• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

9.2. Implikasi

Fenomena mobilitas penduduk Desa Karacak, meskipun saat ini belum marak terjadi, namun seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan penduduk perempuan Desa Karacak, tidak menutup kemungkinan mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa akan menjadi suatu fenomena yang marak terjadi. Hal ini terkait dengan faktor penahan yang dialami oleh para penduduk perempuan Desa Karacak dalam melakukan mobilitas penduduk ke luar desa adalah ketidaksesuaian karakteristik pribadi dalam memenuhi sifat selektivitas migran. Oleh karena itu, ketika kapasitas pribadi ditingkatkan dengan peningkatan pendidikan, bahkan sekarang sudah ada penduduk perempuan Desa Karacak yang melanjutkan kuliah di luar desa, maka bukan tidak mungkin faktor penahan tersebut akan teratasi. Pekerjaan yang mereka dapatkan di luar desa pun akan memiliki kualitas yang lebih baik dari para pendahulunya, sehingga status ekonomi keluarga mereka di desa akan meningkat, dan hal ini bisa menguatkan faktor pendorong dan penarik mobilitas ke luar desa bagi penduduk perempuan lainnya. Dengan demikian, Desa Karacak berpotensi menjadi desa pengirim migran di masa yang akan datang

Faktor-faktor di desa yang masih bersifat positif seperti ketersediaan sumber daya alam yang masih melimpah dan potensi kependudukan yang masih kekeluargaan perlu dijadikan modal dalam pengembangan desa, sehingga dapat meminimalisir faktor pendorong dan penarik mobilitas penduduk perempuan di

masa yang akan datang saat faktor-faktor penahan yang berasal dari karakteristik pribadi yang tidak sesuai sudah mulai terlewati. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut perlu diadakan upaya pemberdayaan bagi perempuan di pedesaan dalam rangka meningkatkan kapasitas dirinya tanpa harus pergi meninggalkan desa.

DAFTAR PUSTAKA

Adioetomo, SM & Wiyono, NH 2003, ‘Isu dan Prospek Ketenagakerjaan dan Mobililtas Penduduk di Indonesia’, Warta Demografi, Tahun 33, No.3: 21-27.

Desa Karacak, 2010. Daftar Isian Data Profil Desa dan Kelurahan. Bogor: Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bogor. Effendi, Tadjuddin N. 1986. Perilaku Mobilitas dan Struktur Sosial Ekonomi

Rumah Tangga: Kasus Dua Desa di Jawa Barat. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Emalisa, ‘Pola dan Arus Migrasi di Indonesia’

diunduh pada 30

April 2010, pukul 20.30

Giyarsih, SR & Listyaningsih, U, ’Dampak Non Ekonomi Migrasi Tenaga Kerja

Wanita ke Luar Negeri di Daerah Asal.’

diunduh tanggal 30

April 2010, pukul 21.00.

Goldsheider, Calvin. 1971, Populasi, Modernisasi, dan Struktur Sosial, penerjemah Nin Badi Sumanto, Jakarta: CV Rajawali.

Hasan, M Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hidayana, Irwan M. 2004. ’ Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia

Tenggara’, Jurnal Perempuan 36, No. 36, hal. 91-107.

Hugo, Graeme J. 1981, Population Mobility in West Java.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Koentjaraningrat. 1965, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Lee, Everett S. 1984. Suatu Teori Migrasi, penerjemah Hans Daeng, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Mantra, Ida B 1994, ’Mobilitas Sirkuler dan Pembangunan Daerah Asal’, Warta Demografi No. 3 : 33-40.

Nasution, S. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara Noer, Khaerul U, ‘Perempuan dan Migrasi (Studi Mengenai Migrasi Individual

Perempuan Madura di Bekasi).’

Diunduh tanggal 5 Mei 2010, pukul 20.00.

