• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rifdah Rudi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rifdah Rudi Fakultas Hukum Universitas Indonesia"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Oleh: Rifdah Rudi

1906291576 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(3)

Kata Pengantar

Di Indonesia, masalah ketenagakerjaan merupakan “Lakon Wajib” dalam setiap rezim pemerintahanyang berkuasa. Dalam setiap lakon, harus ada tokoh dan perselisihan yang selalu membuatnya dramatis dan menarik untuk diikuti, tentu tokoh yang dimaksud disini adalah pengusaha, buruh, dan pemerintah. Baik pengusaha maupun buruh adalah tokoh yang sama penting dan saling membutuhkan, masing-masing memegang peranan strategis untuk menggerakkan roda perekonomian di suatu negara. Idealnya dengan peranan yang saling melengkapi, hubungan pengusaha – buruh seharusnya menjadi simbiosis mutualisme. Namun pada faktanya ego sektoral masing-masing pihak ditambah regulasi pemerintah dengan “keberpihakan” yang keliru membuat upaya-upaya penyelesaian masalah tidak pernah mencapai titik temu.

Sebagai pembuat regulasi dan pihak yang berperan menjadi penengah konflik pengusaha – buruh, pemerintah RI menciptakan “Omnibus Law” sebagai jalan tengah yang digadang-gadang mampu menjadi jawaban dari segala persoalan di sektor ketenagakerjaan dan bermuara pada keberhasilan di bidang perekonomian. Namun terobosan ini justru ditentang dengan keras oleh para buruh yang menganggap regulasi ini lebih berpihak kepada para investor atau pengusaha, hingga beberapa waktu terakhir Istana dan Gedung Parlemen tak pernah sepi dari suara-suara buruh yang terus berjuang menentang pasal-pasal bermasalah dalam Omnibus Law. Sebagai akademisi tentu harus bijak dalam menentukan sikap terkait persoalan ini, dan sebelum dapat mengambil sikap, alangkah lebih baik untuk membedah terlebih dahulu pasal-pasal yang ada di Omnibus Law untuk kluster ketenagakerjaan.

Harapan saya dengan dirilisnya kajian ini dapat memberikan wawasan baru serta menyajikan cara pandang yang berbeda dalam membedah dan melihat Omnibus Law kluster ketenagakerjaan bagi para pembaca. Tak lupa saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada penulis yang telah meluangkan waktu serta menuangkan ide dan pemikirannya untuk menyelesaikan kajian ini, semoga kajian ini menjadi awal untuk penulis dapat terus belajar dan mengembangkan pemikirannya di masa depan.

Tangerang, 22 Agustus 2020 Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………1

Bab I : Pendahuluan

Latar Belakang………3 Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin Perlindungan Tenaga Kerja………...6

Bab II : Isi

Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Mengakomodasi Kebutuhan Masyarakat Indonesia?...20 Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Ketenagakerjaan…..28

Bab III : Penutup

Kesimpulan……….36 Saran………...36

(5)

Bab I : Pendahuluan

I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya membentuk undang – undang yang berkualitas disertai dengan sifat yang fleksibel, sederhana, dan responsif. Produk pembentukan undang – undang yang dimaksud oleh pemerintah tidak lain yaitu Produk Omnibus Law. Pembahasan produk ini dimulai sejak saat Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode 2019-2024.1 Beliau menyatakan dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat bahwa salah satu program kerja yang akan dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan regulasi dan penyiapan Omnibus Law. Upaya penyederhanaan regulasi yang dimaksud antara lain pemberlakuan teknik Omnibus Law sebagai teknik yang baru dalam pembentukan regulasi di Indonesia. Maksud dari kehadiran Omnibus Law ini diharapkan dalam pembentukan suatu produk Undang – Undang yang baru dapat mengamandemen pasal yang termuat dalam beberapa undang – undang lainnya.

Dalam muatannya, sebuah Undang – Undang Omnibus mencakup substansi materi yang saling berhubungan. Undang – Undang Omnibus ini mencerminkan sebuah integrasi dan kodifikasi peraturan yang bertujuan untuk mengefektifkan penerapan peraturan tersebut. Keberadaan omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019. Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember 2019, telah menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. Pembentukan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law tersebut menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merupakan arahan dari Presiden Jokowi dengan tujuan meningkatkan iklim investasi dan daya saing dalam berbagai kesempatan.2

Maksud dari penggunaan teknik legislasi omnibus law dalam pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini tidak lain untuk menata dan menciptakan peraturan perundang –

1 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada 15 Juni 2020

2 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”. Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020

(6)

undangan yang bersifat sederhana terkait dengan Penciptaan Lapangan Kerja yang mampu menghasilkan pelayanan perizinan usaha yang mudah dan cepat, serta memperkuat usaha kecil dan menengah termasuk koperasi. Secara sederhana, dapat dipahami tujuan utama dari pembentukan regulasi untuk mewujudkan kehadiran hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembentukan Rancangan Undang - Undang ini dilatarbelakangi dengan hadirnya perubahan global yang perlu direspons secara cepat dan tepat, sehingga diperlukan perbaikan kebijakan karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.3 Atas dasar hal tersebut, dibentuklah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang merupakan inisiatif dari Pemerintah dan dimasukkan ke dalam daftar Program legislasi nasional Rancangan Undang – Undang Prioritas Tahun 2020.

