• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta I (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta I (1)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

TREN KONFLIK DAN KEKERASAN BARU DI INDONESIA

SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA

OLEH

MANIK SUKOCO

NIM 15730251008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses demokratisasi di Indonesia saat ini sudah menjadi perhatian dunia luar terutama sejak runtuhnya rejim otoriter Soeharto. Proses transisi demokrasi ini tidak berlangsung secara mulus tanpa hambatan. Sejak proses reformasi politik yang berlangsung pasca lengsernya Presiden Soeharto, beragam konflik dan kekerasan masih terjadi di berbagai wilayah, mulai dari Sabang sampai Merauke.

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan, telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat mendasar.

Konflik berskala besar di Indonesia secara statistik bisa dikatakan telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, jika meninjau kekerasan yang terjadi di Indonesia selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Menilik dari data statistik Conflict and Development Program yang dikembangkan oleh World Bank, kini muncul tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia.

(3)

pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme.

Adapun kekerasan rutin berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan tersebut berpotensi menciptakan budaya kekerasan dimana keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara.

Tingginya tingkat kekerasan rutin dan kekerasan politik yang belakangan terjadi di Indonesia memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih serius karena potensi konflik dan kekerasan ini dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya.

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konflik

1. Definisi Konflik

(5)

berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan (Susan, 2010: 63).

Konflik merupakan pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Ia merupakan warisan kehidupan sosial sebagai akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi atau pertentangan antara dua atau lebih pihak yang berlangsung terus menerus. (Susan 2010: 8). Sedangkan Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat diterima oleh satu individu dengan individu lain atau antara suatu kelompok dengan kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara individu-individu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan perbedaan kepentingan.

(6)

disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda.

Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak bisa hidup sendiri. Dibanding makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau tumbuhan, manusia merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak terhindarkan. Dalam pola dan ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan, kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Manusia makhluk sosial. Ia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga lingkungan secara keseluruhan. Dengan demikian, interaksi menjadi keniscayaan. Interaksi antar manusia, kelompok atau antarnegara tidak pernah steril dari kepentingan, penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Interaksi bermuatan konflik pada prinsipnya setua sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8).

2. Konflik Sosial

(7)

mungkin pula menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan.

Konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat. Adanya tertib sosial seperti adanya sistem nilai yang disepakati bersama tidak secara otomatis dapat menghilangkan konflik. Bahkan merupakan cerminan adanya konflik yang bersifat potensial dalam masyarakat (Munandar Soelaeman, 2008: 76). Kenyataan konflik ini padat dibuktikan dengan fakta sebagai berikut:

a. Setiap struktur sosial di dalam dirinya mengandung konflik-konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, sehingga dapat merupakan sumber terjadinya perubahan sosial.

b. Reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar yang tidak selalu bersifat mengatur.

c. Sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat melekat (kronis).

d. Perubahan sosial yang terjadi dalam suatu sistem tidak selamanya bersifat perlahan tetapi dapat pula terjadi secara revolusioner.

3. Potensi Konflik

(8)

sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional serta berada di bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang dianut telah disangkal melalui bukti-bukti nyata.

Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru menjadi potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama. Senada dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan tersebut dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh dari suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketegangan sosial.

4. Jenis-Jenis Konflik Sosial

Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang dikuasai), serta konflik horizontal atau konflik yang terjadi di antara kelas yang sama.

(9)

a. Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peran-peran dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan.

b. Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial.

c. Konflik-konflik antar kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak terorganisasi.

d. Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik. Antara negara atu organisasi-organisasi internasional.

Adapun dilihat dari bentuknya, konflik sosial mempunyai bebarapa bentuk, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perorangan seperti pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedagang dan pembeli, atasan dan bawahan, dan sebagainya.

b. Konflik kelompok yaitu pertentangan yang terjadi antar kelompok seperti pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara dua keseblasan sepak bola. Antara dua partai politik, dan sebagainya.

c. Konflik antara kelas sosial, yaitu petentangan yang terjadi antara dua kelas sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang miskin, antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam, antara pemerintah (penguasa) dengan rakyat dan sebagainya.

d. Konflik rasial, yaitu pertentangan yang terjadi antar ras, seperti ras kulit hitam dengan kulit putih (apartheid).

e. Konflik politik, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan paham dan aliran politik yang dianut, seperti pertentangan antara masyarakat penjajah dengan yang dijajah, antar golongan politik dan sebagainya.

(10)

5. Situasi Konflik

Abu Ahmadi (2007) membagi situasi konflik menjadi 3 tipe situasi yaitu: konflik inter-individu, konflik antar individu, konflik antara kelompok sosial

a. Konflik Inter-individu.

