• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Self-Compassion terhadap Bimbingan dan Konseling

Layanan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam membantu peserta didik dalam meningkatkan welas asih diri.

Strategi layanan bimbingan dan konseling dalam membantu masalah-masalah peserta didik memiliki beberapa karakteristik tertentu diantaranya bimbingan klasikal, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan individual (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Fakta empiris menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling pada siswa dibutuhkan untuk mengembangkan kesehatan mental, pendidikan, karir dan kesejahteraan (Kavlan, Gladding dan Tarvydas, 2014).

Layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian dari proses pendidikan yang secara logis memiliki peran dalam mengembangkan peserta didik ke arah optimal. Sebagai bagian integral dalam pendidikan, bimbingan dan konseling memegang peranan penting dalam membantu siswa dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh siswa, sehingga pada hakikatnya layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli mencapai kesejahteraan dalam setiap dimensinya (Frisch et al, 2013).

Pelayanan bimbingan dan konseling hendaknya juga dapat membantu perkembangan pada peserta didik yang memasuki fase remaja. Pada umumnya masa remaja terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang dialami di berbagai aspek dalam diri individu seperti biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003:26). Masa ini merupakan masa transisi antara anak-anak ke dewasa yang berada pada rentang usia 13 sampai 18 tahun (Hurlock, 1980:206).

Lebih lanjut, Hurlock (1980:213) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan

salah satu periode kehidupan yang sarat akan dinamika, mempunyai ciri kurangnya kemampuan dalam keterampilan mengontrol diri pada aspek psikologis.

Kemajuan kognitif remaja membuat peningkatan introspeksi, metakognisi, refleksi diri, dan kemampuan mengambil perspektif sosial (Keating, 1990).

Kemampuan baru ini menunjukkan bahwa remaja terus mengevaluasi diri mereka sendiri dan membandingkan diri mereka dengan orang lain saat mereka berusaha untuk menetapkan identitas dan tempat mereka dalam hirarki sosial (Harter, 1994). Mengingat tekanan yang kuat yang dihadapi oleh sebagian besar remaja seperti stres terhadap kinerja akademis, kebutuhan untuk menjadi populer dan hidup sesuai dengan teman sejawat yang tepat, cinta dll. Evaluasi ini seringkali tidak menguntungkan (Steinberg, 1999). Apalagi masa remaja bisa menjadi periode penyerapan diri yang ekstrem. Egosentrisme remaja semacam itu dapat bermanifestasi sebagai gambaran hayalan di mana remaja membayangkan bahwa penampilan dan tingkah laku mereka adalah fokus perhatian orang lain.

Karena kesulitan periode remaja, banyak pendidik memberi banyak perhatian untuk meningkatkan self-compassion pada remaja (Palmer & Froehner, 2000), khususnya anak perempuan (Pipher, 1994). Amstrong (2013) mendefinisikan compassion sebagai suatu karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Dalam posisi tersebut, individu merasakan pengalaman individu lain seolah-olah adalah pengalaman dirinya sendiri. Pengertian tersebut membawa konsekuensi individu memandang pengalaman individu lain dalam konteks kemurahan hati, sehingga tersentuh oleh penderitaan individu lain dan muncul keinginan untuk meringankannya.

Kemampuan merasakan perasaan individu lain dan kemurahan hati tersebut berkembang dari penerimaan terhadap diri sendiri, secara emosional dan kognitif atas pengalaman diri dan kesadaran untuk tidak menghindar atas pengalaman yang tidak menyenangkan (Germer, 2009: 33).

Self-compassion merupakan salah satu prediktor yang bisa menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan, memahami dan menyadari makna dari sebuah kesulitan sebagai hal yang positif. Individu yang memiliki

Self-compassion baik akan menunjukkan kesehatan psikologis yang lebih besar daripada mereka yang memiliki tingkat self-compassion rendah, karena individu yang memiliki self-compassion baik akan dapat menguatkan diri dari rasa sakit dan rasa kegagalan, perasaan terisolasi (Wood, Saltzberg, Neale, & Stone, 1990) dan dapat mengidentifikasi pikiran dan emosi (Nolen-Hoeksema, 1991). Self-compassion yang baik akan membuat kurangnya depresi diri, kurangnya kecemasan berlebihan, kurangnya perfeksionisme neurotik, dan memiliki kepuasan hidup yang lebih besar.