Muatan dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini mencakupi 1.244 pasal bersumber dari 79 undang-undang yang dicoba untuk disederhanakan sehingga dapat dijadikan sebagai payung hukum yang bersifat fleksibel. Perubahan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang meliputi sektor tenaga kerja dan investasi yang terdiri atas 11 kluster, antara lain Kluster Penyederhanaan Perizinan mencakupi 522 Undang - undang yang terdiri dari 770 pasal, Kluster Persyaratan Investasi mencakupi 13 Undang - Undang yang terdiri dari 24 pasal, Kluster Ketenagakerjaan mencakupi 3 Undang - Undang terdiri dari 55 pasal, kemudian Kluster Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan Usaha Kecil, Mikro dan Menengah mencakup 3 Undang - Undang yang terdiri dari 6 pasal, Kluster Kemudahan Berusaha mencakupi 9 Undang – Undang yang terdiri dari 23 pasal, Kluster Dukungan Riset & Inovasi mencakupi 2 Undang – Undang terdiri dari 2 pasal, Kluster Administrasi Pemerintahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 14 pasal, Kluster Pengenaan mencakupi 49 Undang - Sanksi Undang terdiri dari 295 pasal, Kluster Pengadaan Lahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 11 pasal, Kluster Investasi dan Proyek Pemerintah mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 2 pasal, dan Kluster Kawasan Ekonomi mencakupi 5 Undang - Undang terdiri dari 38 pasal.4

Meskipun maksud dari pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja untuk mencapai tujuan yang baik serta dalam kelanjutan prosesnya pun, draf telah diserahkan kepada pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, jika mengkaji secara mendalam terkait dengan

3 Shanti Dwi Kartika. “Politik Hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja “, Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diakses dari

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-4-II-P3DI-Februari-2020-210.pdf pada 15 Juni 2020

4 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020.

(7)

muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, masih didapati berbagai permasalahan hukum di dalamnya sehingga membuat Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini perlu untuk dikaji ulang. Salah satu permasalahan yang ada yaitu banyaknya jumlah peraturan yang termuat dalam pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah. Hal ini menunjukkan pembuat undang-undang tidak memperhatikan kondisi regulasi di Indonesia. Dengan kata lain, Pemerintah seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami hiper regulasi.

Pada mulanya, maksud dari penggunaan teknik omnibus law ini sebagai momentum dalam membenahi regulasi secara menyeluruh. Namun, pada kenyataannya pemerintah jelas terlihat menambahi penyusunan regulasi. Sehingga, hal ini berlawanan dengan agenda reformasi regulasi yang diumumkan oleh presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang – undangan di level pemerintah pusat. Berdasarkan Hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2018, ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang - Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.5

Rumusan Masalah :

1. Apa yang melatarbelakangi pembentukan RUU Ciptakerja?

2. Apa pembahuruan yang dihadirkan dalam RUU Ciptakerja dari regulasi yang sudah ada sebelumnya?

3. Apakah Karakter Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Telah Menjamin Perlindungan Tenaga Kerja?

4. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Mengakomodasi Permasalahan Ketenagakerjaan?

5. Bagaimana Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Ketenagakerjaan?

5 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. “Kajian Reformasi Regulasi Indonesia : Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya”. Diakses dari https://www.pshk.or.id/penelitian/kajian-reformasi-regulasi-di-indonesia-pokok-permasalahan-dan-strategi-penanganannya/ pada 20 Juni 2020.

(8)

II. Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin Perlindungan Tenaga Kerja

Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan oleh pemerintah diharapkan dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang mengatur di bidang ketenagakerjaan dan mempunyai tujuan yang luhur bagi tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur mengenai tujuan diselenggarakan Undang - Undang ini untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.6 Tujuan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang merupakan argumen politik para pembentuk undang - undang yang dimuat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah terpapar sangat jelas dan mempunyai tujuan yang baik. Pengamatan ini bersumber dari asumsi dasar yang menganggap bahwa hukum merupakan produk politik dan dengan maksud untuk mengetahui karakter produk hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja maka difokuskan pada karakter hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, dan karakter hukum ortodoks, seperti yang dikemukakan Marryman.7

Dalam mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja berkarakter hukum responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam kajian ini digunakan indikator untuk menentukan karakter produk tersebut. Adapun indikator-indikatornya adalah sebagai berikut :

a. Proses pembuatan hukum

Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat, sedangkan proses pembuatan produk hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.8 Dalam pembentukan suatu peraturan

perundang-6 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 8

7 Ujang Charda S., ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Pemerintah”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, Maret 2012, hlm. 9.