Konflik Inter-Individu adalah merupakan tipe yang paling erat kaitannya dengan emosi individu hingga tingkat keresahan yang paling tinggi. Lebih lanjut konflik muncul dari dua penyebab; karena kelebihan beban atau kerena ketidaksesuaian seseorang dalam melaksanakan peranan (person role incompatibilities). Kondisi pertama seseorang mendapat “beban berlebihan “akibat status (kedudukan) yang memiliki, sedang dalam yang kedua seseorang memang tidak memiliki kesesuain yang cukup untuk melaksanakan peranansesuai dengan statusnya.

b. Konflik antara individu

Antara individu seseorang dengan satu orang atau lebih, sifatnya kadang-kadang subtansif menyangkut perbedaan gagasan, pendapat, kepentingan; atau bersifat emosional-menyangkut perbedaan selera, perasaan like/dislike (suka tidak suka). Setiap orang pernah mengalami situasi konflik semacam ini, ia banyak mewarnai tipe-tipe konflik kelompok maupun konflik oraganisasi. Karena konflik tipe ini berbentuk konfrontansi dengan seseorang atau lebih, maka konflik antar individu ini juga merupakan target yang perlu dikelola secara baik.

c. Konflik antara kelompok sosial

Konflik ini merupakan konflik yang banyak dijumpai dalam kenyataan hidup manusia sebagai mahluk sosial, karena mereka hidup dalam kelompok-kelompok. Ada lima tipe kelompok sosial kategori statistik, kategori sosial, kelompok sosial kelompok tidak teratur, dan organisasi formal.

(11)

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi, kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi.

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi.

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat konflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua bagan yang terpisah, yakni: 1) fase keamanan jangka pendek (security-building phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta 2) fase keamanan jangka panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.

6. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

(12)

pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Dalam ranah interaksi tersebut, konflik kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti dikemukakan Novri dengan konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik antar negara (interstate conflict).

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Konflik yang mengambil bentuk kekerasan merupakan proyeksi dari bagian-bagian gelap yang ditekan ke dalam bagian tidak sadar, yang kalau direpresi akan sangat berbahaya, bersifat jahat kemudian diproyeksikan pada orang lain (Friedmad, 1988: 22).

Suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau kelompok terhalang upayanya dalam mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan paham terhadap tujuan itu sendiri, nilai-nilai sosial dan norma-norrma sosial, maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Terlebih lagi sanksi atas pelanggaran yang terjadi di atas nilai dan norma tidak dilaksanakan dengan adil, konflik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan.

(13)

Madjid, diantara sebab konflik ialah pandangan dunia atau vision de monde yang keliru (Madjid, 1993:3).

Konflik sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena beberapa faktor seperti: Pertama, perbedaan pendirian atau perasaan individu. Kedua, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Ketiga, Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik. Keempat, perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat (Friedmad, 1988: 97-106).

Adapun faktor-faktor yang menjadi akar terjadinya konflik sosial menurut adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan pertikain atau bentrokan antara mereka. b. Perbedaan pola kebudayaan, seperti perbedaan adat istiadat, suku

bangsa, agama bahasa, paham politik, pandangan hidup dan budaya daerah lainnya, sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan bentrokan di antara anggota masyarakat tersebut.

c. Perbedaan status sosial, seperti kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya,merupakan factor penyebab terjadinya konflik sosial. d. Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat baik secara

pribadi maupun kelompok, seperti perbedaan kepentingan polik, ekonomi, sosial budaya, agama dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnyaa konflik sosial.

e. Terjadi perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistem nilai, akibat masuknya sistem nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, juga menjadi faktor pemicu terjadinya konflik sosial (Abu Ahmadi, 2007: 291).

(14)

sumber-sumber (competition for resources), b) ketergantungan tugas (task interdependence), c) kekaburan batas-batas bidang kerja (jurisdictional ambiquity), d) masalah status (status problems), e) masalah komunikasi (communication problems) dan f) sifat-sifat individu (individual traits)

7. Dampak-Dampak Terjadinya Konflik Sosial

Konflik dapat memiliki dampak yang positif dan negatif. Kenneth (1995) mengatakan bahwa akibat-akibat negatif dari konflik terutama terletak pada kahancuran komunikasi, keterjalinan, serta kerja sama. Sedangkan dampak positif konflik adalah menguji kemampuan individu atau kelompok untuk mempertahankan ketegarannya serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang sedang berubah.

Memperjelas pernyataan Kenneth, Abu Ahmadi (2007) meyatakan bahwa ada 2 akibat konflik sosial antara lain adalah sebagai berikut:

a. Yang bersifat konflik

1) Bertambahnya solidaritas dalam kelompok sendiri (in group solidarity).

2) Muncul pribadi-pribadi yang kuat atau tahan uji menghadapi berbagai situasi konflik.

3) Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam kekuatan seimbang. Misalnya, adanya kesadaran dari pihak-pihak yang berkonflik untuk bersatu kembali, karena dirasakan bahwa konflik yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.

b. Yang bersifat destruktif

1) Retaknya persatuan kelompok

2) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (bahwa konflik sudah berubah menjadi kekerasan);

(15)

negatif. Munculnya dominasi kelompok yang menang terhadap kelompok yang kalah.

B. Kekerasan

Berbicara mengenai kekerasan (violence) berarti kita harus membicarakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan. Douglas dan Waksler dalam Santoso (2002: 11) menjelaskan bahwa kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka atau tertutup dan baik yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, sehingga kekerasan dapat diidentifikasi menjadi: 1) kekerasan terbuka, misalnya perkelahian; 2) kekerasan tertutup, misalnya mengancam: 3) kekerasan agresif, missal untuk mendapatkan sesuatu; 4) kekerasan defensif, misal untuk perlindungan.

Mahatma Gandhi berpendapat bahwa kekerasan bisa dihapus kalau kita tahu penyebabnya. Penyebab kekerasan terletak pada struktur yang salah, bukan pada aktor jahat di pihak lain (Santoso, 2002, 168).

