• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undang- undang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya

terhadap kebijakan penegakan hukum

Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Mengingat tugas pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah semakin berat, maka pembentukan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah memerlukan perhatian yang serius. Proses sinkronisasi, pembulatan dan pemantapan peraturan daerah merupakan hal yang harus ditempuh. Sinkronisasi adalah merupakan upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini peraturan daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang tersusun secara sistematis dalam suatu hierarki. Sinkronisasi dapat juga mengenai atau berhubungan dengan asas peraturan perundang-undangan agar tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa peraturan daerah merupakan bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi dilakukan untuk menjaga keselarasan, kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif untuk mencegah adanya pembatalan oleh pemerintah atau pun diajukannya permohonan pengujian peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang kompeten ataupun untuk mencegah adanya kebatalan demi hukum.

(2)

Di dalam penelitian ini, seluruh uraian dalam landasan teori pada dasarnya juga merupakan hasil penelitian. Hal ini dikarenakan sumber-sumber penelitian hukum yang menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan- bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder yang pada dasarnya merupakan studi pustaka. Agar tidak terjadi pengulangan penulisan, tidak perlu lagi untuk dikemukakan secara keseluruhan.

Untuk menjawab permasalahan utama, pembahasan akan dimulai dengan menguraikan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dilanjutkan dengan membicarakan kedudukan Perda dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang muaranya adalah menunjuk ke arah validitas suatu perundang-undangan, kemudian dilanjutkan dengan studi kasus tentang Peraturan Daerah di Sukoharjo serta penegakan hukumnya, sehingga pada akhirnya akan diperoleh suatu kesimpulan yang akan menjawab pokok permasalahan.

1. Tata Urutan Perundang-undangan

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa di dalam prinsip negara hukum, secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya pertentangan antara unsur-unsur dan bagian-bagian di dalamnya.

Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Prinsip negara hukum dan pemerintahan atas dasar sistem konstitusi, menghendaki adanya suatu tata hukum. Keharusan adanya suatu tata hukum, merupakan prinsip yang pertama-tama harus ada dalam negara hukum. Suatu tata hukum yakni setiap norma hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, artinya norma hukum yang satu tidak boleh mengesampingkan norma hukum yang lain. Dengan demikian suatu sistem hukum harus diwujudkan dalam tata susunan norma hukum secara hirarkis, tidak dibenarkan adanya pertentangan di antara norma-norma hukum baik pertentangan secara vertikal maupun pertentangan secara horisontal. Oleh sebab itu, di dalam negara hukum dikenal asas bahwa

(3)

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah selalu melaksanakan apa yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau mengesampingkan atau bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Kemudian dikenal juga asas bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan mengatur hal yang tertentu yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian membatalkan peraturan perundang-undangan terdahulu.

Pemikiran-pemikiran semacam itu adalah suatu hal yang wajar, bahkan suatu keniscayaan dalam berpikir mengenai suatu sistem.

Sistem pemerintahan negara yang dianut dalam UUD 1945 adalah pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi atau hukum dasar. UUD 1945 adalah merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Prinsip dari pemerintahan atas dasar sistem konstitusi, meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi.

Dengan demikian semua norma hukum dalam setiap peraturan perundang- undangan harus dibuat taat asas dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma dalam konstitusi. Norma konstitusi inilah yang kemudian melahirkan tertib tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena di dalam negara yang bersistem konstitusional atau hukum dasar terdapat suatu hirarki perundang-undangan, maka sudah sewajarnya jika Undang- Undang Dasar diletakkan atau berada di puncak piramida ataupun menjadi dasar keberadaan ataupun barometer bagi ketentuan-ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi.

Negara Republik Indonesia dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusinya. Di dalam kurun waktu berlakunya itu, telah lahir beberapa perundangan yang mengatur tentang tata urutan perundang-undangan sebagai berikut:

1) Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950;

2). Berdasarkan Ketetapan MPR No XX/MPRS/1966;

3). Berdasarkan Ketetapan MPR No III/2000 ;

(4)

4). Berdasarkan Ketetapan MPR No III/2000;

5). Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Adapun hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini diawali dengan ditetapkanya Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Kemudian untuk menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Nopember 2004. Undang-Undang tersebut mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Pasa1 7, yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/ walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(5)

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam Penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa ayat (1), ayat (2) huruf b dan huruf c, serta ayat (3) adalah "Cukup jelas", sedangkan ayat-ayat yang lainnya diberi penjelasan sebagai berikut:

(2) Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat; Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat

2. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan peraturan perundang- undangan telah disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Bab I , bagian Ketentuan Umum, Pasal 1, sebagai berikut:

(6)

a. angka 2 : Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

b. angka 3 : Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden;

c. angka 4 : Peraturan Pemerintah adalah perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya .

d. angka 5 : Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden.

e. angka 7 : Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan, Peraturan Daerah meliputi :

1) Peraturan Daerah Propinsi yang dibuat oleh DPRD Propinsi bersama Gubernur;

2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Wali Kota;

3) Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala desa atau nama lainnya.