(9)

undangan akan melalui tahapan yang telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undang. Tahapan tahapan yang akan dilalui yaitu tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap pembahasan rancangan undang - undang, tahap pengesahan dan tahap pengundangan. Perencanaan terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mulai muncul dari adanya pembahasan terkait pembentukan produk ini sejak saat Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode 2019-2024.9 Beliau menyatakan dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat bahwa salah satu program kerja yang akan dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan regulasi dan penyiapan Omnibus Law. Keberadaan omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019. Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember 2019, telah menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020.10 Kemudian, terkait dengan tahapan pembentukan peraturan perundang undangan secara umumnya dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam hal ini lembaga Dewan Perwakilan Rakyat memiliki wewenang khusus menangani bidang legislasi, dan Pemerintah (Presiden) yang dikoordinasikan oleh menteri yang memiliki tugas dan ranah tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan tahapan persiapan dan tahapan pembahasan rancangan undang-undang, masyarakat seharusnya dapat berpartisipasi dan bahkan berhak untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis.

Peran masyarakat sangat diperlukan dengan memberikan aspirasi yang dimiliki, baik secara individu maupun kelompok, agar suatu peraturan perundang-undangan yang nantinya telah disahkan dan diundangkan dapat berkarakter responsif atau sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini berdasarkan pada pernyataan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat.11 Dalam tahapan persiapan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Badan Legislasi yang

9 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada 15 Juni 2020

10 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”. Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020

11 Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 43

(10)

beranggotakan 80 orang berupaya membentuk Panitia Kerja yang beranggotakan sebanyak 40 orang. Namun, dalam pelaksanaan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, kegiatan ini hanya dilakukan oleh Panitia Kerja. Di samping itu, pada saat pembahasan berlangsung adanya konstituen yang tidak terwakili karena adanya 40 anggota Badan Legislasi yang tidak masuk sebagai anggota Panitia Kerja.12 Pelaksanaan pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Kerja bertentangan dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Pembentukan Undang-Undang yang disahkan pada 2 April 2020, yang mengatur bahwa pembahasan seluruh materi Rancangan Undang - Undang seharusnya dilakukan dalam rapat kerja oleh alat kelengkapan atau Badan Legislasi. Pembahasan dapat dilakukan melalui Panitia Kerja apabila ada substansi yang disetujui oleh Badan Legislasi.13

Panitia Kerja hanya memiliki satu wewenang yaitu melakukan pembahasan terhadap materi tertentu dalam daftar inventaris masalah yang belum disepakati pada tingkat Badan Legislasi. Pembahasan yang hanya dilakukan melalui Panitia Kerja dikhawatirkan dapat menutup ruang dialog yang lebih luas di antara seluruh anggota Badan Legislasi yang seharusnya mengemban aspirasi konstituennya. Ruang diskusi dan aspirasi dalam membahas materi Rancangan Undang - Undang dapat semakin terbatas, jika hanya dilakukan dalam lingkup Panitia Kerja. Situasi ini dapat berpotensi terhadap munculnya ketertutupan proses dan minimnya informasi untuk publik. Praktik seperti ini dikhawatirkan dapat membuat pembahasan Rancangan - Undang Cipta Kerja semakin elitis dan eksklusif.14 Dengan praktik pembahasan yang dilakukan seperti berikut, Serikat Buruh merasa tidak dapat menerima muatan yang tercantum dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam konferensi pers bertajuk MPBI Soal Omnibus Law dan May Day 2020 menyatakan bahwa Serikat Buruh juga meminta kepada pemerintah untukmenarik kembali Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja itu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan membahasnya ulang dengan melibatkan serikat buruh untuk masuk ke dalam tim perumus Omnibus Law.15

12 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015. hlm. 12

13 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020

14 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020

(11)

Setelah berbagai upaya kritik dan unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk serikat buruh, Lembaga Tripartit berupaya membentuk Forum tripartit yang terdiri dari perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah dalam membahas secara spesifik terhadap klaster ketenagakerjaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Forum tripartit berlangsung selama sembilan kali pada tanggal 8 - 23 Juli 2020. Pertemuan ini diselenggarakan untuk merumuskan ulang isi pasal-pasal dalam kluster ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Sebelum usulan terkait draf kluster ketenagakerjaan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), keputusan terkait usulan pasal-pasal tersebut diserahkan kepada pihak pemerintah. Pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja melibatkan enam serikat pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, serta 10 kementerian dan lembaga pemerintah.16

Setelah usainya pelaksanaan forum tripartit ini, Pada 31 Juli 2020, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Benny Rusli, menyatakan bahwa masih adanya perbedaan fundamental antara sudut pandang serikat buruh dan pengusaha. Beberapa pasal yang dinilai buruh mendegradasi hak dan kesejahteraannya justru dipandang pengusaha sebagai nilai tambah untuk memperbaiki iklim berusaha dan menarik investasi di tengah pandemi. Oleh karena itu, dalam pembahasan yang berlangsung selama dua pekan terakhir, sejumlah pasal krusial yang menjadi sorotan pekerja tidak semuanya disepakati oleh perwakilan pengusaha. Keputusan akhir dari pembahasan forum tripartit ini diserahkan kepada pemerintah untuk dirumuskan dengan redaksional terkait tiap pasal dari masukan kedua buruh dan pengusaha. Usulan terkait draf akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada pekan selanjutnya usai dilakukan pelaksanaan forum tripartit terkait pembahasan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja Sektor Ketenagakerjaan.

