• Tidak ada hasil yang ditemukan

- - BAB II KONSEP SELF-COMPASSION DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "- - BAB II KONSEP SELF-COMPASSION DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP SELF-COMPASSION DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Konsep Self-Compassion 1. Definisi Self-Compassion

Self-compassion berasal dari kata compassion yang diturunkan dari bahasa Latin patiri dan bahasa Yunani patein yang berarti menderita, menjalani, atau mengalami (Muna, 2016). Self-compassion sangat terkait dengan definisi yang lebih umum yaitu “compassion”. Compassion terjadi ketika seseorang dapat tersentuh oleh penderitaan orang lain dan membuka kesadaran diri terhadap kesulitan orang lain, tidak menghindari atau memutuskan hubungan dari orang yang mengalami penderitaan, sehingga muncul perasaan baik terhadap orang lain dan keinginan untuk meringankan penderitaannya (Wispe, 1991). Compassion juga melibatkan pemahaman untuk tidak menghakimi kepada orang-orang yang gagal atau melakukan kesalahan, sehingga tindakan dan perilaku mereka terlihat dalam konteks kesalahan manusia pada umumnya.

Di dalam budaya Barat, compassion biasanya dikonseptualisasikan dari segi kepedulian terhadap penderitaan orang lain (compassion for others) (Moningka, 2013). Menurut Neff, definisi self-compassion itu sendiri tidak dibedakan dari definisi compassion pada umumnya. Topik self-compassiontelah mendapat perhatian penelitian sejak 2003, tahun di mana self-compassionpertama kali digambarkan dan dioperasionalkan oleh Neff (Hayes dkk.,2016).

Menurut Neff (2003a), self-compassion adalah sebuah teori yang didefinisikan sebagai bentuk kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami dan pendapat ini di dukung oleh Muris (2015) bahwa self-compossion merupakan kemampuan yang berhubungan dengan diri sendiri. Self-compassion merupakan salah satu upaya menghindari suatu kondisi yang tidak menyenangkan yang membuat seseorang menyalahkan diri sendiri dengan cara mengasihi diri (Neff, 2003a).

(2)

Menurut Leary (2007) individu dengan self-compassion yang tinggi memahami sepenuhnya masalah dan kelemahan mereka karena self-compassion dapat menjadi penyangga terhadap situasi negatif, individu dapat mengembangkan perasaan positif terhadap diri sendiri ketika terjadi kesalahan atau kegagalan.

Neff, Rude dan Kirkpatrick (2007a) mengemukakan bahwa self-compassion adalah suatu bentuk penerimaan diri yang sehat dan merupakan suatu sikap terbuka terhadap aspek-aspek diri sendiri dan kehidupan yang tidak disukai.

Neff, Rude, dan Krikpatrick (2007a) juga mengemukakan bahwa individu yang memiliki self-compassion cenderung mengalami lebih banyak perasaan bahagia atau kebahagiaan, optimisme, rasa ingin tahu, dan memberikan pengaruh positif dari pada individu yang tidak memiliki self-compassion. Menurut Neff (2003b), sikap menyayangi diri sendiri terhadap penderitaan itu unik. Neff (2003a) mengatakan bahwa self-compassion bukanlah suatu cara untuk menghindar dari tujuan dan tanggung jawab atau menjadi tidak berdaya, tetapi self-compassion adalah motivasi dari dalam diri untuk menguranggi penderitaan sehingga menjadi bahagia. Self-compassion bukan berarti penghilangan rasa sakit, tetapi menguranginya dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan kesadaran penuh, menjauhkan diri, pengakuan akan penderitaan dan cara kedua adalah dengan empati dan penerimaan yang diarahkan sendiri (Neff & Vonk, 2009).

Neff dan McGehee,(2010) berpendapat bahwa self-compassion berkemungkinan berperan penting dalam kematangan pribadi seseorang dan membentuk relasi yang sehat dengan orang lain. Selain itu, penelitian lain yang berkaitan dengan self-compassion juga menemukan bahwa self-compassion memiliki hubungan yang positif dengan kecerdasan emosional individu dan memiliki hubungan negatif pada self-criticism (Neff & Lamb, 2009). Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa self-compassion adalah sebuah kemampuan untuk memperlakukan diri dengan belas kasih dan peduli pada diri sendiri ketika megalami kegagalan, penderitaan, dan peristiwa negatif dengan memaknai sebuah peristiwa negatif secara positif sehingga memberikan motivasi untuk bertahan dan berkembang menjadi lebih baik.

(3)

Neff, (2003b) memaparkan bahwa self compassion adalah proses pemahaman tanpa kritik terhadap penderitaan, kegagalan atau ketidakmampuan diri dengan cara memahami bahwa ketiga hal tersebut merupakan bagian dari pengalaman sebagai manusia pada umumnya. Neff merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan konsep self-compassion. Gilbert (2006) mengemukakan bahwa self-compassion merupakan situasi kesejahteraan yang membantu individu untuk merasa diperhatikan, terhubung dan tenang secara emosional.

Sedangkan Amstrong, (2013) mendefinisikan compassion sebagai suatu karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Dalam posisi tersebut, individu merasakan pengalaman individu lain seolah- olah adalah pengalaman dirinya sendiri. Pengertian tersebut membawa konsekuensi individu memandang pengalaman individu lain dalam konteks kemurahan hati, sehingga tersentuh oleh penderitaan individu lain dan muncul keinginan untuk meringankannya.

Senada dengan Gilbert (Germer, 2009) menyatakan bahwa self-compassion sebagai salah satu bentuk dari penerimaan yang mengacu pada situasi atau peristiwa yang dialami seseorang dalam bentuk penerimaan secara emosional dan kognitif. Self-compassion juga meliputi pemahaman tanpa kritik atas penderitaan dan kegagalan atau ketidakmampuan diri karena pengalaman tersebut dilihat sebagai bagian dari pengalaman manusia pada umumnya (Neff, 2003).

Hasil penelitian Neff, (2003) menunjukkan bahwa self-compassion akan memicu kepedulian dan tumbuhnya welas asih terhadap orang lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marshall (dalam Maharani, 2015) individu yang memiliki self-compassion memperlakukan diri dengan lebih baik, mampu menerima segala kekurangan yang dimiliki sehingga tidak terjebak dalam perilaku yang merusak dirinya. Neff, (2003) menjelaskan bahwa self-compassion adalah strategi membatasi emosi negatif dengan kesadaran penuh disertai empati. Hal ini

(4)

secara tidak langsung menyatakan bahwa self-compassion dapat meregulasi emosi negatif menjadi emosi positif (Leary dan Hoyle , 2009).

Konsep self-compassion juga memilki kesamaan dengan psikolog humanistik (Ellis, 1973; Fromm, 1963; Maslow, 1954; Rogers, 1961). Maslow (1968) menekankan pentingnya membantu orang untuk menerima dan mengakui rasa sakit dan kegagalan mereka sendiri yang diperlukan untuk pertumbuhan mereka. Dia berpendapat bahwa penyebab utama banyak permasalahan psikologis adalah ketakutan akan pengetahuan diri sendiri, emosi, dorongan, ingatan, kapasitas, potensi diri seseorang. Mendorong orang lain untuk memiliki self- compassion atas kegagalan dan penderitaan mereka sendiri adalah salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman diri, membantu menumbuhkan apa yang oleh Maslow disebut ''persepsi B'' yaitu tidak menghakimi, memaafkan, mencintai penerimaan terhadap diri sendiri.

Selain itu, self-compassion sebanding dengan apa yang Rogers (1961) sebut unconditional positive regard. Rogers merasa bahwa sikap pribadi yang tidak menghakimi dan menilai diri sendiri adalah yang tertinggi. Selain itu compassion juga mendekati apa yang Ellis (1973) sebut sebagai "unconditional self- acceptance‖ atau penerimaan diri tanpa syarat," di mana nilai diri tidak dinilai, tetapi diasumsikan sebagai aspek intrinsik eksistensi dan secara langsung menumbuhkan apa yang Ellis percaya sebagai kunci kesejahteraan psikologis;

mengembangkan sikap toleransi terhadap ketidakpastian dalam hidup; mengakui dan memaafkan keterbatasan diri sendiri.

Self-compassion juga relevan dengan teori pengembangan emosional, yang secara spesifik membicarakan regulasi emosional (Brenner & Salovey, 1997).