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berkaitan dengan kedudukan serta pengawasan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perakepda) diatur dalam pasal 136 sampai dengan 149, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang intinya adalah sebagai berikut:

1). Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD;

2). Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah Propinsi/ Kabupaten/ Kota dan tugas pembantuan;

(7)

3). Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing;

4). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda;

5). Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/

Walikota;

6). Perda dapat membuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);

7). Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh Pimpimam DPRD dan Gubernur atau Bupati/ Walikota disampaikan oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/ Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda;

Dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pengawasan eksekutif maupun pengawasan yudikatif Perda, sebagai berikut:

Ayat (1) Peraturan daerah disampaikan pada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

Ayat (2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

Ayat (3) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1);

Ayat (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

(8)

Ayat (5) Apabila propinsi/kabupaten kotatidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Ayat (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Ayat (7) Apabila Peraturan Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku.

Kemudian Pasal 146 (1) menyatakan bahwa untuk melaksanakan Perda atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.

Kemudian berkenaan dengan hirarkhinya dijelaskan dalam ayat (2)nya yaitu bahwa Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sedangkan Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang intinya adalah mengenai pengawasan Menteri Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Propinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Menteri Dalam Negeri ini dapat dikategorikan sebagai executive review yaitu mekanisme pengujian peraturan daerah oleh Menteri Dalam Negeri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat. Lebih jauh dikatakan bahwa Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, gubernur bersama DPRD harus melakukan penyempurnaan atau jika tidak maka Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakkunya pagu

(9)

APBD tahun sebelumnya. Dengan demikian eksistensi Perda akan diawasi secara represif oleh Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif).

3. Asas-asas berlakunya Peraturan perundang-undangan

Penerapan hukum disamping harus berdasarkan ketentuan- ketentuan normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-asas tertentu.

Asas-asas itu antara lain:

1) Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum);

2) Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);

3) Asas peralihan hukum;

4) Asas peringkatan perundang-undangan (lex superior derogat lex legi inferiori);

5) Asas lex spesialis derogat legi generalis;

6) Asas lex posterior derogat legi priori;

7) Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis;

8) Asas kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum.

Satu hal lagi perlu dikemukakan bahwa berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang juga berkaitan dengan validitas peraturan perundang-undangan yaitu mengenai asas-asas pembentukan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan Perda sebagaimana diatur dalam pasal 137, pasal 138, Pasal 237 dan Pasal 238 sebagai berikut:

Pasal 137, Perda dibentuk berdasar pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

(10)

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedaya gunaan dan kehasil gunaan;

f. Kejelasan rumusan dan g. Keterbukaan

Pasal 138 Ayat (1), Materi muatan Perda mengandung asas:

a. Pengayoman;

b. Kemanusiaan;

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan;

f. Bhineka tunggal ika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah;

i. Ketertiban dan kepastian hukum;

j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Ayat (2); Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.

Pasal 237 : Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini.

Pasal 238 Ayat (1) Semua Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.

4. Studi Kasus Tentang Peraturan Daerah di Kabupaten Sukoharjo Sebagaimana telah dinyatakan dalam bab I tentang latar belakang masalah, bahwa ada Peraturan Daerah di Sukoharjo yaitu Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara dan Perubahan Dalam Rangka Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk, di dalam konsiderannya, dalam hal menimbang, mendasarkan antara lain pada

(11)

Undang-undang. Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah- daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah, Undang- undang Nomor 12/Drt. Tahun 1967 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah; Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 8 Tahun 1977 tentang pelaksanaan Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 404 Tahun 1977 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Perubahan Dalam Rangka Pendaftaran Penduduk; Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1980. Dalam kenyataannya, diantara peraturan perundangan yang menjadi bahan pertimbangan berlakunya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tersebut, telah beberapa kali mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya hal tersebut akan ditunjukkan melalui tabel sebagai berikut:

Tabel I. beberapa perubahan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan berlakunya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo

Nomor 35 Tahun 1990 sebagaimana dalam konsiderannya

Nomor Perda Tk. II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, Mendasarkan Pada

Keterangan

1.

2.

3.

UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah,

UU Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah.

UU Nomor 12/Drt Tahun 1967 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah;

Telah diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, yang telah diganti lagi dengan

UU Nomor 32 Tahun 2004.

Tetap.

Telah diganti dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan

(12)

4.

5.

6.

7.

8.

UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Kep Pres Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk;

Permendagri Nomor 8 Tahun 1977 tentang pelaksanaan Pendaftaran Penduduk;

Permendagri Nomor 404 Tahun 1977 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Perubahan Dalam Rangka Pendaftaran Penduduk;

Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1980.

UU Nomor 34 Tahun 2000 Tetap

Telah ada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Telah ada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Telah ada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Telah ada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Perlu diketahui bahwa dengan telah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dengan itu telah menghapus daya berlakunya Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 8 Tahun 1977 tentang pelaksanaan Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 404 Tahun 1977 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Perubahan Dalam Rangka Pendaftaran Penduduk; Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1980.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, disamping telah menjadi sumber hukum tentang tidak berlakunya lagi beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 sebagaimana ada dalam konsideran, juga memiliki materi jauh lebih lengkap dari pada Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tersebut di atas sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

(13)

Tabel II. Perbandingan materi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 dengan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 Bab Materi Perda Tk. II Sukoharjo

Nomor 35 Tahun 1990

Materi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

I II

III IV

VI

Tentang Ketentuan Umum Tentang Kewajiban Penduduk dan Keluarga, Kartu Keluarga, dan Kartu Tanda Penduduk