Pada awal pembahasan produk hukum ini, Pemerintah memang dianggap menutupi informasi terkait Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Praktek awal pembahasan produk hukum ini juga bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Asas Keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Fincance. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4995816/buruh-minta-ruu-cipta-kerja-ditarik-dan-dibahas-ulang pada 1 Juli 2020

16 Agnes Theodora. (2020, Agustus 1). “Buruh dan Pengusaha Belum Satu Kata”, Kompas Bebas. Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/ekonomi/2020/08/01/buruh-dan-pengusaha-belum-satu-kata/ pada 1 Agustus 2020

(12)

sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019.17 Namun, setelah dilakukan upaya pelaksanaan Forum Tripartit dalam pembahasan Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan yang melibatkan perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah, hal ini perlu diberikan apresiasi karena pemerintah telah mulai menyadari bahwa pembahasan yang dilakukan secara tertutup dapat berdampak buruk pada muatan peraturan yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi yang ada. Ketua Koordinator Advokasi BPJS juga mengatakan peran masyarakat dianggap penting untuk memastikan produk Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, agar tidak bertentangan dengan konstitusi.18 Dari uraian di atas dapat diringkas, bahwa dalam proses pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, pemerintah telah berusaha bersifat partisipatif. Pihak Pemerintah yakni 10 Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai pihak dan turut serta dalam Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang membawa aspirasi kaum buruh secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

b. Sifat fungsi hukum

Dilihat dari fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif juga bersifat aspiratif. Hal ini mengartikan bahwa hukum tersebut memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayani. Sehingga produk hukum tersebut dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat, sedangkan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Positivis - instrumentalis memuat arti yaitu bahwa hukum tersebut memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi sebagai alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.19 Dari sudut pandang kaum buruh, beberapa materi yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dianggap tidak bersifat aspiratif, karena tidak sesuai dengan kehendak buruh yang dilayani. Hal ini dapat terlihat dari berbagai alasan yang dimiliki kaum buruh dalam menolak undang undang tersebut antara lain, Pertama, adanya kritikan buruh terhadap Pasal 88 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.

17 Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019

18 18 Dewi Rina Cahyani. (2020, Februari 17). “DPR Didesak Libatkan Buruh Bahas Ruu Cipta Kerja”. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1308449/dpr-didesak-libatkan-buruh-bahas-ruu-cipta-kerja 27 Juli 2020

19 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015.hlm. 12

(13)

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Ketentuan mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral). Namun, berbagai ketentuan mengenai pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak lagi berlaku dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Dampak yang kelak terjadi apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Pada kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengatur mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.

Salah satu penerapan terkait pemberian upah yang berlangsung seperti di Jawa Barat dimana Upah Minimum Provinsi nya sebesar Rp 1,8 juta. Sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota yang diberikan di Kabupaten-Kota Bekasi saat ini sebesar Rp 4 juta dan untuk Upah Minimum Kabupaten/Kota di daerah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4,5 juta.20 Berlakunya Rancangan Undang - Undang ini, dikhawatirkan dapat menurunkan upah yang diberikan pada buruh. Dalam menjawab alasan pemberian upah berdasarkan Upah Minimum Provinsi, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa maksud dari dilakukannya sistem pengupahan tersebut yaitu agar tidak terjadinya kesenjangan upah antar kabupaten/kota.21 Kritikan kedua yang diajukan oleh buruh antara lain terhadap ketentuan mengenai hak uang atau pesangon buruh saat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diatur dalam Pasal 161-172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.22 Dalam draft awal Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang disusun pemerintah menghapus ketentuan pasal Ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua

20 Cantika Adinda Putri. (2020, Februari 16) . “Termasuk Soal Pesangon, Ini 9 Alasan Buruh Tolak RUU Ciptaker”. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200216192806-4-138248/termasuk-soal-pesangon-ini-9-alasan-buruh-tolak-ruu-ciptaker pada 28 Juli 2020

21 Vadhia Lidyana. (2020, Februari 24). “Utak Atik Aturan Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja”. Diakses dari https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-4911651/utak-atik-aturan-ketenagakerjaan-di-ruu-cipta-kerja/2 pada 28 Juli 2020

(14)

kali lipat. Hal ini berlaku bagi pekerja yang mundur dari pekerjaan (resign), sehingga tidak bisa meminta uang penggantian hak. Hal ini juga berlaku pada ahli waris pekerja yang meninggal sehingga tidak bisa mendapat hak pesangon pekerja bersangkutan. Selain itu, hak pesangon dua kali bagi pekerja yang sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja serta mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja akibat kondisinya juga dihapus.

Kritikan ketiga yang diajukan oleh buruh yaitu adanya Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengubah ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.23 Perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi oleh Undang - Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.24 Dapat disimpulkan secara tidak langsung Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkan kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara langsung kepada para pihak. Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat mengurangi peran pemerintah dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Penghapusan ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja tetap) dikhawatirkan dapat memberi dampak langsung yaitu semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak, sehingga membuat buruh berpotensi dikontrak terus menerus untuk jangka waktu yang lama tanpa kejelasan status bekerja tetap.