Galtung (2002) menyatakan bahwa kekerasan didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara potensial dan yang aktual artinya apa yang bisa atau mungkin diaktualisasikan harus direalisasikan. Galtung juga membedakan antara kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, dan memperlihatkan fluktuasi hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak.

(16)

Gurr dalam Istania (2009: 3-4) membagi tiga macam kategori kekerasan pada satu wilayah ataupun bangsa berdasarkan magnitude atau daya rusaknya, yaitu: a) kerusuhan, ciri spontan, tidak terorganisir dengan tingkat partisipasi populer cukup besar, termasuk mogok berujung kekerasan, kerusuhan, benturan politik, dan pemberontakan lokal, b) konspirasi, ciri kekerasan politik terorganisasi secara baik dengan partisipasi terbatas, terorisme skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta, dan pembangkangan militer, c) perang internal, ciri kekerasan politik terorganisir rapih dengan partisipasi luas, didesain menjatuhkan rejim atau menghancurkan negara dan disertai dengan kekerasan meluas, termasuk terorisme skala besar dan perang gerilya, dan revolusi.

Selanjutnya studi yang dilakukan Gurr dalam Surwandono (2009: 10), menguak bahwa kekerasan muncul sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif, yakni terdapatnya kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan (expectation) dengan sesuatu yang diperoleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan antara ekspektasi dengan apa yang diperoleh akan memperbesar peluang terjadinya konflik dan kekerasan.

1. Kekerasan Terkait Pemilukada

Berbicara mengenai tren kekerasan terutama kekerasan politik yang terjadi di Indonesia belakangan ini, lembaga pengkaji masalah sosial politik, Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 Pemilukada yang diselenggarakan pada 2010 telah diwarnai aksi kekerasan. Misalnya kekerasan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan, dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. Temuan lembaga ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam Pemilukada dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilukada (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak independen dan tidak cerdas, serta konflik antar peserta Pemilukada.

(17)

ada 13 kasus kekerasan. Penyebab dari kasus kekerasan tersebut antara lain, kemarahan masyarakat atas politik kekerabatan (incumbent mengajukan keluarga sebagai kandidat), buruknya tata pemerintahan, termasuk kasus di Kabupaten Kaur Bengkulu pada 27 Juni 2005, aksi kekerasan terjadi ketika muncul kekecewaan dari pasangan calon beserta pendukungnya yang kalah dalam Pilkada (sejak 2010 istilahnya menjadi Pemilukada), kemudian membakar kantor KPUD, gedung DPRD, kantor Kecamatan Kaur Selatan, termasuk menghancurkan dokumen-dokumen, termasuk membakar rumah dinas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama dan Dinas Pekerjaan Umum, dlsb. Kekerasan juga terjadi dalam Pilkada di Kabupaten Tuban Jawa Timur, setelah pelaksanaan Pilkada pada 29 April 2006, yaitu pembakaran gedung-gedung milik pemerintah juga asset pribadi milik salah satu calon (incumbent), penyebabnya ada calon yang merasa menang dan merasa di atas angin ternyata kalah oleh incumbent, penyebab lainnya adalah kekecewaan para elit lokal termasuk pengusaha lokal yang sudah lama termaginalkan oleh keluarga incumbent (Marijan, 2007:4 & 6).

Sementara itu, hasil penelitian LIPI terhadap Pilkada di 491 kabupaten/kota antara Juni 2005 hingga 2008, menemukan sekitar 10-15% Pilkada telah diwarnai aksi kekerasan. Konflik yang muncul dalam Pilkada tersebut lebih banyak karena faktor ketidak-puasan terhadap kepala daerah terpilih, yang diduga melakukan praktek politik uang.

Sedangkan beberapa kasus kekerasan yang muncul saat penyelenggaraan Pemilukada sejak 2010, menurut data dari Crisis Group Asia Report N°197 adalah:

 Kasus di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (10

(18)

terhembus. Mereka terus meminta polisi untuk menyelidiki keabsahan ijazah Zulkifli. Ketika mereka hendak merangsek ke dalam kantor KPUD, polisi menahan mereka dengan hantaman tongkat dan tembakan peringatan serta gas air mata.

 Kasus di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (12 Mei

2010). Ribuan warga memblokir jalan menuju ibukota kabupaten di Larantuka sehinga anggota KPU pusat dan propinsi tak bisa masuk kota. Mereka tadinya ingin mengumumkan kebijakan menganulir keputusan KPUD Kabupaten Flores Timur yang mendiskualifikasi pencalonan incumbent Simon Hayon. Para demonstran menuntut agar proses Pemilukada diteruskan tanpa sang bupati dan merasa pihak pusat ingin mengintervensi politik tingkat lokal. Pada tanggal 14 Mei 2010, pendukung-pendukung Simon memaksa KPUD untuk mengikuti keputusan KPU yang lebih tinggi dan polisi menemukan mereka membawa bom Molotov. Pada bulan Juli 2010, KPU memberhentikan empat dari lima orang anggota dari KPUD yang menolak keputusan KPU itu. Pada tanggal 1 November 2010, KPUD baru dibentuk dengan dengan mandate untuk melaksanakan Pemilukada pada tahun 2011.

