• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap VI : Menentukan Bobot Faktor

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

8. Interpretasi Hasil Analisis Faktor

4.4. Implikasi Penelitian

Pemahaman terhadap aturan sebagai pedoman penyusunan anggaran yang lebih rumit, proses yang lebih lama dan sering terjadinya perubahan kebijakan sangatlah menentukan keberhasilan penyusunan dan penetapan anggaran lebih tepat waktu. Keberhasilan implementasi peraturan perundang-undangan mengenai Penyusunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah sangat bergantung pada perubahan cara berfikir, berkeyakinan dan bertindak dari pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD. Cara berfikir, berkeyakinan dan bertindak dari pihak yang terlibat dari penyusunan APBD sangat bergantung pada intensitas pendidikan dan pelatihan Penganggaran Keuangan Daerah. Jenjang pendidikan tidak mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam implementasi peraturan perundang- undangan Penyusunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah.

Persoalan pemahaman peraturan perundang-undangan adalah persoalan yang menyangkut teknis, seperti kemampuan eksekutif di daerah dalam menyiapkan rancangan, memang cukup serius. Daerah penting seperti Provinsi DKI Jakarta saja sempat mengeluh kekurangan tenaga ahli keuangan, apalagi provinsi atau kabupaten/ kota yang lain. Berlakunya PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah membuat banyak daerah kedodoran dalam upaya

pedidikan jajaran birokrasi kita adalah ilmu politik atau hukum; minim sekali jumlah aparatur pemerintahan yang menguasai secara matang seluk-beluk keakuntansian.

Belum lagi sekarang pemerintah daerah (pemda) harus menyusun APBD sesuai dengan Peraturan Menteri DalamNegeri (Permendagri) 13/2006 yang menuntut pembuatan rencana anggaran secara detail. Sudah tertutup kemungkinan untuk mengajukan anggaran secara gelondongan tanpa perincian jelas, termasuk alokasi dana taktis yang dulu masih diperbolehkan.

Banyaknya ketentuan baru, selain menuntut kualitas aparat yang lebih baik, juga membuat secara teknis rantai proses penyelesaian APBD menjadi lebih panjang, seperti diberlakukannya SOTK baru yang harus menjadi landasan penyusunan anggaran. Repotnya, penetapan SOTK baru juga tak mudah, karena kalangan legislatif yang harus dimintai persetujuannya sulit mengompromikan agenda politiknya dengan rancangan yang disampaikan eksekutif. Perdebatan tentang SOTK baru yang harus selesai pada 2008, lebih banyak didominasi oleh kepentingan politis, sehingga eksekutif pun secara teknis tidak mampu memenuhi jadwal penyiapan rancangan APBD seperti yang diharapkan.

Ganjalan lain yang menghambat penyelesaian APBD adalah persoalan moral, baik di kalangan eksekutif maupun legislatif. Para legislator dan eksekutif sepertinya ìtidak punya tanggung jawab moral untuk menyelesaikan APBD tepat sesuai dengan jadwal. Dua pilar penting –yakni eksekutif dan legislatif– itu tampak tak punya greget untuk segera menyelesaikan tanggung jawab mengegolkan anggaran daerah. Keduanya lebih banyak melontarkan wacana ke publik yang tidak ada relevansinya dengan penyelesaian anggaran menjadi sebuah peraturan daerah (perda). Patut dipertanyakan, kalau penetapan anggaran daerah yang merupakan kegiatan rutin. saja tidak bisa diselesaikan tepat waktu, bagaimana nasib penyelesaikan kebijakan lainnya?

Mengingat kenyataan bahwa APBD adalah representasi komitmen pemda terhadap warganya, karena di dalamnya tercermin apa yang akan dilakukan pemda kepada masyarakat, sepantasnyalah kalau eksekutif bersama legislatif lebih cermat dan disiplin dalam penetapan anggaran daerah. Kalau tidak, masyarakat akan menganggap eksekutif dan legislatif di daerah yang belum mampu menetapkan RAPBD menjadi perda telah mengabaikan hak rakyat yang telah membayarkan kontribusinya kepada pemerintah melalui aneka pajak, retribusi, dan pajak daerah. Sebab, terjadinya

pembangunan yang seharusnya manfaatnya bisa dirasakan masyarakat menjadi tertunda.

Implikasi lain yang harus ditanggung rakyat adalah berkurangnya jatah pembangunan yang seharusnya diterima, mengingat Menteri Keuangan via Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu sudah menyatakan akan memberi sanksi pemotongan DAU atau minimal penundaan pencairannya terhadap daerah yang terlambat menyerahkan APBD-nya. Katakanlah DAU dipotong 20%, maka akan terjadi pemangkasan anggaran pembangunan dan bantuan sosial, karena tidak mungkin pemda memotong gaji pegawainya sebagai konsekuensi dari pemotongan DAU. Untuk DAK, juga berlaku hal yang sama, yakni syarat pencairannya harus dengan penetapan APBD.

Hal lain yang patut dikhawatirkan berkait dengan keterlambatan penetapan APBD adalah munculnya ketergesaan dalam melaksanakan kegiatan yang dibiayai oleh anggaran. Akibat nyata dari sikap itu adalah tidak tercapainya wujud yang maksimal dari program dan kegiatannya, seperti kualitas barang yang dibeli tidak maksimal, serta kualitas pembangunan dan perawatan infrastruktur menjadi rendah.

masyarakat bersuara dan melakukan prakarsa mandiri dengan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan monitoring agar pelaksanaan anggaran daerah bisa berjalan sesuai dengan jadwal. Kalau kondisi seperti itu terus dibiarkan, upaya menyejahterakan masyarakat dan memperbaiki layanan publik di daerah akan menjadi permainan yoyo yang seenaknya dinaik-turunkan oleh pemegang kendali, sementara masyarakat yang seharusnya disejahterakan dan dilayani hanya bisa menjadi penonton dan menerima akibatnya.

Beberapa terobosan dalam reformasi kelembagaan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut:

Pertama, perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa sehingga aspirasi-aspirasi politik diyakini benar-benar terserap dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian, pembahasan rancangan APBD dapat lebih fokus pada besaran dana yang seharusnya dialokasikan dan tidak lagi terlalu terbebani dengan transaksi-transaksi politik. Itupun dengan asumsi bahwa Tim Anggaran baik di pihak eksekutif maupun legislatif mempunyai komitmen untuk menjaga kesinambungan antara dokumen perencanaan dengan proses anggaran.

berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukannya langkah ini adalah untuk mengubah paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang berbasis kinerja yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar permasalahan di masyarakat.

Ketiga, memberikan insentif dan disinsentif yang efektif secara institusional. Secara makro, kebijakan Menteri Keuangan yang akan memotong Dana Alokasi Umum (DAU) untuk keterlambatan APBD sudah merupakan langkah yang tepat namun secara mikro tetap diperlukan beberapa terobosan lain, misalnya dengan melarang dicairkannya belanja pimpinan/anggota DPRD dan Kepala Daerah yang di banyak daerah dianggap sebagai kelompok belanja wajib, sehingga meskipun APBD belum disahkan belanja-belanja tersebut tetap bisa dicairkan.

Dokumen terkait