Kritikan keempat yang diajukan oleh buruh yaitu adanya penghapusan ketentuan materiil dalam pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang telah mengatur secara khusus dan mendetail mengenai perihal alih daya atau outsourcing.25 Sebelumnya, Alih Daya memiliki pengertian yaitu bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada dibawah tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama namun diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.26

23 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (4) 24 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 56 ayat (3)

25 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dan 65 26 Vide Pasal 64, 65, dan 66, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(15)

Menurut penuturan dari Professor Ari, hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang dilegalkan untuk menjalankan alih daya, yakni cleaning service, jasa pengamanan, catering, jasa pertambangan, dan jasa transportasi.27 Ditambah dalam Pasal 66 Ayat 1 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait pekerjaan yang dapat dilakukan yakni tidak boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.28 Sementara dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini menghadirkan bentuk hubungan kerja alih daya sebagai jenis pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang terlihat dengan dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang telah mengatur secara khusus dan mendetail mengenai perihal alih daya.

Aturan mengenai outsourcing dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja hanya diatur pada satu pasal yaitu pada Pasal 66.29 Pada pasal a quo diberlakukan aturan yang lebih general sehingga bersifat lebih fleksibel. Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja juga tidak menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis pekerjaan serta waktunya. Dalam menilik materiil yang ada di dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait pengaturan Alih Daya atau Outsourcing dapat menimbulkan kekhawatiran karena pembatasan dalam pengaturan alih daya menjadi tidak jelas dan bisa menyebabkan bentuk hubungan kerja alih daya menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law yang seperti berikut, hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih fleksibel dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja terutama melalui mekanisme alih daya (outsourcing). Hal ini dapat menimbulkan tidak adanya perlindungan terhadap pekerja alih daya. Tanpa batasan jenis pekerjaan yang dialihdayakan, hal ini dapat memberikan keleluasan bagi perusahaan dalam merekrut pekerja alih daya dengan upah yang lebih murah dan perjanjian kerja yang bersifat fleksibel.

Kritikan terakhir yang diajukan oleh buruh terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja tertuju pada muatan menghilangnya konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat pasal yang memiliki permasalahan terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja. Permasalahan pertama, termuat dalam Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang

27 Ari Hernawan, Loc. Cit.

28 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 66 Ayat (1)

29 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terkait Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 166

(16)

Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.30 Kemudian, dilakukannya perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”31 Implikasi dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja, sehingga pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.32

Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”33 Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara perdata. Hal ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas hukum. Asas mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah menjadi jargon yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat (2) tersebut, Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dianggap tidak memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama yang seharusnya memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling utama bagi tenaga kerja dalam membela dirinya saat berselisih.34

Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa

30 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1)

31 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1)

32 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

33 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 152 Ayat (2)

34 Gede Arya Wiryana. (2020, Februari 2017) . “RUU Cipta Kerja dan Problematika Ketenagakerjaan”. Diakses dari (https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada 10 Juli 2020

(17)

ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.35 Hal ini dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami pailit.36

Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan. Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat 3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya 24 tahun atau lebih.37 Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan Undang – Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika ditelaah lebih lanjut, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja pada tenaga kerja.

Berbagai kritikan terhadap materi muatan Undang - Undang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh kaum buruh dipandang sebagai peraturan yang merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan, sehingga muatan dalam peraturan tersebut merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah. Pemerintah memang telah menyatakan bahwa dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terfokus pada tujuan utama yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut diatur lebih lanjut dalam ketentuan pada Pasal 88

35 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A

36 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

(18)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pengaturan baru dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ditujukan untuk menguatkan perlindungan dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.38 Hal ini dapat menyiratkan bahwa investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal paling utama dalam pembangunan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja khususnya sektor ketenagakerjaan dianggap memang telah banyak mengatur mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

Namun dalam muatan regulasi tersebut dianggap belum membuat peraturan baru yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi pekerja. Hal ini tidak menunjukkan keselarasan dengan tujuan yang diniatkan pemerintah dalam menekankan penciptaan lapangan kerja. Seharusnya dalam mencapai tujuan penciptaan lapangan kerja yang baik, pemerintah perlu melakukan upaya yang selaras dalam meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja di Indonesia. Dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang bertujuan awal untuk melindungi hak para pekerja, dianggap membuat pasal spesifik pada sektor ketenagakerjaan ini sendiri pun terabaikan. Terjadinya hal ini disebabkan terlalu fokusnya pemerintah terhadap kebutuhan investasi dan ekonomi. Pada kenyataannya, dalam hubungan industrial yang termuat dalam Pancasila terkait tindakan memberikan perlindungan bagi para pekerja merupakan bentuk keharusan yang merupakan tanggung jawab pihak pemerintah.39 Dari uraian-uraian di atas, kaum buruh berpandangan, bahwa sifat fungsi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja tidak bersifat aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum bertentangan dengan kehendak yang dimiliki masyarakat.

c. Kemungkinan penafsirannya

Dilihat dari segi penafsiran, maka produk hukum yang berkarakter responsif biasanya memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang benar - benar bersifat teknis. Sedangkan untuk produk hukum yang berkarakter ortodoks memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan pokok – pokok saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk

38 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88

39 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker.