 Kasus di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (12 Mei

2010). Ratusan demonstran merusak kantor KPUD saat proses rekapitulasi setelah mendengar kabar bahwa incumbent Imran menang besar pada pemilu tanggal 8 Mei 2010. Mereka menuduh sang bupati telah menyalahgunakan jabatan dan membagi uang kepada pemilih. Pada bulan Juni, lawan politik Imran membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perlu dilakukan pemilihan ulang namun Imran tidak didiskualifikasi. Dalam pemilihan ulang 11 Juli 2010, sang incumbent malahan mendapatkan suara yang lebih banyak dan ini memicu protes yang lebih besar pada tanggal 19 Juli 2010 yang berakhir dengan bentrok antar pendukung.

 Kasus di Kota Sibolga, Sumatra Utara (15 Mei 2010). Empat kantor

(19)

DPR Syarfi Hutauruk yang berpasangan dengan menantu bupati yang tak dapat maju lagi. Pendukung Afifi menuduh sang bupati memakai jabatannya untuk menghalangi-halangi pencalonan wakilnya itu namun protes ini hanya terdengar setelah quick count meramalkan Syarfi unggul.

 Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (12 Mei 2010).

Warga merusak kantor KPUD dan Panwaslu setelah mereka mendengar lapo ran sementara yang mengindikaskan kemenangan untuk Suryadman Gidot pada pemungutan suara tanggal 19 Mei 2010 padahal wakil bupati itu diyakini melakukan tindakan korupsi. Pada tanggal 18 Mei 2010, seorang pendukung Suryadman tertangkap tangan membagikan uang kepada pemilih.  Kasus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (21 Mei 2010).

Sebuah mobil milik KPUD dibakar orang tak dikenal setelah ada berita yang meramalkan Yasir Ansyari, putra bupati yang tidak bisa maju lagi, gagal mendapatkan 30 persen dari suara yang dibutuhkan untuk mencegah putaran kedua walau ia unggul dari calon-calon lainnya. Dalam putaran kedua, Yasir kalah dari Henrikus yang sebenarnya menempati urutan kedua di putaran pertama.

 Kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (24

Mei 2010). Polisi melontarkan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara setelah demonstran menyerang mereka dengan batu. Mereka menuntut penghentian acara misi visi karena jagoan mereka tak diloloskan setelah terjadi suatu kebingungan terhadap keabsahan dukungan partai. Ada dua pihak yang mengatasnamakan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) yang mendukung dua calon yang berbeda, sang incumbent dan bakal calon yang tidak lolos itu. KPUD menerima pendukungan PPRN untuk incumbent dan memutuskan calon yang lain gagal memenuhi syarat dukungan.

 Kasus di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (9

(20)

Nggoang. Pada saat itu, laporan sementara menyebutkan wakil bupati Agustinus Dula unggul di pemungutan suara tanggal 3 Juni 2010.

 Kasus di Kabupaten Samosir, Sumatra Utara (10 Juni 2010).

Ratusan pendukung seorang calon menghalangi kepergian bis-bis yang mengangkut 150 mahasiswa ketika mereka ingin keluar dari wilayah kabupaten setelah ikut pemungutan suara tanggal 9 Juni 2010. Para pendukung tersebut menuduh bupati incumbent, Mangindar Simbolon telah membayar mahasiswa mahasiswa tersebut untuk menjadi pemilih gelap walau sebenarnya mahasiswa-mahasiswa tersebut merupakan penduduk Samosir yang tengah menempuh studi di Medan. Sang bupati mengaku mengongkosi perjalanan mereka kembali ke kampung halaman.  Kasus di Kabupaten Kepulauan Anambas, Riau Islands (11 Juni

2010). Demonstran anti incumbent, melempar batu ke sebuah gedung yang dipakai KPUD untuk melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 26 Mei 2010. Mereka meruntuhkan pagar ketika memaksa masuk gedung pertemuan KPUD. Proses penghitungan yang lambat terjadi karena menunggu datangnya semua kotak suara ke tangan KPUD dari berbagai tempat di kabupaten yang terletak di pulau-pulau terpencil yang memiliki infrastruktur yang buruk. Padahal, berita bahwa bupati incumbent Tengku Mukhtaruddin telah menang sudah tersebar beberapa jam setelah pemungutan suara. Unjuk rasa sudah berlangsung sejak tanggal 27 Mei 2010 menuduh bupati melakukan penggelembungan suara dan menuntut hasil pemilu dibatalkan. Intensitas terus bertambah seiiring lambannya proses penghitungan yang memicu kecurigaan.

 Kasus di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 25 Juni dan

(21)

lempar batu sampai polisi berusaha melerai. Kejadian-kejadian bermunculan secara sporadis termasuk pembakaran bis, bangunan dan kantor cabang Golkar oleh orang-orang tak dikenal serta perkelahian antar pendukung setelah incumbent dilantik tanggal 14 Agustus 2010 yang meletup hingga bulan September. Keluarga Limpo adalah keluarga yang dominan dalam perpolitikan Sulawesi Selatan. Kakaknya Ichsan, Syahrul Limpo, adalah guberner Sulawesi Selatan sedangkan saudara-saudaranya yang lain menduduki kursi di DPRD. Mereka sebagian besar berasal dari Partai Golkar.

 Kasus di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku (20 Juli 2010).

