• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.2 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Kebijakan yang dapat dilakukan mencakup :

A. Subsistem Hulu:

1. Meningkatkan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar kepras.

2. Pengembangan areal perkebunan tebu di Jawa diarahkan pada lahan tegalan, sehingga tidak terjadi persaingan dengan produksi tanaman

pangan. Pengembangan areal tebu sebaiknya diarahkan ke daerah lain (luar Jawa) yang masih potensial.

3. Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. B. Subsistem Hilir:

4. Peningkatan efisiensi di hilir dapat dilakukan dengan merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial.

5. Pengembangan industri produk turunan tebu.

6. Penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu dan program kemitraan antara pabrik gula dan kelompok tani.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Buletin Pusat Penelitian Gula Indonesia, (148):59-85.

Departemen Pertanian. 2004. Strategi Pengembangan Agrobisnis Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Dewan Gula Indonesia. 2005. Perkembangan Pergulaan Indonesia Tahun 1999 - 2004. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Direktorat jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Pedoman Budidaya Tanaman Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta

Ernawati. 1997. Kajian Keragaman Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2001. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi, 23:1.

Hafsah, M. J. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Erlangga, Jakarta

Harris, D. 2006. Coping With Change-Farm Level Adjusment and Policy Reform. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic Change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne.

Khudori. 2004. Gula: Rasa Neoliberalisme (Pergumulan Empat Abad Industri Gula). LP3ES, Jakarta

Males, W. 2006. “Drivers of the Australian Sugar Industry’s Export Performance”. Structural Adjustment and Export Competitiveness Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne. Malian, A. H. 1999. Analisis Komparatif kebijakan Harga Provenue dan Tarif

Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi, 18(1): 14-36.

Mardianto, et. al. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengambangan Industri Gula Nasional. Forum Agro Ekonomi. Volume 23 No.1, Juli 2005: 19 -37. Bogor

Mitchell, D. 2004. Sugar Policies: Opprtunity for Change. World Bank Policy Research Working Paper 3222, World Bank.

Monke, E. A. and E. S. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, London.

Mubyarto dan Damayanti. 1991. Gula: Kajian Sosial – Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta

Nelson, G. C. and M. Panggabean. 1991. The Cost of Indonesian Sugar Policy : A policy Analysis Matrix Approach. American Journal of Agricultural Economics, 73 (3): 703-712.

Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijakan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta

Pakpahan, A. 2004. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000 - 2004 : Pandangan Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Pearson, et.al. 2004. Aplication of Policy Analysis Matrix in Indonesian Agriculture. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Salim, H.P, et.al. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Unggulan Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta.

Saptana, et. al. 2004 Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usaha Tani Beberapa Komoditas Pertanian di lahan Sawah. Prosiding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Sawit, et.al. 2004. Ekonomi Gula: 11 Pemain Utama Dunia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta

Sudana, W, et al. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Relokasi Sumber Daya, Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Sudana, W, et al. 2002. Efektivitas Kebijakan perlindungan Terhadap Produsen Melalui Provenue Gula. Forum Agro Ekonomi, Volume 20 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghemat Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tuy, V.V. 2006. “General Situation of Provided and Consumed Sugar in Vietnam”. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006. Melbourne.

ABSTRACT

MUHAMAD YADJID. Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java (RINA OKTAVIANI as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee).

Sugarcane is considered to be a high-valued commodity since Colonial era. The Highest sugar cane production in Indonesia was in 1930 and Indonesia became the second highest exporting sugar country at that time. However, the performance of sugar industry has declined during the last decade. Now, Indonesia has become an importing sugar country. This situation is more likely because Indonesian population grows in the average of 1.2% every year, which influence the direct sugar consumption every year. Indonesia’s sugar consumption is always exceeded its production. In order to fulfill the domestic consumption, Indonesia needs to import sugar. Based on the economic performance of sugar industry, the main issue of sugar industry in Indonesia is low increase of productivity and production in farm and sugar mills level, especially in East Java. Some factors are suspected to influence the productivity and production sugar performance. The objective of this research is to analyze competitiveness of sugar industry, especially in sugarcane farming system, impact of government policy and structural adjustment on sugar industry.

This study is conducted by using Policy analysis Matrix (PAM), and sensitivity analysis. The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Sensitivity analysis is done as one of justifications in structural adjustment concept for sugar industry in Indonesia.

The result shows that sugarcane farming systems in wet and dry land are financially profitable, but economically it is a contradiction. The sugarcane farming systems are not having comparative advantage (DRC>1). The result also shows that the government is very protective to sugar industry in Indonesia. Impact of government policies are shown (at least) by NPCO and NPCI ratios. NPCO ratio range from 1.53 to 1.62, and NPCI ratio is around 0.59. Therefore, structural adjustment is needed to cope these issues and gain its comparative advantage.

RINGKASAN

MUHAMAD YADJID. Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000).

Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 % per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu, dan (3) merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur.

Penilitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix sebagai metode untuk menganalisis daya saing usahatani tebu dan juga dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur. Analisis Sensitivitas juga dilakukan sebagai salah satu landasan untuk merumuskan penyesuaian industry gula di Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data primer dan juga data sekunder. Data Primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani tebu yang kemudian diverifikasi oleh beberapa responden ahli. Data sekunder diperoleh data Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosisal Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer Microsoft Office Excel 2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata produktivitas usahatani tebu di sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, sedangkan di lahan tegalan kurang dari 100 ton per hektar. Produktivitas tebu dari bibit (tanam awal) lebih tinggi dari ratoon 1 dan seterusnya. Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen

dengan pabrik. Keuntungan privat usahatani tebu di lahan sawah lebih besar di banding lahan tegalan. Keuntungan usahatani tebu ratoon 1 lebih tinggi dari usahatani tebu tanam awal. Hal ini disebabkan karena usahatani tebu ratoon tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian input bibit baru. Keuntungan finansial usahatani tebu berkisar antara Rp.5 juta – Rp. 8 juta/ha). Meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kerugian berkisar antara Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta/ha)

Berdasarkan hasil analisis PAM, Usahatani tebu di Jawa Timur tidak memiliki keunggulan komparatif tapi masih memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini di tunjukkan oleh rasio DRC >1 dan rasio PCR <1. Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53-62 persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62). Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen.

Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Implikasi kebijakan mencakup subsistem hulu dan subsistem hilir. Kebijakan subsistem hulu adalah: (1) peningkatkan areal pertanaman tebu di daerah potensial, (2) Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu, dan (3) peningkatan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratoon. Kebijakan subsistem hilir yaitu: (1) merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial, (2) pengembangan industri produk turunan tebu, dan (3) penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu.

6.5 Dampak Kebijakan Pemerintah ... 68 6.6 Analisis Sensitivitas ... 69 6.7 Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional ... 71 6.7.1 Struktur Industri Gula Kristal Putih ... 72 6.7.2 Industri Gula Brazil ... 72 6.7.3 Industri Gula Thailand ... 72 6.8 Penyesuaian Struktural ... 75 6.8.1 Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu... 75 6.8.2 Kondisi Pabrik Gula Nasional ... 76 6.8.3 Kebijakan Penyesuaian Struktural ... 77 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 80 7.1 Kesimpulan ... 80 7.2 Implikasi Kebijakan ... 81

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara historis, komoditas tebu sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-18 pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri gula di Pulau Jawa karena faktor-faktor yang mendukung seperti tanah yang subur, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan penanaman tebu tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem pergiliran areal tanam. Namun saat ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya

berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah (Saptana, et al, 2004).

Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000).

Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2005).

Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 persen per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Data dari Departemen Pertanian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi gula nasional lebih rendah dari tingkat konsumsi gula nasional.

Tahun Produksi Konsumsi Impor 1997 2 189 975 3 363 300 1 364 600 1998 1 491 553 3 300 000 1 811 732 1999 1 488 617 3 360 000 2 187 133 2000 1 693 851 3 300 000 1 600 000 2001 1 725 467 3 360 000 1 600 000 2002 1 755 425 3 300 000 1 544 013 2003 1 631 581 3 451 000 1 571 278 2004 2 051 644 3 388 808 1 314 626 2005 2 241 742 3 786 438 1 980 487 2006 2 307 000 3 968 453 1 405 942 2007 2 623 800 4 024 435 1 972 788 2008 2 668 428 4 034 657 983 944 2009 2 849 769 4 126 424 1 373 546

Sumber : Dewan Gula Indonesia 2005, Kementerian Pertanian 2010

Menurut Djojosubroto 1995, turunnya produksi gula nasional antara lain disebabkan oleh dua hal yaitu:

1. Penurunan produktivitas gula per hektar (terutama di Jawa), yang disebabkan ; terjadinya pergeseran areal tebu dari lahan sawah ke lahan kering, tidak ada inovasi dan adaptasi teknologi budidaya tebu lahan kering secara memadai, dan naiknya biaya produksi;

2. Menurunnya rendemen karena faktor budidaya maupun pabrik yang disebabkan; semakin panjangnya hari giling pabrik gula sehingga masa giling pabrik gula semakin jauh dari periode waktu kemasakan tebu yang optimal, kurangnya pasokan tebu, dan meningkatnya angka pol hilang pada pabrik gula atau meningkatnya jumlah gula yang hilang per ton tebu yang digiling. Penyebab menurunnya rendemen gula, selain dari faktor teknis, juga

disebabkan oleh faktor sosial yaitu belum selarasnya hubungan antara pabrik gula dengan petani tebu (Adisasmito, 1998).

Dua negara yang berhasil melakukan structural adjusment dalam industri gula adalah Australia dan Vietnam. Australia merupakan salah satu negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Brazil. Sebagian besar produksi gula Australia diekspor ke negara lain. Usahatani tebu di Australia melibatkan 4 500 keluarga petani tebu dengan produksi tebu mencapai 39 juta ton. Jumlah pabrik gula di sana sebanyak 12 pabrik gula dan jumlah produksi gula mencapai 5.5 juta ton (Males, 2006). Biaya produksi gula Australia termasuk yang terendah di dunia.