Rahardjo, Yulifta. 1997, ’Aspek Gender dalam Pengambilan Keputusan untuk Migrasi’, dalam Budaya Kepeloporan dalam Mobilitas Penduduk, Jakarta: Puspa Swara, hal.83-93

Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Reviani, Elvina. 2006, Faktor Penyebab dan Dampak Migrasi Sirkuler di Daerah Asal (Kasus Desa Pamijahan, Kabupaten Bogor). Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rusli, Said 1996, Pengantar Ilmu Kependudukan, Jakarta: LP3S.

Saefullah, Asep D 1994, ‘Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan Studi Kasus di Jawa Barat’, PRISMA, 7 Juli : 35-47.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi. 2004, ’ Migrasi Perempuan: Respons Lokal dan Alternatif Kebijakan’,

dalam Dinamika Kependudukan dan Kebijakan, Yogyakarta, hal 121-

138.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Standing, Guy. 1985. Konsep-Konsep Mobilitas di Negara Sedang Berkembang. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Suharto, Edi 2005,’Permasalahan Pekerja Migran’ dalam Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: ADITAMA, hal 177.

Wahyuni, Ekawati S. 2000, ’ Migran Wanita dan Persoalan Perawatan Anak’, Jurnal Sosiologi Indonesia, No. 04, hal. 12-23

Wahyuni, ES & Muljono, P. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wulan, TR 2007, ’Pengetahuan dan Kekuasaan: Penguatan Remitan Sosial sebagai Strategi Pemberdayaan Buruh Migran Perempuan Indonesia’, Warta Demografi Tahun 37, No. 2: 8-20.

Abstract

Nowadays there is a composition change in quantity of population mobility between men and women, especially international migration in this era. Women have a lot of considerations, not only internal but also external considerations to make a mobility decision. If the consideration is not support them to move, so they will not do the population mobility. This case occurred in Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Personal characteristics of women in there, are not support them to move. Beside that, the force of pull factors and push factors that can make them move is weak. The aims of this research are to know the mobility experience of woman community in Karacak and identify the resist factors that cause mobility rate of woman community in Desa Karacak is low.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Salah satu kajian menarik terkait masalah kependudukan di Indonesia adalah aspek mobilitas penduduk. Migrasi atau mobilitas penduduk merupakan salah satu bentuk perjalanan manusia modern untuk menempuh sekaligus mendapatkan kehidupan

yang lebih baik.1

Proses mobilitas penduduk atau migrasi yang kini kian marak ternyata mengalami perubahan komposisi laki-laki dan perempuan yang terlibat di dalamnya, khususnya dalam migrasi internasional. Di Indonesia, perubahan ini terjadi sejak tahun 1980-an. Jika dikaitkan dengan aspek sejarah, perubahan ini sebenarnya dimulai pada tahun 70-an ketika banyak yang menerapkan Revolusi Hijau di pedesaan Jawa, dampaknya terutama terhadap kesempatan kerja. Perempuan di desa kehilangan pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional menjadi miliknya, seperti menyiang, memotong padi, menumbuk padi, dan jual beli beras (nguyang). Salah satu strategi dalam menghadapi tantangan itu adalah melibatkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang tersedia. Hal ini terbukti dengan banyaknya perempuan desa melakukan mobilitas penduduk untuk mencari pekerjaan di luar desanya. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir ini sudah ratusan ribu perempuan kita yang meninggalkan keluarganya, kerabatnya, bermigrasi

1 KU, Noer, ’Gender-and-Migration’,

menyebrang lautan bekerja di negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke negara-negara Arab (Rahardjo, 1997). Data terbaru dari penempatan TKI tahun 2001-2004, TKI perempuan mencapai 1.113.988 orang atau 76,82 persen dari jumlah penempatan TKI yaitu 1.450.069 (Wulan, 2007).