Memiliki self-compassion akan membuat individu berusaha mencegah diri mereka dari mengalami permasalahan. Sehingga self-compassion memunculkan perilaku proaktif yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan diri, misal dengan mengonsumsi makanan sehat, atau meluangkan waktu dari kesibukan pekerjaan sebelum menjadi terlalu stres. Deci dan Ryan (1995) mengemukakan bahwa harga diri berkembang ketika tindakan individu mencerminkan dirinya sendiri yang otentik. Individu dengan self-compassion tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi. Self compassion merupakan kesediaaan diri untuk tersentuh dan terbuka kesadarannya saat mengalami penderitaan dan tidak menghindari penderitaan tersebut.

Sebuah studi narasi yang dilakukan antara konselor menunjukkan praktek self-compassion kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan dan perawatan diri, dan mencegah burnout (Patsiopoulos & Buchanan, 2011).

Intervensi yang efektif, mungkin akan mendorong remaja untuk melawan secara langsung dengan mengajarkan remaja untuk bersikap baik dan pengertian terhadap diri mereka sendiri, untuk menyadari bahwa kebanyakan remaja mengalami masalah yang sama. Hal ini lah yang menjadi dasar peneliti untuk mengembangkan self-compassion pada siswa di SMA.

Self-compassion sangat dipengaruhi usia individu. Masa remaja adalah masa hidup di mana rasa welas asih adalah yang terendah (Neff, 2003b), Sehingga perlu adanya program bimbingan dan konseling yang memfokuskan pada kajian self-compassion untuk dapat membentuk pribadi remaja yang tangguh. Salah satu program layanan yang dapat di kembangkan adalah dengan menerapkan

pendekatan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan karakteristik self-compassion.

Self-compassion akan dapat mendorong individu untuk dapat memiliki cara pandang yang positif terhadap masalah yang dialami di dalam lingkungan, dan terhadap diri sendiri. Dengan memiliki self compassion yang tinggi, maka seseorang akan dapat melihat berbagai situasi dan masalah yang dialami dengan lebih objektif, sekaligus lebih mampu berempati terhadap dirinya dan juga orang lain. Selain itu, sesuai dengan situasi yang dialami, adanya self-compassion yang dimiliki oleh seorang akan dapat mendorong dirinya untuk menjadi orang yang disukai, menarik, dan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain. Mereka akan mengalami depresi yang lebih rendah, memiliki kebahagiaan, optimisme, dan emosi yang positif, yang akan sangat berguna dalam kehidupannya, (Neff, 2007). Dari berbagai kesulitan yang dialami dalam menjalankan peran sebagai siswa, mereka memiliki cara yang berbeda-beda untuk memahami kesulitan tersebut.

Penjabaran diatas, menunjukkan pentingnya seorang remaja untuk memiliki self-compassion. Menurut Neff (2011), self-compassion memungkinkan individu untuk memiliki sumber daya yang memadai sehingga individu mampu untuk bersikap baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Dalam menjalankan kegiatan sebagai seorang siswa, membutuhkan self-compassion yang tinggi untuk dapat memiliki sikap yang positif, dapat bertahan dalam menghadapi masalah dalam setiap tugas perkembangannya, dan tidak menyalahkan dirinya sendiri ketika harus menghadapi masalah dan situasi-situasi yang tidak mengenakan. Karena itu, seorang remaja diharapkan dapat mengembangkan kemampuan untuk menghayati bahwa dirinya memiliki keterbatasan, menghayati bahwa masalah merupakan hal yang umum dialami, dan memiliki kemampuan untuk membatasi pemikiran agar tidak terlalu terfokus pada masalah.

Neff (2018) peningkatan self-compassion bisa dilakukan bermacam-macam pertemuan yang bisa dilakukan seperti pelatihan-pelatihan, layanan dasar seperti bimbingan klasikal dan kelompok maupun layanan responsif seperti konseling, layanan medis khususnya bagian tentang perilaku manusia (psikis).

Layanan dasar adalah proses pemberian bantuan kepada konseli dalam klasikal maupun kelompok sehingga dapat membantu konseli untuk memperoleh perkembangan normal, memiliki mental yang sehat dan memperoleh keterampilan hidup (Ditjen GTIK, 2016a). Tujuan layanan dasar ini sangat berdekatan dengan manfaat-manfaat dari mindfulness. Artinya, mindfulness dapat diterapkan melalui program yang disusun menjadi sebuah topik dalam layanan klasikal maupun kelompok.

Intervensi dasar mindfulness dapat digunakan dalam layanan BK intervensi dasar mindfulness menjadi cara untuk meningkatkan hasil perilaku, kognitif dan kesehatan mental untuk remaja (Dunning et al., 2018). Integrasi pelatihan dasar mindfulness dapat berdampak ke aspek kognitif, emosi, interpersonal, dan spiritual (Rempel. 2012). Intervensi dapat digunakan dengan cara fokus ke pernapasan, berjalan dan mengerjakan tugas-tugas deskriptif (Tadlock-Marlo, 2011).

