• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Ketenagakerjaan

Dengan harapan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas - luasnya bagi masyarakat Indonesia, pemerintah berusaha merealisasikannya dengan membentuk produk Omnibus Law. Salah satu produk hukum yang menerapkan teknik Omnibus law yakni Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk mencapai peraturan perundang – undangan yang memudahkan

73 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, Pasal 9

74 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

75 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 6 Ayat (1)

76 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 11 Ayat (1)

masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja. Adanya sasaran pemerintah terhadap penciptaan lapangan kerja tersebut berdasarkan pada kondisi ketenagakerjaan yang terjadi saat ini di Indonesia, bahwa terdapat kurang lebih 6,8 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan atau sedang menganggur. Namun, setiap tahunnya terdapat 2 juta angkatan kerja baru yang siap memasuki lapangan pekerjaan.77 Dengan melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir yaitu 5% dan 1%, nyatanya dengan jumlah persentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya mampu menyerap sebanyak 400 ribu pekerja. Maka dari itu pemerintah berharap dalam upaya pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6% per tahun sehingga dapat menyerap 6,8 juta masyarakat Indonesia di kondisi pengangguran serta menyerap 2 juta angkatan kerja baru.78

Dalam menindaklanjuti proses pembentukan regulasi ini pun, pemerintah telah menyerahkan surat dari presiden, naskah akademik, dan draf Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari 2020.79 Sebagai bentuk konkret dari reformasi regulasi, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang terfokus pada peningkatan kemudahan investasi demi pertumbuhan ekonomi negara ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal. Dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini termuat berbagai pembaharuan atas undang - undang yang sebelumnya diubah, dihapus, atau ditetapkan peraturan baru.80

Perincian atas berbagai pembaharuan pasal yang dihadirkan dalam pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja antara lain terkhusus pada Kluster Ketenagakerjaan. Setidaknya termuat beberapa pasal terkait ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja yaitu perubahan pengaturan perlindungan tentang pekerja dengan perjanjian kerja tertentu, hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan pada alih daya, kebutuhan layak melalui upah minimum, pengaturan pemutusan hubungan kerja serta perizinan bagi tenaga

77 Giri Hartomo. (2020, Mei 10). “5 Fakta Terbaru soal Pengangguran di Indonesia, Jumlahnya Naik Jadi 6,8 Juta Orang”, OkeFinance. diakses dari https://economy.okezone.com/read/2020/05/08/320/2211090/5-fakta-terbaru-soal-pengangguran-di-indonesia-jumlahnya-naik-jadi-6-8-juta-orang pada 18 Juli 2020.

78 Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma. (2020). “Selayang Pandang Omnibus Law”. Diakses dari https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/SELAYANG%20PANDANG%20OMNIBUS%20LAW.pdf pada 21 Juli 2020.

79 Haris Prabowo. (2020, Februari 12). “Draf dan Surpres Omnibus Law Cilaka Diserahkan ke DPR“. Diakses dari https://tirto.id/draf-dan-surpres-omnibus-law-cilaka-diserahkan-ke-dpr-rabu-siang-eyuf pada 20 Juli 2020.

80 Ady Thea.(2020, Februari 14). “RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan”. Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e466978a3c7f/ruu-cipta-kerja-di-mata-konsultan-ketenagakerjaan/ pada 20 Juli 2020

kerja asing yang memiliki keahlian tertentu. Sebelumnya termuat dalam Pasal 88 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi, maka dihadirkan pengubahan, penghapusan, serta penetapan peraturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.81

Pembaharuan pasal pertama yang dihadirkan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja bersumber dari Pasal 79 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pembaharuan yang dihadirkan di dalamnya antara lain hilangnya pencantuman batas minimal istirahat panjang bagi pekerja/buruh dalam ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.82 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang - Undang Ketenagakerjaan yaitu “istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan ke delapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.” Akan tetapi dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang - Undang Ketenagakerjaan tidak lagi diatur secara jelas. Pasal 79 ayat (5) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja hanya mengatur mengenai cuti panjang yang diatur melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sehingga kekuatan mengikatnya bersifat sangat lemah dibandingkan jika diatur dalam undang-undang.83 Implikasi akan pembaharuan ini antara lain jika dilihat dari sudut pandang psikologis, sangat memungkinkan pekerja/buruh dalam membuat suatu perjanjian kerja mengalami tekanan psikologis sehingga dalam pengambilan keputusannya tidak sesuai kehendak yang sebenarnya berasal pekerja atau buruh itu sendiri, terutama dalam hal meminta kebijakan pemberi kerja untuk dicantumkan batasan waktu istirahat panjang.84

81 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88

82 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79

83 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 79 Ayat (5)

84 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker.