Patut diakui perempuan dan migrasi memang pada dasarnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Chant dan Radcliffe, 1992 seperti dikutip Noer, 2008). Mobilitas penduduk yang dilakukan oleh perempuan umumnya dipicu oleh minimnya kesempatan kerja di daerah asal, atau meminjam istilah Mantra (1994), bahwa besarnya perbedaan tingkat kefaedahan antarwilayah mendorong seseorang untuk melakukan mobilisasi, baik melalui saluran-saluran yang resmi maupun yang tidak resmi. Tentu saja adanya kesenjangan ini mendorong perempuan untuk berusaha lebih mandiri guna memperbaiki kehidupannya.

Berdasarkan hasil penelitian Noer (2008), dalam melakukan mobilitas penduduk, perempuan tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor dari dalam dirinya saja, faktor situasional dan kultural kerap kali menjadi bahan pertimbangan lain yang tidak kalah dominan dalam proses berpikir perempuan untuk melakukan mobilitas penduduk atau tidak. Mantra,1998, 1999, 2001 dan Sukamdi, 2002 (seperti dikutip Setiadi, 2004) menjelaskan bahwa di beberapa daerah, seperti Cilacap (Jawa Tengah), Cianjur (Jawa Barat), Indramayu (Jawa Barat), Kulon Progo (Yogyakarta), dan beberapa daerah di Jawa Timur, tingkat mobilitas penduduk perempuannya, khususnya migrasi internasional terbilang tinggi, oleh karena itu daerah-daerah ini disebut sebagai daerah pengirim migran perempuan.

Dewasa ini mulai banyak ditemukan penelitian tentang mobilitas penduduk perempuan, seperti penelitian Sri Rum Giyarsih dan Umi Listyaningsih (2003) yang meneliti mengenai Dampak Non Ekonomi Migrasi Tenaga Kerja Wanita ke Luar Negeri di Daerah Asal, penelitian Ekawati S. Wahyuni (2000) yang meneliti mengenai Migran Wanita dan Persoalan Perawatan Anak, dan penelitian Khaerul Umam Noer (2008) yang meneliti mengenai Perempuan dan Migrasi (Studi Mengenai Migrasi Individual Perempuan Madura di Bekasi). Penelitian mengenai mobilitas penduduk perempuan ini awalnya masih sering terintegrasi dengan penelitian mengenai mobilitas penduduk laki-laki. Penelitian-penelitian ini umumnya meneliti mengenai alasan perempuan meninggalkan daerah asalnya dan pengaruh kepergian tersebut bagi dirinya, keluarganya, daerah asalnya, maupun daerah tujuannya.

Namun demikian, masih jarang sekali ditemui penelitian yang mengungkap alasan perempuan untuk tidak pergi meninggalkan daerah asalnya. Ketika dalam suatu daerah, penduduk laki-lakinya cukup banyak yang melakukan mobilitas penduduk, bahkan merambah sampai ke luar pulau, dan terdapat juga beberapa penduduk perempuan yang melakukan mobilitas ke luar desa, namun masih banyak ditemukan penduduk perempuan di desa tersebut yang memutuskan untuk tidak melakukan mobilitas penduduk seperti rekan-rekannya yang lain. Penduduk perempuan semacam ini ditemui di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Di saat begitu banyak perempuan yang terlibat dalam mobilitas penduduk, bahkan merambah pada migrasi internasional, mayoritas penduduk perempuan Kampung Cengal, Desa Karacak tetap bertahan di desa. Letak desa yang terbilang

dekat dari pusat kota Bogor, dengan akses kendaraan umum yang juga relatif mudah ternyata tidak mendorong penduduk perempuan Desa Karacak yang bertahan di desa ini untuk melakukan mobilitas penduduk ke luar desa seperti rekan-rekannya yang lain di desa tersebut.

Fakta semacam ini peneliti dapatkan saat melakukan tinjauan awal kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang berlokasi sama dengan lokasi penelitian ini.