Tentang Pembiayaan TentangPelaksanaan

Pengawasan dan Penyidikan

Tentang Ketentuan Pidana

Tentang Hak Dan Kewajiban Penduduk

Tentang Kewenangan Penyelenggara Dan Instansi Pelaksana;

Bagian Kesatu Penyelenggara

Bagian Kedua Instansi Pelaksana Tentang Pendaftaran Penduduk Tentang Pencatatan Sipil

Bagian Kesatu Pencatatan Kelahiran

Bagian Kedua Pencatatan Lahir Mati

Bagian Ketiga Pencatatan Perkawinan

Bagian Keempat Pencatatan Pembatalan Perkawinan

Bagian Kelima Pencatatan Perceraian

Bagian Keenam Pencatatan Pembatalan Perceraian

Bagian Ketujuh Pencatatan Kematian

Bagian Kedelapan Pencatatan Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak, dan Pengesahan Anak

Bagian Kesembilan Pencatatan Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan

Bagian Kesepuluh Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya

Bagian Kesebelas Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Melaporkan Sendiri

Tentang Data Dan Dokumen Kependudukan

Bagian Kesatu Data Kependudukan

(14)

VII

VIII

IX X XI XII XIII XIV

Tentang Penutup.

Bagian Kedua Dokumen Kependudukan

Bagian Ketiga Perlindungan Data dan Dokumen Kependudukan

Tentang Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Saat Negara Atau Sebagian Negara Dalam Keadaan Darurat Dan Luar Biasa

Tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

Tentang Perlindungan Data Pribadi Penduduk Tentang Penyidikan

Tentang Sanksi Administratif Tentang Ketentuan Pidana Tentang Ketentuan Peralihan Tentang Ketentuan Penutup

5. Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo berkaitan dengan Perda Nomor 35 tahun 1990

Berkaitan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Daerah Sukoharjo yang melaksanakan penertiban Kartu Tanda Penduduk yang dilakukan dengan cara memeriksa setiap pengendara sepeda motor yang melintas di wilayah tertentu di Sukoharjo, kemudian terhadap para pelanggar atau yang didakwa melanggar Perda tersebut secara seketika diajukan dalam persidangan oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo, yang memberi gambaran bahwa Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 masih efektif berlaku sebagai dasar hukum dalam proses penegakan hukum. Data-data persidangan yang dilangsungkan dalam tahun 2008 tersebut sebagaimana terurai dalam tabel di bawah ini:

(15)

Tabel III. Data Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo selama Tahun 2008 berkaitan dengan Perkara Pidana Cepat Pasal 4 ayat (1) Perda Nomor 35

Tahun 1990 Nom

or Nomor Perkara Tgl Sidang Putusan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

1s/dD 41 /Pid.R/2008/PN. Skh.

42 s/d 81 /Pid.R/2008/PN. Skh

83 s/d 121 /Pid.R/2008/PN. Skh 122 s/d 153 /Pid.R/2008/PN. Skh 155 s/d 200 /Pid.R/2008/PN. Skh 203 s/d 258 /Pid.R/2008/PN. Skh

262 s/d 310 /Pid.R/2008/PN. Skh 311 s/d 340 /Pid.R/2008/PN. Skh

345 s/d 402 /Pid.R/2008/PN. Skh

345 s/d 402 /Pid.R/2008/PN. Skh

429 s/d 449 /Pid.R/2008/PN. Skh

15 April 2008

22 April 2008

23 April 2008 27 Mei 2008 01 Juli 2008 23 Juli 2008

12 Agustus 2008 15 Agustus 2008

21 Oktober 2008

11 Nopember 2008

18 Nopember 2008

Denda : Rp. 2.500,- : 3 Rp. 4.500,- : 11 Rp. 9.500,- : 14.

Bebas : 13 Denda : Rp. 2.500,- : 1 Rp. 4.500,- : 17 Rp. 9.500,- : 12.

Bebas : 10 Denda Rp. 9.500,- : 39 Denda Rp. 9.500,- : 32 Denda Rp. 9.500,- : 46 Denda : Rp. 2.500,- : 2

Rp. 4.500,- : 26 Rp. 6.500,- : 7 Rp. 9.500,- : 21 Denda Rp. 9.500,- : 49 Denda : Rp. 4.500,- : 17 Rp. 9.500,- : 13 Denda : Rp. 4.500,- : 23

Rp. 6.500,- : 9 Rp. 9.500,- : 25 Bebas : 1 Denda : Rp. 4.500,- : 9 Rp. 7.500,- : 1 Rp. 9.500,- : 15 Denda : Rp. 5.500,- : 2 Rp. 9.500,- : 19

(16)

B. PEMBAHASAN

1. Validitas atau Keberlakuan

Peraturan perundang-undangan positif Indonesia, sebagaimana ternyata dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasa1 7, yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/ walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(17)

Dengan demikian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menghendaki adanya tata urutan perundang-undangan, dimana tata urutan berpengaruh terhadap tingkat kekuatan dari peraturan perundang-undangan dimaksud maka dalam hal suatu peraturan perundang-undangan tingkat bawah akan bergantung eksistensinya pada peraturan perundang-undangan yang melandasi kelahirannya.

