinya pinjaman yang telah diberikan. Risiko kredit merupakan risiko yang paling berpotensi dari seluruh potensi kerugian bank. Menurut Bank Indonesia dalam pedoman penerapan perkreditan, bank dalam melakukan pengelolaan kredit dengan cara mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan tersedianya modal yang cukup dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul.4 untuk melindungi bank dari kerugian, maka dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.5 Hal tersebut lebih dikenal dengan jaminan.

3Djuhaendah Hasan, Lembaga Kebendaan bagi Tanah dan Benda lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 140.

4Bank Indonesia,Pedoman Penerapan Manajemen Risiko di Perbankan Indonesia, (Jakarta: 2001), hal. 3.

5Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. Ke-34, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), Pasal 1131.

(3)

Mengingat pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut, lembaga jaminan ini memerlukan perhatian khusus dalam pembinaan hukumnya. Pembinaan hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah konsekuensi logis yang merupakan perwujudan tanggung jawab dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan.6

Oleh karena lembaga jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik adalah:7

1. Jaminan yang secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya

2. Jaminan yang tidak melemahkan potensi/ kekuatan si pencari kredit untuk melakukan/ meneruskan usahanya

3. Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk menerima utang si pemohon kredit. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kredit untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit harus memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut:

6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia (Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan), (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 1.

(4)

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan yang sehat sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Asas yang digunakan dalam melakukan pertimbangan tersebut dikenal dengan sebutan theFive C’s of Credit Analysisatau prinsip 5 C, yang meliputi:8

1. Watak (Character) 2. Kemampuan (Capacity) 3. Modal (Capital)

4. Jaminan (Collateral), dan

5. Kondisi ekonomi (Condition of Economy).

Konsep 5 C ini pada prinsipnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar debitor untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya.9

8Teguh Puji Mulyono,Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, Cet. III, (Yogyakarta: BPFE, 1993), hal. 11.

9Rachmadi Usman,Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 246.

(5)

Apabila bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang lazim disebut dengan agunan pokok. Namun untuk mengamankan kepentingan bank selaku kreditor dalam hal debitor wanprestasi, bank tidak dilarang untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok. Dalam prakteknya setiap memberikan fasilitas kredit, bank selalu meminta debitor menyerahkan jaminan untuk menjamin pelunasan utang debitor.

Benda yang dapat dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tersebut juga harus memiliki nilai ekonomis sehingga mudah diuangkan sewaktu-waktu oleh kreditor jika debitor melakukan wanprestasi. Pada umumnya benda yang diserahkan antara lain hak atas tanah, rumah/ bangunan, emas, deposito, mesin-mesin, bahan baku, stok barang dagangan dan sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah adalah jaminan yang lebih diminati oleh bank karena memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditor karena adanya ketentuan hukum yang lebih jelas dan nilai ekonomis yang pada umumnya terus meningkat.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), objek hak tanggungan harus telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan pada saat hak tanggungan dibebankan. Hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan hak tanggungan pada suatu

(6)

hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.10 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Hal ini dikarenakan lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarnya hak tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya hak tanggungan yang bersangkutan.

Meskipun hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang hak tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah dimaksudkan oleh UUHT sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

10

Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Alumni, 1999), hal. 25.

(7)

Pemberian kredit oleh bank memerlukan persyaratan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kredit. Perjanjian yang merupakan hubungan hukum ini pada prinsipnya harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.11

Perjanjian kredit bank hingga saat ini belum terdapat pengaturannya secara khusus sehingga dalam pelaksanaannya diserahkan kepada kehendak para pihak yang mengikatkan diri. Dalam mengikatkan diri, debitor lebih diarahkan oleh bank untuk menyesuaikan dengan fasilitas-fasilitas kredit yang dapat diberikan oleh bank. Dalam berbagai fasilitas kredit dirumuskan klausula-klausula sebagai bentuk prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Klausula yang disusun memiliki urgensi yang sangat besar bagi bank untuk menjamin pengembalian kredit tepat pada waktunya.12