Selanjutnya, pembaharuan kedua yang dihadirkan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja bersumber dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang Ketenagakerjaan. Pembaharuan ini menimbulkan hilangnya kewenangan Menteri atau pejabat negara yang ditunjuk untuk memberikan izin bagi pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA). Kemudian pembaharuan ini memudahkan akses bagi Tenaga Kerja Asing karena setiap perusahaan sponsor Tenaga Kerja Asing hanya membutuhkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).85 Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing setidaknya diatur 2 kewajiban bagi pemberi kerja dan Tenaga Kerja Asing yakni memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan Visa Tinggal Terbatas (Vitas).86 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang Ketenagakerjaan adalah “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib

memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.”. Namun setelah dilakukan

pembaharuan dalam RUU Cipta Kerja, bunyi Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang Ketenagakerjaan diubah menjadi “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja

asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.” Implikasi yang timbul dari adanya pembaharuan ini adalah tidak ada lagi mekanisme

perizinan yang kompleks bagi Tenaga Kerja Asing sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan sebelumnya. Hal tersebut juga akan berimplikasi terhadap tidak digunakannya lagi Visa Tinggal Terbatas dalam mekanisme perekrutan Tenaga Kerja Asing, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bahwa “Setiap Tenaga Kerja Asing yang

bekerja di Indonesia wajib mempunyai Vitas untuk bekerja.” Dan “Vitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimohonkan oleh Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing atau Tenaga Kerja Asing kepada menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia atau pejabat imigrasi yang ditunjuk.”87 Dengan adanya pembaharuan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja, ketentuan ini akan memudahkan akses masuknya Tenaga Kerja Asing di Indonesia, sedangkan masih adanya kompleksitas permasalahan tenaga kerja lokal yang belum terselesaikan.88

85 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 42 Ayat (1)

86 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing

87 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Pasal 17 ayat (1) dan (2)

88 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

Pembaharuan ketiga yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yaitu adanya perubahan mengenai Ketentuan Upah Minimum. Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Ketentuan mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral).89 Namun, berbagai ketentuan mengenai pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak lagi berlaku dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Dalam muatan Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang berbunyi: pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman, kemudian pada ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Dampak yang kelak terjadi apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Disamping itu, timbulnya kritikan terhadap penghapusan pada berbagai sistem pengupahan tersebut yaitu tidak termuat ada alasan yang jelas mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral ini. Pada kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mengatur mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.90 Setelah penghapusan terhadap berbagai sistem pengupahan tersebut, hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai bagimana penerapan sistem pengupahan di Indonesia ke depannya yang hanya menggunakan Upah Minimum Provinsi.91

Pembaharuan keempat yang muncul terkait dengan ketenagakerjaan yaitu menghilangnya konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat pasal yang memuat permasalahan terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja. Permasalahan pertama, termuat dalam

89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (1) dan (2)

90 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, Pasal 46 Ayat (2) dan Pasal 49 Ayat (3)

91 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha,

pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.92 Kemudian, dilakukannya perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh.” Implikasi dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan

pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja , sehingga pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.

Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak

tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 93 Dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara perdata. Hal ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas hukum. Asas mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah menjadi jargon yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat (2) tersebut, Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dianggap tidak memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama yang seharusnya memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling utama bagi pekerja dalam membela dirinya saat berselisih.94

Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force

92 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 151 Ayat (1)

93 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 152 Ayat (2)

94 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.95 Hal ini dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami pailit.

Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan.96 Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat 3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya 24 tahun atau lebih. Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan Undang - Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika dilihat, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja pada Karyawan.97

Pembaharuan kelima yang muncul dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik terkait sektor ketenagakerjaan yaitu adanya pasal yang menimbulkan misinterpretasi dikarenakan menggunakan istilah yang bersifat ambigu. Hal ini termuat dalam Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang – Undang Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”.98 Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah

apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan”. Hal yang menjadi kritikan dalam pasal pengubah ini yakni tidak adanya

penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata

95 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A

96 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 156

97 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

“berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata “berhalangan” diinterpretasikan secara bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Sehingga ketidakjelasan dalam Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini juga bisa menimbulkan penghapusan hak bagi para pekerja termasuk pekerja perempuan yang mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.

Bab III : Penutup V. Saran

Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spirituil. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitannya tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah masa kerja, tetapi juga dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja, pembangunan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial, peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta peningkatan produktivitas kerja dan daya saing tenaga kerja di dalam dan di luar negeri.

VI. Kesimpulan

1. Hukum merupakan produk politik yang memiliki karakter sebagai produk hukum yang dapat dilihat apakah berkarakter hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick atau berkarakter hukum ortodoks, seperti yang dikemukakan Marryman. Untuk mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja berkarakter hukum responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam studi ini digunakan indikator dalam proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran. Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu didalam masyarakat, sedangkan proses pembuatan produk hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.

2. Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini ditujukan untuk menjadi jaminan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat secara merata termasuk tenaga kerja dalam mendapatkan hak-hak normatif. Produk hukum ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mewujudkan pengaturan hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam penjaminan hak - hak normatif pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan yang

mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan tersebut mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak normatif pekerja dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu. Hak normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap adanya upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan berkembang dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak normatif tersebut. Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3 kategori yakni adanya pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak normatif pekerja bersifat ekonomis, dan pemenuhan hak normatif pekerja bersifat politis dan medis.

Daftar Pustaka

Agusmidah. Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum. Sofmedia. Medan 2011.

Cosmos Batubara. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Depnaker RI. Jakarta 1998.

Kartosapoetro. G., dan Kartosapoetro. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila. Bina Aksara. Jakarta 1986.

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. LP3ES. Jakarta 2001.

Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005. Ujang Charda. “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum

Bagi Tenaga Kerja”. Jurnal Wawasan Hukum. Volume 32 No. 1. Fakultas Hukum Universitas Subang. Jawa Barat 2015.

Undang - Undang Dasar Tahun 1945.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

R. Wiyono. Garis Besar Pembahasan dan Komentar UUD 1945. Alumni. Bandung 1976. Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.

Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.

Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dokumen terkait