Regulasi emosional mengacu pada proses di mana individu memperhatikan emosinya, mengatur intensitas dan durasi gairah emosional dan mengubah sifat dan makna perasaan saat menghadapi situasi stres atau menyedihkan (Thompson, 1994). Secara tradisional, permasalahan yang berfokus pada emosi telah dilihat dalam hal penghindaran emosional (misalnya, menertawakan hal-hal yang tidak penting), sehingga reaksi emosional terhadap kesulitan dilihat sebagai mekanisme pertahanan yang digunakan untuk menolak atau mengalihkan perhatian seseorang

(5)

dari masalah daripada menghadapinya secara langsung (Lazarus, 1993). Teori ini menyadari bahwa penanganan yang berfokus pada emosi juga dapat mengambil bentuk proaktif yang lebih produktif.

Selanjutnya, Neff dan Vonk, (2009) menjelaskan bahwa self-compassion tidak hanya berfungsi saat terjadi suatu hal yang negatif pada diri individu, tetapi juga berperan secara unik dalam emosi-emosi positif. Keberadaan self-compassion dalam diri individu berhubungan erat dengan perilaku inisiatif personal.

Robitschek (dalam Neff, 2007) mendefinisikan inisiatif personal adalah pembuatan keputusan secara aktif untuk menuju perubahan perilaku yang lebih produktif. Self-compassion dapat membantu individu memahami diri sendiri sehingga dapat mengetahui letak kelemahan dan mencari strategi yang efektif sebagai pemecahan masalah (Neff, Rude & Kirkpatrick, 2007).

Seseorang tidak bisa berwelas asih pada orang lain kecuali mereka memiliki compassion terhadap diri sendiri (self-compassion). Shapiro & Carlson (2009) percaya bahwa self-compassion mengarah pada welas asih bagi orang lain. Self- compassion memberikan keamanan emosional yang dibutuhkan untuk melihat diri dengan jelas tanpa takut mengkritik diri sendiri, yang memungkinkan individu untuk secara lebih akurat memahami dan memperbaiki pola pikir, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai (Brown, 1999). Selain itu, pengaruh intrinsik self- compassion akan memberikan kekuatan memotivasi yang kuat untuk pertumbuhan dan perubahan. Self-compassion sering mengharuskan untuk melepaskan perilaku berbahaya yang dengannya seseorang melekat, dan mendorong diri untuk mengambil tindakan apapun yang diperlukan (Neff, 2003b).

Perlu juga dicatat bahwa self-compassion sangat berbeda dengan rasa kasihan terhadap diri sendiri (self-pity) (Goldstein & Korn, 1987). Ketika individu merasa kasihan pada orang lain, mereka biasanya merasa sangat terpisah dari orang lain, sementara dalam orang-orang yang memiliki compassion selalu merasa terhubung dengan orang lain dan sadar bahwa penderitaan adalah sesuatu yang dialami semua manusia. Rasa kasihan terhadap diri sendiri cenderung menekankan perasaan dan egosentris dari orang lain dan membesar-besarkan tingkat penderitaan pribadi. Sedangkan self-compassion, memungkinkan

(6)

seseorang untuk melihat pengalaman diri dan orang lain tanpa adanya distorsi (Neff, 2003b).

Maka dapat disimpulkan secara umum self-compassion adalah sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pemahaman bahwa penderitaan, kegagalan dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan manusia dan setiap individu adalah berharga. Kemudian membantu individu untuk tetap tenang dan tidak mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya, karena self-compassion dapat memperlakukan diri dan orang lain secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia.

2. Komponen Self-Compassion

Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama yang dapat menjelaskan mengapa orang yang self-compassionate dapat berhasil mengatasi situasi kehidupan yang penuh tekanan, komponen tersebut juga tidak terlepas dari komponen negatif yang saling berinteraksi dalam self-compassion, yaitu self- kindness yang mengarah pada kemampuan untuk memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan welas asih serta tidak mengkritik diri sendiri secara terus menerus selama terjadinya situasi yang menantang. Common humanity melibatkan pengakuan bahwa pengalaman yang sulit dan menyakitkan adalah bagian dari kondisi manusia sehingga individu tidak seharusnya terisolasi dalam penderitaan.

Mindfulness melibatkan pengambilan perspektif yang seimbang mengenai emosi, terutama emosi negatif, hal ini membuat individu cenderung tidak terlarut di dalam emosi tersebut seperti kesedihan, rasa bersalah dan kemarahan (Neff, 2003;

Sirois, 2015).

a. Self-kindness vs self-judgement

Self-kindness adalah kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta memberikan kelembutan, tidak menyakiti dan menghakimi diri sendiri, di mana sebagian besar dari individu melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Individu mengakui masalah dan kekurangan tanpa adanya penilaian pada diri, sehingga individu bisa melakukan apa yang diperlukan untuk membantu dirinya. Bila individu mencoba menolak kenyataan, maka penderitaan muncul

(7)

dalam bentuk stres, frustrasi dan self-criticism. Ketika kenyataan ini diterima dengan penuh kebaikan, individu akan menghasilkan emosi positif dari kebaikan yang membantu mengatasi masalahnya tersebut (Barnard dan Curry, 2011).

Self-kindness memungkinkan individu untuk merasa aman pada saat individu mengalami pengalaman yang menyakitkan (Neff, 2011). Ketika orang mempersulit dirinya sendiri saat menghadapi cobaan atau rintangan, mereka bisa disebut mengalami self-judgement. Self-judgement adalah menilai, menghakimi, dan mengkritik diri sendiri.

b. Common Humanity vs isolation

Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang kesulitan, kegagalan dan tantangan merupakan bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami oleh semua orang. Komponen mendasarnya adalah pengakuan terhadap pengalaman manusia pada umumnya. Pengakuan tersebut saling berhubungan antar kehidupan individu yang membantu untuk membedakan kasih sayang antara diri sendiri dan penerimaan diri atau cinta diri (Neff & Lamb, 2009).

Common humanity mengaitkan kelemahan yang individu miliki dengan keadaan manusia pada umumnya, sehingga kekurangan tersebut dilihat secara menyeluruh bukan hanya pandangan subjektif yang melihat kekurangan hanyalah dimiliki diri individu. Begitupula dengan masa-masa sulit, perjuangan, dan kegagalan dalam hidup berada dalam pengalaman manusia pada keseluruhan, sehingga menimbulkan kesadaran bahwa bukan hanya diri kita sendiri yang mengalami kesakitan dan kegagalan di dalam hidup.

Salah satu masalah terbesar dengan penilaian individu adalah cenderung membuat diri merasa terisolasi (self-isolation). Self-isolation adalah individu berfokus pada kekurangan sehingga tidak dapat melihat hal lain serta merasa bahwa diri lemah dan tidak berharga. Ketika individu melihat sesuatu dalam dirinya yang tidak disukai, maka individu akan merasa orang lain lebih sempurna dari dirinya. Self-compassion mengakui bahwa tantangan dan kegagalan yang dialami individu juga dialami oleh setiap orang sehingga membantu individu

(8)

untuk tidak merasakan kesedihan dan terisolasi ketika mengalami penderitaan (Neff, 2011).

c. Mindfulness vs over-identification

Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang terjadi di dalam suatu situasi.

Individu perlu melihat sesuatu apa adanya, tidak lebih, tidak kurang untuk merespon terhadap situasi dengan compassion dan cara yang efektif (Neff, 2011).

Menurut Brown & Ryan, (2003), mindfulness adalah menyadari pengalaman yang terjadi dengan jelas dan sikap yang seimbang sehingga tidak mengabaikan aspek-aspek yang tidak disukai baik di dalam diri ataupun di dalam kehidupannya.

Mindfulness mengacu pada tindakan untuk melihat pengalaman yang dialami dengan perspektif yang objektif. Komponen Mindfulness menjelaskan bahwa individu bersedia menerima pikiran, perasaan, dan keadaan sebagaimana adanya, tanpa menekan, menyangkal atau menghakimi.

Mindfulness berlawanan dengan "over identification‖ yakni reaksi ekstrim atau reaksi berlebihan individu ketika menghadapi suatu permasalahan.

Timbulnya over-identification disebabkan karena individu terlalu fokus pada keterbatasan diri sehingga pada akhirnya menimbulkan kecemasan dan depresi, yang tak jarang menimbulkan penolakan atas pemikiran dan perasaan yang membuat individu menderita. Apabila individu memperhatikan ketakutan dan kecemasan daripada over-identifying, individu menyelamatkan diri dari banyak rasa sakit yang tidak beralasan. Mindfulness membawa individu kembali ke saat ini dan menyediakan jenis kesadaran yang seimbang yang membentuk dasar dari self-compassion (Neff, 2011).