Kredit bermasalah bagi perbankan merupakan persoalan yang hingga saat ini belum ada suatu formulasi yang mumpuni. Penanganan kredit bermasalah oleh kreditor dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui proses litigasi maupun pendekatan non litigasi, hasilnya masih jauh dari harapan. Sementara itu dengan semakin meningkatnya jumlah kredit bermasalah hingga menekankan perbankan

11

Suharnoko,Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 1. 12 Johanes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit

(8)

pada kondisi sulit sebagai konsekuensinya banyak diketengahkan berbagai kiat baru yang dilakukan bank untuk menagih kredit bermasalah.

Melalui praktek penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan, bank sering mengalami kendala untuk menegakkan haknya terhadap penerapan hukum yang masih diatur oleh aturan-aturan zaman Belanda, seperti KUHD dan KUH Perdata ataupun aturan-aturan lain yang dianggap semakin usang. Di samping itu terdapat sesuatu yang keliru dalam proses pembentukan undang-undang yang terkesan bertele-tele, lamban dan kurang memenuhi opini publik, dan gambaran bahwa wakil rakyat yang berperan besar dalam pembentukan undang-undang yang menguasai persoalan secara baik, sehingga semakin menambah kurang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sistem hukum semakin rumit sehingga yurisprudensi banyak dijadikan sebagai alternatif untuk memproduksi hukum. Yurisprudensi yang digunakan oleh para hakim sering ditafsirkan secara sempit.13

Undang-undang yang dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA adalah UUHT yang diundangkan dan diberlakukan pada 9 April 1996. UUHT telah mengatur cara yang dapat dilakukan apabila kreditor/ bank menghadapi kredit yang bermasalah, antara lain dengan memberikan hak kepada kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan dengan cara menjual benda objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum seperti ditegaskan di dalam Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa:

13 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 12.

(9)

“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”

Menurut ketentuan KUH Perdata, kekuasaan menjual sendiri objek jaminan harus diperjanjikan terlebih dahulu, berbeda dengan pengaturan dalam UUHT yang memberikan secara langsung kekuasan untuk menjual sendiri objek hak tanggungan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Dengan adanya ketentuan Pasal 6 UUHT, diharapkan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara eksekusi objek jaminan dapat lebih optimal, sesuai dengan salah satu ciri dari hak tanggungan, yaitu mudah dan pasti dalam eksekusinya.

Mengenai kuat tidaknya pengikatan jaminan berupa hak tanggungan dimulai dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangungan (SKMHT) yang wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah dan Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan. Di samping membatasi mengenai substansinya, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan

(10)

tercapainya kepastian hukum, SKMHT itu juga dibatasi jangka waktu berlakunya sesuai dengan ketentuan dari Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996. Apabila persyaratan tentang jangka waktu itu tidak dipenuhi, maka SKMHT itu batal demi hukum. SKMHT diperlukan jika pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT. Pemberi hak tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasa dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik. Apabila pemberi hak tanggungan langsung memberikan hak tanggungan dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) maka SKMHT tidak diperlukan, kemudian dilakukan pembebanan hak tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT.

APHT adalah akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT yang ditandatangani kreditor sebagai penerima hak tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan. APHT merupakan bentuk standar yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. APHT ditandatangani oleh pemilik jaminan di hadapan PPAT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh PPAT. Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan sertipikat hak tanggungan untuk diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan.14

Pembuatan APHT ini menandai bahwa berdasarkan kesepakatan antara kreditor dan debitor, debitor telah menyerahkan jaminan hak tanggungan kepada kreditor untuk menjamin pelunasan hutang debitor apabila terjadi hal-hal yang tidak

(11)

sesuai dengan isi perjanjian kredit, yakni salah satunya berupa terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Melalui penyerahan ini tentunya hak-hak kreditor untuk menerima pelunasan dari debitor dapat terlindungi, sehingga risiko kerugian kreditor akibat kredit bermasalah debitor dapat dihindari.

