TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Magister
PROGRAM STUDI
MAGISTER AKUNTANSI
Diajukan Oleh:
NORSAIN
096 202 0020
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
Yang disusun oleh:
NORSAIN
NPM : 0962020020
Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji Pada tanggal 31 Desember 2010 Dan telah memenuhi syarat untuk diterima
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji
Dr. Sri Trisnaningsih, Msi Prof. Dr. H. Soeparlan P, SE.Ak.MM
Pembimbing Pendamping Dr. Indrawati Yuhertiana, MM.Ak
Drs. Bambang Suhardito, M.Si,Ak Drs. Ec. Munari, MM
Surabaya, 31 Desember 2010 UPN Veteran ”Jawa Timur”
Program Pasca Sarjana Direktur
Tesis ini diperuntukkan kepada :
Ayah dan Ibundaku tercinta serta
sepengetahuan saya, di dalam Naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiblakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)
Surabaya, 31. Desember 2010
rahmatNya peneliti dapat menyelesaikan Tesis dengan berjudul "Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan
APBD Studi Kasus Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2007-2010".
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Dr. Sri Trisnaningsih, MSi selaku Pembimbing Utama, dan Drs. Bambang Suhardito, MS,Ak selaku Pembimbing Pendamping. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya yang telah memberi kesempatan bagi penulis belajar mengembangkan pola pikir untuk pengembangan diri.
2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur, Surabaya. 3. Ibu Dr. Indrawati Yuhertiana, MM, Ak selaku Ketua Program Studi
Magister Akuntansi Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur, Surabaya.
6. Bapak Benny Doddy Susanto, SE M.Ak, selaku sahabat saudara dan sekaligus Supervisor CSO Bank BNI ’46 Sumenep yang banyak membantu dan mendukung secara financial terselesainya tesis ini. 7. Bapak Syahril, SE; As’adil Anwar, SE; Drs. Iskandar M.Ak; Hairil
Iskandar, SE; dan Kadarisman, SE M.Ak; selaku sahabat yang memotivasi dan membantu selesaianya penulisan tesis ini.
8. Ibu Elly,SE yang memotivasi dan membantu selesaianya penulisan tesis ini.
9. Rekan-rekan mahasiwa Program Pasca Sarjana dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan dalam penulisan tesis ini.
10. Sembah sujud penulis haturkan kepada Bapak Niswan (alm), dan Ibunda Mariya yang telah banyak membantu dan mendo’akan untuk keberhasilan penulisan tesis ini.
Negara.
Surabaya, 31 Desember 2010
ABSTRAKI
Keterlambatan penyusunan APBD menjadi fenomena dalam penganggaran pemerintah daerah di Indonesia. Fenomena ini dialami oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia. Jadwal penyusunan APBD yang dinyatakan oleh peraturan belum belum diterapkan oleh pemerintah daerah. Fenomena ini menyebabkan kelambatan dalam pertumbuhan ekonomi regional.
Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu untuk memecahkan masalah ini. Langkah pertama adalah mengidentifikasi faktor penyebab keterlambatan penyusunan APBD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor penyebab fenomena tersebut dengan menggunakan Pemerintah Daerah kabupaten Sumenep sebagai contoh. Proses untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut adalah Exploratory Factor Analysis (EFA).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima faktor penyebab keterlambatan penyusunan APBD. Faktor tersebut adalah (1) faktor pemahaman hukum dan peraturan perundang-undangan, (2) faktor indikator kinerja, (3) faktor hubungan eksekutif dan legislatif , dan (4) faktor komitmen.
Keywords: Keterlambatan dalam penyusunan APBD, faktor analisis,
pemahaman peraturan perundang-undangan, indikator
SUMMARY
NORSAIN. University Graduate School of National Development "East
Java", December 2010. Identification of the factors causing delays in the preparation of budget , Main Advisor: Dr. Sri Trisnaningsih, M.Si, counselor: Drs. Bambang Suhardito, MS,Ak.
SUMMARY
Lateness of APBD preparation becomes a phenomenon in local government budgeting in Indonesia. The phenomenon is experienced by many local governments in Indonesia. Schedule of APBD preparation which is stated by regulations has not been applied yet by local governments. This phenomenon leads to retardation in regional economic growth.
Based on the fact, it is need to solve this problem. The first step is to identify factors causing lateness of APBD preparation . The purpose of this research is to identify factors causing the phenomenon by using Local Government of Rejang Lebong as a sample. Process to identify these factors is Exploratory Factor Analysis (EFA).
The result of this research showed that there are five factors causing lateness of APBD preparation. Those factors are (1) understanding of laws and regulations factor, (2) performance indicator factor, (3) executive and legislative relationship factor, and (4) commitment factor.
Keywords: Lateness of APBD preparation, factor analysis,
understanding of laws and regulations, performance
indicator, executive and legislative relationship, and
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penetapan suatu anggaran dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif (Abdullah & Asmara, 2006; Freeman & Shoulders, 2003:94), bagi Rubin (2000:4) penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumberdaya.
Menurut Mardiasmo (2009:62), penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi, dalam organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.
berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang harus diakomodasi dalam produk politik yang dihasilkan. Secara hati-hati Anderson, J.E. (1984:13-15) mengutarakan pendapatnya bahwa terdapat lima kategori yang dapat dijadikan kriteria dalam menunjukkan faktor-faktor yang melatar belakangi aktor dalam membuat atau mengambil keputusan. Pertama, Political Values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai politis dapat merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan, dalam konteks ini keputusan diambil berdasarkan pada kalkulasi keuntungan politik di mana kebijakan dipandang sebagai alat yang menguntungkan atau alat untuk mencapai tujuan partai politik atau kelompok kepentingannya. Kedua, Organization Values
yaitu nilai-nilai atau standar-standar organisasional, hal yang paling menonjol adalah,misalnya, bagaimana organisasi yang berorientasi konservatif berhadapan dengan organisasi yang berpandangan revolusioner akan menghasilkan argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan.
tetap hidup, untuk meningkatkan atau memperluas program dan aktivitasnya, atau untuk menjaga kekuasaan serta hak-hak istimewanya. Ketiga, personal values, atau nilai-nilai personal (individu). Konteks ini maka personal values menjadi logika berpikir yang perlu juga diperhatikan dalam memahami penetapan atau pengambilan keputusan. Keempat, policy values adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas. Kelima, ideological values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologi adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.
Pihak agen berkemampuan untuk lebih menonjolkan kepentingannya karena memiliki informasi yang lebih dibandingkan pihak principal, hal ini disebabkan karena pihak agenlah yang memegang kendali operasional di lapangan, sehingga pihak agen lebih memilih alternatif yang menguntungkannya, dengan mengelabui dan membebankan kerugian pada pihak principal (Fozard, A.
2001:39-40).
Penelitian yang dilakukan oleh Manor & Crook (1998) dalam Prasojo, E. (2009:186) menyatakan bahwa dalam banyak hal, pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan yang tegas antara
mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah karakteristik elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik rakyat yang rendah, serta tidak adanya pengawasan yang terus-menerus dari DPRD terhadap kepala daerah, selanjutnya dipertegas oleh Prasojo, E (2009) bahwa fakor-faktor tersebut juga terrefleksikan di beberapa daerah di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan oleh calon incumbent
dengan memanfaatkan akses birokrasi yang dimilikinya.