Ketiga komponen tersebut, dapat mengurangi stress dengan cara membantu individu untuk mengelola emosi negatif yang timbul dari kejadian yang tidak terduga. Kejadian tersebut dapat menimbulkan perasaan menyalahkan diri sendiri yang dapat menyebabkan bertambahnya tingkat stress. Sebuah penelitian ditemukan bahwa individu yang memiliki tingkat stress yang tinggi, memiliki tingkat self-compassion yang rendah, begitu juga sebaliknya (Neff, Kirkpatrick, &

Rude, 2007; Arnos, 2017).

(9)

Orang yang self-compassionate cenderung menilai stress sebagai hal yang tidak terlalu negatif dan mengancam, hal ini membuat individu tersebut memberikan respon perilaku yang efektif untuk mengurangi stressor karena pengaturan diri mereka tidak dikuasai oleh evaluasi negatif terhadap diri sendiri (Terry & Leary, 2011).

Self-compassion dikonseptualisasikan sebagai bentuk adaptasi dari relasi diri yang melibatkan tiga hal, yaitu menumbuhkan kesadaran terhadap penderitaan, memperlakukan dan memahami diri sendiri dengan baik di masa- masa sulit, serta menghubungkan pengalaman stres seseorang ke perspektif yang lebih luas dari pengalaman manusia. Individu yang sedang berada pada fase transisi merupakan masa di mana terdapat banyak pemicu stres dan kecemasan dalam diri (Santrock, 2007), hal ini menjadikan self-compassion sebagai sebuah solusi yang diketahui memiliki hubungan positif terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologis (Neff, 2003a).

Remaja dengan tingkat self-compassion yang tinggi cenderung melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih baik dan lebih sedikit gejala tekanan psikologis seperti kecemasan dan depresi dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat self-compassion yang rendah (Neff &

Vonk, 2009; dalam MacBeth & Gumley, 2012)

Dalam budaya Barat, self-compassion telah dipahami sebagai kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Goetz, Keltner, & Simon-Thomas, 2010).

Sedangkan dalam tradisi Buddha, compassion dianggap sama pentingnya untuk menawarkan compassion kepada diri sendiri (Brach, 2003). Self-compassion terbentuk berdasarkan filosofi timur, namun merupakan konsep yang memiliki keterkaitan dengan beberapa konsep psikologis lainnya.

Karya Judith Jordan, salah satu pendiri model women’s psychological development (Jordan, 1997). Jordan telah menulis secara ringkas tentang konsep empati diri dalam tulisan-tulisannya, menggambarkannya sebagai sebuah proses di mana individu mengadopsi sikap tidak menghakimi dan keterbukaan terhadap diri sendiri. Jordan menulis bahwa empati diri adalah semacam 'pengalaman relasi korektif' dengan diri sendiri di mana aspek-aspek diri dan penilaian yang

(10)

sebelumnya dinilai dan tidak dimiliki dapat diterima dan ditanggapi dengan cara yang penuh perhatian, afektif dan terhubung. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa definisi Jordan tentang empati secara implisit menyentuh tiga elemen self- compassion: self-kindness, common humanity dan mindfulness.

3. Faktor yang mempengaruhi self-compassion

Secara umum, self-compassion berhubungan dengan keterbukaan dan pemahaman terhadap orang lain. Individu yang mempunyai self compassion tinggi mempunyai ciri : (1) mampu menerima diri sendiri baik itu kelebihan maupun kelemahannya; (2) mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai sebuah hal umum yang juga dialami oleh orang lain; dan (3) mempunyai kesadaran tentang ketertubungan antara segala sesuatu (Hidayati & Maharani, 2013).

a. Jenis Kelamin

Neff 2011 (dalam Missilliana 2014:24) penelitian menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih penuh pemikiran dibandingkan laki-laki sehingga perempuan menderita depresi dan kecemasan dua kali lipat dibandingkan laki- laki. Meskipun beberapa perbedaan gender dipengaruhi oleh peran tempat asal dan budaya. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki self- compassion sedikit lebih rendah dari pada laki-laki, terutama karena perempuan memikirkan mengenai kejadian negatif di masa lalu. Oleh karena itu, perempuan menderita depresi dan kecemasan dua kali lebih sering daripada pria.

Perempuan pada umumnya dianggap pribadi yang lebih sering bergantung (Cross & Madson, 1997) dan lebih empatik dari pada laki-laki. Di sisi lain, bukti penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih kritis terhadap diri sendiri dan memiliki lebih banyak gaya mengatasi permasalahan daripada laki- laki (Leadbeater, Kuperminc, Blatt, & Hertzog, 1999; Nolen-Hoeksema, Larson,

& Grayson, 1999), hasil ini menunjukan bahwa wanita memiliki tingkat self- compassion yang lebih rendah daripada pria. Hal ini diperkuat oleh tiga studi yang telah meneliti hubungan antara jenis kelamin dan tingkat self-compassion. Secara konsisten, perempuan telah ditemukan memiliki tingkat yang lebih rendah dari self-compassion dibandingkan laki-laki (Neff 2003a; Neff, Hseih, & Dejitthirat, 2005; Neff et al, 2008).

(11)

b. Lingkungan

Lingkungan dapat mendorong atau menghalangi perkembangan self- compassion di dalam individu. Misalnya, pola asuh anak dapat mempengaruhi apakah anak itu akan tumbuh dewasa menjadi orang dewasa yang penuh welas asih atau tidak. Schafer (dalam Neff, 2003b) mengemukakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengalami empati intra-psikis atau kemampuan untuk memberi perhatian terhadap emosi seseorang dapat dikembangkan melalui proses menginternalisasi respons empati lingkungan yang dialami seseorang saat kecil.

Sedangkan, Stolorow, Brandchaft, dan Atwood (1987) berpendapat bahwa kemampuan untuk mengenali dan memperhatikan keadaan perasaan diri selalu dikaitkan dengan empati yang diterima anak-anak pada masa kecil. Hal ini menunjukkan bahwa individu-individu yang mengalami hubungan hangat dan suportif dengan orang tua mereka sebagai anak-anak dan yang menganggap orang tua mereka sebagai orang yang pengertian dan penyayang, cenderung lebih percaya diri sebagai orang dewasa. Sebaliknya, orang-orang dengan orang tua yang dingin, cenderung kurang memiliki compassion (Brown, 1999).

c. Budaya

Studi tentang self-compassion menjelaskan bahwa budaya seseorang mempengaruhi tinggi atau rendahnya self-compassion yang ada pada dirinya.

Hasil penelitian pada negara Thailand, Taiwan dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa perbedaan latar budaya mengakibatkan adanya perbedaan derajat self- compassion. Markus dan Kitayama (dalam Neff, Pisitsungkagarn, Hsieh, 2008), orang-orang di Asia yang memiliki budaya collectivistic dikatakan memiliki self- concept interdependent yang menekankan pada hubungan dengan orang lain, peduli kepada orang lain, dan keselarasan dengan orang lain (social conformity) dalam bertingkah laku, sedangkan individu dengan budaya Barat yang individualistic memiliki self-concept independent yang menekankan pada kemandirian, kebutuhan pribadi dan keunikan individu dalam bertingkah laku.

Karena self-compassion menekankan pada kesadaran akan common humanity dan keterkaitan dengan orang lain, dapat diasumsikan bahwa self-compassion lebih sesuai pada budaya yang menekankan interdependent daripada independent.

(12)

Meskipun terlihat negara Asia yang merupakan budaya collectivist dan bergantung dengan orang lain, namun masyarakat dengan Budaya Asia lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan Budaya Barat sehingga derajat self-compassion tidak lebih tinggi dari budaya barat (Kitayama&Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumotoo, & Norasakkunkit, 1997).

d. Peran orang tua

Self-compassion juga dapat memediasi sebagian hubungan antara faktor keluarga seperti peran orang tua (dukungan dan fungsi keluarga) dan kesejahteraan (Neff & McGehee, 2010). Konsisten dengan temuan ini, self- compassion telah dikaitkan dengan emosional tinggi, pengabaian emosional, dan kekerasan fisik; remaja yang memiliki self-compassion rendah lebih mungkin untuk melaporkan tekanan psikologis, penggunaan masalah alkohol, dan usaha bunuh diri yang serius (Tanaka et al, 2011). Dalam hal ini, self-compassion dapat dilihat sebagai ―pendekatan emosional‖ strategi coping untuk mengatur pengaruh negatif (Stanton et al, 2000).