Apabila kredit yang disalurkan oleh bank macet, hal inilah yang menjadi permasalahan bagi bank. Dengan demikian, berarti debitor sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian kredit yang dilakukan antara debitor dengan bank (kreditor), sehingga salah satu upaya yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan dana yang telah digunakan oleh debitor adalah melalui eksekusi atas jaminan debitor yang diikat melalui pengikatan jaminan, seperti hak tanggungan, namun dalam prakteknya tidaklah semudah dan setegas apa yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang terkait lainnya.

Salah satu bentuk penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah melalui penyerahan jaminan debitor kepada bank atau pengambilalihanasset debitor oleh bank. Praktek pelaksanaan penyerahan jaminan ini dilakukan karena terdapatnya berbagai hambatan atau kendala dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang merugikan pihak bank sebagai kreditor serta salah satu upaya jangka pendek bank untuk mengatasi tingginya jumlah kredit macet yang berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

(12)

menyatakan bahwa “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah/ debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah 1. Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan

2. Dilakukan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan 3. Berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan

4. Berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan 5. Debitor tidak memenuhi kewajiban kepada bank

6. Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.

Dengan demikian, dalam rangka penyelesaian kredit macet, bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan melalui:

1. Pelelangan

2. Di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan, atau kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan

Dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Ketentuan bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan di luar pelelangan merupakan ketentuan yang penyempurnaan dari ketentuan yang mengatur hal yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf ketentuan UU No. 7 Tahun 1992

(13)

tentang Perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk membantu bank agar mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah/ debitornya.

Dalam prakteknya, penyelesaian kredit melalui penyerahan jaminan ini cukup menyulitkan bank, khususnya bank swasta. Hal ini disebabkan karena berbagai ketentuan umum dalam Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh kreditor apabila debitor cidera janji. Selain itu, ketentuan tentang status hak milik atas tanah dan bangunan menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang tidak dapat dimiliki oleh badan hukum swasta nasional juga cukup menyulitkan bank. Oleh karena itu penyerahan jaminan secara sukarela dari debitor/ pemilik jaminan kepada pihak bank dilakukan dengan cara memakai nama karyawan yang ditunjuk oleh bank.

Penyelesaian kredit macet melalui penyerahan jaminan telah lama digunakan oleh bank-bank di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengatasi bank-bank bermasalah di Indonesia pada akhir tahun 1990-an. Umumnya penyerahan jaminan dilakukan terhadap jaminan-jaminan berupa tanah dan bangunan serta benda-benda bergerak lainnya yang digunakan oleh debitor dalam kegiatan usahanya, seperti mesin pabrik, kendaraan dan lain-lain. Namun tidak semua jaminan tersebut serta merta dapat diambil alih oleh bank apabila debitor wanprestasi. Akan tetapi melalui berbagai proses hukum dan pertimbangan bank apakah jaminan/ agunan yang diambil alih bermanfaat bagi bank atau tidak.

(14)

Dalam prakteknya sendiri pelaksanaan penyerahan jaminan ini juga tidak terlepas dari berbagai masalah, terutama menyangkut kepentingan pihak ketiga yang secara tidak langsung berkaitan dengan jaminan atas tanah yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan penyerahan jaminan itu sendiri hanya bersifat sementara sebelum dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli.

Setelah melihat berbagai hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi timbulnya praktek pelaksanaan eksekusi hak tanggungan melalui penyerahan jaminan/ pengambilalihan jaminan oleh pihak kreditor (bank) dan berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan penyerahan jaminan tersebut, di dalam penelitian ini akan diuraikan praktek pelaksanaan penyerahan jaminan oleh debitor kepada pihak bank sebagai salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada bank, khususnya di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun latar permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan?