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, APBD adalah rencana keuangan yang dibuat pemerintah daerah secara tahunan melalui pembahasan dan persetujuan antara DPRD dan pemerintah d aerah dan kemudian disahkan dalam peraturan daerah.
Penyusunan APBD oleh setiap daerah di Indonesia menjadi wujud penyelenggaraan otonomi yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah melalui penyusunan anggaran. APBD setiap tahunnya disusun oleh pemerintah daerah dan untuk mendukung penyusunan APBD pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang menjadi landasan dalam menyusun APBD. Salah satunya aturan yang diterbitkan tersebut adalah Permendagri 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, berdasarkan aturan tersebut telah diuraikan jadwal dalam menyusun APBD yang berlaku bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia.
lama, bahkan di masa reformasi banyak pemerintah daerah yang masih terlambat dalam menyusun APBD. APBD yang mengalami keterlambatan dalam penyusunan tersebut merupakan APBD yang terlambat ditetapkan atau disahkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD sebelum atau saat 31 Desember.
Menurut (KPK,2008) diketahui bahwa pada tahun 2005 dari 33 provinsi di Indonesia sebagian besar provinsi terlambat dalam mengesahkan APBD, yakni sebanyak 28 provinsi, lalu sisanya sebanyak 5 provinsi mengesahkan APBD sesuai jadwal, yaitu tidak melebihi 31 Desember. Selain itu, diketahui pula keterlambatan dalam penyusunan APBD juga terjadi di tahun 2009.
Keterlambatan penyusunan APBD telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dan hal itu telah berlangsung pada kurun waktu yang lama bahkan hingga saat ini. Kabupaten Sumenep merupakan salah satu daerah yang tergolong mengalami keterlambatan dalam menyusun APBD khususnya APBD untuk tahun 2007-2010. APBD pada keempat tahun anggaran tersebut disahkan pada kurun waktu antara 1 Januari – 31 April.
Selain banyaknya daerah yang mengalami keterlambatan dalam penetapan APBD, adanya keterlambatan APBD dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal dari APBD. Program yang terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan publik terhadap masyarakat.
Data berikut ini menunjukkan keterlambatan penetapan anggaran di kabupaten Sumenep:
NO APBD Penetapan Penetapan
Ada banyak alasan yang disebut sebagai biang keladi keterlambatan tersebut. Mulai dari kepentingan politik yang mencuat di lembaga legislatif, ketidakmampuan aparatur daerah menyusun rancangan APBD yang memadai, dan lambatnya penetapan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) baru, seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, serta alasan lain yang buat orang awam susah dipahami.
Semua alasan yang mengemuka itu, bisa dikategorikan menjadi dua penyebab keterlambatan penyelesaian APBD , yakni persoalan teknis yang meliputi penyiapan rancangan dan pemenuhan standarnya, serta persoalan moral yang mencakup kedisiplinan lembaga legislatif yang lebih mengedepankan kepentingan partai, kelompok, atau golongan ketimbang mengutamakan kepentingan masyarakat di daerahnya. Persoalan pertama yang menyangkut teknis, seperti kemampuan eksekutif dalam menyiapkan rancangan, memang cukup serius. Ganjalan kedua yang menghambat penyelesaian APBD adalah persoalan moral, baik di kalangan eksekutif maupun legislatif.
Dua pilar penting yakni eksekutif dan legislatif itu tampak tak punya greget untuk segera menyelesaikan tanggung jawab mengegolkan anggaran daerah. Keduanya lebih banyak melontarkan wacana ke publik yang tidak ada relevansinya dengan penyelesaian anggaran menjadi sebuah peraturan daerah (perda). Patut dipertanyakan, kalau penetapan anggaran daerah yang merupakan kegiatan rutin saja tidak bisa diselesaikan tepat waktu, bagaimana nasib penyelesaikan kebijakan lainnya?
APBD yang terlambat dalam proses penyusunannya dapat pula berpengaruh terhadap perekonomian daerah, hal tersebut terjadi karena ketika APBD terlambat ditetapkan melebihi 31 Desember, maka di masa APBD belum disahkan maka aliran dana dari sektor pemerintah akan terhambat dan itu memberikan pengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah dan pada akhirnya perekonomian daerah turut merasakan dampak dengan adanya kelesuan ekonomi.
yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam pelaksanaan proses awal. Pengalihan dana ke rekening pribadi tersebut membuka peluang terjadi penyelewengan dana APBD untuk kepentingan pribadi sehingga terjadilah korupsi. Pada akhirnya dampak yang muncul dari keterlambatan penyusunan APBD tersebut merugikan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi dalam penelitian ini adalah pertama, masih sedikit adanya penelitian yang terkait dengan keterlambatan dalam penyusunan APBD termasuk dalam hal ini di wilayah Sumenep belum dilakukan penelitian tersebut. Kedua, keterlambatan dalam penyusunan APBD telah menjadi salah satu fenomena yang terjadi di sebagian besar wilayah pemerintah daerah Indonesia dan hingga saat ini fenomena tersebut terus terjadi setiap tahunnya. Ketiga, dampak yang timbulkan dari adanya keterlambatan APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD?”
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD, khususnya di Kabupaten Sumenep.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk Kepentingan Ilmiah
a. Dalam dunia akademis dan praktis, bagi peneliti, menambah khasanah ilmu pengetahuan.
b. Bagi para akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur akuntansi sektor publik (ASP) terutama pengembangan sistem pengendalian manajeman disektor publik.
c. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh pembaca atau peneliti lain sebagai referensi atau dasar untuk penelitian lanjutan.
2. Untuk kepentingan praktis
BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
2.1. Penelitian Terdahulu
1. Sopanah (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik terhadap
hubungan antara pengetahuan dewan tentang anggaran dengan
pengawasan keuangan daerah diperoleh kesimpulan bahwa
pengetahuan anggaran berpengaruh signifikan terhadap
pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Pengaruh yang
ditunjukan adalah positif artinya semakin tinggi pengetahuan dewan
tentang anggaran maka pengawasan yang dilakukan semakin
meningkat. Disamping itu, interaksi pengetahuan anggaran dengan
partisipasi masyarakat berpengaruh signifikan terhadap pengawasan
anggran dengan transparansi kebijakan publik tidak berpengaruh
signifikan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan
2. Abdullah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul perilaku
oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah terhadap sampel
53 Kabupaten dan Kota di Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa,
legislatif berperilaku oportunistik dalam pengalokasian sumberdaya di
anggaran belanja.
3. Hamzah (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisa Good
Governance dan Value For Money Dalam Perencanaan dan
Penganggaran Daerah: Sebuah Studi Interpretif (studi pada
organisasi masyarakat sipil di kota Mojokerto dan Kabupaten
Sidoarjo) diperoleh kesimpulan bahwa belum adanya interaksi yang
sinergi, selaras, dan serasi antara Pemda, pengusaha, dan OMS. Hal
ini menyebabkan terganggunya proses perencanaan dan
penganggaran dalam bingkai partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
dan keadilan (good governance).