Vietnam dengan One Million Ton of Sugar Programme (OMTSP) di tahun 1995 dinilai berhasil dengan bertambahnya jumlah penggilingan gula menjadi 44 penggilingan gula tahun 2002-2003, yang memproduksi 1.06 juta ton gula dari 11.5 juta ton tebu. Luas lahan pada tahun 1999 untuk usahatani tebu mencapai 350 ribu Ha. Keberhasilan yang dicapai Vietnam adalah untuk pemenuhan kebutuhan domestik gula tercapai pada tahun 2000, menciptakan lapangan kerja untuk 35 ribu pekerja dalam industri gula, peningkatan efisiensi penggunaan lahan sekitar 350 ribu Ha lahan, menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 300 ribu petani dengan lebih dari 2 juta orang yang mengalami peningkatan standar hidup dan pengembangan perdesaan (Tuy, 2006).

Gula merupakan komoditas yang paling terdistorsi oleh kebijakan, di antara komoditas yang lain sejak tahun 1800an. Bentuk distorsi tersebut adalah proteksi yang mendorong sejumlah permasalahan, akibatnya produsen dan konsumen bereaksi terhadap mahalnya harga dan perusahaan melakukan

penyesuaian operasi mereka untuk mengambil keuntungan dari mahalnya harga atau menghindarinya jika mereka membuat produk yang menggunakan gula. Salah satu konsekuensi yang tidak dikehendaki dari tingginya proteksi adalah surplus produksi gula yang kemudian dibuang di pasar dunia dan dijual pada harga yang diberi subsidi. Banyak negara telah terpaksa untuk melindungi produsen domestik dari barang ekspor yang diberi subsidi dan menekan harga pasar dunia. Siklus dari proteksi, subsidi, dan proteksi yang lainnya tengah terjadi pada dekade ini (Mithcell, 2004).

Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengharuskan setiap Negara termasuk Indonesia untuk mengurangi distorsi perdagangan berupa akses pasar, subsidi domestik serta subsidi ekspor secara bertahap. Perjanjian tersebut menyatakan kebijakan ekonomi yang terdistorsi seperti pengenaan pajak ekspor output, tarif impor input, subsidi input, pengaturan harga dan tataniaga, dan intervensi terhadap nilai tukar serta penetapan suku bunga bank baik dalam kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian termasuk gula secara bertahap akan hilang (Hadi et al., 2001).

Akibatnya, sebelum pelaksanaan liberalisasi perdagangan tahun 2020, pemerintah harus mengatasi permasalahan tersebut melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri gula nasional. Penetapan berbagai kebijakan pemerintah telah menunjukkan peningkatan produktivitas tebu per hektar rata-rata 4.5 persen per tahun pada periode 1999-2004 (Mardianto et al, 2004). Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan meningkatkan daya saing sehingga pada saat pelaksanaan liberalisasi perdagangan, industri gula nasional telah mandiri dan siap menghadapi persaingan global.

1.2 Perumusan Masalah

Kemunduran industri gula Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1940-an. Efisiensi industri gula yang tercermin pada produktivitas dan hablur tebu pada periode 1930-an telah mengalami penurunan dan belum ada perbaikan hingga saat ini. Pada periode 1930-an, produktivitas tebu hampir mencapai 140 ton per hektar dan hablurnya mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 ton dan 6 ton per hektar (Mardianto et al, 2005).

Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa Indonesia tidak efisien secara ekonomi dan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Amang (1992) dalam Hafsah (2002) meninjau efisiensi penggunaan sumber daya alam yang tersedia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa opportunity cost dari usahatani tebu di beberapa daerah di Jawa cukup tinggi. Opportunity cost tersebut semakin tinggi dengan semakin terbatasnya lahan subur di pulau Jawa dan alternatif penggunaan lahan untuk komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Salim et al. (2004) yang menyatakan bahwa usahatani tebu tidak mempunyai keunggulan komparatif dengan koefisien DRC > 1, hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu tidak efisien secara ekonomi.

Inefisiensi juga terjadi pada tingkat pengolahan di pabrik gula. Pada tahun 2001, dengan nilai tukar sebesar Rp 9 000,- per Dollar AS, 18 pabrik gula yang berada di Jawa tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis dari 44 pabrik gula yang dianalisis oleh Khudori (2004). Tingkat rendemen juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Rata-rata rendemen pabrik gula di Jawa

adalah sebesar 6 - 7 persen jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat rendemen negara lain yang rata-rata di atas 10 persen (Pakpahan, 2004).

Khudori (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1999 rata-rata biaya produksi gula dunia sebesar 13 sen Dollar AS per Pound dan rata-rata biaya produksi gula Indonesia adalah sebesar 11 sen Dollar AS per Pound. Biaya produksi industri gula nasional dapat dikatakan masih kompetitif. Di samping itu, harga gula internasional tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Hal ini disebabkan dengan adanya berbagai kebijakan subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara eksportir maupun importir gula.

Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dengan total kapasitas produksi sebesar 883 ribu ton per tahun, atau sebesar 44.35 persen dari total kapasitas produksi nasional pada tahun 1999/2000. Jika dilihat dari kapasitas rata-rata setiap PG, Jawa Timur

Dokumen terkait