2. Apakah pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan telah sesuai dengan ketentuan yang ada?

(15)

3. Permasalahan apa sajakah yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan dan bagaimana upaya penyelesaiannya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan.

2. Untuk mengetahui pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan telah sesuai dengan ketentuan yang ada.

3. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan dan upaya penyelesaiannya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum jaminan kredit perbankan. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi

(16)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pelaksanaan lembaga jaminan kredit perbankan di dalam masyarakat. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu

hukum, khususnya hukum jaminan kredit perbankan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kajian Hukum terhadap Pelunasan Kredit dengan Menyerahkan Jaminan kepada Bank dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah (Penelitian pada PT. Bank Danamanon Indonesia Tbk. Kantor Wilayah VI Medan)” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang “Kajian Hukum terhadap Pelunasan Kredit dengan Menyerahkan Jaminan kepada Bank dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah (Penelitian pada PT. Bank Danamanon Indonesia Tbk. Kantor Wilayah VI Medan)”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik

(17)

dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di lingkungan Universitas sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi lainnya.

Beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya yang juga berkaitan dengan dengan penelitian ini adalah:

1. Kiki Riahma (002111044), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit (Suatu Penelitian di PT. Bank Bukopin Cabang Medan)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah:

a. Apakah fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996?

b. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan sesudah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam praktek Perbankan?

c. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan bila terjadi kredit macet sebelum jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berakhir? 2. Nur Asmalina Siregar (017011047), Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, dengan judul “Penyelesaian Kredit Macet Melalui Penjualan Di Bawah Tangan Benda Jaminan Yang Diikat Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Terhadap Praktek Perbankan di Kota Medan)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah:

(18)

a. Apakah faktor-faktor dan dasar hukum yang digunakan dalam melaksanakan penjualan di bawah tangan?

b. Bagaimana pelaksanaan penjualan di bawah tangan benda jaminan yang diikat dengan hak tanggungan?

c. Bagaimana kekuatan hukum hak atas benda jaminan pasca penjualan di bawah tangan bagi pihak ketiga?

3. Asido Sihombing (077011005), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Analisis Yuridis terhadap Gross Akta Notaris sebagai Pengikatan Jaminan Dikaitkan Dengan Kredit Macet (Studi di Kota Medan). Adapun permasalahan yang diteliti adalah:

a. Apakah eksekusi terhadap objek jaminan kredit dapat dilakukan kreditor berdasarkan gross akta pengakuan hutang yang dibuat oleh notaris?

b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kreditor dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan kredit berdasarkan gross akta yang dibuat oleh notaris?

c. Bagaimanakah kepastian hukum terhadap gross akta dalam pelaksanaan eksekusi sebagai penyelesaian kredit macet?

4. Ermalia Tarigan (027011017), Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Eksekusi Barang Jaminan oleh Bank dalam Penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus pada Bank “D” di Medan). Adapun permasalahan yang diteliti adalah:

(19)

a. Apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada bank “D” di Medan?

b. Bagaimanakah proses eksekusi barang jaminan dalam penyelesaian kredit macet pada bank “D” di Medan?

c. Bagaimanakah bank tersebut menyelesaikan kredit macet apabila timbul kendala dalam proses eksekusi barang jaminan?

5. Mahadi (077011040), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Aspek Juridis Penanganan Kredit Bermasalah di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Medan Putri Hijau. Adapun permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimanakah relevansi aspek juridis dalam penanganan kredit

bermasalah di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk?

b. Bagaimanakah analisis aspek juridis dalam penanganan kredit bermasalah di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk?

c. Bagaimanakah upaya juridis dalam penanganan kredit bermasalah guna melindungi bisnis PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk?