Berawal dari fakta inilah, muncul suatu ketertarikan untuk mengkaji lebih jauh

mengenai alasan yang membuat para perempuan di Desa Karacak tetap bertahan di desa.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Penduduk perempuan Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang yang tetap bertahan di desa tentu memiliki alasan tersendiri yang menyebabkan mereka tetap tinggal di desa. Ketika penduduk laki-laki di desa tersebut bisa melakukan mobilitas penduduk ke luar desa, begitupun beberapa penduduk perempuan lain di desa tersebut bisa terlibat dalam mobilitas penduduk, namun mayoritas penduduk perempuan di desa tersebut tetap bertahan di desa.

Faktor-faktor apa yang sebenarnya menahan perempuan-perempuan tersebut untuk pergi? Padahal, penduduk laki-laki di desa tersebut cukup banyak yang melakukan mobilitas penduduk ke luar desa, begitupun beberapa penduduk perempuan lainnya juga pernah dan masih terlibat mobilitas penduduk ke luar desa. Ditambah lagi, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat secara geografis memiliki jarak yang dekat dari pusat Kota Bogor, ibukota Kabupaten Bogor, bahkan ibukota Negara Indonesia. Akses terhadap daerah tersebut pun relatif mudah, bisa dijangkau dengan angkutan umum, mobil

pribadi, atau kendaraan bermotor lainnya. Kondisi jalan yang cukup baik sangat memungkinkan terjadinya mobilitas penduduk baik laki-laki maupun perempuan. Ketersediaan faktor penghalang antara yang relatif mudah untuk dilalui ini ternyata tidak menjadikan penduduk perempuan Kampung Cengal, Desa Karacak pergi meninggalkan desanya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, yaitu:

1. Mengetahui sejarah dan pengalaman mobilitas penduduk perempuan Desa

Karacak.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menahan penduduk perempuan Desa

Karacak untuk melakukan mobilitas penduduk ke luar desa. 1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji

secara ilmiah mengenai faktor-faktor yang menjadi penahan terjadinya mobilitas penduduk perempuan ke luar desa.

2. Menambah kepustakaan ilmiah mengenai mobilitas penduduk perempuan

pedesaan.

3. Acuan dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan pedesaan bagi kalangan

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1.Konsep dan Teori Mobilitas Penduduk

Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik, dan geografis (Shryock & Siegel,1973 seperti dikutip oleh Rusli, 1996). Mobilitas penduduk horizontal atau geografis dapat dibagi menjadi mobilitas penduduk non permanen (atau mobilitas penduduk sirkuler) dan mobilitas penduduk permanen. Mobilitas penduduk non permanen adalah gerak penduduk dari satu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Mobilitas penduduk sirkuler ini dibagi menjadi mobilitas penduduk ulang-alik (commuting) dan nginap atau (mondok) di daerah tujuan (Mantra, 1994). Standing (1985) menyebutkan bahwa konsep mobilitas teritorial mencakup empat dimensi penting, yaitu: ruang, tempat tinggal, waktu, dan perubahan kegiatan. Oleh karena itu, tidak semua perpidahan bisa dikategorikan sebagai migrasi.

Perhatian terhadap fenomena gerak penduduk telah berlangsung lama, berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini pun banyak bermunculan. Teori migrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Migrasi Everett S. Lee. Teori ini mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan dengan volume

migrasi, stream dan counterstream, serta karakteristik para migran (Lee, 1984).

Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun yang jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan

dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi, dan rintangan-rintangan antara. Di tiap daerah ada tiga set faktor-faktor, yaitu:

1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau

memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor-faktor minus (-)

2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor-

faktor plus (+)

3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferent, tak punya pengaruh menolak

atau mengikat (0)

Faktor minus (-) dan plus (+) yang penulis dapatkan salah satunya adalah dari penelitian Ida Bagoes Mantra (1994), yang merumuskan faktor minus (-) sebagai berikut: kekurangan kesempatan kerja baik di bidang pertanian maupun non pertanian di desa, terbatasnya fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Adapun faktor plus (+) meliputi: menjaga tanah warisan orang tua, menunggu ayah atau ibu yang sudah tua, dan sebagainya. Keterkaitan antar faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 1:

Penghalang Antara

Sumber: Lee (1984)