Berkaitan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai kedudukan serta pengawasan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perakepda) diatur dalam pasal 136 sampai dengan 149, UU. Nomor 32 Tahun 2004, yang intinya adalah sebagai berikut:

1). Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD;

2). Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah Propinsi/ Kabupaten/ Kota dan tugas pembantuan;

3). Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing;

4). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda;

5). Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/

Walikota;

6). Perda dapat membuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);

7). Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh Pimpimam DPRD dan Gubernur atau Bupati/ Walikota disampaikan oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/ Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda;

(18)

Dalam Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pengawasan eksekutif maupun pengawasan yudikatif Perda, sebagai berikut:

Ayat (1) Peraturan daerah disampaikan pada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

Ayat (2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

Ayat (3) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1);

Ayat (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

Ayat (5) Apabila propinsi/kabupaten kotatidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Ayat (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Ayat (7) Apabila Peraturan Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku.

Kemudian Pasal 146 (1) menyatakan bahwa untuk melaksanakan Perda atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah

(19)

menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.

Kemudian berkenaan dengan hirarkhinya dijelaskan dalam ayat (2)nya yaitu bahwa Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan Pasal 185 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang intinya adalah mengenai pengawasan Menteri Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Propinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Menteri Dalam Negeri ini dapat dikategorikan sebagai executive review yaitu mekanisme pengujian peraturan daerah oleh Menteri Dalam Negeri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat. Lebih jauh dikatakan bahwa Perda paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, gubernur bersama DPRD harus melakukan penyempurnaan atau jika tidak maka Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakkunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Kemudian Pasal 237 menentukan semua ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini dan Pasal 238 Ayat (1) menetukan semua Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam hukum positif Indonesia:

1) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya;

2) Tata urutan peraturan perundang-undangan berpengaruh terhadap tingkat kekuatan dari peraturan perundang-undangan dimaksud, dalam arti peraturan perundangan yang dibuat oleh otoritas yang lebih tinggi dapat membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh otoritas yang lebih rendah;

(20)

3) Eksistensi pemerintahan daerah secara keseluruhan diawasi secara represif oleh Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif);

4) Batal atau tidak batal berlakunya suatu perda tergantung dari keputusan otoritas yang berwenang menyatakan kebatalannya.

5) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada UU Nomor 32 Tahun 2004;

6) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku

Berkaitan dengan keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya perda tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, yang telah diganti lagi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, kemudian mengalami amandemen lagi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dengan telah lahirnya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang di dalamnya telah menghapus Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 8 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 404 Tahun 1977

(21)

tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Perubahan Dalam Rangka Pendaftaran Penduduk; Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1980.

peraturan perundang-undangan mana telah menjadi dasar hukum lahirnya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, sebagaimana selengkapnya terurai dalam bab hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara formal, meskipun Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, berdasarkan tinjauan perundang-undangan, Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tetap masih berlaku atau valid.

Adolf Merkl menyatakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah, yaitu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang ada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.66 Berkaitan dengan berlakunya peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia sebagaimana disimpulkan di atas, bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya, maka berkaitan dengan keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya perda tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, yang telah diganti lagi dengan

66 Maria Farida Indrati, Op.Cit. h. 41-42

(22)

UU Nomor 32 Tahun 2004, telah diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang- Undang, kemudian mengalami amandemen lagi yaitu dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dengan telah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang di dalamnya telah menghapus Kep Pres Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 8 Tahun 1977 tentang pelaksanaan Pendaftaran Penduduk; Permendagri Nomor 404 Tahun 1977 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Perubahan Dalam Rangka Pendaftaran Penduduk; Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1980. peraturan perundang-undangan mana telah menjadi dasar hukum lahirnya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, sebagaimana selengkapnya terurai dalam bab hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menurut teori Adolf Merkl Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, telah kehilangan daya berlakunya atau validitasnya.

Hans Kelsen menyatakan bahwa tatanan hukum adalah suatu sistem norma. Menurut hakikat norma dasar, dapat dibedakan dalam dua jenis tatanan hukum (norma) atau sistem norma yang berbeda yaitu sistem norma statis dan sistem norma dinamis. Dalam sistem norma statis, norma itu valid berdasarkan isinya. Isinya memiliki kwalitas yang terbukti secara langsung yang menjamin validitasnya. Kwalitas ini dimiliki oleh norma itu lantaran berasal

(23)

dari norma dasar yang spesifik seperti halnya norma khusus yang berasal dari norma umum. Kekuatan mengikat norma dasar terbukti dengan sendirinya, atau sekurang-kurangnya dipostulasikan demikian. Dalam sistem norma dinamis, harus dilahirkan melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang untuk membentuk norma-norma. Pemberian wewenang ini merupakan pendelegasian. Norma yang membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu otoritas kepada otoritas lain. Otoritas pertama adalah otoritas yang lebih tinggi, otoritas kedua adalah yang lebih rendah. Norma dasar dari suatu sistem yang dinamis adalah peraturan fundamental yang menjadi dasar rujukan bagi pembentukan norma-norma dari sistem tersebut. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan, dinamika dari suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu dinamika hukum yang vertikal dan dinamika hukum yang horizontal. Dinamika hukum yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang ke atas. Dalam dinamika vertikal, suatu norma berlaku dan bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, norma hukum di atasnya berlaku dan bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum yang berada di bawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum di bawahnya, norma hukum di bawahnya menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum di bawahnya lagi dan demikian seterusnya ke bawah.