4. Haryani (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Kepercayaan dan
Implementasi peraturan perundang-undangan penyusunan dan
pengelolaan keuangan Daerah di Kabupaten Batang terhadap 348
responden diperoleh kesimpulan bahwa ada beberapa kesulitan
daerah dalam memanfaatkan berbagai peraturan dalam menjalankan
tugasnya.
5. Arniati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
Kapasitas Sumber daya manusia, Politik Penganggaran,
Perencanaan dan Informasi Pendukung terhadap Sinkronisasi
Dokumen dengan Dokumen KUA-PPAS di lingkungan Pemerintah
Kota Tanjung Pinang terhadap 61 responden dari Badan Panitia
Anggaran (DPRD) dan 25 SKPD Pemerintah Kota Tanjung Pinang
diperoleh kesimpulan bahwa kapasitas sumber daya manusia tidak
berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD
dengan dokumen KUA-PPAS, Politik penganggaran tidak
berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD
dengan dokumen KUA-PPAS, Perencanaan tidak berpengaruh
positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan
dokumen KUA-PPAS dan Informasi pendukung tidak berpengaruh
positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan
dokumen KUA-PPAS.
6. Wangi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Identifikasi
faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD
(Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran
(2008-2010) terhadap 49 responden teridentifikasi 5 faktor penyebab
dari faktor hubungan eksekutif dan legislatif; faktor latar belakang
pendidikan; faktor infikator kinerja; faktor komitmen; dan faktor
penyusun APBD.
2.2. Telaah Pustaka
2.2.1. Konsep Penganggaran Daerah
Untuk dapat menghasilkan struktur anggaran yang sesuai
dengan harapan dan kondisi normatif maka APBD yang pada
hakikatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran
pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi unit kerja harus
disusun dalam struktur yang berorientasi pada pencapaian tingkat
kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran
yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai
sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai
dengan kondisi, potensi, aspirasi dan kebutuhan riil di masyarakat
untuk suatu tahun tertentu, dengan demikian alokasi dana yang
digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat
memberikan manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat dan
pelayanan yang berorientasi pada kepentingan publik (PP No 58
Tahun 2005).
2.2.2. Penganggaran Publik dan Politik Anggaran
Lebih dari enam puluh tahun lalu, V.O. Key sudah
mendasar, yakni keterbatasan sumber daya. Key (1940) mengajukan
pertanyaan berikut: “on what basis shall it be decided to allocate x
dollars to activity A instead of activity B?” Keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki menyebabkan proses pembuatan keputusan
pengalokasian menjadi sangat dinamis, terlebih lagi dalam kondisi di
mana terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi
yang berbeda (Rubin, 1993).
Penganggaran atau proses penyusunan anggaran publik
memiliki karakteristik berbeda dengan penganggaran dalam bisnis.
Menurut Lee & Johnson (1998) karakteristik tersebut mencakup (1)
ketersediaan sumberdaya, (2) motif laba, (3) barang publik, (4)
eksternalitas, (5) penentuan harga pelayanan publik, dan (6)
perbedaan lain seperti intervensi pemerintah terhadap perekonomian
melalui anggaran, kepemilikan atas organisasi, dan tingkat kesulitan
dalam proses pembuatan keputusan.
Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk
melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam
rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa
yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa
dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut (Dobell &
Freeman & Shoulders (2003:94) menyatakan bahwa
anggaran yang ditetapkan dapat dipandang sebagai suatu kontrak
kinerja antara legislatif dan eksekutif. Menurut Rubin (1993:4),
penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari
berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi
berbeda terhadap outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana
yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa
penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian
sumberdaya, bagi Hagen et al. (1996), penganggaran di sektor publik
merupakan suatu bargaining process antara eksekutif dan legislatif.
Penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan, yakni
(1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal
anggaran, dan (3) pengimplementasian anggaran yang telah
ditetapkan seabagi produk hukum (Samuels, 2000). Sedangkan
menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat
tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive
implementation, dan ex post accountability, pada kedua tahapan
pertama terjadi interaksi antara eksekutif dan legislatif dan politik
anggaran paling mendominasi, sementara pada (dua) tahap terakhir
hanya melibatkan birokrasi sebagai agent.
Penerapan autonomi daerah di Indonesia tak terlepas dari
perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penganggaran
daerah. Penganggaran kinerja (performance budgeting) merupakan
konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan antara
pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat
diukur. Penganggaran berbasis kinerja mulai diterapkan di Indonesia
berdasarkan PP 105/2000 dan Kepmendagri 29/2002 pada tahun
anggaran 2003 atau 2004. Anggaran kinerja mendorong partisipasi
dari stakeholders sehingga tujuan pencapaian hasil sesuai dengan
kebutuhan publik. Legislatif diberi kesempatan untuk berperan aktif
dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai produk hukum.
Proses penyusunan anggaran dalam penganggaran kinerja
dimulai dari satuan kerja-satuan kerja yang ada di Pemda, melalui
dokumen usulan anggaran yang disebut Rencana Anggaran Satuan
Kerja (RASK). RASK kemudian diteliti oleh tim anggaran eksekutif
untuk dinilai kelayakannya (berdasarkan urgensi dan ketersediaan
dana) diakomodasi dalam RAPBD yang akan disampaikan kepada
legislatif.
RAPBD kemudian dipelajari oleh panitia anggaran legislatif
dan direspon oleh semua komisi dan fraksi dalam pembahasan
anggaran, eksekutif dan legislatif membuat
dan SP) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan
daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif
untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik
dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan
dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban
kepala daerah.
2.2.4. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Sektor Publik
Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan
agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan
teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di
antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu
pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun
eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen
akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh
prinsipal. Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: delegation occurs
when one person or group, a principal, select another person or
group, an agent, to act on the principal’s behalf. Menurut Ross (1973)
contoh-contoh hubungan keagenan sangat universal.
Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents
behave opportunistically toward principals. Carr & Brower (2000)
menegaskan bahwa “opportunism implies that whenever cooperation
to another (agency), losses due to to agent self-interest can be
expected to result.” Sementara Elgie & Jones (2000) menyatakan
adanya principal drift, yakni ketika prinsipal tidak mematuhi
kesepakatan pendelegasian yang telah dibuat.
Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s
actions have an effect on another individual atau whenever one
individual depends on the action of another (Gilardi, 2001). Stiglitz
(1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua
organisasi, baik publik maupun privat. Menurut Lane (2003), “...the
modern democratic state is based on a set of principal-agent
relationships in the public sector.” Menurut Bergman & Lane (1990),
principal-agent framework merupakan pendekatan yang menjanjikan
untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena pembuatan
dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang
berkaitan dengan asimetri informasi, moral hazard, bounded
rationality, and adverse selection.
Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model sangat
berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik,
karena du hal: (1) terdapat beberapa prinsipal dengan
masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal
bisa berlaku korup dan tidak bertindak sesuai kepentingan
Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi:
agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual,
motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi
menciptakan moral hazard dan adverse selection. Prinsipal sendiri
harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agents
dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie,
2002). Adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan
legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya
perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang
justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic
checks berupa persaingan (Kasper & Streit, 1999).
a. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan
legislatif, eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal
(Halim & Abdullah, 2006; Fozzard, 2001; Moe, 1984; Strom,
2000). Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa:
Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif/birokrasi
dengan legislatif/kongres dengan nama self-interest model.
Legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan
anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya.
Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects
yang membuatnya popular di mata konstituen. Birokrat
mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya
berkembang dan konstituen percaya mereka menerima benefits
dari pemerintah. Karena semua pihak dapat “bertemu” dalam
action yang sama, maka konsensus di antara legislators dan
birokrat merupakan keniscayaan, bukan pengecualian.
Sebagai prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral
hazard atau dalam merealisasikan self-interestnya (Elgie &
Jones, 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary
power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan,
dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar
discretionary power yang dimiliki legislatif semakin besar pula
kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya.
b. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)
Groehendijk (1997) menyatakan bahwa without doubt,
the relationship between voters and politicians in a representative
democracy can be considered to be a principal-agent relationship.
Legislatif (politisi) adalah agen dan publik (pemilih) adalah
prinsipal (Fozzard, 2001; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000)
dan Andvig et al. (2001) menyatakan bahwa citizens atau voters
adalah prinsipal bagi perlemen. Mitchell (2000) lebih tegas
menyatakan bahwa voters adalah the ultimate principals.
Von Hagen (2002) berpendapat bahwa hubungan
keagenan antara voters-legislatif pada dasarnya menunjukkan
bagaimana voters memilih politisi untuk membuat kebijakan
publik bagi mereka dan mereka memberikan dana dengan
membayar pajak. Dengan demikian, politisi diharapkan mewakili
kepentingan prinsipalnya ketika legislatif terlibat dalam
pengalokasian anggaran. Pada kenyataannya, legislatif tidak
selalu memiliki preferensi yang sama dengan publik (Groehendijk,
1997). Oleh karena itu, Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan
bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi terjadinya abdication,
yakni agents are unconstrained by how their actions affect their
principals. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika
tidak ada institusi formal yang berfungsi mengawasi kinerja
legislatif.
Menurut Von Hagen (2002), sesungguhnya voters
berkeinginan menghilangkan peluang oportunisme legislatif
pada kondisi tertentu. Namun, membuat aturan untuk sesuatu
yang tidak jelas dan tingginya kompleksitas situasi yang dihadapi
menyebabkan kontrak yang sempurna sulit dibuat. Karenanya
hubungan keagenan voters-politisi dapat dipandang sebagai
incomplete contract (Seabright, 1996).
2.2.5. Peran Legislatif dalam Penganggaran
Selama dua dekade terakhir peran legislatur dalam
pembuatan kebijakan publik dan penganggaran semakin meningkat
(Schick, 2001). Dengan menggunakan tudi kasus pada empat
agency, Johnson (1994) menemuka bahwa birokrasi merespon
tekanan yang diberikan oleh legislatur dalam proses pembuatan
kebijakan dan anggaran. Hyde & Shafritz (1978:324) menyatakan
bahwa penganggaran adalah sebuah proses legislatif. Apapun yang
dibuat eksekutif dalam proses anggaran, pada akhirnya tergantung
pada legislatif karena legislatif mempunyai kekuasaan untuk
mengesahkan atau menolak usulan anggaran yang diajukan
eksekutif.
Dobell & Ulrich (2002) menyatakan bahwa peran penting
legislatif adalah mewakili kepentingan masyarakat, pemberdayaan
pemerintah, dan mengawasi kinerja pemerintah. Ketiga peran ini
menempatkan legislatur berkemampuan memberikan pengaruh
Havens (1996), tidak ada keharusan bagi legislatif untuk mempunyai
preferensi yang sama dengan pemerintah atas kebijakan, termasuk
anggaran.
Di Indonesia, penyusunan usulan anggaran atau rancangan
APBD oleh eksekutif didasarkan pada arah dan kebijakan umum
(AKU) dan strategi dan prioritas (SP) yang diturunkan dari rencana
strategis daerah (Renstrada). AKU dan SP dinyatakan dalam sebuah
nota kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Pada tahap
formulasi relatif tidak terjadi konflik antara eksekutif dan legislatif,
sementara pada tahap berikutnya, yakni ketika rancangan anggaran
diusulkan menjadi anggaran yang ditetapkan biasanya harus melalui
perdebatan dan negosiasi di antara kedua belah pihak.
Penganggaran di beberapa daerah di Indonesia terjadi
konflik antara legislatif dengan pemerintah. Sebagai contoh dalam
hal (1) penyusunan APBD, terutama pada pos anggaran belanja
untuk DPRD, (2) kedudukan keuangan DPRD terhadap PAD, (3)
kedudukan protokoler anggota DPRD beserta fasilitas-fasilitasnya,
dan (4) pembahasan laporan pertanggungjawaban tahunan kepala
daerah (Yudoyono, 2003:39). Abdullah (2004) menemukan bahwa
DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah
Anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi,
sementara belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah.
2.3. Kerangka Pikir
Berdasarkan latar belakang masalah dan penelitian
sebelumnya serta landasan teori sebagaimana dikemukakan pada
bab tedahulu berikut disajikan kerangka pikir penelitian.
Komunikasi di antara eksekutif dan legislative (X1)
Adanya kesenjangan informasi (X2)
Koordinasi (X3)
Bekerja sama (X4)
Informasi (X5)
Kesulitan menterjemahkan indikator kinerja (X6)
Mengukur dan menentukan capaian kinerja (X7)
Kemauan yang kuat untuk menerapkan penganggaran (X8)
Memahami secara jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan (X9)
Exploratory
F ?
Penyebab keterlabatan
dalam penyusunan
Mengutamakan kepentingan Sendiri (X1 0)
Peraturan perundang-undangan yang sederhana (X1 1)
Peraturan perundang-undangan yang sulit dipahami (X1 2)
Peraturan perundang-undangan yang mudah dilaksanakan (X1 3)
Peraturan perundang-undangan yang memungkinkan penyusunan
dan penetapan lebih tepat waktu (X1 4)
Kesulitan memahami penggunaan peraturan perundangan (X1 5)
Kesulitan penerapan peraturan perundangan (X1 6)
2.4. Hipotesis
Penelitian ini tidak ada hipotesis karena alat analisis data
yang digunakan adalah analisis faktor jenis eksploratori atau dikenal
dengan exploratory factor analysis (EFA) yang bertujuan untuk
mengidentifikasi struktur dari faktor (sekumpulan variabel) yang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
3.1.1. Definisi Operasional
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri
dari beberapa variabel. Variabel-variabel tersebut antara lain:
1. X1 (Komunikasi di antara eksekutif dan legislatif kurang
harmonis)
legislatif)
3. X3 (Pihak eksekutif dan legislatif belum mampu berkoordinasi
secara baik)
4. X4 (Pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu bekerja
sama dengan baik)
5. X5 (Kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah)
6. X6 (Adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja),
7. X7 (Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan capaian
kinerja)
8. X8 (kemauan untuk menerapkan penganggaran)
9. X9 (Unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi,
sasaran, dan tujuan)
10. X10 (Pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan eksekutif)
11. X11 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sederhana)
12. X12 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sulit dipahami)
13. X13 (Peraturan perundang-undangan yang terkait mudah
dilaksanakan)
14. X14 (Peraturan perundang-undangan yang terkait memungkinkan
penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu)
15. X15 (Saya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan
peraturan perundangan)
16. X16 (Saya merasa penerapan peraturan perundangan sulit saya
lakukan)
Teknik pengukuran variabel menggunakan skala Likert
dijabarkan dalam suatu pernyataan yang diberi jenjang jawaban:
dengan skor jawaban masing-masing 1,2,3,4 dan 5. Skala
pengukuran variabel ini dengan skala interval.