Pendukung bupati Abdullah Vanath dan lawannya Mukti Keliobas yang menjabat ketua DPRD berbaku hantam di jalanan setelah sang incumbent menang mutlak pada pemungutan suara 7 Juli 2010. KPUD menolak permintaan sang penantang untuk penghitungan ulang di pulau terpencil Gorom dimana penyelenggara pemilu ditenggarai telah menggelembungkan suara. Namun, Mukti melapor ke KPU propinsi yang akhirnya memerintahkan KPUD untuk memenuhi tuntutan itu. Ketika KPUD memutuskan untuk tak menggubrisnya, pendukung Mukti menyerang markas lawan dan membakar kantor-kantor pemerintahan. Pada bulan Agustus 2010, MK menolak tuntutan penghitungan ulang itu dan memastikan kemenangan Vanath.  Kasus di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah 23-24 September

(22)

22 September 2010. Keputusan kedua yang berasal dari Jakarta ini memperkuat persepsi bahwa kekuatan pusat sedang mengintervensi urusan daerah dan memicu pembakaran monumen Adipura yang berada di ibukota kabupaten. Lembaga- lembaga setempat menolak melaksanankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu karena takut menjadi target dari kemarahan kelompok Sugianto sehingga daerah itu dipimpin seorang penjabat sementara sampai sekarang yang tak memiliki hak menentukan anggaran. Pejabat di daerah telah meminta Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi, namun ia masih enggan. Inilah satu-satunya kasus kekerasan yang diakibatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.

 Kasus di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (24 Oktober

2010). Sebuah bom meledak di kantor KPUD tengah malam, beberapa jam setelah polisi mendorong mundur demonstran yang menggugat kemenangan bupati petahana Ferry Zulkarnain secara sporadis. Salah satu anggota tim sukses dari sang bupati divonis telah melakukan pembelian suara lima hari sebelum pelantikan tanggal 9 Agustus. Pengadilan memutuskan Ferry tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut.

 Kasus di Kabupaten Karo, Sumatra Utara (1 November 2010).

Ratusan orang membakar ban di jalan dan melempar batu ke arah hotel dimana KPUD sedang melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 27 Oktober 2010. Para demonstran itu menuntut pemilu ulang dan menuduh kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak telah melakukan pembelian suara. Polisi melontarkan gas air mata dan menggunakan tongkat untuk membubarkan massa. Pada tanggal 6 November 2010, sebuah gedung pemerintahan dibakar ditengah malam. Sengketa ini telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga putaran kedua menjadi tertunda.

2. Kekerasan Rutin di Provinsi Rawan Konflik

(23)

mengakibatkan ribuan korban tewas sebelum terselenggaranya perjanjian damai pada 2005, dan konflik di Papua yang masih berlanjut dengan intensitas kekerasan rendah. Konflik etnis di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Jakarta juga telah merenggut ribuan korban jiwa. Kekerasan antaragama-etnis pecah pada 1999 di Maluku dan di Maluku Utara serta pada 1998 dan 2000 di Sulawesi Tengah. Aksi-aksi teroris, meski jarang terjadi, tetap memakan korban. Selain itu, berbagai wilayah telah terkena dampak dari konflik kekerasan rutin berskala kecil akibat persoalan perebutan sumber daya, masalah politik, dan identitas.

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, selama 5 tahun terakhir, data menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Pada enam provinsi rawan konflik, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat terdapat tingkat konflik kekerasan rutin yang tinggi – yang seringkali berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), demonstrasi politik yang berujung ricuh, pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan. Dari bentuk-bentuk konflik kekerasan tersebut, sejak 2011-2015 terjadi rata-rata 2.000 insiden konflik kekerasan per tahun. Kekerasan pada enam provinsi yang dihuni 4 persen dari penduduk Indonesia tersebut telah menelan korban tewas lebih dari 600 orang, 6.000 korban luka-luka, dan lebih dari 1.900 bangunan hancur. Mengingat meluasnya kekerasan berskala besar pada masa lalu diawali oleh insiden kekerasan berskala kecil, tingginya tingkat kekerasan rutinmenandai potensi eskalasi konflik (Conflict and Development Program, 2015: 18-23).

(24)

Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Dampak signifikan dan meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan menekankan perlunya pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan pencegahan konflik dalam agenda kebijakan.

Sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir. Bentuk dari insiden kekerasan yang marak terjadi pun berubah. Meski kerusuhan dan bentrokan antarkelompok masih terjadi, frekuensinya telah berkurang, dan insiden penganiayaan dan perkelahian yang paling banyak menyebabkan korban tewas pada beberapa tahun terakhir. Isu penghakiman atas isu moral menyebabkan korban tewas terbanyak. Satu setengah dekade yang lalu, kebanyakan korban tewas akibat konflik separatis atau konflik antarsuku-agama berskala besar. Sebaliknya, antara 2012 dan 2016, insiden terkait identitas walau hanya mencapai 2 persen dari total insiden konflik, tetapi menyebabkan 10 persen dari korban tewas akibat konflik (Conflict and Development Program, 2015: 24-40). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah insidennya lebih kecil, konflik kekerasan terkait identitas memiliki risiko korban tewas yang tinggi. Isu-isu administratif, sumber daya, dan politik juga ada, namun proporsi korban tewas yang ditimbulkannya kecil.

(25)

seperti pencurian, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, dan pengerusakan (11 persen dari jumlah korban tewas); dan juga reaksi kekerasan karena rasa tersinggung atau malu (27 persen dari jumlah korban tewas). Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan (Conflict and Development Program, 2015: 41-47).

Bentuk insiden kekerasan yang terjadi juga mengalami perubahan. Kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang tadinya dominan, terus terjadi pada kurun waktu 2011-2015, namun dalam jumlah kecil. Justru penganiayaan dan perkelahian merupakan bentuk yang paling banyak menimbulkan korban tewas akhir-akhir ini.