Sedangkan dinamika hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak ke samping. Ia tidak membentuk suatu norma yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena adanya analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang serupa. Menurut Hans Kelsen hukum termasuk dalam sistem yang dinamik (nomodinamicks) oleh karena hukum selalu dibentuk dan

(24)

dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya. Adapun dalam ajaran Kelsen mengenai stufenbau des Rech dikatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). Hans Kelsen menyatakan bahwa berkaitan dengan pembatalan dan kebatalan, prinsip umum yang mendasarinya dapat dirumuskan menurut cara berikut; norma hukum selalu valid, norma hukum ini tidak bisa batal (null), tetapi dapat dibatalkan (annullable). Namun demikian terdapat derajat kebatalan yang berbeda- beda. Tatanan hukum dapat memberi wewenang kepada organ tertentu untuk menyatakan batalnya (tidak berlakunya) suatu norma, ini berarti, untuk membatalkan norma tersebut dengan kekuatan berlaku surut, sehingga akibat-akibat hukum yang sebelumnya telah ditimbulkan oleh norma tersebut, dapat dihapuskan karenanya. Ini biasanya –tetapi tidak selalu- dicirikan dengan pernyataan bahwa norma itu tidak berlaku secara ab initio atau telah dinyatakan “batal atau tidak berlaku”. Namun demikian

“pernyataan” yang dimaksud itu tidak mempunyai karakter deklaratif, tetapi karakter konstitutif. Tanpa pernyataan dari organ yang kompeten ini, norma tersebut tidak dapat dianggap tidak berlaku. Tatanan hukum mungkin juga tidak hanya memberi wewenang kepada organ khusus, tetapi juga kepada setiap subjek untuk menyatakan suatu norma hukum, yakni suatu yang ada dengan sendirinya sebagai norma hukum, sebagai bukan norma sama sekali;

dan itu berarti tatanan hukum mungkin memberi wewenang kepada setiap

(25)

subjek untuk membatalkan suatu norma hukum sekalipun dengan kekuatan yang berlaku surut.67

Teori Hans Kelsen tersebut dikaitkan dengan keberadaan Peraturan perundang-undangan positif Indonesia, sebagaimana ternyata dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasa1 7, yang selengkapnya terurai di atas, maka dapat dikatakan bahwa tatanan hukum positif Indonesia adalah suatu sistem norma. Dalam sistem norma statis, norma itu valid berdasarkan isinya yang memiliki kwalitas lantaran berasal dari norma dasar yang spesifik seperti halnya norma khusus yang berasal dari norma umum. Hans Kelsen juga mengemukakan mengenai dinamika hukum yang vertikal yaitu dinamika yang berjenjang ke atas. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasa1 7 adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini dimasukkan dalam hierarkhi peraturan peundang-undangan, di mana di dalamnya terdapat Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat teks Pancasila, yang merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara, atau disebut sebagai Grundnorm. Kemudian ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasa1 7 Ayat (5) bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dengan demikian dapat dikatakan pada pokoknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menghendaki

67 Ibid. h. 29

(26)

adanya tata urutan perundang-undangan, dimana tata urutan peraturan perundang-undangan menjadi tolok ukur validitasnya.

Teori Hans Kelsen dikaitkan dengan keberadaan Pasal 145 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan mengenai pengawasan eksekutif maupun pengawasan yudikatif Perda, sebagai berikut:

Ayat (1) Peraturan daerah disampaikan pada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

Ayat (2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

Ayat (3) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1);

Ayat (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

Ayat (5) Apabila propinsi/kabupaten kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Ayat (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Ayat (7) Apabila Peraturan Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku.

(27)

Kemudian Pasal 146 (1) menyatakan bahwa untuk melaksanakan Perda atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.

Kemudian berkenaan dengan hirarkhinya dijelaskan dalam ayat (2)nya yaitu bahwa Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian dikaitkan dengan Pasal 185 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang intinya adalah mengenai pengawasan Menteri Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Propinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Penjelasan tersebut secara keseluruhan menunjukkan eksistensi Perda akan diawasi secara represif oleh Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif), Dengan demikian dapat dikatakan pada pokoknya Undang Nomor 32 Tahun 2004 menghendaki adanya tata urutan perundang-undangan, dimana tata urutan peraturan perundang- undangan menjadi tolok ukur validitasnya, namun demikian untuk menyimpulkan ada atau tidaknya keterbatalah hukum ditentukan dengan suatu pengawasan yang bersifat represif, baik melalui Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya;

2) Tata urutan peraturan perundang-undangan berpengaruh terhadap tingkat kekuatan dari peraturan perundang-undangan dimaksud, dalam arti peraturan perundangan yang dibuat oleh otoritas yang lebih tinggi dapat membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh otoritas yang lebih rendah;

(28)

3) Eksistensi Perda secara keseluruhan diawasi secara represif oleh Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif);

4) Batal tidaknya berlakunya suatu perda tergantung dari keputusan otoritas yang berwenang menyatakan kebatalannya;

5) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada UU Nomor 32 Tahun 2004;

6) Semua Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan tetap berlaku.