Gambar 1. Faktor Tempat / Daerah Asal dan Tempat / Derah Tujuan, serta Penghalang Antara dalam Migrasi

Selain faktor penarik dan faktor pendorong yang berasal dari daerah asal maupun daerah tujuan, terdapat juga faktor perintang antara. Dalam keadaan

+ - + 0 -

- 0 - + 0

+ - 0 + 0

- + 0 - +

tertentu sangat mudah diatasi, namun kadang kala juga sulit. Jarak dan biaya transportasi dari daerah asal menuju daerah tujuan merupakan contoh dari perintang antara. Sedangkan faktor-faktor pribadi umpamanya ada orang-orang yang cepat atau lambat menerima perubahan (Rusli, 1996).

Berikut adalah faktor penarik dan pendorong terjadinya migrasi:

• Faktor penarik:

1. Adanya daya tarik (superior) ditempat daerah tujuan untuk memperoleh kesempatan kerja seperti yang diinginkan (cocok)

2. Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik

3. Kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik sesuai yang diinginkan

4. Kondisi daerah tujuan yang lebih unggul atau menyenangkan: iklim, sekolah, perumahan, fasilitas lain.

5. Daya tarik aktivitas daerah tujuan: tempat hiburan, wisata, dan lain-lain

• Faktor Pendorong:

1. Makin berkurangnya sumber daya alam dan kebutuhan akan bahan baku di daerah asal dan melimpahnya bahan baku di daerah tujuan

2. Berkurangnya kesempatan kerja di daerah asal

3. Adanya tekanan-tekanan di daerah asal (etnisitas, agama,dan lain-lain) 4. Bencana alam, wabah penyakit.

2.1.2.Pengambilan Keputusan Mobilitas Penduduk

Mobilitas penduduk yang dilakukan oleh perempuan secara garis besar didorong oleh tiga motif utama, yaitu:

1. Motif ekonomi: dorongan ini sangat kuat sekali yang disebabkan rasa ingin menghidupi keluarga dan ingin meningkatkan kesejahteraan. Bekerja di luar desa dirasa sebagai suatu bentuk strategi dalam menghadapi tantangan sempitnya kesempatan kerja di desa (Rahardjo, 1997).

2. Motif sosial: perempuan ingin bergaul dan mendapatkan pengakuan bahwa

sebenarnya dapat berupaya untuk mencari nafkah dan mempunyai status di masyarakat. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau memasuki lapangan kerja yang sesuai. Rasa ini terutama dirasakan oleh para perempuan yang memiliki pendidikan relatif lebih tinggi daripada perempuan desa pada umumnya. Wahyuni (2000) menyatakan bahwa peningkatan pendidikan perempuan telah merubah aspirasi pekerjaan bagi perempuan, yang dulunya berkisar pada sektor tradisional berubah untuk memilih pekerjaan upahan di sektor formal. Adapun sektor tersebut jarang tersedia di desa.

3. Motif budaya: Keinginan untuk hidup dan beraktifitas di kota besar, yang

mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang dari kota kecil. Di kota bisa mendapatkan segalanya dan memperoleh kebebasan untuk menikmati fasilitas-fasilitas atau produk budaya yang ada. Menurut hasil penelitian Noer (2008) beberapa perempuan pelaku migrasi mengaku bermigrasi ke kota karena sudah tidak kuat lagi menahan cercaan dari warga-warga di desanya akibat statusnya sebagai janda. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk pergi ke kota yang terkenal dengan budaya individualis dan tidak terlalu mengurusi urusan orang lain.

Motif-motif tersebut di atas mendorong perempuan untuk pergi meninggalkan desanya dan melakukan mobilitas penduduk ke daerah lain yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Dalam proses pengambilan keputusan untuk melakukan gerak penduduk bagi perempuan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi, yakni:

1. Faktor Status Perkawinan

Status perkawinan juga menjadi salah satu pertimbangan keputusan bermigrasi. Orang dengan status menikah lebih terbatas ruang geraknya

dibandingkan dengan yang berstatus belum menikah.2

2. Akses terhadap Ekonomi

Kelahiran anak pun tak jarang menghambat perempuan untuk melakukan migrasi. Wahyuni (2000) menjelaskan dalam tulisannya bahwa ketika bayi baru dilahirkan maka hanya si ibu yang diharapkan untuk mengasuhnya.