Individu yang memiliki derajat self-compassion yang rendah kemungkinan besar memiliki orang tua yang kritis, berasal dari keluarga disfungsional, dan menampilkan kegelisahan daripada individu yang memiliki derajat self- compassion yang tinggi (Neff & McGeehee, 2010:228). Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan orang tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan menjadi lebih mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari orang tua juga dapat memengaruhi self-compassion yang dimiliki individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang mengkritik diri akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan yang menunjukkan derajat self-compassion yang rendah.

Modeling of parents adalah kecenderungan anak untuk meniru orang tuanya dalam memperlakukan dirinya sendiri apabila menghadapi kegagalan atau kesulitan (Neff dan McGehee, 2009). Orang tua yang sering mengkritik diri ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan, menganggap bahwa hanya diri mereka yang mengalami kegagalan, serta terpaku pada kelemahan-kelamahan yang

(13)

menyebabkan terjadinya kegagalan, akan menjadi model bagi remaja itu sendiri untuk melakukan hal serupa ketika ia mengalami kegagalan dan inidividu tersebut akan cenderung memiliki self-compassion yang rendah. Sedangkan orang tua yang self-compassion ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan akan menjadi model bagi remaja untuk melakukan hal serupa ketika ia mengalami kegagalan, dan otomatis akan cenderung memiliki self-compassion yang tinggi.

Hal ini dapat dilihat dari attachment, maternal criticism dan modeling parents. Gilbert (dalam Neff, 2003) membuktikan bahwa self-compassion berakar dari attachment system. Bowlby, (1969) menyatakan bahwa early attachment akan mempengaruhi internal working model dan internal working model akan memengaruhi hubungan dengan orang lain. Jika seseorang mendapatkan secure attachment dari orang tua mereka, mereka akan merasa bahwa mereka layak untuk mendapatkan kasih sayang. Mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat dan bahagia, merasa aman untuk percaya bahwa mereka dapat bergantung kepada orang lain untuk mendapatkan kehangatan dan dukungan.

Individu yang mendapatkan insecure attachment dari orang tua mereka, akan merasa tidak layak mendapatkan cinta kasih sayang dan tidak bisa percaya kepada orang lain. Oleh karena itu tidak mengejutkan bila penelitian menyebutkan bahwa individu yang mendapatkan insecure attachment memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada individu yang mendapatkan secure attachment (Neff, 2011). Jika individu merasa tidak layak mendapatkan kasih sayang, maka individu tersebut juga merasa tidak layak jika mendapatkan kasih sayang dari dirinya sendiri.

Remaja yang memiliki pola secure attachment relatif merasa mudah untuk dekat dan merasa nyaman untuk bergantung dengan orang lain sehingga self- compassion pada remaja tersebut akan cenderung tinggi. Sedangkan remaja yang memiliki pola insecure attachment akan menampilkan perasaan tidak nyaman dengan orang lain dan merasa sulit untuk mempercayai orang lain, sering khawatir orang disekitarnya tidak benar-benar menyukai dirinya atau tidak ingin bersama dirinya, sehingga self-compassion pada remaja tersebut akan cenderung rendah.

Individu yang mendapatkan pola insecure attachment akan memiliki self-

(14)

compassion yang lebih rendah dibandingkan individu yang mendapatkan secure attachment.

4. Manfaat Self-compassion a. Emotional Well-Being

Individu yang memiliki tingkat self-compassion yang tinggi memiliki kecemasan dan depresi lebih sedikit (Neff, 2009). Kunci dari self-compassion adalah kurangnya self-criticism. Sedangkan self-criticism dikenal menjadi prediktor penting dari kecemasan dan depresi (Blatt, 1995). Seseorang yang memiliki self-compassion menyadari ketika mereka menderita baik terhadap diri mereka sendiri dan mengakui keterhubungan mereka dengan semua orang. (Neff, Kirkpatrick,&Rude, 2007).

Para peneliti memahami self-compassion berakar dalam meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan pribadi daripada membuat perubahan untuk meningkatkan harga diri. Dalam sebuah studi yang meneliti kecemasan dan kesejahteraan oleh Wei, Liao, Ku, dan Shaffer (2011) menemukan self- compassion menjadi mediator antara kecemasan dan kesejahteraan. Demikian pula, Neff dan McGeehee (2010) menemukan bahwa self-compassion memiliki asosiasi positif yang kuat dengan kesejahteraan.

Menurut Gilbert dan Irons (2009), self-compassion dapat membantu mengaktifkan sistem penenangan diri, mengurangi perasaan takut dan kesendirian.

Selain itu, Neff (2009a) menyebutkan bahwa self-compassion melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan well-being, serta mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam kehidupan. Individu dengan self- compassion tidak mudah menyalahkan diri bila menghadapi kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah perilaku yang kurang produktif dan menghadapi tantangan baru. Sehingga diharapkan setiap guru BK dapat menyiapkan program ke siswa dan menginternalisasikan self-compassion dalam diri untuk dapat membantu siswanya dalam mengoptimalkan potensi diri.

Self-compassion muncul untuk mendukung keadaan positif yang lebih baik.

Misalnya self-compassion dikaitkan dengan perasaan keterhubungan sosial dan kepuasan hidup yang penting (Neff, 2003a, Neff, Pisitsungkagarn, & Hseih,

(15)

2008). Hal ini juga terkait dengan perasaan otonomi, kompetensi, dan keterkaitan (Neff, 2003a) menunjukkan bahwa self-compassion membantu memenuhi kebutuhan psikologis dasar.

Deci dan Ryan (1995) berpendapat bahwa self-compassion sangat penting untuk kesejahteraan. Individu yang memilii Self-compassion cenderung mengalami lebih banyak kebahagiaan, optimisme, rasa ingin tahu, dan memberikan pengaruh positif daripada mereka yang tidak memiliki self- compassion (Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007). Dengan membingkai pengalaman menyakitkan seseorang dalam self-compassion, perasaan positif yang dihasilkan tersebut membantu menyeimbangkan perasaan yang negatif.

b. Motivasi

Penelitian mendukung gagasan bahwa self-compassion meningkatkan motivasi daripada kesenangan diri sendiri. Self-compassion yang negatif terkait dengan perfeksionisme, tidak memiliki hubungan dengan tingkat standar kinerja yang diadopsi untuk diri (Neff, 2003a). Individu yang memiliki self-compassion mengakui dan menerima bahwa individu tidak selalu bisa mencapai tujuan mereka. Self-compassion juga terkait dengan inisiatif pribadi yang lebih besar dan keinginan untuk mencapai potensi penuh seseorang (Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007). Individu yang memiliki self-compassion memiliki sedikit kecemasan dan terlibat dalam sedikit perilaku self-handicapping seperti penundaan terhadap tugas dibandingkan mereka yang tidak memiliki self-compassion (Williams, Stark, &

Foster, 2008).

Self-compassion berhubungan positif dengan tujuan serta penguasaan motivasi intrinsik untuk belajar dan tumbuh (Neff et al, 2005). Dengan demikian, self-compassion membuat individu termotivasi untuk sukses. Dalam jurnal Juliana G.Breines dan Serena Chen mengenai self-compassion increases self- improvement motivation pada mahasiswa diketahui bahwa self-compassion dapat meningkatkan motivasi dalam diri dengan mendorong mahasiswa untuk menghadapi kesulitan dan kesalahan yang dibuat tanpa mengkritik dirinya sendiri.

Sedangkan Neff & Vonk (2009), menyebutkan bahwa self-compassion sebagai salah satu aspek kematangan kepribadian yang berhubungan dengan usia,

(16)

dan berhubungan dengan kecerdasan emosi dan kearifan. Proses interaksi dengan individu lain, membawa konsekuensi permasalahan dan dalam hal ini self- compassion akan membantu individu untuk tidak cenderung melawan ketidaknyamanan emosional (Germer 2009).

Self-compassion dikaitkan dengan kebijaksanaan yang lebih besar dan kecerdasan emosional. (Neff, 2003a; Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007) menunjukkan bahwa self-compassion merupakan cara yang bijaksana untuk mengatasi emosi yang sulit. Misalnya, self-compassion terlibat dalam perenungan dan berpikir penekanan lebih sedikit daripada mereka yang memiliki self- compassion yang rendah (Neff, 2003a; Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007). Mereka juga melaporkan memiliki keterampilan mengatasi emosi lebih besar, termasuk kejelasan mengenai perasaan mereka dan kemampuan yang lebih besar untuk memperbaiki emosi negatif (Neely, Schallert, Mohammed, Roberts, & Chen, 2009; Neff, 2003a, Neff, Hseih, & Dejitthirat, 2005).

c. Hubungan Interpersonal

Self-compassion menguntungkan hubungan interpersonal. Dalam sebuah studi dari pasangan heteroseksual (Neff & Beretvas, in press), self-compassion individu yang digambarkan memiliki hubungan emosi yang lebih oleh pasangan mereka, menerima dan otonomi mendukung ketika sedang berpisah daripada mereka yang memiliki self-compassion yang kurang. Self-compassion juga dikaitkan dengan kepuasan hubungan yang lebih besar dan keamanan lebih.