Siswa dapat juga diajarkan praktik formal dan non-formal dari mindfulness (Mace, 2007). Konselor dapat menyusun program secara kreatif disesuaikan dengan kondisi yang ada. Contoh penyusunan dalam program di kelas maupun dalam kelompok dapat dimulai dari pengantar singkat mindfulness, praktik mindful breathing, dan mindful STOP (S = stop, T = take three deep breath , O = observe what’s happening right now, P = proceed positively) (Renshaw, Bolognino, Fletcher & Long, 2015). Upaya dasar mindfulness dapat diterapkan dalam layanan dasar.

Penerapan mindfulness dalam layanan BK dapat membantu peserta didik untuk meningkatkan performa akademik, mengembangkan keahlian sosial, dan belajar coping mechanism untuk mengembangkan kualitas pribadi hidupnya (Tadlock-Marlo, 2011). Remaja memiliki posisi perkembangan yang beresiko tinggi, terutama stres. Remaja perlu mengembangkan kognitif dan regulasi emosi dengan keahlian dalam stress coping (Johnstone et al., 2016). Stres dapat menghambat kehidupan pribadi, sosial, belajar dan kariernya. Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan lingkungan ideal untuk implementasi dan praktik mindfulness (Tadlock-Marlo, 2011). Mindfulness dapat digunakan sebagai strategi

untuk meningkatkan pelayanan BK yang efektif dan memberikan dampak yang positif bagi remaja di SMA.

Penerapan mindfulness dalam layanan BK merupakan sarana untuk mencapai perkembangan optimal. Mindfulness berkontribusi untuk mengembangkan kognitif dan keterampilan performa remaja untuk lebih fokus, siap sedia di segala situasi dengan perspektif jernih, menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan efektif, dan memberikan perhatian (Weare, 2012).

Kontribusi ini berdampak pada pencapaian yang berkualitas, kesehatan mental yang baik dan kesejahteraan remaja. Konselor memiliki peran sentral dalam upaya pemberian strategi psiko-edukatif melalui mindfulness, baik dalam layanan dasar dan layanan responsif bagi peserta didiknya. Melalui praktik mindfulness siswa diharapkan dapat berkembang optimal dalam pencapaian pribadi, sosial, belajar, karier dan memiliki self-compassion. Peserta didik atau konseli akan mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan memahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan dan merealisasikan diri secara bertanggungjawab sehingga mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Pada akhirnya, remaja SMA akan lebih adaptatif dan konstruktif untuk menghadapi setiap pengalaman hidupnya.

Selain itu, terdapat ragam intervensi yang dapat digunakan dalam memberikan layanan konseling untuk mengembangkan self-compassion pada remaja. Dimulai dari intervensi yang psikodinamik sampai humanistik dan post modern. Pertama, pendekatan Cognitive Behavior Therapy model Beck’s. Model ini menekankan pada bagaimana individu melakukan rekonstruksi pikiran terhadap kondisi yang dirasakan untuk membantu individu mencapai tujuannya.

Pandangan ini menitikberatkan melakukan intervensi pada proses kognitif dan perilaku yang memfokuskan pada pengubahan distorsi kognitif menjadi positif dan latihan pengubahan perilaku negatif menjadi respon positif. Fokus tersebut diarahkan pada pemberdayaan diri melalui pengembangan kognitif dan perilaku pada individu.

Intervensi lain adalah pendekatan konseling yang berorientasi pada

―Mindfulness Based Cognitive Therapy‖ salah satu pendekatan yang dapat

membantu belajar memahami dan mengenali pola pikir dan perasaan dengan tujuan menciptakan pola baru yang lebih efektif. Mindfulness based cognitive therapy salah satu jenis terapi yang lahir dari penyatuan terapi kognitif dan prinsip-prinsip meditasi. Manfaat Mindfulness didukung oleh penelitian yang menegaskan bahwa itu dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis tidak hanya mengurangi yang negatif, tetapi berfungsi juga meningkatkan yang positif.

Neff (dalam Polla, 2015) self-compassion dengan menggunakan proses pelatihan ataupun proses konseling seperti dengan proses pemberian pendekatan Cognitive Behavior Therapy yang berkaitan rendahnya pada komponen self-compassion (mindfulness) yang mana problamtika berkaitan tentang behavior distortion, dan langka-langka tersebut hampir sama dengan proses layanan konseling pada umumnya.