(19)

mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.40 Dalam Isi Produk Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terdiri dari 11 Kluster dan 1.244 pasal yang bersumber dari 79 undang-undang yang disederhanakan. Pembahasan terkait sektor ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja bersumber dari 3 Undang - Undang yang terdiri dari 55 Pasal.41 Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Kluster Ketenagakerjaan ditemukan suatu pasal yang bersifat multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang - Undang Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”.42 Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan”. Pasal ini mendapatkan kritikan dikarenakan tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata “berhalangan” diinterpretasikan secara bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin.43 Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa jika dilihat dari segi penafsiran, maka suatu produk hukum yang berkarakter responsif biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit dan itupun hanya berlaku terhadap hal yang betul bersifat teknis. Sedangkan, pada produk hukum yang berkarakter ortodoks memberi peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan pokok pokok saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.44 Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberikan peluang yang besar kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang

40 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015. hlm. 12

41 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020.

42 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2) 43 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kertas Kebijakan…

44 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015.

(20)

berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang berjumlah 43 aturan turunan dengan rincian 36 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 7 Rancangan Peraturan Presiden.45 Banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis.

Dengan menggunakan tiga indikator, yaitu proses pembuatan, sifat fungsi produk hukum, dan kemungkinan penafsiran, maka dapat diketahui apakah suatu produk hukum berkarakter responsif ataukah ortodoks. Indikator pertama, yaitu proses pembuatan. Di atas telah dikemukakan, bahwa proses pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah bersifat partisipatif yang menunjuk pada Pihak Pemerintah yakni 10 Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai pihak dan turut serta dalam Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang membawa aspirasi kaum buruh secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Indikator kedua yaitu sifat fungsi produk hukum, bahwa sifat fungsi dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja adalah tidak aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum bertentangan dengan dengan kehendak-kehendak atau aspirasi masyarakat.46

Sementara itu, indikator ketiga, yaitu kemungkinan penafsiran, bahwa dalam penjelasan dari Rancangan Undang - Undang tersebut terdapat suatu muatan pasal yang dapat menimbulkan multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.”47 Hal yang menjadi kritikan dalam pasal pengubah ini yakni tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Maka dari itu dapat disimpulkan dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik

45 Asteria Desi Kartika Sari. (2020, 5 Maret). “Aturan Pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja Sudah Disiapkan”. Diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20200305/15/1209686/aturan-pelaksanaan-omnibus-law-cipta-kerja-sudah-disiapkan pada 27 Juli 2020

46 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015.

(21)

Ketenagakerjaan membuka peluang terjadinya multi tafsir dari berbagai pihak, dan juga dengan banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberi peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dipandang dari segi proses pembentukannya sudah mulai bersifat partisipatif. Jika produk hukum ini dipandang dari segi muatannya dan segi kemungkinan penafsirannya merupakan suatu produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.

(22)

Bab II : Isi

III. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Cukup Mengakomodasi Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia?

Pembentukan suatu peraturan undang - undangan terkait sektor ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada tenaga kerja.48 Maksud dari kehadiran produk hukum ini juga menuju pada sasaran utama yaitu untuk menunjang pembangunan terhadap aspek ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia harus berdasarkan landasan filosofis, yakni Pancasila, kemudian berlandaskan yuridis konstitusional, yakni Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar serta berlandaskan yuridis operasional, yakni peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan sebagai dasar hukumnya. Di samping itu tidak kalah penting, pembangunan ketenagakerjaan juga harus berlandaskan sosiologi yang berarti pembangunan tersebut harus sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat sehingga dapat menampung segala kenyataan hidup masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan tidak hanya tersasar pada kebutuhan satu pihak, namun dalam pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan tersasar pada kebutuhan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spirituil.49

Dengan maksud memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap aspek ketenagakerjaan, pemerintah pun terlibat secara langsung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk menunjang pencapaian tujuan tersebut, pemerintah telah banyak membentuk kebijakan khusus dalam peraturan perundang - undangan dan peraturan pelaksanaannya terkait sektor ketenagakerjaan seperti Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang - Undang Pengawasan

48 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

49 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015.

(23)

Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.50 Memperhatikan uraian tersebut, penulis berusaha mengkaji secara mendalam terhadap kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Penulis juga akan mengkaji Apakah dengan kehadiran produk hukum ini dapat mengakomodasi permasalahan ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia serta sudahkah kehadiran produk hukum ini benar - benar memenuhi hak yang dibutuhkan keseluruhan masyarakat Indonesia secara merata?

Dalam pemaparan sebelumnya, Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini ditujukan untuk menjadi jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dalam mendapatkan hak-hak normatif yang berarti tenaga kerja mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya beserta keluarga. Hal ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mewujudkan pengaturan hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam penjaminan hak - hak normatif pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan yang mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan tersebut mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak normatif pekerja dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu.51

Pemenuhan hak normatif bagi tenaga kerja secara umum memiliki arti yaitu adanya perlindungan dan penjaminan bagi hak yang dimiliki tenaga kerja disertai adanya kewajiban yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi dan mentaati hak normatif dalam setiap pemberian kerja bagi tenaga kerja dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku yaitu Peraturan Perundang - Undangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama. Hak normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap adanya upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan berkembang dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak normatif tersebut. Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan

50 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

51 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat, 2015.