Karena self-compassion individu memberikan diri mereka perawatan, dukungan, dan memiliki lebih banyak sumber daya emosional yang tersedia untuk diberikan kepada pasangan mereka.

Penelitian telah menemukan bahwa self-compassion pada mahasiswa cenderung memiliki tujuan lebih penuh kasih dalam hubungan dengan teman dan teman sekamar, yang berarti mereka cenderung untuk memberikan dukungan sosial dan mendorong kepercayaan interpersonal dengan pasangan (Crocker &

Canevello, 2008). Studi lain (Neff & Yarnell, disampaikan) menemukan bahwa self-compassion pada mahasiswa lebih mungkin untuk kompromi dalam situasi konflik dengan ibu, ayah, dan pasangan, sementara mereka dengan self-

(17)

compassion yang kurang cenderung mengesampingkan kebutuhan mereka kepada pasangan.

Self-compassion juga dapat membantu individu mengatasi rasa sakit mengenai keluarga mereka, dengan self-compassion individu melihat orang tua mereka sebagai manusia yang berjuang dan juga tidak sempurna, individu juga akan menyadari bahwa konflik interpersonal adalah hal yang universal. Remaja yang memiliki self-compassion akan mampu untuk menahan perasaan menderita, melalui kehangatan dan perhatian sehingga ia memperlakukan diri sendiri dengan sikap peduli, pengertian dan tidak melakukan penghakiman yang keras terhadap diri sendiri (Neff, 2010)

Dalam fungsi keluarga, individu yang mengalami maternal support atau mendapatkan dukungan dari ibu memiliki tingkat self-compassion yang tinggi, sementara individu yang tidak mendapat dukungan bahkan cenderung selalu mendapat kritik dari ibunya memiliki tingkat self-compassion yang lebih rendah (Neff, 2010).

Selain dukungan ibu yang memberikan efek positif pada anak, besarnya keterlibatan ayah juga bermanfaat bagi kesejahteraan anak dan perkembangannya karena individu dengan keterlibatan ayah yang tinggi, cenderung memiliki penerimaan diri dan penyesuaian pribadi serta penyesuaian sosial yang baik saat menginjak usia remaja (Fish & Biller, 1973; Lamb, 2004). Remaja yang tidak merasakan keterlibatan ayah dalam perkembangannya, lebih sering menunjukkan perilaku externalizing (perilaku agresif dan nakal) dan internalizing (Carlson &

Corcoran, 2001).

Banyak penelitian membahas mengenai self-compassion dan hubungannya dengan family functioning dan maternal support, bagaimana peran ibu berhubungan dengan self-compassion, namun penelitian mengenai keterlibatan ayah dengan self-compassion masih jarang ditemui, terlebih lagi penelitian mengenai hubungan mana di antara keterlibatan ayah dan keterlibatan ibu yang lebih erat kaitannya dengan self-compassion (Pleck, 2008).

(18)

d. Empati

Pommier (2010) dan Neff menyatakan bahwa Self-compassion secara signifikan terkait dengan kasih sayang, kepedulian empatik terhadap orang lain, dan altruisme. Individu yang memiliki self-compassion lebih cenderung untuk mengampuni orang lain yang telah merugikan mereka. Mereka juga menunjukkan peningkatan keterampilan pengambilan keputusan, sebuah komponen penting dari kebijaksanaan. Individu yang mengalami peningkatan yang lebih besar dalam self- compassion menunjukkan pengalaman empati yang lebih besar (Davidson, 2007;

Weibel, 2007).

Self-compassion mengajarkan individu berusaha untuk mencapai untuk alasan yang sangat berbeda karena kepedulian. Apabila individu benar-benar ingin berbuat baik kepada dirinya sendiri, individu akan melakukan hal-hal untuk membantu dirinya menjadi bahagia, seperti mengambil kegiatan baru yang menantang atau belajar keterampilan baru. Self-compassion juga memberikan individu keamanan yang diperlukan untuk mengakui kelemahan sehingga individu akan mengubahnya menjadi lebih baik.

e. Kesehatan

Self-compassion juga meningkatkan perilaku-perilaku yang terkait dengan kesehatan. Sebagai contoh, sebuah studi oleh Adams dan Leary, (2007) menunjukkan bahwa self-compassion dapat membantu individu bertahan dengan pola makannya. Individu-individu yang mengikuti program diet sering memperlihatkan sebuah kecenderungan paradoksial jika mereka gagal menjalankan pola makannya dan mengonsumsi makanan tinggi kalori, mereka cenderung makan lebih banyak setelahnya sebagai cara untuk mengurangi perasaan buruk yang terkait dengan kegagalannya (Heatherton & Polivy, 1990).

Studi ini menunjukkan bahwa membantu para wanita untuk merasakan dengan kasih dan pengertian mengenai tindakan menggagalkan pola makan mereka mengurangi kecenderungan ini. Studi mengenai tujuan-tujuan wanita untuk berolahraga menunjukkan bahwa wanita-wanita yang self-compassionate lebih memiliki motivasi intrinsik daripada ekstrinsik untuk berolahraga, dan tujuan-tujuan mereka berolahraga lebih kurang terkait dengan diri mereka sendiri

(19)

(Magnus, Kowalski, & McHugh, 2010; Mosewich, Sabiston, Sedgwick, & Tracy, 2011). Mereka juga melaporkan merasa lebih nyaman dengan tubuh mereka, dan lebih tidak cemas mengenai evaluasi-evaluasi sosial mengenai penampilan fisik mereka. Oleh karena itu, self-compassion menunjukkan peningkatan baik kesejahteraan fisik maupun mental.

Serupa dengan studi tersebut, Kelly, Zuroff, Foa, dan Gilbert (2009) memeriksa apakah self-compassion dapat membantu individu menghentikan atau mengurangi merokok. Para individu yang dilatih untuk merasakan compassion mengenai kesulitan-kesulitan untuk berhenti merokok mengurangi kegiatan merokok mereka jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang dilatih untuk merefleksi dan mengawasi kegiatan merokok mereka. Intervensi self-compassion khususnya efektif bagi mereka yang sangat kritis terhadap dirinya sendiri atau menolak perubahan.

Terry dan Leary (2011) memaparkan bahwa regulasi diri yang terkait dengan self-compassion juga memainkan peran kunci dalam membetuk kesehatan mental. Magnus et. al (2010) menemukan bahwa self-compassion positif terkait dengan hasil latihan yang bermanfaat pada wanita. Demikian pula, sebuah studi oleh Kelly et. al (2010) menunjukkan bahwa intervensi self-compassion di bidang kesehatan dapat mengintervensi mengurangi merokok lebih cepat bagi peserta yang rendah dalam kesiapan mereka untuk berubah dan yang sangat kritis terhadap diri sendiri.

B. Self-compassion Berdasarkan Perkembangan Remaja

Masa remaja adalah masa kehidupan dimana kasih sayang adalah yang terendah. Kemajuan kognitif remaja peningkatan introspeksi, metakognisi, refleksi, dan kemampuan untuk mengambil perspektif sosial (Keating, 1990).

Kemampuan baru ini menunjukkan bahwa remaja terus mengevaluasi diri dan membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain ketika mereka mencoba untuk menetapkan identitas dan tempat mereka dalam hierarki sosial (Harter, 1994). Mengingat tekanan intens yang dihadapi sebagian besar remaja seperti stres pada kinerja akademis, kebutuhan untuk menjadi populer dan hidup sesuai

(20)

dengan teman yang tepat, cinta, dll. Evaluasi ini seringkali tidak menguntungkan (Steinberg, 1999).

Apalagi, masa remaja bisa menjadi masa penyerapan. Egosentrisme remaja seperti itu dapat terwujud sebagai gambaran fantasi di mana remaja membayangkan bahwa penampilan dan perilaku mereka adalah fokusnya perhatian orang lain. Pada masa remaja individu mengalami berbagai perubahan yang mencakup kognitif, biologis dan sosio-emosional. Remaja memiliki emosi yang mudah meledak-ledak dan memiliki banyak harapan dan keinginan. Setiap individu mempunyai tugas perkembangan sesuai dengan masanya yang harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupnya. Menurut Yusuf, (2009) siswa pada masa remaja berada pada masa berkembang dan dalam masa berkembang ini tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Penilaan pada setiap kesulitan, kekurangan dan kegagalan seharusnya tidak membuat siswa melakukan tindakan yang bisa menghambatnya dalam berkembang.