Penerapan peningkatan self-compassion dalam layanan bimbingan dan konseling mampu memberikan pengembangan kognitif dan keterampilan perfoma remaja untuk lebih fokus, siap sedia di segala situasi dengan perspektif jernih, menggunakan pengetahuan yang dimiliki dengan efektif, dan memberikan perhatian kebaikan diri sendiri maupun orang lain (Waskito, 2019).

Pandangan lain adalah intervensi ―Compassionate Mind Training‖ (Germer

& Neff, 2013). Pendektan yang memiliki kesamaan tertentu dengan Cognitive Behavior Therapy di mana keduanya menggunakan penilaian, perumusan kasus dan bekerja dalam kolaborasi dengan klien. Selain itu, keduanya memeriksa peran yang dimainkan perilaku, kognisi, dan emosi serta bagaimana tubuh dapat merespons ancaman yang dirasakan. Compassionate Mind Training digunakan sebagai tambahan dalam intervensi kognitif perilaku untuk membantu pencegahan relapse (kambuh). Intervensi lain untuk meningkatkan welas asih diri adalah

―Mindfulness Based Stress Reduction‖ terbukti meningkatkan welas asih diri, yang diukur dengan (SCS) Skala Self-Compassion (Shapiro, 2005). Pendekatan lain yang digunakan dalam meningkatkan self-compassion adalah intervensi yang berorientasi dengan menggunakan teknik dua kursi Gestalt yang dirancang untuk membantu klien mengurangi kritik diri dan memiliki kasih sayang yang lebih besar untuk diri mereka sendiri (Greenberg, 1983; Safran, 1998).

Intervensi lainnya adalah Compassion Focus Therapy (Gilbert, 2009) klien dilatih untuk mengubah pola pikir maladaptif seperti "Aku tidak bisa dicintai" dan memberikan pernyataan diri alternatif, seperti ―saya tahu beberapa orang mencintaiku". Tujuan dari Compassion Focus Therapy (CFT) adalah untuk membantu klien mengembangkan rasa hangat dan responsif terhadap diri sendiri (Beaumont et.al.,2012). Pandangan lain adalah intervensi yang berorientasi pada kognitif dan perilaku. Pendekatan ini bagian dari pendekatan Cognitive Behavior Therapy sebagai perluasan yang termasuk generasi ketiga diantaranya Dialectical Behavior Therapy (DBT) didasarkan pada pandangan dunia dialektis yang menggabungkan keseimbangan dan integrasi keyakinan yang berlawanan, khususnya dalam penerimaan dan perubahan dan pendekatan lainnya adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT) sebuah pendekatan yang melibatkan kesadaran yang tidak menghakimi dan keterbukaan terhadap sensasi kognitif dan pengalaman emosional (Bernard LK., & Curry, JF., 2011).

Model konseling penerimaan dan komitmen (ACT). Merupakan studi terkait dengan bagaimana membantu individu memiliki self-compassion (welas asih diri) untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Konstruk yang dibangun dalam model konseling ini didasari atas pandangan bahwa orang mempunyai pengetahuan bukan hasil dari pengalaman langsung tetapi dari hubungan antara dua atau lebih pengalaman orang lain (Yadavaia, 2015). Selain itu kerangka konseling untuk meningkatkan self-compassion dibangun berdasarkan pandangan terhadap manusia yang memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang negatif dan tidak hidup dalam kondisi saat ini dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyebabkan rendahnya self-compassion, maka melalui pendekatan penerimaan dan komitmen perilaku diarahkan pada menurunkan keyakinan pemikiran negatif tanpa mengubah pemikiran itu, dengan menerapkan proses penerimaan dan kesadaraan serta proses komitmen dan perubahan perilaku untuk menghasilkan kerangka fleksibel atau fleksibilitas psikologis (Neff, K.&Tirch, 2013).

Untuk intervensi yang lebih mendalam dan jangka panjang dapat dilakukan saat memberikan layanan responsif yakni dalam konseling individual maupun

konseling kelompok. Layanan ini memberikan bantuan segera agar tidak menghambat perkembangan konseli yang dapat berlanjut ke tingkat yang serius (Ditjen GTIK, 2016a). Dengan berbasis pada psikologi positif, program bimbingan dan konseling akan lebih banyak berorentasi pada pengembangan dan pencegahan, tidak terlalu fokus dengan mengobati masalah, layanan bimbingan dan konseling akan lebih banyak mencoba menganalisis potensi terbaik untuk digunakan mengembangkan perilaku yang baik, bukan menganalisis perilaku yang bermasalah sehingga kemudian dapat ditangani. Peterson, (2008)

Dokumen terkait