(26)

mengakibatkan 19 persen dari jumlah korban tewas di Aceh selama periode 2011-2015 (Conflict and Development Program: 2015: 48-55).

Adapun respon aparat keamanan terhadap konflik kekerasan masih lemah. Hanya 7 persen konflik kekerasan yang terdata dalam database selama 2011-2015 ditangani secara langsung oleh pihak militer atau kepolisian, termasuk Brimob. Konflik antarunsur atau elemen dalam tubuh militer atau kepolisian, yang sempat menghambat efektivitas penegakan hokum selama periode konflik berskala tinggi, terus terjadi dan menyebabkan insiden yang mematikan.

Untuk semua insiden kekerasan, ketika aparat berupaya melakukan intervensi, intervensi tersebut berhasil menghentikan tindak kekerasan dalam 66% dari kasus yang ditangani. Akan tetapi, intervensi yang diupayakan untuk menghentikan tindakan pengeroyokan dan kerusuhan kurang berhasil, dengan tingkat keberhasilan hanya 32% untuk insiden pengeroyokan dan 57% untuk insiden kerusuhan (Conflict and Development Program, 2015: 52-58).

Konflik antarunsur satuan keamanan, yang sempat menghambat efektifitas penegakan hukum selama periode konflik berskala besar, masih berujung pada insiden mematikan. Dari tahun 2011 hingga 2015, data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015), mencatat 107 insiden kekerasan antara anggota polisi (termasuk Brimob) dan anggota militer yang mengakibatkan 24 orang tewas.

Terdapat variasi yang besar antarprovinsi dalam frekuensi dan dampak konflik kekerasan selama beberapa tahun terakhir. Papua tercatat memiliki tingkat tertinggi konflik kekerasan, disusul Maluku. Selama 2011-2015, dilaporkan 40 insiden kekerasan separatis di Papua, yang mengakibatkan korban tewas 30 orang. Sebaliknya terdapat 3.308 insiden konflik kekerasan yang terkait dengan isu lain, yang mengakibatkan 318 orang tewas (Conflict and Development Program, 2015: 46-66).

(27)

jumlah insiden tetapi tingginya tingkat kekerasan rutin dalam konteks Papua yang disertai angka ketegangan sosial terkail gerakan separatis, perasaan anti-pendatang, isu kesukuan dan isu eksploitasi sumber daya, menandai risiko eskalasi konflik.

Peningkatan paling drastis pada frekuensi konflik kekerasan terjadi di Maluku. Di Maluku, lokasi konflik kekerasan terkait agama paling besar di Indonesia akhir-akhir ini. Jumlah insiden konflik kekerasan terus-menerus meningkat sejak 2002. Yang paling sering terjadi adalah insiden terkait isu moral/tersinggung, tetapi juga terjadi sejumlah insiden konflik akibat perebutan sumber daya dan persoalan administratif.

Kekerasan separatis di Aceh berakhir dengan penandatanganan perjanjian damai pada 2005, namun konflik kekerasan rutin terus meningkat, dan seringkali terkonsentrasi di wilayah yang ‘panas’ selama konflik separatis. Pada tahun 2011 terjadi 193 insiden konflik kekerasan, sedangkan pada 2015 jumlah insiden konflik telah meningkat menjadi 468 insiden. Isu moral/tersinggung dan perebutan sumber daya adalah isu dominan. Kebanyakan insiden pascaperjanjian damai di Aceh terjadi di kabupaten yang mengalami tingkat kekerasan tertinggi selama konflik separatis yaitu: Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Sedangkan kawasan Banda Aceh dan Lhokseumawe mengalami kekerasan yang relatif lebih sedikit ketika konflik separatis karena keberadaan aparat dalam jumlah besar.

(28)

mengalami konflik kekerasan di Provinsi Sulawesi Tengah, mengungkapkan bahwa 58 persen insiden konflik kekerasan di Palu sejak 2006 terjadi dalam bentuk penganiayaan, sedangkan di Poso bentuk kekerasan yang menonjol dalam periode yang sama adalah serangan teror yang menggunakan alat peledak (43 persen). Variasi antarwilayah dalam provinsi tersebut menandakan dengan jelas peran factor lokal dalam pola konflik (Conflict and Development Program, 2015: 60-74).

Jumlah konflik kekerasan di Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Di luar Provinsi Aceh, jumlah konflik kekerasan rutin meningkat secara cukup signifikan. Setelah penandatanganan perjanjian damai di Aceh, jumlah insiden kekerasan rutin justru meningkat dari 200 kasus pada 2011 menjadi lebih dari 500 kasus pada 2015. Meski jumlah korban tewas akibat kekerasan komunal berskala besar telah berkurang, konflik kekerasan rutin yang makin meluas berdampak signifikan. Sejak 2011, terdapat rata-rata 200 korban tewas dan 2.400 korban luka-luka setiap tahun akibat konflik di enam provinsi, yang dihuni hanya 4 persen penduduk Indonesia (Conflict and Development Program, 2015: 55-59). Adapun studi lain, yang dilakukan di Jawa Timur, NTT, Lampung, Bali, dan Jawa Barat, menunjukkan bahwa konflik kekerasan serupa juga terjadi di provinsi-provinsi selain keenam provinsi rawan konflik tersebut (Lihat ICG 2003; Barron dan Madden 2004; Welsh 2008; serta Barron, Diprose dan Woolcock 2011).