Dengan demikian jika diperhadapkan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu penelitian adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

(20)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,15 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.17

Fungsi teori di dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan menjelaskan hal yang akan diteliti, sehingga oleh karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori ini diarahkan secara khas ilmu hukum, dan secara khusus pada masalah Perjanjian Kredit sebagai dasar dari timbulnya Kuasa Menjual objek jaminan tersebut. Teori juga memiliki fungsi untuk dapat memahami bahwa pemberian Kuasa Menjual objek jaminan dalam perjanjian kredit sebagai kaidah hukum telah ditentukan dan diatur pula di dalam peraturan perundang-undangan (khususnya KUH Perdata).

Dalam penelitian yang dilakukan ini, kerangka teori yang dipakai oleh adalah:18

15M. Hisyam, J.J.J.M Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.

16Ibid.,hal. 16 17

M Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 18 Komar Andasasmita, Notaris II, Contoh akta Otentik dan Penjelasannya, (Daerah Jawa Barat: Ikatan Notaris Indonesia, 1990), hal. 482.

(21)

a. Teori Mandat, Menurut teori mandat pelaksanaan penjualan yang dilakukan oleh kreditor dalam hal wanprestasi berdasarkan kuasa menjual terdapat unsur perwakilan, oleh karenanya kreditor di dalam melakukan penjualan adalah bertindak mewakili dan selaku kuasa dari debitor/ pemilik jaminan.

b. Teori Eksekusi yang disederhanakan, menurut teori eksekusi yang disederhanakan dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan oleh kreditor tidak terdapat unsur perwakilan, melainkan kreditor bertindak guna memperoleh haknya sendiri, bukan untuk kepentingan debitor, bahkan dalam hal ini bertentangan dengan kepentingan debitor.

Untuk meminimalkan tingkat pembiayaan bermasalah salah satu proses yang sangat penting adalah pada saat analisis kredit. Terdapat tiga fungsi yang menyertai proses kredit, yaitu:19

a. Business developmentdan analisis kredit

Aktivitas Business development terkonsentrasi untuk mengidentifikasi debitor yang memiliki potensi lancar dan membangun hubungan dalam kredit.

Analisis kredit adalah proses untuk menaksir risiko termasuk di antaranya adalah melakukanreviewdata finansial debitor.

b. Eksekusi kredit dan administrasi

Secara formal staf kredit menerima atau menolak pengajuan kredit dan melakukan dokumentasi kredit

(22)

c. Reviewkredit

Petugas kredit akan melakukan reviewkredit secara periodik terutama ketika masa kredit perlu diperbaharui. Pada saat review tersebut, mungkin masa kredit perlu diubah dan disesuaikan dengan perubahan status debitor.

Sebelum memberikan kredit, pihak kreditor biasanya melakukan penelitian terlebih dahulu terhadapCharacter(watak).Capacity(kemampuan),Capital(modal),

Collateral (agunan) dan Condition of Economic (prospek usaha debitor) atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C. Sebelum melakukan pemberian kredit, sekurang-kurangnya kreditor harus melakukan analisis kelayakan usaha melalui penerapan faktor 5C serta penilaian terhadap aspek kemampuan membayar, yakni:20

a. Character

Faktor ini menyangkut kemauan debitor untuk membayar kembali kreditnya. Kemauan debitor dapat dilihat dari track record pembayaran pinjaman sebelumnya maupun pertimbangan terhadap latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bisnis.

b. Capacity

Faktor ini untuk menjawab pertanyaan “can he pay?” atau kemampuan debitor untuk membayar kreditnya. Kemampuan ini dapat dilihat dari cash flow. Sejarah pembayaran juga akan menjadi pertimbangan untuk melihat kemungkinan pembayaran yang akan datang.

(23)

c. Capital

Capital diperlukan untuk menjawab pertanyaan “how much can he pay?”