Keberhasilan negosiasi tantangan dalam masa remaja sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan emosional remaja di masa dewasa. Selama periode perkembangan ini, pergeseran kunci terjadi dalam fisiologi termasuk perubahan hormon dan pematangan struktur dan fungsi otak, kemampuan kognitif (yaitu, pertumbuhan metakognisi dan pemikiran abstrak), dan ekspresi emosional (yaitu, peningkatan volatilitas emosional dan gejala depresi) ( Giedd 2008; Keating 2004;

Susman dan Dorn 2009).

Mengingat bahwa self-compassion dapat berperan signifikan dalam kesejahteraan emosional dan mengakui tantangan masa remaja dan perbedaan dalam perkembangan laki-laki dan perempuan, penting untuk memahami bagaimana self-compassion dapat terwujud dalam berbagai tahap perkembangan remaja.

Berk (2012:554) menjelaskan bahwa pada masa remaja, individu akan mulai memiliki ketertarikan pada lawan jenis,minat karir dan eksplorasi identitas.

Menurut Neff dan McGehee (2010:225) hal tersebut menimbulkan tekanan tersendiri bagi remaja, seperti tekanan yang dirasakan atas kinerja akademis, kebutuhan untuk menjadi populer, keinginan untuk diterima, merasa cocok dalam

(21)

suatu kelompok sosial yang tepat, permasalahan hubungan dengan lawan jenis dan body image. Keadaan yang demikian, ditambah dengan perubahan emosional yang dirasakan remaja, perubahan minat, peran dan kondisi lingkungan yang menimbulkan tekanan sosial, membuat ketegangan emosi pada remaja semakin bertambah tinggi.

Permasalahan dan tekanan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari pada hakikatnya merupakan suatu batu loncatan untuk membuat remaja menjadi lebih dewasa dalam bertindak. Untuk dapat menghadapi situasi yang menekan dengan menampilkan perilaku yang adaptif maka remaja membutuhkan regulasi emosi.

Hurlock (2011:213) menjelaskan remaja memiliki pengelolaan emosi yang baik jika mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Sedangkan ketidakmampuan mengelola emosi dapat membuat remaja tidak berdaya menghadapi situasi penuh tekanan dan konflik, akibatnya remaja melakukan tindakan destruktif untuk mengelola emosi yang sedang dihadapinya.

Di sisi lain Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kecerdasan kognitif pada masa remaja telah sampai ke tahap maksimal (dalam Desmita, 2012:195). Remaja telah mampu berpikir secara sistematik dan memikirkan semua kemungkinan untuk memecahkan permasalahan. Meskipun kemampuan kognitif remaja sudah berkembang, tetap saja masih ada ketidakmatangan kognitif yang menyelimuti, misalnya imaginary audience dan personal fable (Elkind dalam Berk, 2012:532).

Bentuk-bentuk ketidakmatangan dari remaja ini mendasari banyaknya perilaku beresiko dan destruktif yang dilakukan remaja, dan memberikan kontribusi peningkatan self-criticism, perasaan terisolasi, dan over-identification dengan emosi yang dirasakan.

Berbagai fenomena yang dapat dijadikan contoh berkaitan dengan ketidakmampuan remaja dalam mengelola emosi adalah peristiwa bunuh diri.

Menurut Neff (2009) Permasalahan-permasalahan yang timbul pada masa remaja dapat disebabkan dari rendahnya tingkat kebahagiaan, kurangnya optimisme serta kepuasan hidup, dan rendahnya motivasi. Tekanan terbesar yang sering dihadapi remaja terjadi di lingkup sekolah.

(22)

Dikutip dari data yang dilansir dari www.kumparan.id. Sebanyak 61%

diantaranya mengatakan mereka kesusahan dengan tuntutan mendapatkan nilai bagus. Tidak hanya mengenai akademis yang membuat para remaja gelisah.

Tekanan untuk tampil gaya juga dirasa meresahkan bagi 29% remaja. Kemudian terdapat kelompok remaja usia 15 hingga 18 tahun menunjukkan gejala depresi paling tinggi dibandingkan kelompok usia lain. Sebanyak 32% remaja perempuan melaporkan gejala depresi sedang dan sebanyak 26,6% remaja laki-laki memiliki gejala depresi. Maka kesimpulannya bahwa banyak remaja yang mengalami gelisah karena tuntutan harus mendapatkan nilai yang bagus dan lebih banyak remaja perempuan yang mengalami gejela depresi sedang, dibandingkan dengan laki-laki.

Remaja yang welas asih memiliki sikap diri yang positif secara emosional, tidak bergantung kepada penilaian diri, mereka lebih bebas untuk mengikuti kegiatan yang diinginkan dari pada keinginan untuk melindungi atau meningkatkan harga diri. Selain itu, self-compassion umumnya dianggap sebagai strategi koping positif, oleh karena itu hal ini dapat dikaitkan dengan strategi koping positif seperti penilaian, pemecahan masalah dan penerimaan (Allen dan Leary, 2010). Self-compassion adalah sifat dan proses psikologis, dan dihasilkan sendiri selama masa pergulatan emosional.

Sedangkan remaja yang mempunyai self-compassion yang rendah memperkuat penilaian diri secara berlebihan, perasaan terisolasi, identifikasi secara berlebihan dengan emosional (Neff, 2009). Remaja yang belum bisa mengelola emosi mereka dengan efektif akan mengantarkan mereka pada depresi, marah serta kurangnya regulasi emosi yang dapat memicu kesulitan akademis, obat-obatan terlarang, kenakalan remaja, dan gangguan makan (Santrock, 2007).

Santrock, (2007) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara remaja laki- laki dan perempuan. Remaja laki-laki memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam hal emosi baik itu dalam megekspresikan maupun merasakan emosi orang lain serta kurang peka untuk terlibat dalam situasi yang bersifat emosional.

Sebaliknya, remaja perempuan lebih mampu mengekpresikan dan merasakan

(23)

emosi orang lain dan peka dalam menghadapi situasi-situasi emosional maupun kepekaan dalam memahami situasi sulit orang lain.

Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa berada pada masa remaja berkembang sehingga sudah mampu meningkatkan rasa welas asih yang ada dalam diri mereka sendiri. Sebuah penelitian menemukan bahwa menyayangi diri sendiri dikaitkan dengan upaya mengatasi kesulitan dengan perasaan negatif yang disebabkan oleh kejadian yang tidak menyenangkan (Leary et al., 2007).

Penelitian ini menunjukkan bahwa self-compassion dikaitkan dengan berbagai hasil positif termasuk kepuasan hidup yang lebih besar, keterhubungan sosial, otonomi, motivasi intrinsik untuk belajar, pertumbuhan pribadi, rasa ingin tahu, kebahagiaan, optimisme, inisiatif pribadi, dan ketahanan emosional (Neff et al, 2007; Neff, 2009; Barnard & Curry; 2011).

Self-compassion juga telah terkait dengan cara untuk mengurangi kecemasan, depresi, kritik diri, refleksi, pemikiran penindasan, perfeksionisme, takut gagal, kelelahan, dan erotisme (Kelly et al, 2009; Neff, 2009). Sebuah studi naratif yang dilakukan antara konselor menunjukkan Praktik welas asih berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan perawatan diri, hubungan terapeutik yang lebih baik, "budaya peduli" di tempat kerja, pekerjaan kepuasan dan pencegahan kejenuhan (Patsiopoulos & Buchanan, 2011).

Selain itu, menyayangi diri sendiri juga bisa menjadi perantara beberapa hubungan antar faktor keluarga (seperti dukungan ibu dan fungsi keluarga) dan kesejahteraan (Neff & McGehee, 2010). Konsisten dengan temuan ini, self- compassion dikaitkan dengan emosional yang tinggi, pengabaian emosional, dan kekerasan fisik; Kompleks inferioritas remaja lebih cenderung melaporkan tekanan psikologis, penggunaan masalah alkohol, dan upaya bunuh diri yang serius (Tanaka et al., 2011).