3.2. Teknik Penentuan Sampel
3.2.1. Penentuan Populasi
Menurut Sugiyono (2002), populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Badan
Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan
anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten
Sumenep. Pemerintah Kabupaten Sumenep memiliki 18 Dinas, 6
Badan dan 4 Kantor dan 1 Satpol PP. Tiap Dinas yang terlibat dalam
penyusunan anggaran 4 sampai 5 orang, terdiri 4 Kabid dan 1
Kasubag Program. Badan dan Kantor biasanya yang terlibat dalam
penyusunan anggaran lebih sedikit dibandingkan Dinas yang
berkisar antara 2 sampai dengan 3 orang. Jumlah pimpinan dan
anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sumenep sebanyak 24
3.2.2. Penentuan Sampel
Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan sampel
adalah sensus yaitu seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan anggaran di Kabupaten Sumenep.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ditetapkan dan
paradigma penelitian yang digunakan serta definisi operasional
variabel yang ditetapkan maka jenis data pada penelitian ini
menggunakan:
1. Data sekunder
Data sekunder yang dimaksud adalah data yang tidak diusahakan
sendiri pengumpulannya oleh peneliti (Marzuki, 2000) atau
merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen
(Sugiyono, 2002). Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka
terhadap berbagai peraturan terkait serta media baca lainnya dan
strategi arsip dari basis data BPS Sumenep.
2. Data primer
Menurut Maruku (2000), data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat pertama kalinya atau
pengumpul data (Sugiyono, 2002). Data primer yang bersumber
Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD),
dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten
Sumenep.
3.4. Teknik Analisis
3.4.1. Analisis Faktor
Analisis faktor merupakan alat analisis yang banyak
digunakan pada penelitian exploratory, dimana suatu analisis yang
digunakan untuk mereduksi, meringkas dari banyak variabel ke
dalam satu atau beberapa faktor, proses ini identik dengan proses
penggalian faktor lain dari kumpulan variabel yang ada. Terdapat 4
(empat) fungsi penggunaan teknik analisis faktor, yaitu :
1. Mengidentifikasi seperangkat dimensi yang terpendam (tidak
secara mudah diamati) dalam sekumpulan variabel-variabel yang
banyak.
2. Merancang metode penggabungan atau pengelompokan
sejumlah besar responden dalam kelompok-kelompok yang
berbeda secara jelas dalam populasi yang besar.
3. Mengidentifikasi variabel-variabel yang tepat untuk dianalisis lebih
lanjut (regresi, korelasi / analisis diskriminan).
4. Membuat seperangkat variabel baru yang lebih kecil yang dapat
Model analisis faktor faktor menurut Maholtra
(2005;289) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Xi = Ai1 . F1 + Ai2 . F2 + Ai3 . F3 + . . . + Aim . Fm + V1 . U1
Dimana :
Xi = Variabel standar ke-1
Aim = Faktor loading multipele regrison dari variabel i pada faktor j
F = Faktor umum
Vi = Koefisien standar regresi dari variabel i pada faktor khusus i
Ui = Faktor khusus dari variabel i
m = Jumlah faktor umum
Faktor-faktor unik berkorelasi satu dengan yang lain dan
dengan faktor-faktor umum. Faktor umum itu sendiri dapat
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel yang diamati
dengan persamaan :
Fi = Wi1 . X1 + Wi2 . X2 + Wi3 . X3 + . . . + Wik . Xk
Dimana :
Fi = Estimasi faktor i
Wi = Bobot/koefisien nilai faktor
K = Jumlah variabel
Secara umum langkah-langkah pengujian dalam analisis
faktor meliputi :
Langkah ini berfungsi untuk memformulasikan dan
merumuskan masalah yang akan diteliti. Masalah penelitian harus
berorientasi pada identifikasi faktor-faktor karena analisis faktor
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja, tidak
menganalisis pada uji hubungan, korelasi atau perbedaan.
2. Menyusun matriks korelasi
Langkah ini secara spesifik menguji tingkat korelasi yang
berfungsi untuk menentukan apakah variabel memiliki kesamaan
umum (homogen/common) atau tidak dan menguji tingkat
kecukupan sampel.
a. Barlett’s Test of Sphericity (BTS)
Tes yang digunakan untuk menguji tes interdepensi antara
butir-butir menjadi indikator suatu variabel atau faktor. Analisis
ini bermaksud tidak berkorelasi satu dengan yang lainnya
(colinearity) dalam populasi. Apabila ternyata terbukti ada
variabel yang berkorelasi, maka salah satu dari variabel
tersebut tidak perlu dianalisis.
b. Correlation Matiks
Yaitu matriks korelasi yang merupakan hasil korelasi antara
butir yang menunjukkan koefisien (r) antara butir yang satu
dengan butir yang lain yang mungkin tidak atau dapat
c. Communality
Jumlah varians yang diberikan tiap-tiap butir dalam butir yang
lain yang dipertimbangkan. Koefisien community 50%, maka
harus dipertimbangkan besarnya muatan faktor.
d. Eigenvalue
Nilai yang menunjukkan jumlah varians yang berasosiasi
dengan masing-masing faktor yang mempunyai eigenvalue 1,
dimasukkan ke dalam model. Sedangkan yang nilainya kurang
dari 1, merupakan faktor yang tidak dimasukkan ke dalam
model.
e. Loading Factor
Merupakan koefisien korelasi antar variabel-variabel dengan
faktor-faktornya. Faktor loading yang bernilai besar
menunjukkan besarnya pengaruh variabel observasi terhadap
faktor.
f. Kaiser-Mayer-Olkin (KMO)
Measure of sampling adequacy adalah angka indeks untuk
membandingkan antara besarnya koefisien korelasi observasi
dengan besarnya koefisien parsial. Apabila KMO kecil < 0,5,
menunjukkan bahwa korelasi antara variabel tidak dapat
menjelaskan variabel lain dan analisis faktor tidak sesuai
g. Faktor Matriks
Adalah faktor yang berisi muatan faktor dari semua variabel
pada semua faktor yang telah dipilih. Dari faktor ini dapat
dilihat pengaruh dari variabel terhadap faktor.
h. Percentage of Variance
Adalah persentase dari varians explaned atribut-atribut dari
masing-masing faktor.
3. Model/teknik analisis faktor
Menggunakan principal componen analisis (PCA), dimana
analisis ini bertujuan untuk memperoleh jumlah minimum dari
faktor-faktor yang menghasilkan varians maksimum dari
data-data untuk digunakan dalam analisis multivariate selanjutnya.
Untuk menentukan beberapa faktor yang dapat diterima secara
empiris dapat dilihat dari besarnya eigenvalue. Apabila nilai eigen
> 1, maka semakin representative faktor tersebut mewakili
variabel.