(24)

hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3 kategori yakni adanya pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak normatif pekerja bersifat ekonomis, dan pemenuhan hak normatif pekerja bersifat politis dan medis.52 Dalam kajian ini, penulis akan melakukan perincian terhadap berbagai pemenuhan hak normatif tersebut. Pembahasan pertama dimulai dari pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial.

Sebagai upaya dalam memberikan perlindungan tenaga kerja melalui aspek perlindungan hukum, perlindungan sosial ekonomi dan perlindungan fisik teknik yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai Penjabaran Undang – undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial / BPJS yang diadopsi sebagai sumber bagi muatan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Dalam Undang – Undang Nomor 24 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap pekerja baik yang bekerja pada Penyelenggara Negara (Calon Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Peserta Didik Polri dan Prajurit Siswa TNI) dan bukan penyelenggara negara (Usaha Besar, Menengah, Kecil dan Mikro) wajib diikutkan dalam Program Jaminan Sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Di samping itu para pekerja dan pemberi kerja juga wajib diikutkan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Berdasarkan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial memiliki arti sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.53 Jaminan sosial disini memiliki arti yaitu salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.54 Dengan adanya keberadaan jaminan sosial bagi tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja karena pekerja relatif memiliki kedudukan yang

52 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

53 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, Pasal 1 Nomor (1)

54 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 1, Nomor (2)

(25)

lebih lemah dibandingkan pemberi kerja.55 Perlindungan kebutuhan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi perusahaan. Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional, BPJS/ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bersandarkan pada berbagai prinsip disertai upaya implementasinya yang positif.

Perincian prinsip tersebut antara lain kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati - hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, serta hasil pengelolaan dana jaminan nasional.56 Pembahasan pertama dimulai dari prinsip kegotongroyongan yang memiliki arti prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau penghasilannya. Kemudian, adanya Prinsip nirlaba yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Lalu, adanya Prinsip keterbukaan yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Selanjutnya, Prinsip kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. Lalu, Prinsip akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, Prinsip portabilitas yaitu prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meski peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah NKRI. Kemudian, Prinsip kepesertaan bersifat wajib merupakan prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Terakhir, Prinsip dana amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan Sosial.57 Mengenai Tujuan dari pembentukan BPJS secara umum yaitu untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarganya. Mengenai kategori BPJS, berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 terbagi menjadi 2 Jenis yakni BPJS Kesehatan yang berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program

55 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

56 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4 57 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4

(26)

jaminan pensiun, dan jaminan hari tua. Dalam mendukung program jaminan pensiun, sesuai dengan muatan dalam Undang Undang Nomor. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, setiap perusahaan diwajibkan memasukkan para pekerja dalam program dana pensiun.58

Dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap hak normatif sosial secara merata, pengaturan terkait upah bagi tenaga kerja pun perlu diperhatikan. Sebelum berlakunya Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, dalam Pasal 88 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.59 Upah minimum terdiri atas upah minimum Kabupaten / Kota dan Provinsi. Upah minimum hanya berlaku untuk pekerja / buruh yang bekerja di perusahaan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Adanya kelayakan kebutuhan hidup yang dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum yaitu standar kebutuhan seorang pekerja / buruh lajang untuk dapat hidup secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Upah minimum berlaku untuk semua jenis dan skala usaha. Pengaturan terkait upah juga terdapat dalam muatan Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, produk hukum ini menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang memiliki bunyi yaitu pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman, kemudian pada ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.60

Namun, dalam muatan Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Setelah pemaparan terkait upah, dapat diketahui bahwa upah secara umumnya memang mempunyai fungsi ekonomis, yaitu sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan, tetapi selain itu upah juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi insentif atau pendorong bagi pekerja untuk bekerja secara produktif. Di beberapa perusahaan disediakan juga beberapa jenis fasilitas, seperti perumahan, kendaraan, kupon bensin, antar jemput pegawai, makan siang, rekreasi pekerja, atau dalam bentuk lain. Fasilitas tersebut pada dasarnya dapat dinilai dalam bentuk uang dan merupakan tambahan penghasilan bagi pekerja.

58 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun

59 Undang - Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (4) 60 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 C

(27)

Setelah pembahasan terkait pemenuhan hak normatif sosial, selanjutnya juga dikenal istilah terkait pemenuhan hak normatif ekonomis. Dalam pemenuhan hak normatif pekerja bersifat ekonomis menunjuk pada hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.61 Dalam Pasal 50 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.62 Perjanjian kerja tersebut dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Hubungan kerja tersebut merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjanjian kerja ini, akan timbulnya ikatan antara perusahaan dan tenaga kerja.63 Dengan perkataan lain, ikatan ini timbul karena adanya perjanjian kerja, kemudian ikatan tersebut dikenal sebagai hubungan kerja. Pasal 1 angka (14) Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja (karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.64 Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak-pihak tidak memenuhi dua syarat awal sahnya yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak cakap untuk bertindak maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya apabila perjanjian kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya, yakni objek tidak jelas dan tidak memenuhi ketentuan maka perjanjian kerja tersebut bersifat batal demi hukum.

Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengatur konsep hubungan kerja terkait Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengubah ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.65 Perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi oleh Undang - Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.

61 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

62 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50

63 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

64 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Angka (14) 65 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pasal 59 Ayat (4)

(28)

Dapat disimpulkan secara tidak langsung Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkan kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara langsung kepada para pihak. Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat mengurangi peran pemerintah dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.66

Pembahasan pemenuhan hak normatif ketiga yaitu pemenuhan hak normatif politis. Pemenuhan hak normatif politis menunjuk pada konteks pengusaha/perusahaan dengan pekerja dibenarkan untuk membentuk lembaga kerjasama bipartit, tripartit dan peraturan perusahaan. Pengaturan terkait konsep ketenagakerjaan bersandarkan pada landasan yang menggunakan konstitusi tertulis Republik Indonesia yaitu Undang - Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar dari Undang-Undang di bawahnya. Dalam Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diadopsi sebagai sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang menyebutkan lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. Merujuk pada ayat 1 tersebut, memberikan kewajiban bagi setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih membentuk lembaga kerjasama bipartit.67

Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang ditunjuk oleh pekerja secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja di perusahaan yang bersangkutan.68 Pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai yakni terciptanya kedamaian, ketenangan dan ketentraman kerja serta peningkatan kesejahteraan pekerja dan perkembangan perusahaan, lalu berkembangnya motivasi bagi karyawan perusahaan untuk berpartisipasi sebagai partner pengusaha di perusahaan, terciptanya ketenangan dan kelangsungan hidup usaha/produksi, dan dapat meningkatkan produksi serta produktivitas kerja. Pengembangan lembaga bipartit sangat penting untuk menciptakan kesempatan komunikasi secara langsung antara pengusaha/perusahaan dan tenaga kerja atau wakil pekerja. Dengan cara ini dapat menghindarkan adanya salah paham antara kedua belah pihak dan dapat ditingkatkan rasa saling menghormati. Melalui kehadiran lembaga atau forum bipartit, tenaga kerja atau wakil

66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipker

67 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106 Ayat (1) 68 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106

(29)

pekerja dapat diikutsertakan merumuskan kebijaksanaan dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam perusahaan.

Selain pembentukan lembaga kerjasama bipartit, dalam pemenuhan hak normatif politis juga menunjuk pada pembentukan kerja sama lembaga tripartit antara pengusaha/perusahaan dengan tenaga kerja. Hal ini dibenarkan dengan adanya pengaturan dalam Pasal 107 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi sumber muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Ketenagakerjaan.69 Dalam muatan pasal tersebut berbunyi Lembaga kerjasama tripartit bertugas untuk memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Keanggotaan lembaga tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi, pengusaha dan serikat pekerja. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Lembaga Konsultasi, Komunikasi dan Musyawarah antara wakil-wakil Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah untuk memecahkan berbagai permasalahan yang timbul secara bersama-sama dalam bidang ketenagakerjaan.70 Terkait dengan Lembaga Kerjasama Tripartit, dalam Pasal 43 Ayat (1) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengatur mengenai Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus yang merupakan lembaga kerja sama tripartit yang berada dibawah Kawasan Ekonomi Khusus. Di Kawasan Ekonomi Khusus, Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus sendiri dibentuk oleh gubernur.71

Pembahasan terakhir dilakukan terkait dengan pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis. Pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis menunjuk pada pelaksanaan kesehatan kerja antara para pekerja dengan perusahaan yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang - Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tiap - tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.72 Pemerintah juga telah menegaskan dalam Pasal 9 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan - ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama, dan Undang - Undang

69 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 107

70 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor 12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015.

71 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Terkait Kawasan Ekonomi Khusus, Pasal 43 72 Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis, indeks keanekaragaman, kepadatan, frekuensi kemunculan, dan sebaran spons berdasarkan

Koefisien regresi untuk dana bagi hasil diperoleh sebesar 0,0149 artinya setiap kenaikan sebesar 1 persen yang terjadi pada variabel dana bagi hasil maka akan

Apabila suatu transaksi tidak dicatat ke dalam buku jurnal karena lupa tidak akan mempengaruhi keseimbangan debit dan kredit neraca saldo akan tetapi jumlah saldo yang ada di

 Pemenuhan Beban Beban Kerja Kerja Guru Guru dan dan Pengawas Pengawas Satuan Satuan Pendidikan Pendidikan ,, Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu kepada guru kelas yang terkait dengan permasalahan penelitian tindakan kelas, sehingga diperoleh data yang berkenaan

PLN (Persero) Area Malang menduduki kategori terbanyak nomor dua setelah kategori sedang. Itu artinya, karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi terhadap

Jika informasi mengenai peraturan lainnya yang berlaku belum tersedia di bagian lain dalam lembaran data keselamatan bahan ini, maka hal ini akan dijelaskan dalam bagian ini.

vora o Europskoj uniji, koji Povelji daje obvezujuću snagu, kao što to slijedi.. iz izjave uz Povelju, koja je priložena u zaključnom dokumentu međuvladine konferencije na kojoj