(29)

Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat), tingkat, bentuk dan dampak konflik kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa signifikannya faktor lokal dalam mendorong terjadinya insiden kekerasan.

C. Implikasi Kebijakan

Untuk membahas kasus-kasus kekerasan politik dalam Pemilukada, menurut Ritzer (2003), ada tiga paradigma dalam sosiologi yang dapat dipakai, yaitu: 1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu, 2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat, 3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan. Dengan demikian, paradigma yang paling cocok untuk dipakai dalam pembahasan kasus-kasus kekerasan mengenai Pemilukada adalah paradigma definisi sosial. Sedangkan teori yang mendukung pembahasan ini adalah teori tindakan komunikasi dari Jurgen Habermas.

(30)

Weber, bahwa ada tindakan dasar manusia yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara subyek yang saling berinteraksi. Kemudian dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas dalam Hardiman (1993: 116) dengan paradigma komunikasi, mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat.

Sejak Pemilukada digelar di kabupaten/kota di Indonesia, kerusuhan dan kekerasan acapkali terjadi atau bahkan sudah menjadi bagian integral dari pelaksanaan Pemilukada. Kondisi tersebut disebabkan karena penyelenggara Pemilukada (KPUD) tidak melakukan komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta/calon/kandidat, sehingga terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD dapat dikatakan merupakan lembaga yang super body.

Hal ini menyebabkan massa pendukung calon/kandidat melakukan protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah kerusuhan sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang ada hanya informasi-informasi yang tidak jelas. Dengan demikian kerusuhan sosial terkait pelaksanaan Pemilukada sebenarnya merupakan akibat ketidakdewasaan rakyat dalam menyikapi suatu komunikasi yang macet, yang sekaligus menggambarkan level rasionalitas pelakunya dalam merespon kondisi tersebut.

Di sisi lain, Habermas dalam Hardiman (2009: 128) menjelaskan bahwa ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat agar warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif, sebab ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.

(31)

Ruang publik tidak hanya diwujudkan dalam bentuk fisik, berupa sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan merupakan usaha warga untuk menjalin komunikasi diantara mereka. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik harus mudah diakses semua orang. Dalam konteks Pemilukada, rakyat yang terlibat dalam hingar bingar peristiwa politik, masih berperan sebagai objek bukan subjek. Tingkat partisipasi rakyat dalam peristiwa politik ini sangat rendah karena posisinya hanya sebagai pelengkap jika dibandingkan dengan posisi calon/kandidat yang sangat dominan dan dikuasai oleh kapitalistik. Dengan demikian rakyat yang terlibat dalam Pemilukada, jika dikaitkan dengan teori masyarakat komunikatif Habermas, tidak memiliki power reflective yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk bertindak secara otonom dalam ruang politik yang seharusnya dapat menciptakan kesepahaman bagi kepentingan bersama, atau meyusun sebuah konsensus. Konsensus hanya dapat dilahirkan jika rakyat mampu mengembangkan masyarakat komunikatif yang memiliki otonomi.

Adapun meningkatnya konflik kekerasan rutin berskala kecil selama beberapa tahun terakhir, dengan jumlah dampak yang signifikan, membawa resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian menguat dari pemerintah dan masyarakat tentang perlunya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif.

(32)

Program (2011-2015), memberikan penegasan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut seyogyanya mempertimbangkan isu dan upaya kunci berikut ini:

1. Secara sistematis mengupayakan penyelesaian faktor-faktor struktural di balik konflik kekerasan besar pada masa lalu sambil tetap memprioritaskan pengelolaan secara efektif konflik kekerasan rutin di masa mendatang.

2. Menetapkan pembagian tugas yang secara lebih jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara pemerintah dan masyarakat madani, dalam mencegah konflik kekerasan.

3. Mengikutsertakan pemerintah daerah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pencegahan dan pengelolaan konflik agar persoalan-persoalan lokal ikut dipertimbangkan secara memadai dalam kerangka kebijakan nasional.

4. Menginformasikan lembaga/institusi keamanan formal akan perkembangan dinamika konflik di wilayahnya dan memperkuat kemampuan mereka agar efektif dalam menangani kekerasan. 5. Memperkuat mekanisme-mekanisme informal untuk

penyelesaian sengketa dan akses terhadap keadilan di tingkat local dengan melatih pemimpin local mengenai cara-cara resolusi konflik untuk mencegah eskalasi sengketa menjadi konflik kekerasan.

6. Terus melakukan program pembangunan perdamaian ( peace-building) di provinsi-provinsi pascakonflik, secara khusus juga di Papua mengingat wilayah ini mengalami tingkat kekerasan tinggi dengan konteks penuh ketegangan yang sedang meningkat.

(33)

nonpemerintah sebaiknya mencakup pengumpulan dan penganalisa data sehinggga dapat menjadi panduan bagi penanganan konflik yang dilakukan pemerintah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan adalah: 1) kekerasan terkait penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin seperti bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia.

Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat dalam penyelengaraan Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme.

(34)

pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya.

Data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015) mencatat bahwa sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir.

Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan.

B. Saran

Terkait dengan kekerasan Pemilukada, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan atau kemacetan komunikasi antar lintas stakeholder politik yang akhirnya menimbulkan kekerasan yang menjurus ke anarkisme secara struktural. Oleh karena itu, berdasarkan teori Habermas, maka konsep masyarakat komunikatif menjadi alternatif yang mampu melahirkan konsensus baru yang harus ditaati dalam proses politik untuk menguraikan kekerasan dan kerusuhan social dalam Pemilukada.