4. Rotasi Faktor
Hasil dari ekstraksi faktor dalam matriks faktor
mengidentifikasikan hubungan antar faktor dan variabel
individual, namun dalam faktor-faktor tersebut banyak variabel
berkorelasi sehingga sulit diinterprestasikan. Melalui rotasi faktor
lebih sederhana sehingga mudah diinterprestasikan. Rotasi faktor
menggunakan prosedur varimax.
5. Interprestasi Faktor
Bertujuan untuk menentukan variabel mana yang dapat masuk
dalam suatu faktor dan yang tidak masuk dalam suatu faktor.
Variabel-variabel yang masuk dalam suatu faktor harus memiliki
loading faktor > 0,4 dan sebaliknya.
6. Penentuan Model yang Tepat
Bertujuan untuk menentukan model faktor yang dihasilkan
apakah baik atau tidak. Yaitu dengan menilai nilai residual,
apabila terdapat < 50% nilai residual yang kecil, maka model
tersebut tidak baik atau tidak layak dijadikan dasar dalam
pengambilan keputusan.
3.4.2. Langkah-langkah Analisis Faktor
Tahap I : (Masalah Penelitian)
1. Variabel yang dipilih : variabel yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan.
2. Banyaknya variabel : sesuai jumlah variabel yang relevan
3. Cara pengukuran variabel :
a. Data mentah diasumsikan merupakan hasil pengukuran matriks.
b. Data digunakan variabel dummy (0-1)
- Sampel berukuran lebih dari 50 observasi, atau hendaknya lebih
dari 100 observasi.
Matriks data mentah akan dianalisis merupakan hasil dari
kuisioner yaitu apabila data-data yang akan dianalisis merupakan hasil
kuisioner. Matriks ini berukuran p x q ( p baris dan q kolom) : p =
banyaknya responden yang mengisi kuisioner, q = banyaknya variabel
manifest/banyaknya item pertanyaan kuisioner. Tiap jawaban responden
diberi skala nilai, biasanya dengan skala likert, sehingga dapat disusun
dalam suatu bentuk matriks.
TahapII : (Matriks Korelasi)
Matriks korelasi merupakan matriks yang membuat koefisien
korelasi dari semua pasangan variabel dalam penelitian. Jadi, matriks ini
digunakan untuk mendapatkan nilai kedekatan hubungan anatar variabel
manifest. Nilai kedekatan ini dapat digunakan untuk melakukan
pengujian untuk melihat kesesuaian dengan nilai korelasi yang diperoleh
dari analisis faktor.
Analisis faktor yang baik memiliki nilai korelasi tinggi. Dalam hal
ini diterminan matriks yang mendekati nol menunjukkan nilai korelasi
tinggi. Selanjutnya perlu diuji apakah matriks korelasi ini merupakan
digunakan untuk analisis. Metode yang bisa dilakukan adalah metode
Bartlett Test of Sphericity. Kemudian perlu ditentukan nilai koefisien
korelasi parsial, yaitu estimasi antar faktor unik dan nilainya harus
mendekati nol untuk memenuhi asumsi analisis faktor.
Untuk menguji kesesuaian pemakaian analisis faktor, digunakan
metode Keiser-Meyer-Olkin (KMO). KMO merupakan indeks
perbandingan besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya
koefisien korelasi parsial. Jika nilai kuadrat koefisien korelasi parsial dari
semua pasangan variabel lebih kecil dari pada jumlah kuadrat koefisien
korelasi, maka harga KMO akan mendekati 1, yang menunjukkan
kesesuaian penggunaan analisis faktor.
Untuk menentukan apakah proses pengambilan sampel telah
memadai atau digunakan Measure of Sampling (MSA). Harga MSA yang
rendah merupakan pertimbangan untuk membuang variabel tersebut
pada tahap analisis selanjutnya. Sering kali, karena jumlah data yang
banyak, perhitungan KMO dan MSA hanya dimungkinkan dengan
bantuan komputer.
Tahap III : Ekstraksi Faktor
Tahap selanjutnya adalah faktor exit-action yaitu menentukan
jumlah faktor yang diperlukan untuk menginterprestasikan data. Cara
untuk menentukan jumlah faktor antara lain dengan akar karakteristik
dipergunakan karena dipandang kontribusinya dalam menerangkan
keragaman data sangat kecil. Penentuan jumlah faktor juga bisa
berdasarkan persentase total varians.
Untuk mengekstrasikan faktor dikenal dua metode rotasi, yaitu :
a. Orthogonal faktor
Ekstraksi faktor dengan cara merotasikan sumbu faktor yang
kedudukannya tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan
melakukan rotasi ini setiap faktor independen terhadap faktor lain
karena sumbunya saling tegak lurus. Orthogonal faktor solution
digunakan bila analisis bertujuan untuk mereduksi jumlah variabel
asal yang sudah seberapa berartinya faktor yang diekstraksi.
b. Oblique faktor
Ekstraksi faktor dilakukan dengan merotasikan sumbu faktor yang
kedudukannya saling membentuk sudut dengan besar sudut tertentu.
Dengan rotasi ini, maka korelasi antar setiap faktor masih
diperhitungkan karena sumbu faktor tidak tegak lurus dengan yang
lainnya. Oblique faktor solution digunakan untuk memperoleh jumlah
faktor yang secara toritis cukup berarti.
Ekstraksi faktor digunakan untuk menentukan jenis-jenis faktor
yang akan dipakai. Estimasi faktor dapat menggunakan metode
analysis). Dengan metode ini akan terbentuk kombinasi lini dari
variabel-variabel observasi.
Dalam analisis faktor, total variasi (Communality) terbentuk dari :
1. Common (variasi umum), menunjukkan varians variabel bersama
antar tiap variabel penelitian.
2. Spesifik (variasi unik) menunjukkan varians spesifik tertentu.
3. Error, akibat ketidak handalan dalam proses pengambilan data.
Setelah ekstraksi faktor, kemudian dilakukan perhitungan nilai
eigenvalue, yang menyatakan nilai varians dari variabel menifest.
Banyaknya faktor ditentukan berdasarkan nilai persentase dari varians
total yang ditetapkan oleh variabel tersebut. Varians nilai tersebut
merupakan jumlah varians masing-masing variabel yang disebut nilai
eigen
Tahap IV : Menentukan Rotasi Matriks Faktor
Matriks faktor sebelum dirotasi digunakan untuk mengeksplorasi
kemungkinan pengelompokan variabel ke dalam sejumlah faktor yang
telah diekstraksi. Matriks ini merangkum informasi mengenai bobot
variabel ke dalam setiap faktor, informasi yang terkandung di dalam
matriks ini belum dapat digunakan untuk menginterprestasikan dengan
jelas mengenai pengelompokan variabel dalam setiap faktor karena
Agar dapat diperoleh bobot variabel yang mudah untuk
diinterprestasikan, matriks faktor ini harus dirotasikan.
Matriks faktor yang dirotasikan ini bertujuan untuk mempermudah
interprestasi dalam menentukan variabel-variabel mana saja yang
tercantum dalam suatu faktor. Dalam analisis penelitian menggunakan
metode variamax untuk memberikan faktor akstraksi sehingga pada
akhirnya diperoleh hasil rotasi dimana dalam satu kolom nilai yang ada
sebanyak mungkin mendekati nol. Hal ini dalam setiap faktor tercakup
sedikit mungkin variabel.