Capital juga dapat diartikan jumlah uang yang diinvestasikan dalam bisnis tersebut dan besarnya risiko yang perlu ditanggung ketika bisnis tersebut gagal.

d. Condition of Economy

Penilaian faktor ini menyangkut kondisi bisnis seperti tujuan peminjaman ataupun kondisi eksternal yang berada di luar kendali debitor seperti kondisi ekonomi dan tingkat persaingan usaha.

e. Collateral

Apabila terjadi suatu kegagalan oleh debitor yang menyebabkan macetnya kredit, pemberi pinjaman akan menggunakan agunan (collateral) untuk melunasi kredit. Jadi agunan merupakan second way out bagi kreditor untuk menjamin pembayaran kredit atau sebagai bentuk sekuritisasi kreditnya. Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai jaminan guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit tidak melunasi hutangnya.21 Jika kreditor menilai bahwa seorang calon debitor telah memenuhi kriteria di atas, barulah kreditor mau memberikan kredit yang diminta debitor tersebut.

(24)

Kegiatan perkreditan akan berjalan lancar apabila adanya saling mempercayai dari semua pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut. Keadaan itupun dapat terwujud hanya apabila semua pihak yang terkait mempunyai integritas moral. Kondisi dasar seperti ini sangat diperlukan oleh kreditor dalam usaha dan alokasi dana untuk kredit, karena dana yang ada pada kreditor kemungkinan sebagian besar dana merupakan milik pihak ketiga yang dipercayakan kepada kreditor tersebut. Dengan demikian sebaliknya pula bank dituntut dan kewajiban untuk selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pihak ketiga dalam menjalankan penggunaan dana tersebut.22

Pemberian kredit atau pembiayaan selalu meminta jaminan dari debitor, jaminan yang dimaksud adalah keyakinan kreditor atas kemampuan debitor untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah kreditor menilai watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan prospek usaha dari debitor (condition of economy). Seringkali kreditor tidak saja memegang agunan pokok yaitu barang yang dibiayai dengan kredit bank, tetapi juga meminta agunan tambahan dari debitor berupa barang yang tidak dibiayai oleh kredit yang diikat secara hukum. Konsekuensinya jika kreditnya macet, maka kreditor dapat memperoleh prioritas pengembalian dananya dengan mencairkan (melelang) agunan yang diberikan nasabah.23

22

Muhammad Djumhana,Op. cit.,hal. 366.

23Zulkarnain Sitompul,Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 30

(25)

Pendapatan penjualan benda jaminan/ agunan tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditor. Di sini para kreditor mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorum), kecuali apabila kreditor mempunyai hak istimewa.

Selain teori di atas, teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, sebagaimana yang dikemukakan Komariah, bahwa: hukum perdata sebagai rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum subjek hukum (orang dan badan hukum) yang satu dengan subjek hukum yang lain yang menitikberatkan pada kepentingan subjek hukum tersebut.24

Berdasarkan pengertian di atas, kerangka hukum perdata kemudian dirasakan tepat untuk mendefinisikan dan menguraikan peraturan hukum yang mengatur adanya hubungan hukum antara satu subjek hukum dengan subjek hukum lainnya. Salah satu pranata hukum yang termasuk dalam kerangka hukum perdata, adalah keberadaan lembaga hak tanggungan sebagai suatu lembaga hak jaminan, sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).

Lembaga hak tanggungan ini adalah sebagai pengganti lembaga hipotik dan

(26)

Staatsblad 1908-542 beserta perubahannya. Lembaga hak tanggungan termasuk dalam kerangka hukum perdata disebabkan karena adanya aspek hukum kebendaan yang melekat pada hak tanggungan sebagai salah satu hak jaminan kebendaan. Dalam ketentuan hukum perdata dinyatakan bahwa suatu benda yaitu segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang,25 memberikan hak kebendaan (zakelijke recht) yaitu suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang.26

Hak kebendaan ini kemudian memberikan 2 (dua) fungsi kepada pihak yang memilikinya sesuai dengan sifat yang dimiliki benda tersebut, yaitu hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan.27Lembaga hak tanggungan merupakan salah satu dari hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan.28

Lembaga hak tanggungan akan timbul sebagai suatu pranata hukum yang memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum, pada saat para pihak dalam melakukan interaksi dan hubungan hukum dalam suatu kegiatan usaha, membutuhkan penyediaan dana. Lembaga hak tanggungan akan timbul sebagai suatu lembaga hak jaminan, di saat pihak yang memerlukan dana dan pihak yang memberikan dana, mengikatkan diri pada suatu perjanjian hutang piutang.