Kemudian Teori Hans Kelsen dikaitkan dengan pokok persoalan mengenai keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya perda tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, maka dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Menurut Hans Kelsen dalam sistem norma dinamis, harus dilahirkan melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang untuk membentuk norma- norma. Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dilahirkan melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang, oleh sebab itu maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 adalah norma yang valid;

2) Menurut Hans Kelsen dalam dinamika vertikal, suatu norma berlaku dan bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, norma hukum di atasnya berlaku dan bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum yang berada di bawahnya. Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 berdasarkan hasil penelitian di atas

(29)

terbukti telah mendasarkan pada norma-norma yang di atasnya, oleh sebab itu maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 adalah norma yang valid;

3) Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum selalu valid, norma hukum ini tidak bisa batal (null), tetapi dapat dibatalkan (annullable). Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 berdasarkan hasil penelitian di atas terbukti belum pernah dibatalkan, oleh sebab itu maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 adalah norma yang valid;

4) Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menurut teori Hans Kelsen Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, tetap masih berlaku atau valid.

Hans Nawiasky, dalam bukunya berjudul ‘Allgemeine Rechtslehre’ yang mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.

Ia juga berpendapat bahwa norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok yang terdiri dari empat kelompok besar.

1. Kelompok Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);

2. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara);

3. Formeel Gesetz (Undang-undang ‘Formal’);

(30)

4. Verodnung & AutonomeSatzung (aturan pelaksana dan Aturan Otonom).68

Teori Hans Nawiasky tersebut dikaitkan dengan keberadaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dapat dijelaskan sebagai berikut; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini dimasukkan dalam hierarkhi peraturan peundang-undangan, di mana di dalamnya terdapat Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat teks Pancasila, yang merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara, atau disebut sebagai Staatsfundamentalnorm. Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang disebut juga Staatsgrundgesetz. Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dan dasar bagi pembentukan Batang Tubuh UUD 1945, serta masih merupakan suatu norma yang mengatur secara garis besar segala sesuatu tentang kehidupan kenegaraan pada umumnya, dan merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan atau sering disebut dengan Gesetzgebung, wetgeving, atau legislation. Inti dari teori Hans Nawiasky tersebut pada pokoknya merupakan pengembangan dari teori yang dilakukan oleh Hans Kelsen, sehingga kesimpulan dari pandangan Hans Nawiasky mengenai hal ini tidak berbeda dengan yang telah disimpulkan dalam pembahasan mengenai teori Hans Kelsen, sehingga secara tegas dapat disimpulkan bahwa menurut teori Hans Nawiasky Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, tetap masih berlaku atau valid.

Menurut Hart, ada tiga karakteristik hukum dan sistem hukum, yaitu validity, efficacy dan acceptance. Validity merujuk pada primary rules dilawankan dengan secondary rules; suatu primary rules valid

68 Ibid h. 45-46

(31)

apabila dilacak secara formal sesuai dengan prosedur sistem pembuatan dan perubahan aturan hukum.69 Teori Hart ini juga pada hemat penulis memiliki penjelasan yang tidak berbeda dengan teori Hans Kelsen, sehingga secara tegas dapat disimpulkan bahwa menurut teori Hart Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, tetap masih berlaku atau valid.

Sedangkan Ulrich Klug membuat suatu pembagian yang terinci dalam sembilan pengertian keberlakuan atau validitas sebagai berikut:70 1) Keberlakuan yuridis; maksudnya sebagai positivitas suatu kaidah

hukum;

2) Keberlakuan etis. Hal ini akan ada jika sebuah kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan. Keberlakuan ini adalah apa yang akan kita sebut suatu bentuk keberlakuan evaluatif.

3) Keberlakuan ideal. Suatu kaidah memiliki keberlakuan ini jika ia bertumpu pada kaidah moral yang lebih tinggi.

4) Keberlakuan riil. Keberlakuan ini ada jika para teralamat kaidah berperilaku dengan mengacu pada kaidah hukum itu. Kita akan menyebut (mentipikasi) keberlakuan ini sebagai suatu bentuk keberlakuan empiris;

5) Keberlakuan ontologis. Suatu kaidah akan tidak memiliki keberlakuan ini jika dipositifkan oleh pembentuk undang-undang yang tidak berpegangan pada tuntutan-tuntutan fundamental dalam pembentukan aturan. Tentang keberlakuan inihanya ditemukan dalam beberapa teori tertentu.

6) Keberlakuan sosio-relatif . Keberlakuan ini dimiliki kaidah hukum yang hanya memiliki fungsi lambing;

69 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. H. 69

70 J.J.H. Bruggink, Op. Cit. h. 147-149

(32)

7) Keberlakuan dekoratif. Keberlakuan ini dimiliki kaidah hukum yang hanya memiliki fungsi lambing;

8) Keberlakuan estetis. Hal ini ada jika suatu kaidah hukum memiliki elegansi tertentu;

9) Keberlakuan logikal. Suat kaidah hukum yang secara internal tidak bertentangan, memiliki bentuk keberlakuan ini.