Salah satu persoalan utama ketika membahas migrasi perempuan adalah akses terhadap ekonomi. Migrasi jelas tidak hanya membutuhkan niat maupun keberanian, namun jelas membutuhkan ekonomi sebagai penopang. Membahas mengenai migrasi perempuan adalah akses terhadap ekonomi yang terdiri dari biaya perjalanan dan biaya hidup di perantauan. Para migran yang berstatus sebagai janda cerai mendapatkan kemampuan ekonomi berdasarkan harta gono- gini, adapun yang berstatus janda mati mendapatkan harta waris dari suaminya. Berbeda halnya dengan para migran yang belum menikah, dimana menopangkan kehidupannya pada orang tua. (Noer, 2008). Ketika akses ekonomi ini dirasakan

2

Sri R. Giyarsih & U. Listyaningsih, ’Dampak Non Ekonomi Migrasi Tenaga Kerja Wanita ke

Luar Negeri di Daerah Asal.’

rendah, maka hal ini dapat menjadi faktor yang mengahambat terjadinya mobilitas penduduk perempuan.

3. Umur

Hasil penelitian Giyarsih dan Listyaningsih menunjukkan sekitar 13 persen migran kembali berumur muda yakni di bawah 25 tahun. Pada umumnya migran kembali dalam kelompok ini baru pertama kali bekerja ke luar negeri. Adioetomo dan Wiyono (2003) menyebutkan DKI Jakarta merupakan provinsi yang paling banyak menerima migran dari provinsi lain, migrasi menurut umur pada tahun 1995 terlihat bahwa migran usia muda (15-29 tahun) mendominasi migran masuk ke DKI Jakarta, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan umur dalam proses migrasi merupakan aspek penting yang dapat memengaruhi keputusan yang diambil seseorang. Migrasi cenderung dilakukan oleh kelompok umur produktif dimana dari segi kemampuan fisik jelas lebih memadai.

4. Kemudahan sarana transportasi

Migrasi terkait erat dengan mudahnya sarana transportasi untuk mendukung mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain. Di daerah penelitian Noer (2008), mayoritas responden berasal dari Bangkalan yang merupakan salah satu Kabupaten di Madura yang memiliki sarana transportasi yang paling memadai.

5. Ketersediaan Informasi mengenai Daerah Tujuan

Informasi mengenai daerah tujuan ini biasanya didapat dari pelopor migran sebelumnya. Para migran terdahulu ini, tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga berperan dalam tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan (Mantra, 1994).

Mobilitas wanita merupakan “barang terlarang” di beberapa budaya masyarakat, terutama yang menganut pahan patriarkhi yang kuat. Hal ini ditemukan di Madura, dimana laki-laki Madura terutama suami, sangat protektif terhadap istri mereka, sehingga hal ini membatasi gerak istri untuk memperoleh pekerjaan (Noer, 2008). Selain itu, budaya yang berkembang di masyarakat dan berhubungan dalam proses pengambilan keputusan mobilitas penduduk adalah sistem kekerabatan berupa keluarga. Adanya suatu adat menetap sesudah menikah yang bermacam-macam turut menentukan tempat tinggal penduduk perempuan. Koentjaraningrat (1965) menyebutkan bahwa, dalam masyarakat di dunia ada paling sedikit tujuh kemungkinan adat menetap sesudah menikah (residence patterns), yaitu:

• Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru

untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri.

• Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar

pusat kediaman kaum kerabat suami.

• Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar

pusat kaum kerabat istri.

• Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal

berganti-ganti, pada suatu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat

Dokumen terkait