• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Perubahan Undang-Undang yang Menjadi Landasan Lahirnya suatu Peraturan Daerah terhadap Kebijakan Penegakan

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 39-44)

Hukum

Kebijakan publik berdasarkan pendekatan terminologis menurut Thomas R. Dye adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mereka yang melakukan, dan hasilnya membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Menurut Harold Laswell adalah suatu program yang diproyeksikan pada satu tujuan, nilai dan praktik tertentu. Sedangkan menurut Rian Nugroho kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah75

Sesungguhnya hubungan hukum dengan kebijakan publik sangat erat bagaikan dua sisi mata uang. Maksudnya adalah produk hukum yang baik harus melalui proses komunikasi antara stakeholder dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dalam penyusunan

75 H. Syahrin Naihasy, Op. Cit. h. 21

kebijakan publik. Produk hukum berbicara dalam dua sisi, yakni sisi keadilan dan sisi legalitas, sebagai upaya adanya kepastian hukum yang kemudian menjelma hukum positif. Produk kebijakan publik berisi dua sisi pula yaitu good governance dan reinventing goverment. Menurut Barclay dan Birkland, bahwa sebuah hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat, maka akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu sendiri.76

Penegakan hukum atau penerapan hukum positif Indonesia dilakukan dalam rangka:

1) Melaksanakan hukum sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan terhadap kegiatan masyarakat seperti perizinan, pengesahan, menyatakan tidak keberatan dan lain-lain. Penerapan hukum ini merupakan fungsi pemerintahan (administrasi negara) di pusat atau di daerah;

2) Mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran atau suatu aturan hukum seperti yang dilakukan oleh badan peradilan atau tindakan oleh administrasi negara dalam bentuk pencabutan perizinan, atau tindakan administratif terhadap pegawai yang melanggar peraturan kepegawaian.

Penerapan hukum atau penegakan hukum harus dilakukan dengan tatacara tertentu, untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari yang bersewenang-wenang melaksanakan atau mempertahankan hukum. Penerapan hukum disamping harus berdasarkan ketentuan-ketentuan normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-asas tertentu.

Asas-asas itu antara lain:

76 Ibid. , h. 33

1) Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum);

2) Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);

3) Asas peralihan hukum;

4) Asas peringkatan perundang-undangan (lex superior derogat lex legi inferiori);

5) Asas lex spesialis derogat legi generalis;

6) Asas lex posterior derogat legi priori;

7) Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis;

8) Asas kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum.

Berkaitan dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana diterangkan di atas bahwa di satu pihak Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghendaki adanya tata urutan perundang-undangan, dimana tata urutan berpengaruh terhadap tingkat kekuatan dari peraturan perundang-undangan dimaksud maka dalam hal suatu peraturan perundang-undangan tingkat bawah akan bergantung eksistensinya pada peraturan perundang-undangan yang melandasi kelahirannya, atau dengan kata lain Hukum positif Indonesia menghendaki validitas yang bersifat normatif sebagaimana teori Adolf Merkl, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, Hart. Kemudian berdasarkan teori-teori lain dan asas-asas hukum yang pada pokoknya telah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1). Bahwa berdasarkan tinjauan perundang-undangan, secara formal, meskipun Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tetap masih berlaku atau valid.

2). Bahwa menurut teori Adolf Merkl dengan prinsip apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya

norma-norma hukum yang ada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula, maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, telah kehilangan daya berlakunya atau validitasnya.

3). Menurut teori Hans Kelsen, Hans Nawiasky dan Hart, dengan prinsip validitas norma hukum ditentukan oleh norma dasarnya, dan disebabkan belum ada pembatalan dari otoritas yang berwenang maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, tetap masih berlaku atau valid.

4). Menurut teori Lon Fuller, I.C. Van der Vlies, A. Hamid Attamimi, Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 merupakan peraturan perundangan yang secara evaluatif valid.

5). Berdasarkan asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan, maka dapat disimpulkan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 untuk dijadikan dasar penegakan hukum sudah tidak valid lagi.

6). Bahwa dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai nilai validitas dari suatu peraturan perundang-undangan memiliki banyak perspektif, yang tiap perspektif memiliki nilainya tersendiri, namun demikian setiap peerundang-undangan dapat diupayakan sebanyak mungkin memiliki nilai validnya. Salah satu cara yang sederhana untuk mencapai tujuan itu adalah melaksanakan amanat yang dikemukakan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 agar peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Cara lainnya adalah agar dalam melaksanakan atau menegakkan hukum, hendaknya taat asas.

7). Bahwa ternyata Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 belum mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pelaksanaannya tidak taat asas.

8). Bahwa salah satu contoh bentuk pelaksanaan amanat yang dikemukakan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 agar peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan taat asas adalah dengan segera merubah Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dengan materi yang menunjuk pada keberadaan undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, sehingga isi dari Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 adalah bagaimana teknis melaksanakan kedua peraturan perundang-undangan terebut di atas.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan pendapat Barclay dan Birkland, bahwa sebuah hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat, maka akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu sendiri nilai. Kekuatan legalitas dari Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 memiliki nilai validitas yang bermacam-macam sehingga dapat dikatakan validitasnya diragukan atau tidak sempurna. Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 seharusnya melaksanakan amanat yang dikemukakan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan taat asas sehingga perlu diganti. Oleh karena dalam kenyataannya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 belum diganti dan masih efektif, maka akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu sendiri

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 39-44)

Dokumen terkait