• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Kebijakan

Untuk membahas kasus-kasus kekerasan politik dalam Pemilukada, menurut Ritzer (2003), ada tiga paradigma dalam sosiologi yang dapat dipakai, yaitu: 1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu, 2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat, 3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan. Dengan demikian, paradigma yang paling cocok untuk dipakai dalam pembahasan kasus-kasus kekerasan mengenai Pemilukada adalah paradigma definisi sosial. Sedangkan teori yang mendukung pembahasan ini adalah teori tindakan komunikasi dari Jurgen Habermas.

Habermas (1990) menyatakan bahwa politik dapat dirasionalisasikan dalam upaya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan memulihkan peran manusia sebagai subyek yang mengatur sejarahnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Weber dalam Siahaan (1983: 218-220), bahwa tindakan sosial seseorang dipengaruhi oleh zweck rational, yaitu tindakan sosial yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional di dalam merespon kondisi eksternalnya (termasuk tanggapan terhadap orang lain di luar dirinya dalam upaya mencapai tujuan yang maksimal dengan pengorbanan yang seminimal mungkin). Sedangkan tindakan komunikatif menurut Habermas (1971) adalah titik tolak dari kritik rekonstruksi teori rasionalitas

Weber, bahwa ada tindakan dasar manusia yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara subyek yang saling berinteraksi. Kemudian dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas dalam Hardiman (1993: 116) dengan paradigma komunikasi, mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat.

Sejak Pemilukada digelar di kabupaten/kota di Indonesia, kerusuhan dan kekerasan acapkali terjadi atau bahkan sudah menjadi bagian integral dari pelaksanaan Pemilukada. Kondisi tersebut disebabkan karena penyelenggara Pemilukada (KPUD) tidak melakukan komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta/calon/kandidat, sehingga terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD dapat dikatakan merupakan lembaga yang super body.

Hal ini menyebabkan massa pendukung calon/kandidat melakukan protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah kerusuhan sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang ada hanya informasi-informasi yang tidak jelas. Dengan demikian kerusuhan sosial terkait pelaksanaan Pemilukada sebenarnya merupakan akibat ketidakdewasaan rakyat dalam menyikapi suatu komunikasi yang macet, yang sekaligus menggambarkan level rasionalitas pelakunya dalam merespon kondisi tersebut.

Di sisi lain, Habermas dalam Hardiman (2009: 128) menjelaskan bahwa ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat agar warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif, sebab ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.

Habermas dalam Hardiman (2010: 185) juga menjelaskan bahwa ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga dan merupakan wadah dimana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.

Ruang publik tidak hanya diwujudkan dalam bentuk fisik, berupa sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan merupakan usaha warga untuk menjalin komunikasi diantara mereka. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik harus mudah diakses semua orang. Dalam konteks Pemilukada, rakyat yang terlibat dalam hingar bingar peristiwa politik, masih berperan sebagai objek bukan subjek. Tingkat partisipasi rakyat dalam peristiwa politik ini sangat rendah karena posisinya hanya sebagai pelengkap jika dibandingkan dengan posisi calon/kandidat yang sangat dominan dan dikuasai oleh kapitalistik. Dengan demikian rakyat yang terlibat dalam Pemilukada, jika dikaitkan dengan teori masyarakat komunikatif Habermas, tidak memiliki power reflective yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk bertindak secara otonom dalam ruang politik yang seharusnya dapat menciptakan kesepahaman bagi kepentingan bersama, atau meyusun sebuah konsensus. Konsensus hanya dapat dilahirkan jika rakyat mampu mengembangkan masyarakat komunikatif yang memiliki otonomi.

Adapun meningkatnya konflik kekerasan rutin berskala kecil selama beberapa tahun terakhir, dengan jumlah dampak yang signifikan, membawa resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian menguat dari pemerintah dan masyarakat tentang perlunya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif.

Beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk menyusun sebuah kerangka kebijakan tersebut, yang mencakup penyusunan draf Strategi Besar Pencegahan dan Pengelolaan Konflik (Grand Strategy for Conflict Prevention and Management) dan penyusunan Kerangka Pencegahan Konflik (Conflict Prevention Framework). Data statistik mengenai konflik yang berkembang di Indonesia, baik dari hasil penelitian ICG (2003), Barron dan Madden (2004), Welsh (2008), Barron, Diprose, dan Woolcock (2011), Conflict and Development

Program (2011-2015), memberikan penegasan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut seyogyanya mempertimbangkan isu dan upaya kunci berikut ini:

1. Secara sistematis mengupayakan penyelesaian faktor-faktor struktural di balik konflik kekerasan besar pada masa lalu sambil tetap memprioritaskan pengelolaan secara efektif konflik kekerasan rutin di masa mendatang.

2. Menetapkan pembagian tugas yang secara lebih jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara pemerintah dan masyarakat madani, dalam mencegah konflik kekerasan.

3. Mengikutsertakan pemerintah daerah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pencegahan dan pengelolaan konflik agar persoalan-persoalan lokal ikut dipertimbangkan secara memadai dalam kerangka kebijakan nasional.

4. Menginformasikan lembaga/institusi keamanan formal akan perkembangan dinamika konflik di wilayahnya dan memperkuat kemampuan mereka agar efektif dalam menangani kekerasan. 5. Memperkuat mekanisme-mekanisme informal untuk

penyelesaian sengketa dan akses terhadap keadilan di tingkat local dengan melatih pemimpin local mengenai cara-cara resolusi konflik untuk mencegah eskalasi sengketa menjadi konflik kekerasan.

6. Terus melakukan program pembangunan perdamaian ( peace-building) di provinsi-provinsi pascakonflik, secara khusus juga di Papua mengingat wilayah ini mengalami tingkat kekerasan tinggi dengan konteks penuh ketegangan yang sedang meningkat.

7. Melakukan kajian sistematik berkala untuk mengumpulkan informasi terbaru mengenai pola dan dampak konflik kekerasan di propinsi lain dan melakukan pemantauan secara kontinu terhadap perkembangan konflik di wilayah-wilayah ‘panas’ seperti Papua dan Maluku. Upaya pemantauan tersebut memerlukan kemitraaan yang kokoh antara lembaga pemerintah dan nonpemerintah, dimana peran lembaga

nonpemerintah sebaiknya mencakup pengumpulan dan penganalisa data sehinggga dapat menjadi panduan bagi penanganan konflik yang dilakukan pemerintah.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan adalah: 1) kekerasan terkait penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin seperti bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia.

Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat dalam penyelengaraan Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme.

Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi menciptakan budaya kekerasan di mana keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut dapat mengarah pada

pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya.

Data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015) mencatat bahwa sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir.

Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan.

B. Saran

Terkait dengan kekerasan Pemilukada, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan atau kemacetan komunikasi antar lintas stakeholder politik yang akhirnya menimbulkan kekerasan yang menjurus ke anarkisme secara struktural. Oleh karena itu, berdasarkan teori Habermas, maka konsep masyarakat komunikatif menjadi alternatif yang mampu melahirkan konsensus baru yang harus ditaati dalam proses politik untuk menguraikan kekerasan dan kerusuhan social dalam Pemilukada.

Sedangkan dari konflik kekerasan rutin yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia dapat disimpulkan bahwa perlu adanya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif dan mengadopsi pendekatan preventif.

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain: a) investasi pada kegiatan pemantauan konflik secara sistematis, khususnya di wilayah rawan konflik sebagai instrumen pendukung sistem peringatan dini, b) upaya-upaya peningkatan kemampuan para penegak hukum agar efektif menanggulangi dan menangani kekerasan, c) penguatan mekanisme lokal dalam menyelesaikan sengketa untuk meningkatkan kohesi sosial masyarakat dan mencegah eskalasi konflik, d) investasi terus-menerus pada program pembangunan perdamaian (peace-building) di wilayah pascakonflik, dengan mengedepankan kepemimpinan lokal, e) partisipasi dan keterlibatan penuh para aktor lokal dalam perumusan kerangka kebijakan nasional.

Dokumen terkait