Lembaga hak tanggungan ini akan berfungsi sebagai lembaga hak jaminan yang akan menjamin pelunasan hutang tersebut. Lembaga hak tanggungan ini

25Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,cet ke-24, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 60. 26Ibid.,hal. 62.

27

Komariah,Op. cit.,hal. 97.

28J. Satrio,Hukum Jaminan Hak Tanggungan Kebendaan,cet-4, (Bandung: PT. Citra Aditya BAkti, 2002), hal. 16.

(27)

merupakan lembaga hak jaminan atas tanah, dimana ditentukan dalam ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.29Hak tanggungan ini juga meliputi hak pakai atas tanah negara tertentu.

Berdasarkan hubungan hukum yang terjadi dan dipergunakan pengertian hukum perdata dalam menyikapi permasalahan lembaga jaminan ini, dapat dipahami lembaga hak tanggungan ini mempunyai aspek perdata dan termasuk dalam kerangka hukum perdata.

Adanya hubungan hukum antara para pihak, mengakibatkan timbulnya suatu perikatan yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.30 Pihak yang berhak menuntut sesuatu dalam suatu perikatan hutang piutang dinamakan kreditor atau si berpiutang dan pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut dinamakan debitor atau si berutang.31

Syarat untuk dapat dibebaninya suatu hak atas tanah dengan hak tanggungan adalah bahwa hak ini menurut sifatnya harus dapat dialihkan (karena jika terpaksa dilakukan eksekusi, hak itu harus dijual untuk pelunasan hutang), dan harus didaftarkan dalam daftar umum (untuk memenuhi asas publisitas), selanjutnya secara

29Pasal 25, 33, dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

(28)

formal hak yang memenuhi syarat tersebut perlu ditunjuk oleh undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani hak tanggungan. Dalam UUPA hak-hak yang sudah jelas memenuhi kedua syarat pertama di atas adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan. Oleh karena itu, ketiga jenis hak itu ditunjuk dalam Pasal 25, 33 dan 39 UUPA sebagai hak-hak yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Sehubungan dengan itu yang disebut dalam Pasal 51 UUPA juga hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan.32 Hal ini tidaklah berarti bahwa yang dapat dibebani hak tanggungan untuk selanjutnya terbatas pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan saja.

Selanjutnya perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk atau perjanjian pokok. Perjanjian hak tanggungan bagi perjanjian pokok adalah suatu perjanjianaccessoir. Dalam butir 8 Penjelasan Umum disebutkan: “oleh karena hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau

accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.

Perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian accessoir berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT, karena:

(29)

a. Perjanjian untuk memberikan hak tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.

b. Hak tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.

Sifat hak tanggungan dalam UUHT ditegaskan, hak tanggungan sebagai jaminan atas tanah yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain droite de preference dan mengikuti bendanya atau objeknyadroit de suite. Hak kebendaan droite de preference dalam hak tanggungan ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT.

Pasal 1 angka 1 UUHT:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Pasal 20 ayat (1) UUHT:

Apabila debitor cidera janji, berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) maka obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Di sisi lain kedudukan preferensi hak tanggungan, secara jelas diatur dalam Pasal 5 UUHT, bahwa peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan tanggal

(30)

pendaftaran hak tanggungan tersebut. Kemudian dalam Pasal 7 UUHT hak kebendaan

droite de suite secara tegas dinyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi adalah pendapat, pangkalan pendapat. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.33 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitor berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditor dan debitor.34 b. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

33

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPs USU), hal. 35.