Self-compassion sangat relevan dengan pengalaman remaja. Perasaan penerimaan diri dan kebaikan diri yang ditimbulkan oleh self-compassion harus mengarah pada penilaian negatif ketika remaja menghadapi aspek yang tidak disukai dari diri mereka sendiri. diprediksi bahwa remaja yang memiliki self- compassion akan melaporkan lebih banyak keterhubungan sosial dan lebih sedikit

(24)

kecemasan dan depresi, senada dengan hasil penelitian sebelumnya terhadap orang dewasa. (Neff, 2003; Neff, Pisitsungkargarn & Hseih 2008).

Penelitian serupa menggambarkan kondisi self-compassion pada remaja bahwa self-compassion dapat mempengaruhi prokrastinasi. Makin tinggi tingkat self-compassion remaja maka makin rendah tingkat prokrastinasi remaja. Apabila memiliki self compassion tinggi maka remaja mempunyai kasih sayang yang besar kepada diri sendiri sehingga dapat menerima diri apa adanya dan mengurangi kritik secara berlebihan dan dapat mengatasi kegagalan akademik.

Individu yang mempunyai self compassion, lebih mampu melihat kegagalan sebagai kesempatan belajar dan untuk fokus dalam menyelesaikan tugas yang ada.

Neff (2005) berpendapat semakin tinggi self compassion yang dimiliki oleh remaja maka remaja akan berani mencoba hal-hal baru dalam proses belajar yang akan berdampak pada pencapaian prestasi akademik. Seseorang yang memiliki self compassion mereka lebih bahagia, lebih bijaksana, merasakan kepuasan hidup yang lebih besar dan tidak takut akan kegagalan.

Hasil dari penelitian Neff (2007) juga menerangkan, remaja yang memiliki self-compassion tinggi lebih dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Neff, 2003; Neff, Rude, &

Kirkpatrick, 2007 dalam Neff, 2012) dan dapat memicu emotional coping skills yang lebih baik, seperti menjadi lebih jelas mengenai perasaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki keadaan emosi negatif (Neely, dkk, 2009; Neff, 2003; Neff, Hseih, & Dejitthirat, 2005, dalam Neff, 2012).

Keterkaitan antara self-compassion dengan poin penting dari kompetensi emosi (Saarni, 1999; Saarni, dkk, 2006 dalam Santrock, 2010), yaitu kepekaan atas kondisi orang lain dan dapat melakukan coping secara adaptif, selain itu juga memiliki keterkaitan dengan indikator kompetensi emosi, mengidentifikasi, memahami, dan meregulasi emosi.

Self-compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang yang memiliki self-

(25)

compassion dapat memperlakukan seseorang dan dirinya secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff, 2012).

C. Self-compassion dalam Perspektif Islam

Menurut Neff, (2003b) menjelaskan bahwa self-compassion merupakan suatu bentuk sikap dan perilaku untuk mengurangi penderitaan akibat individu mengalami kekurangan, kegagalan dan kesulitan serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Selain itu Neff, (2007) juga menerangkan bahwa seseorang yang memiliki self-compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya.

Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang yang memiliki self- compassion dapat memerperlakukan seseorang dan dirinya secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff, 2012 dalam Ramadhani &

Nurdibyanandaru, 2014: 122).

Individu perlu meningkatkan penghayatan secara positif mengenai diri sendiri dan menghilangkan emosi negatif agar memahami kemanusiaan (Neff, 2010). Penghayatan secara positif menurunkan perasaan tidak puas dalam diri individu. Neff dan Vonk, (2009) menyatakan bahwa self-compassion adalah salah satu aspek kepribadian dan berhubungan dengan kecerdasan emosional. Individu yang mengelola pikiran secara positif memiliki sikap optimisme, bersyukur dan menghargai keadaanya (Neff, 2003a). Sikap optimisme, bersyukur dan menghargai keadaan yang dimiliki disebut dengan istilah self-compassion.

Berkaitan dengan kondisi tersebut Allah SWT berfirman dalam dalam Al- Quran Surat Az Zumar ayat 53: ―Katakanlah wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.‖ Dalam Surat Al-Imran ayat 139, Allah juga berfirman: ―Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman‖ (Al Banna, 2016:217).

(26)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kelebihan yang lebih sempurna dari makhluk lainnya yang telah diciptakan-Nya, sehingga manusia haruslah yakin bahwasannya ia mampu untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya dengan kelebihan yang telah Allah berikan.

Dalam hal ini, self-compassion juga menuntut individu untuk tidak bersikap pasif dan lemah, karena harus kuat dan mempunyai pikiran yang lebih positif, untuk yakin atas kemampuan yang dimilikinya (Albanna, 2016).

Selain itu ayat ini menjelaskan bahwa Allah memberikan kemampuan kepada individu di dunia ini berdasar atas kemampuannya, sehingga dalam menjalani suatu tugas dalam kehidupan. Seperti dalam menyelesaikan masalah haruslah dengan penuh keyakinan, karena Allah Maha menepati janji-janji-Nya.

Allah SWT juga memberikan isyarat dalam perintah-Nya untuk yakin atas kemampuan yang dimiliki atas masing-masing individu yang ada (Chaeroni dkk, 2016). Hal ini berkaitan dengan seruan untuk membentuk self-compassion yang tinggi.

Selain itu, esensi dari self-compassion ialah terletak pada penerimaan seseorang terhadap komponen-komponen dalam hidup yang tidak dikehendaki terjadi, baik itu kekurangan diri, kegagalan, atau lainnya. Menemukan titik terang dalam diri yang bisa diberdayakan untuk mengimbangi cara menyikapi pengalaman tidak menyenangkan tersebut merupakan salah satu bagian dari komponen self-compassion, yakni self-kindness.

Pengalaman pahit dan menggembirakan merupakan satu rangkaian yang menjadi bagian dalam hidup. Karena setiap manusia memiliki zona masa tersendiri untuk merasakan dua kesempatan tersebut, maka individu dengan self- compassion yang baik membawa bekal pemahaman ini bahwa ada kalanya kesenangan dan kesedihan tersebut pasti akan silih berganti. Hal ini terliput dalam dimensi common humanity. Allah dalam firmanNya pada surat Al-Baqarah 286 menjelaskan sebagai berikut: ―Allah tidak membebani kewajiban kepada seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula.‖(QS. Al- Baqarah: 286).

(27)

Ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa ujian dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada hambanya tidak pernah lebih dari kapasitasnya masing- masing, maka dengan dimilikinya komponen common humanity, sesuai dengan kutipan ayat di atas, individu akan mengerti bahwa setiap manusia telah ditetapkan kejadian untuknya sesuai kemampuan masing-masing, sehingga tidak membandingkan atau menyikapi secara berlebihan yang mengarah pada perilaku menyakiti diri sendiri. Kajian tentang self-compassion juga tertuang dalam al- Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18 berikut: ―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Dan hendaklah tiap-tiap orang merenungkan:

perbekalan apa yang telah disediakannya untuk esok di hari akhirat. Lagi-lagi bertakwalah kepada Allah bahwasanya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.‖(Albanna, 2016:304).

Sebagaimana yang juga telah tercantum dalam konsep self-compassion yang berbicara tentang pentingnya merenung, pada suatu momen juga perlu untuk merenung, dalam artian berintrospeksi diri, serta mempelajari hal-hal apa saja yang telah diperbuatnya, menganalisa sebab-sebab peristiwa serta berkaca pada pengalaman tersebut untuk rencana hidup yang lebih baik, dan berpikir jernih tanpa memanipulasi kenyataan yang ada.

Self-compassion diperlukan bagi setiap individu oleh karena self- compassion membuat individu mampu untuk menempatkan diri sebagai manusia, sebagaimana individu lain pada umumnya. Sebagai manusia, individu memperlihatkan keadaan yang tidak sempurna dan dimungkinkan untuk melakukan kesalahan. Neff (dalam Barnard & Curry, 2011). Ketika individu menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak mungkin untuk melakukan tugas dan perannya secara seimbang, maka individu akan menyadari pengalaman tersebut sebagai suatu yang wajar. Meskipun memiliki perasaan kurang nyaman maka hal tersebut akan mampu diterimanya sebagai hal yang memang seharusnya demikian. Namun individu yang memiliki self-compassion tidak akan mencela atas kekurangan yang terjadi pada dirinya. Individu akan menerima kekurangan tersebut.

(28)

Dalam perjalanan hidup, masing-masing individu akan menemukan kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri mereka. Individu yang memiliki self- compassion akan melihat kekurangan tersebut dengan kebaikan dan kasih sayang, bukannya dengan kebencian. Kondisi berdamai dengan diri sendiri ini dapat mendorong seseorang dalam menemukan cara untuk mengimbangi kekurangan yang dimiliki (Saricaoğlu & Arslan, 2013). Individu dengan self-compassion mengetahui kekurangan dan kelebihan yang ia miliki dan dapat menerima hal itu sehingga ia dapat mengetahui aspek mana dari dirinya yang bisa dikembangkan.