Mengenai validitas peraturan perundangan ini ada sebanyak pandangan mengenai konsep hukum yang mendasarinya. Oleh sebab itu di sini hanya dikemukakan dalam uraian mengenai validitas yang berkaitan dengan pokok permasalahan dan sedikit disinggung mengenai yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentan Pemerintah Daerah. Suatu contoh adalah berkaitan dengan validitas yang dikemukakan oleh Lon Fuller, I.C. Van der Vlies dan A. Hamid Attamimi sebagaimana diuraikan di bawah ini;

Lon Fuller mengajukan delapan syarat agar suatu norma dikatakan sebagai norma hukum, yang disebutnya sebagai moral hukum internal (inner morality of law). Kedelapan syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1) Harus ada aturan (rules);

2) Harus brlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (reprospektif);

3) Aturan tersebut harus diumumkan;

4) Aturan tersebut harus sesuai akal sehat;

5) Aturan tidak boleh saling kontradiktif;

6) Aturan tersebut harus mungkin diikuti;

7) Aturan tidak boleh berubah secara konstan;

8) Harus ada kesesuaian (congruence) anatara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum

Menurut Fuller, kedelapan syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh suatu kaidah hukum, meskipun harus diakui bahwa tidak akan ada kaidah hukum yang dapat memenuhi syarat-syarat tersebut dengan sempurna. Namun demikian, suatu kaidah hukum yang baik harus berusaha untuk memenuhi

(33)

sekuat mungkin dan sedekat mungkin dengan syarat-syarat tersebut.

Disamping itu dibutuhkan pula syarat moral hukum eksternal (eksternal morality of law), yaitu yang berkenaan dengan persoalan apakah hukum tersebut merupakan hukum yang benar adil dan sebagainya.

Teori mengenai validitas juga dapat dikaitkan dengan syarat-syarat pembentukan peraturan negara yang baik. Di dalam bukunya yang berjudul

“Het wetbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving” I.C. Van der Vlies membagi dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan material.71

Asas-asas yang formal meliputi:

1) Asas tujuan yang jelas;

2) Asas organ/lembaga yang tepat;

3) Asas perlunya pengaturan;

4) Asas dapatnya dilaksanakan;

5) Asas konsensus.

Asas-asas yang material meliputi:

1) Asas tentang terminologi dan sistematikan yang benar;

2) Asas tentang dapat dikenali;

3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum;

4) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

A. Hamid Attamimi membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut ke dalam asas formal dan asas material sebagai berikut:72

Asas-asas yang formal meliputi:

1. Asas tujuan yang jelas;

2. Asas perlunya pengaturan ; 3. Asas organ/lembaga yang tepat;

4. Asas materi muatan yang tepat;

71 Maria Farida Indrati, Op. Cit. h. 45

72 Ibid. h. 256

(34)

5. Asas dapatnya dilaksanakan;

6. Asas dapat dikenali.

Asas-asas yang material meliputi:

1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara;

2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;

3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum;

4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.

Teor-teori faliditas tersebut sebetulnya memang sangat penting untuk dikemukakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan luasnya dimensi validitas suatu peraturan perundang-undangan. Namun demikian oleh karena pokok bahasan utama dalam tulisan ini adalah mengenai validitas yang berkaitan dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka penulis hanya menguraikan secara lebih terhadap pembagian keberlakuan kaidah hukum secara empiris, normatif atau formal dan evaluatif, disamping pembahasan dari teori Adolf Merkl, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, Hart sebagaimana tersebut di atas. Alasan lain adalah karena dalam teori hukum, pembagian keberlakuan empiris, normatif dan evaluatif sering dilakukan.

Namun demikian perlu juga diketahui bahwa asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut cukup mendapatkan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam pasal 137, pasal 138, sebagai berikut:

Pasal 137, Perda dibentuk berdasar pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi:

1) Kejelasan tujuan;

2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4) Dapat dilaksanakan;

5) Kedaya gunaan dan kehasil gunaan;

6) Kejelasan rumusan dan

(35)

7) Keterbukaan

Pasal 138 Ayat (1), Materi muatan Perda mengandung asas:

1) Pengayoman;

2) Kemanusiaan;

3) Kebangsaan;

4) Kekeluargaan;

5) Kenusantaraan;

6) Bhineka tunggal ika;

7) Keadilan;

8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah;

9) Ketertiban dan kepastian hukum;

10) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Ayat (2), Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.

Adapun Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, berdasarkan hasil penelitian sebagaimana di atas, kiranya secara umum memang telah memenuhi asas-asas dalam pasal 137 dan 138 tersebut, kecuali mengenai asas kepastian hukum, ketertiban, keserasian dan keleselarasan yang perlu ditingkatkan.

Adapun pembahasan mengenai pembagian keberlakuan kaidah hukum yang lebih umum dilakukan para ahli yaitu keberlakuan secara empiris, normatif atau formal dan evaluatif, yang dapat diuraikan sebagai berikut:73

1) Keberlakuan Empiris atau Faktual Kaidah Hukum

Kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keberlakuan ini juga berkaitan dengan apakah perangkat kaidah hukum secara umum oleh para pejabat hukum yang berwenang diterapkan dan ditegakkan. Berkaitan dengan keberadaan

73 Ibid. h. 149-154

(36)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang secara faktual keduanya telah berlaku sejak diundangkannya, dikaitkan pula dengan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya perda tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang Telah diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, yang telah diganti lagi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, kemudian diamandemen dengan UU Nomor 12 tahun 2008, yang hingga kini secara faktual sebagaimana hasil penelitian di Pengadilan Negeri Sukoharjo yang telah memutus Perkara-perkara Pidana Cepat Pasal 4 ayat (1) Perda Nomor. 35 Tahun 1990, yang bunyi putusannya sebagian dibebaskan, sebagian dikenakan denda dai Rp. 2500,- sampai Rp. 9500,-. dalam kenyataannya masih digunakan untuk menjadi dasar hukum dalam rangka penegakan hukum. Jadi dengan demikian perangkat kaidah hukum ini secara umum masih efektif diterapkan dan ditegakkan oleh para pejabat hukum yang berwenang. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa menurut Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, tetap masih berlaku atau valid secara faktual.

2) Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum

Kaidah hukum berlaku secara normatif atau formal jika kaidah itu merupakan bagian dari satu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierakhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah- kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Persoalan

(37)

berlakunya kaidah hukum secara normatif atau formal tersebut telah mendapat penjelasan yang cukup sebagaimana terurai di atas.

3) Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum

Kaidah hukum berlaku secara evaluatif, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Berkaitan dengan pembahasan mengenai validitas peraturan perundang-undangan ini, terutama adalah berkenaan dengan perihal pengaruh hirarkhi peraturan perundang- undangan terhadap validitas peraturan perundang-undangan, maka tidak akan dibahas secara mendalam. Namun demikian beerdasarkan uraian mengenai teori dari Lon Fuller, I.C. Van der Vlies, A. Hamid Attamimi secara sepintas jika dikaitkan dengan keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, penulis memandangnya sebagai sesuatu yang bernilai, dengan indikator bahwa materi yang dibicarakan dalam perda tersebut yaitu tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara dan Perubahan Dalam Rangka Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk, merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu maka Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 adalah perda yang valid.

Satu lagi persoalan yang penting untuk mendapatkan pembahasan berkaitan dengan masalah validitas peraturan perundang-undangan adalah berkaitan dengan asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

Sehubungan dengan berlakunya suatu undang-undang, terdapat bebarapa asas Peraturan Perundang-undanganan:

1) Undang-undang tidak berlaku surut;

2) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

3) Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang- undang yang bersifat umum;

(38)

4) Undang-undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang yang terdahulu yang mengatur hal tertentu yang sama;

5) Undang-undang tak dapat diganggu gugat.74

Mengenai asas undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, memiliki konsekwensi sebagai berikut:

a). Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat diubah atau dihapuskan oleh peraturan yang lebih rendah, akan tetapi proses sebaliknya adalah bisa;

b). Hal-hal yang wajib diatur oleh peraturan atasan tidak boleh diatur oleh peraturan rendahan, sedangkan sebaliknya adalah boleh;

c). Isi peraturan rendahan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan atasan. Keadaan sebaliknya adalah boleh, dan kalau hal itu terjadi maka peraturan rendahan itu menjadi batal;

d). Peraturan yang lebih rendah dapat merupakan peraturan pelaksanaan dan sebaliknya peraturan atasan adalah bukan merupakan peraturan pelaksanaan.

Asas-asas tersebut, dikaitkan dengan keberadaan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan lahirnya suatu Perda tersebut sebagaimana ada dalam konsiderannya yang sebagian telah dihapus oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memiliki materi jauh lebih lengkap dari pada Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tersebut di atas sebagaimana ditunjukkan dalam bagan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, padahal sebagaimana diketahui dari hasil penelitian bahwa keduanya mengatur

74 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit. h. 21

(39)

hal tertentu yang sama, sehingga sudah seharusnya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

2) Bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur hal tertentu yang sama yang diatur oleh Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, sehingga Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagai yang berlaku kemudian membatalkan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990;

3) Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 yang dalam bagian konsiderannya atau dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan daerah tersebut telah tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru, telah kehilangan daya berlakunya atau validitasnya.

2. Implikasi Perubahan Undang-Undang yang Menjadi Landasan Lahirnya suatu Peraturan Daerah terhadap Kebijakan Penegakan Hukum

Kebijakan publik berdasarkan pendekatan terminologis menurut Thomas R. Dye adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mereka yang melakukan, dan hasilnya membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Menurut Harold Laswell adalah suatu program yang diproyeksikan pada satu tujuan, nilai dan praktik tertentu. Sedangkan menurut Rian Nugroho kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah75

Sesungguhnya hubungan hukum dengan kebijakan publik sangat erat bagaikan dua sisi mata uang. Maksudnya adalah produk hukum yang baik harus melalui proses komunikasi antara stakeholder dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dalam penyusunan

75 H. Syahrin Naihasy, Op. Cit. h. 21

Referensi

Dokumen terkait

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat

Penyelenggaraan Liga Pendidikan Indonesia Tk... Fasilitasi

Penggantian nama tidak diwajibkan, akan tetapi selama tahun-tahun pertama dari masa Orde Baru, sebagian besar dari orang Indonesia keturunan Tionghoa mengganti nama mereka, karena

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama ekstraksi pati dari biji palado, tahap kedua modifikasi pati dengan perlakuan tiga metode yaitu

Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan aplikasi mobile phone berbasis Android dengan menerapkan metode Wiener estimation untuk menduga nilai reflektan berdasarkan

Star Executive   2000 USD 

Hambatan ditinjau dari segi wakif, yaitu: Pertama , pada umumnya setelah wakif meninggal dunia, ahli waris dari wakif tidak sesegera mungkin menyerahkan berkas-berkas

Gaya kognitif merupakan keinginan untuk mencapai prestasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Degeng dalam Lamba, 2006), sehingga siswa dengan gaya