Tahap V : Interprestasi
Kelanjutan dari rotasi faktor adalah tahap interprestasi faktor
berdasarkan bobot masing-masing variabel dalam setiap faktor. Tahap
interprestasi meliputi :
1. Dimulai dari variabel urutan pertama
Interprestasi dimulai dengan bergerak dari faktor yang paling kiri ke
faktor yang paling kanan pada setiap baris untuk mencari bilangan
2. Bilangan yang paling besar menunjukkan dalam faktor mana setiap
faktor termasuk. Dengan demikian dapat diketahui variabel-variabel
mana yang masuk dalam faktor.
3. Point 1 dan 2 dilakukan berulang sehingga variabel telah tercangkup
dalam faktor-faktor hasil ekstraksi.
4. Bila ada variabel yang belum termasuk dalam salah satu faktor
(karena bobotnya kurang dari batas keberartian) maka terdapat dua
pilihan yang dapat dilakukan.
5. Menginterprestasikan sosial apa adanya tanpa mengikutkan variabel
yang bobotnya tidak signifikan.
6. Mengevaluasi variabel yang tidak memiliki bobot signifikan tersebut.
Tujuan dari variabel ini adalah untuk mengetahui relevansi variabel
dalam penelitian yang dilakukan.
Tahap VI : Menentukan Bobot Faktor
Bobot faktor adalah ukuran yang menyatakan representasi suatu
variabel oleh masing-masing faktor. Merupakan data mentah bagi
analisis regresi dan diskriminan. Bobot faktor menunjukkan bahwa suatu
data karakteristik khusus yang diinterprestasikan oleh faktor. Bobot
faktor ini digunakan untuk analisis lanjutan.
Bobot faktor menunjukkan kedekatan hubungan antara variabel
terhadap variabel laten. Faktor dengan bobot faktor tinggi untuk suatu
variabel menunjukkan tingginya hubungan faktor itu dengan variabelnya.
Pedoman pembobotan faktor ini antara lain sebagai penguji awal
yang paling sederhana, bobot faktor > 0,5 dianggap sangat signifikan.
Patokan ini biasanya digunakan untuk jumlah sampel yang lebih dari 50.
Dalam analisis faktor terdapat dua pembahasan, yaitu : Analisis
faktor exploratory dan analisis faktor konfirmatory, tetapi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis faktor exploratory.
Penelitian ini mempunayai tujuan untuk membuat/menentukan
seperangkat variabel baru yang menggantikan seperangkat variabel
lama, guna dilakukan analisis lebih lanjut, yaitu analisis diskriminan.
Analisis faktor ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi/menggambarkan
apa yang didapat dari data dan tidak menyusun batasan-batasan yang
utama atas komponen estimasi jumlah yang diekstrak/didapat karena
analisis ini bersifat exploratory faktor, maka tidak disusun suatu
hipotesis.
3.4.3. Analisis Faktor Exploratory
Suatu penelitian yang bersifat exploratif, umumnya bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor penyusun dari suatu dimensi kehidupan.
Di dalam analisis faktor ini, beberapa faktor yang akan terbentuk dan
faktor tersebut merupakan variabel laten apa saja. Hal ini belum dapat
melakukan explorasi dari indikator-indikator atau variabel manifest yang
ada, nantinya akan terbentuk faktor-faktor yang kemudian dilakukan
interprestasi terhadapnya untuk menentukan variabel-variabel laten apa
yang dapat diperoleh.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis
Kabupaten Sumenep terletak diantara 113o32’54’’ BT – 116o16’48’’ BT
dan diantara 4o55’ LS – 7o24’ LS dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Timur : Laut Jawa/ Laut Flores
- Sebelah Selatan : Selat Madura
- Sebelah Barat : Kabupaten Pamekasan
Secara geografis wilayah Kabupaten Sumenep terbagi atas dua yaitu:
- Bagian Daratan dengan luas : 1.146,93 Km2 (54,79 %) yang terbagi atas
Tujuh Belas Kecamatan dan satu pulau di Kecamatan Dungkek
- Bagian Kepulauan dengan luas : 946,53 Km2 (45,21 %) yang meliputi 126
buah pulau, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni.
Berdasarkan Peraturan Bupati Sumenep Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Luas Wilayah Administrasi Pemerintah Kabupaten Sumenep telah
ditetapkan 126 pulau bernama. Bagian kepulauan terbagi atas sembilan
Kecamatan yaitu : Kecamatan Giligenting. Talango. Nonggunong.
Gayam. Ra as. Arjasa. Sapeken, Masalembu dan Kecamatan Kangayan.
Sedangkan pulau paling utara adalah Pulau Karamaian termasuk
wilayah Kecamatan Masalembu dengan jarak 151 mil Laut dari
Kecamatan Kalianget dan pulau paling timur adalah Pulau Sakala termasuk
wilayah Kecamatan Sapeken dengan jarak 165 mil Laut dari Kecamatan
Kalianget.
Secara administrasi wilayah Kabupaten Sumenep dibagi menjadi 27
Kecamatan, 328 (Tiga Ratus Dua Puluh delapan) Desa dan 4 (Empat)
wilayah terluas yaitu Kecamatan Arjasa, Kangayan, Sapeken,
Pasongsongan dan Batuputih.
4.1.2. Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau
Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep
Adapun nama-nama pulau bernama dirinci menurut pulau
berpenghuni dan tidak berpenghuni di Kabupaten Sumenep, adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep
Nama Pulau/ Name Islands
Keadaan Pulau/ Islands of Condition
Masuk Wilayah/ Include to Berpenghuni/
Inhibited
Tidak Berpenghuni/ Not Inhibited
002. P.Giliraja 1 - Kec. Giligenting
003. P.Gilingan 1 - Desa Banmaleng
004. P.Giliduak - 1 Desa Banmaleng
005. P.Gilipandan - 1 Desa Banmaleng
006. P.Pasir Putih - 1 Desa Banmaleng
007. P.Karanggemer - 1 Desa Banmaleng
008. P.Karangnoko - 1 Desa Bringsang
009. P.Poteran 1 - Desa Talango
010. P.Gililawak 1 - Desa Kombang
012. P.Kokop - 1 Desa Kombang
Lanjutan Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep
Nama Pulau/ Name Islands
Keadaan Pulau/ Islands of Condition
052. P.Dukoh Besar - 1 Desa Sabunten
071. P.Dandang-dandang - 1 Desa Sepanjang
072. P.Tobo-tobo Dua - 1 Desa Sepanjang
084. P.Tanjung Sapangkur - 1 Desa Sabunten
085. P.Kangean 1 - Kecamatan Arjasa
086. P.Mamburit 1 - Desa Kalisangka
087. P.Bujareng - 1 Desa Angkatan
Lanjutan Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep
Nama Pulau/ Name Islands
099. P.Karanjang - 1 Desa Torjek
124. Masakambing 1 - Desa Masakambing
125. Karamian 1 - Desa Karamian
126. Kambing - 1 Desa Karamian
Jumlah 48 78 Sumber : Bappeda Kabupaten Sumenep
4.2. Hasil Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Badan Anggaran DPRD, Tim
Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan anggota Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Sumenep. Pemerintah
Kabupaten Sumenep memiliki 18 Dinas, 6 Badan dan 4 Kantor dan 1 Satpol
PP. Tiap Dinas yang terlibat dalam penyusunan anggaran 4 sampai 5
yang terlibat dalam penyusunan anggaran lebih sedikit dibandingkan Dinas
yang berkisar antara 2 sampai dengan 3 orang. Jumlah pimpinan dan
anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sumenep sebanyak 24 orang
jadi secara keseluruhan berjumlah 129 orang.
Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan sampel adalah
sensus yaitu seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan anggaran
di Kabupaten Sumenep, jadi jumlah sampel yang diambil sebanyak 129
orang.
Kuesioner disebar sebanyak 129 buah, dan terdapat 100 buah
kuesioner yang kembali, sedangkan 29 buah lagi tidak kembali, sehingga
tingkat pengembalian yang digunakan sebesar = 100/129 x 100% =
77,52%.
4.2.1. Distribusi Jawaban Responden
Item pernyataan yang mempengaruhi keterlambatan dalam
penyusunan APBD dalam penelitian ini berjumlah 16 (enam belas) item dan
deskripsi frekuensi yang dihasilkan dari jawaban responden adalah sebagai
Tabel 4.2 : Deskripsi Frekuensi Variabel Penelitian
No. Pertanyaan Skor
1 2 3 4 5 1. Komunikasi di antara eksekutif dan
legislatif kurang harmonis
0 2. Adanya kesenjangan informasi antar
pihak eksekutif dengan legislatif
0 5. Kurangnya informasi yang dimiliki
pemerintah daerah
0 6. Adanya kesulitan untuk menterjemahkan
indikator kinerja
0 7. Pemerintah Daerah sulit mengukur dan
menentukan capaian kinerja
0 8. Belum ada kemauan yang kuat untuk
menerapkan penganggaran
0 9. Unsur SKPD kurang memahami secara
jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan
0 10. Pihak eksekutif lebih mengutamakan
kepentingan eksekutif. 11. Peraturan perundang-undangan yang
terkait sederhana. 12. Peraturan perundang-undangan yang
terkait sulit dipahami.
0 13. Peraturan perundang-undangan yang
terkait mudah dilaksanakan.
0 14. Peraturan perundang-undangan yang
terkait memungkinkan penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu
0 15. Saya tidak mendapat kesulitan
memahami penggunaan peraturan perundangan 16. Saya merasa penerapan peraturan
perundangan sulit saya lakukan
0
Penjelasan tabel 4.2 di atas adalah sebagai berikut :
1. Variabel X1 (Komunikasi di antara eksekutif dan legislatif kurang
harmonis)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 67% menjawab skor 4 dan
menyetujui bahwa komunikasi yang terjalin di antara eksekutif dan
legislatif dalam penyusunan APBD kurang harmonis.
2. Variabel X2 (Adanya kesenjangan informasi antar pihak eksekutif dengan
legislatif)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 60% menjawab skor 4 dan
27% menjawab skor 5 yang artinya 87% responden cenderung
menyetujui bahwa terjadi kesenjangan informasi yang dimiliki antar pihak
eksekutif dengan legislatif.
3. Variabel X3 (Pihak eksekutif dan legislatif belum mampu
berkoordinasi secara baik)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 62% menjawab skor 4 dan
37% menjawab skor 5 yang artinya 97% responden cenderung
menyetujui bahwa pihak eksekutif dan legislatif belum mampu
berkoordinasi secara baik dalam penyusunan APBD.
4. Variabel X4 (Pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu bekerja
sama dengan baik)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 68% menjawab skor 4 dan
18% menjawab skor 5 yang artinya 86% responden cenderung
menyetujui bahwa pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu
bekerja sama dengan baik dalam penyusunan APBD.
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 45% menjawab skor 4 dan
34% menjawab skor 5 yang artinya 79% responden cenderung
menyetujui bahwa pemerintah daerah kurangnya memiliki informasi untuk
menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD.
6. Variabel X6 (Adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 22% menjawab skor 4 dan
77% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung
menyetujui bahwa terdapat kesulitan untuk menterjemahkan indikator
kinerja ke dalam elemen anggaran.
7. Variabel X7 (Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan capaian
kinerja)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 43% menjawab skor 4 dan
45% menjawab skor 5 yang artinya 88% responden cenderung
menyetujui bahwa Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan
capaian kinerja yang dituju dalam penyusunan APBD
8. Variabel X8 (Belum ada kemauan yang kuat untuk menerapkan
penganggaran)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 67% menjawab skor 4 dan
32% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung
menyetujui bahwa tidak ada kemauan yang kuat untuk menerapkan
9. Variabel X9 (Unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi,
sasaran, dan tujuan)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 56% menjawab skor 4 dan
38% menjawab skor 5 yang artinya 94% responden cenderung
menyetujui bahwa unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi,
sasaran, dan tujuan dari penyusunan APBD.
10. Variabel X10 (Pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan
eksekutif)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 58% menjawab skor 4 dan
41% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung
menyetujui bahwa pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan
eksekutif dalam penyusunan APBD.
11. Variabel X11 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sederhana)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 37% menjawab skor 4 dan
46% menjawab skor 5 yang artinya 83% responden cenderung
menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyusunan APBD sederhana.
12. Variabel X12 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sulit
dipahami)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 38% menjawab skor 4 dan
menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyusunan APBD sulit dipahami.
13. Variabel X13 (Peraturan perundang-undangan yang terkait mudah
dilaksanakan)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 45% menjawab skor 4 dan
49% menjawab skor 5 yang artinya 84% responden cenderung
menyetujui bahwa Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyusunan APBD mudah dilaksanakan.
14. Variabel X14 (Peraturan perundang-undangan yang terkait
memungkinkan penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 51% menjawab skor 4 dan
42% menjawab skor 5 yang artinya 93% responden cenderung
menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyusunan APBD memungkinkan penyusunan dan penetapan
anggaran yang lebih tepat waktu.
15. Variabel X15 (Saya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan
peraturan perundangan)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 44% menjawab skor 4 dan
55% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung
menyetujui bahwa dirinya tidak mendapat kesulitan memahami
16. Variabel X16 (Saya merasa penerapan peraturan perundangan sulit
saya lakukan)
Jawaban responden pada variabel ini yaitu 48% menjawab skor 4 dan
49% menjawab skor 5 yang artinya 97% responden cenderung
menyetujui bahwa penerapan peraturan perundangan sulit dilakukan
dalam penyusunan APBD.
4.2.2. Analisis Faktor
4.2.2.1. Analisis Faktor Putaran Pertama
Variabel yang diikutkan dalam analisis faktor putaran pertama terdiri
dari 16 (enambelas) variabel. Berikut hasil analisis faktor putaran pertama
ini adalah :
1. KMO dan Bartlett’s Test
KMO Measure of Sampling Adequacy adalah angka indeks untuk
menggantikan besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya
koefisien parsial.
KMO Measure of Sampling Adequacy kurang dari 0,50 maka
menunjukkan bahwa korelasi antar variabel dan analisis faktor tidak
sesuai untuk diterapkan.
Barlett’s Test adalah tes yang digunakan untuk menguji
interdependensi antara butir-butir yang menjadi indikator suatu variabel
atau faktor. Berikut ini hasil KMO dan Bartlett’s Test :