D. Implikasi Self-Compassion terhadap Bimbingan dan Konseling

Layanan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam membantu peserta didik dalam meningkatkan welas asih diri.

Strategi layanan bimbingan dan konseling dalam membantu masalah-masalah peserta didik memiliki beberapa karakteristik tertentu diantaranya bimbingan klasikal, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan individual (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Fakta empiris menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling pada siswa dibutuhkan untuk mengembangkan kesehatan mental, pendidikan, karir dan kesejahteraan (Kavlan, Gladding dan Tarvydas, 2014).

Layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian dari proses pendidikan yang secara logis memiliki peran dalam mengembangkan peserta didik ke arah optimal. Sebagai bagian integral dalam pendidikan, bimbingan dan konseling memegang peranan penting dalam membantu siswa dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh siswa, sehingga pada hakikatnya layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli mencapai kesejahteraan dalam setiap dimensinya (Frisch et al, 2013).

Pelayanan bimbingan dan konseling hendaknya juga dapat membantu perkembangan pada peserta didik yang memasuki fase remaja. Pada umumnya masa remaja terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang dialami di berbagai aspek dalam diri individu seperti biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003:26). Masa ini merupakan masa transisi antara anak-anak ke dewasa yang berada pada rentang usia 13 sampai 18 tahun (Hurlock, 1980:206).

Lebih lanjut, Hurlock (1980:213) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan

(29)

salah satu periode kehidupan yang sarat akan dinamika, mempunyai ciri kurangnya kemampuan dalam keterampilan mengontrol diri pada aspek psikologis.

Kemajuan kognitif remaja membuat peningkatan introspeksi, metakognisi, refleksi diri, dan kemampuan mengambil perspektif sosial (Keating, 1990).

Kemampuan baru ini menunjukkan bahwa remaja terus mengevaluasi diri mereka sendiri dan membandingkan diri mereka dengan orang lain saat mereka berusaha untuk menetapkan identitas dan tempat mereka dalam hirarki sosial (Harter, 1994). Mengingat tekanan yang kuat yang dihadapi oleh sebagian besar remaja seperti stres terhadap kinerja akademis, kebutuhan untuk menjadi populer dan hidup sesuai dengan teman sejawat yang tepat, cinta dll. Evaluasi ini seringkali tidak menguntungkan (Steinberg, 1999). Apalagi masa remaja bisa menjadi periode penyerapan diri yang ekstrem. Egosentrisme remaja semacam itu dapat bermanifestasi sebagai gambaran hayalan di mana remaja membayangkan bahwa penampilan dan tingkah laku mereka adalah fokus perhatian orang lain.

Karena kesulitan periode remaja, banyak pendidik memberi banyak perhatian untuk meningkatkan self-compassion pada remaja (Palmer & Froehner, 2000), khususnya anak perempuan (Pipher, 1994). Amstrong (2013) mendefinisikan compassion sebagai suatu karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Dalam posisi tersebut, individu merasakan pengalaman individu lain seolah-olah adalah pengalaman dirinya sendiri. Pengertian tersebut membawa konsekuensi individu memandang pengalaman individu lain dalam konteks kemurahan hati, sehingga tersentuh oleh penderitaan individu lain dan muncul keinginan untuk meringankannya.

Kemampuan merasakan perasaan individu lain dan kemurahan hati tersebut berkembang dari penerimaan terhadap diri sendiri, secara emosional dan kognitif atas pengalaman diri dan kesadaran untuk tidak menghindar atas pengalaman yang tidak menyenangkan (Germer, 2009: 33).

Self-compassion merupakan salah satu prediktor yang bisa menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan, memahami dan menyadari makna dari sebuah kesulitan sebagai hal yang positif. Individu yang memiliki Self-

(30)

compassion baik akan menunjukkan kesehatan psikologis yang lebih besar daripada mereka yang memiliki tingkat self-compassion rendah, karena individu yang memiliki self-compassion baik akan dapat menguatkan diri dari rasa sakit dan rasa kegagalan, perasaan terisolasi (Wood, Saltzberg, Neale, & Stone, 1990) dan dapat mengidentifikasi pikiran dan emosi (Nolen-Hoeksema, 1991). Self- compassion yang baik akan membuat kurangnya depresi diri, kurangnya kecemasan berlebihan, kurangnya perfeksionisme neurotik, dan memiliki kepuasan hidup yang lebih besar.

Memiliki self-compassion akan membuat individu berusaha mencegah diri mereka dari mengalami permasalahan. Sehingga self-compassion memunculkan perilaku proaktif yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan diri, misal dengan mengonsumsi makanan sehat, atau meluangkan waktu dari kesibukan pekerjaan sebelum menjadi terlalu stres. Deci dan Ryan (1995) mengemukakan bahwa harga diri berkembang ketika tindakan individu mencerminkan dirinya sendiri yang otentik. Individu dengan self-compassion tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi. Self compassion merupakan kesediaaan diri untuk tersentuh dan terbuka kesadarannya saat mengalami penderitaan dan tidak menghindari penderitaan tersebut.

Sebuah studi narasi yang dilakukan antara konselor menunjukkan praktek self-compassion kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan dan perawatan diri, dan mencegah burnout (Patsiopoulos & Buchanan, 2011).

Intervensi yang efektif, mungkin akan mendorong remaja untuk melawan secara langsung dengan mengajarkan remaja untuk bersikap baik dan pengertian terhadap diri mereka sendiri, untuk menyadari bahwa kebanyakan remaja mengalami masalah yang sama. Hal ini lah yang menjadi dasar peneliti untuk mengembangkan self-compassion pada siswa di SMA.

Self-compassion sangat dipengaruhi usia individu. Masa remaja adalah masa hidup di mana rasa welas asih adalah yang terendah (Neff, 2003b), Sehingga perlu adanya program bimbingan dan konseling yang memfokuskan pada kajian self- compassion untuk dapat membentuk pribadi remaja yang tangguh. Salah satu program layanan yang dapat di kembangkan adalah dengan menerapkan

(31)

pendekatan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan karakteristik self- compassion.

Self-compassion akan dapat mendorong individu untuk dapat memiliki cara pandang yang positif terhadap masalah yang dialami di dalam lingkungan, dan terhadap diri sendiri. Dengan memiliki self compassion yang tinggi, maka seseorang akan dapat melihat berbagai situasi dan masalah yang dialami dengan lebih objektif, sekaligus lebih mampu berempati terhadap dirinya dan juga orang lain. Selain itu, sesuai dengan situasi yang dialami, adanya self-compassion yang dimiliki oleh seorang akan dapat mendorong dirinya untuk menjadi orang yang disukai, menarik, dan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain. Mereka akan mengalami depresi yang lebih rendah, memiliki kebahagiaan, optimisme, dan emosi yang positif, yang akan sangat berguna dalam kehidupannya, (Neff, 2007). Dari berbagai kesulitan yang dialami dalam menjalankan peran sebagai siswa, mereka memiliki cara yang berbeda-beda untuk memahami kesulitan tersebut.

Penjabaran diatas, menunjukkan pentingnya seorang remaja untuk memiliki self-compassion. Menurut Neff (2011), self-compassion memungkinkan individu untuk memiliki sumber daya yang memadai sehingga individu mampu untuk bersikap baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Dalam menjalankan kegiatan sebagai seorang siswa, membutuhkan self-compassion yang tinggi untuk dapat memiliki sikap yang positif, dapat bertahan dalam menghadapi masalah dalam setiap tugas perkembangannya, dan tidak menyalahkan dirinya sendiri ketika harus menghadapi masalah dan situasi-situasi yang tidak mengenakan. Karena itu, seorang remaja diharapkan dapat mengembangkan kemampuan untuk menghayati bahwa dirinya memiliki keterbatasan, menghayati bahwa masalah merupakan hal yang umum dialami, dan memiliki kemampuan untuk membatasi pemikiran agar tidak terlalu terfokus pada masalah.

Neff (2018) peningkatan self-compassion bisa dilakukan bermacam-macam pertemuan yang bisa dilakukan seperti pelatihan-pelatihan, layanan dasar seperti bimbingan klasikal dan kelompok maupun layanan responsif seperti konseling, layanan medis khususnya bagian tentang perilaku manusia (psikis).

Referensi

Dokumen terkait