(31)

kreditor dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.35

c. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.36

d. Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.37

G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Dari judul dan permasalahan yang dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskripsi38 yaitu menggambarkan dan menganalisa masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatanyuridis normatif.39

35 Pasal 1 angka (11) undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

36Ibid., Pasal 1 angka 2. 37Pasal 1 ayat (1) UUHT.

38Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 9 39

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum

(32)

Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori.40 Pendekatanyuridis normatifdalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum,41 sumber-sumber hukum,42 peraturan perundang-undangan yang bersifat teoretis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas serta ditambah data lainnya yang diperoleh di lapangan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung pelaksanaan pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT. Bank Danamon Indonesia Tbk.

2. Sumber data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi

40 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal 11.

41M. Solly Lubis,Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945,(Bandung: Alumni, 1997), hal. 89, mengatakan asas-asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan-hubungan sesama anggota masyarakat.

42 Amiruddin A. Wahab, dkk, Pengantar Hukum Indonesia, Bahan Ajar Untuk Kalangan Sendiri, (Banda Aceh, FH-Unsyiah, 2007), hal. 73.

(33)

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier,43 yaitu:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu:

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Serta peraturan pelaksanaan yang terkait lainnya dengan pelaksanaan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada bank.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yaitu karangan ilmiah, buku-buku referensi dan informasi, akta perjanjian kredit dan sertifikat hak tanggungan.

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yakni kamus umum, kamus hukum, jurnal, artikel, majalah dan lain sebagainya.

(34)

b. Penelitian Lapangan (Field Research) tentang pelaksanaan pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT. Bank Danamon Indonesia Tbk untuk mendapatkan data primer yang dilakukan dengan cara wawancara dengan Pejabat/ Pegawai PT. Danamon Indonesia Tbk, sebanyak 2 (dua) orang.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer, diperoleh melalui wawancara langsung dengan pejabat/ pegawai bagian kredit bermasalah/ Recovery pada PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. Wilayah VI Medan

b. Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka atau literatur. Data sekunder tersebut meliputi:

1) Bahan hukum primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini, seperti Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

(35)

tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan lain-lain.

2) Bahan-bahan hukum sekunder, yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai badan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, sebagai contoh buku-buku, jurnal, majalah, bulletin dari internet.

3) Bahan hukum tertier, yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal, artikel, majalah dan sebagainya.

4. Analisis data

Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan maupun studi lapangan maka data tersebut dianalisa secara kualitatif44 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti lalu ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui menjadi suatu kesimpulan yang bersifat khusus.45

44

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal.10

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ekstrak maserasi daun kelor pada konsentrasi 40% sudah mampu menghambat mikroorganisme pada tangan dan daun

Dari pengertian di atas, dapat diambil suatu pemahaman, bahwa pendidikan kepramukaan merupakan suatu proses pendidikan yang dilaksanakan diluar lingkungan sekolah dan

penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Intan

Tidak dapat dipungkiri bahwa penambahan derau gaussian pada tahap preprocessing yang awalnya bertujuan untuk menguji keandalan sistem pengenalan wajah ini juga memiliki

Strategi divisi dari Baluna-Wear diberikan sebagai (Lipe & Salterio, 2000.): Meskipun Trisuna Garment Corporation secara historis difokuskan pada pakaian wanita,

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa menggunakan paired sample t-test pada kelompok intervensi ada penurunan tingkat kecemasan yang bermakna secara statistik

Pengembalian akan menyebabkan promosi, kredit, komisi dan bonus akan disesuaikan atau ditarik kembali, untuk orang yang melakukan pengembalian dan untuk semua upline

Seiring berjalannya waktu, masalah pembiayaan dari segi CAPEX biaya instalasi MSAN menjadi lebih mahal dari GPON karena banyak aspek yang harus diperhatikan seperti