(35)

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain: a) investasi pada kegiatan pemantauan konflik secara sistematis, khususnya di wilayah rawan konflik sebagai instrumen pendukung sistem peringatan dini, b) upaya-upaya peningkatan kemampuan para penegak hukum agar efektif menanggulangi dan menangani kekerasan, c) penguatan mekanisme lokal dalam menyelesaikan sengketa untuk meningkatkan kohesi sosial masyarakat dan mencegah eskalasi konflik, d) investasi terus-menerus pada program pembangunan perdamaian (peace-building) di wilayah pascakonflik, dengan mengedepankan kepemimpinan lokal, e) partisipasi dan keterlibatan penuh para aktor lokal dalam perumusan kerangka kebijakan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoeddin, and Rizal Panggabean (2008). Creating datasets in information-poor environments: patterns of collective violence in Indonesia, 1990-2003. Journal of East Asian Studies 8: 361-394.

Bridget Welsh (2008). Local and national: keroyakan mobbing in Indonesia. Journal of East Asian Studies 8 (3): 473-504.

Camara, Dom Helder. (2000). Spiral kekerasan. Terjemahan: Komunitas Apiru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Conflict and Development Program (C&D) (2008). “Using newspapers to understand variation in violent conflict: towards a database of violence in Indonesia.” Policy Brief: Understanding Conflict Dynamics and Impacts in Indonesia No. 1. Jakarta: World Bank.

(36)

Echols dan Hassan Shadily. (1990). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Friedmad, Maurce. (1988). Menggapai dunia damai. Diterjemahkan S. Maiman dkk dengan judul asli: The power of violence and the power of non-violence. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Gerry van Klinken (2007). Communal violence and democratization in Indonesia: small town wars. London: Routledge

Gurr, Ted Robert. (1998). Early warning of ethnopolitical rebellion: in preventive measures. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

__________ and Barbara Harff. (1996). Early warning of communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations University Press.

Habermas, J. (1971). Toward a rational society. London: Heinemann.

__________. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi. Alih Bahasa: Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.

Hardiman, Fresco Budi. (1993). Menujumasyarakat komunikatif. Yogyakarta: Kanisius

__________. (2009). Demokrasi deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

__________. (2010). Ruang publik. Yogjakarta: Penerbit Kansius.

International Crisis Group (ICG) (2003). “The perils of private security in indonesia: guards and militias on Bali and Lombok.” Asia Report No. 67. Jakarta/Brussels: ICG.

Istania Ratri. (2009). Potensikonflik etnis-religius di tingkat lokal. bahan ajar mata kuliah dinamika politik lokal. Jakarta: STIA LAN.

Jacques Bertrand (2004). Nationalism and ethnic violence in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press

John T. Sidel (2006). Riots, pogroms, jihad: religious violence in Indonesia. Ithaca, N.Y.:Cornell University Press

LDOCE2. (1987). Longman dictionary of contemporary english, new edition. UK: Longmans Group UK Limited

Madjid. (1993). Pandangan dunia alqur’an: ajaran tentang harapan kepada allah dan seluruh ciptaan. Alqur’an dan tantangan modernitas, cet. i. Yogyakarta: SIPRESS, 1993, h. 3

Marijan, Kacung. (2007). Resiko politik, biaya ekonomi, akuntabilitas politik, dan demokrasi lokal . Paper. Jakarta: Komunitas

Indonesia untuk Demokrasi

(37)

local conflict dynamics in Indonesia. New Haven: Yale University Press

Patrick Barron and David Madden (2004). Violence and conflict resolution in ‘non-conflict’ regions: the case of Lampung, Indonesia. Indonesian Social Development Paper No. 2. Jakarta: World Bank

Ritzer, George. (2003). Sosiologiilmu pengetahuan berparadigma ganda. ed.1., cet.4. Alih Bahasa: Alimandan, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada

Santoso, Thomas. (2002). Teori-teori kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Siahaan, Hotman (et al.). (1983). Struktur sosial kebudayaan masyarakat tepian kota. Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga.

Surwandono. (2010). Studi EWS dalam Pemilukada. surwandono.staff.umy.ac.ic. Diakses 13 Juni 2016.

Referensi

Dokumen terkait

kelompok/umat Islam PDIP Kabupaten Klaten lebih mengedepankan program-program untuk kebutuhan umat Islam khususnya dikalanga pondok pesantren salah satunya dengan mengalokasikan

Pengalaman Langsung.. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati,

Yang disebut sebagai penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang

Service worker akan meneruskan setiap request berjenis GET dari halaman web ke server dalam kondisi online, lalu menduplikasi respons server dan disimpan ke

Hasil pengujian hipotesis kedua yang menguji pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Intellectual Capital Disclosure mengungkapkan bahwa Kinerja Keuangan tidak berpengaruh

gigas yang telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 13 karakter yang tidak berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, De- mak, Surabaya,

Kata-kata ―...orang lain dengan orang lain...‖ dalam Pasal 296 KUHP tersebut tertuju pada PSK dan pelanggan di lokasi ―X‖ yang perbuatan cabul keduanya dimudahkan oleh

Dari hasil uji paired sample t-test yang dilakukan, diperoleh nilai t- hitung yang lebih besar dari t-tabel dan nilai signifikan yang lebih kecil dari 0.05, hal ini menunjukkan