• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP OPTIMISME DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP OPTIMISME DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP OPTIMISME DAN IMPLIKASI TERHADAP BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Konsep Optimisme 1. Definisi Optimisme

Seligman (2006) mengungkapkan bahwa optimisme dapat dipelajari dan dikembangkan oleh diri manusia, kemudian ketika seseorang berada dalam masalah atau kegagalan dalam hidupnya, maka seseorang dengan optimisme cenderung percaya bahwa kegagalan hanyalah kemunduran sementara, yang menjadi penyebabnya terbatas pada satu kasus itu saja, percaya bahwa kegagalan bukan kesalahan dirinya melainkan karena keadaan, ketidakberuntungan ataupun masalah yang dibawa orang lain. Individu dengan optimisme ketika mengalami kegagalan dalam hidupnya maka akan terus bangkit kembali, sedangkan individu yang pesimis mudah menyerah dan cenderung mengalami depresi.

Seligman dalam Ghurforn dan Rini (2010), menyatakan bahwa optimisme merupakan suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal-hal yang baik, berpikir positif dan mudah memberikan makna bagi diri, individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba bila gagal. Maka optimisme mendorong individu untuk selalu berpikir positif dan memiliki harapan bahwa sesuatu yang terjadi adalah terbaik bagi dirinya.

Sejalan dengan Seligman, menurut Muray dan Fortinberry (2004), menyatakan bahwa optimisme dan kebahagiaan adalah berjalan seiring atau saling terkait, optimisme adalah fleksibel yaitu dapat menerima keyakinan pesimis dan pengetahuan optimis tentang peluang dan masa depan yang cerah, serta kebahagiaan adalah sensasi kesenangan dan perasaan bahwa kehidupan memiliki makna sumber kepuasan yang berarti dalam hidup yang dijalani. Maka kebahagiaan dan optimisme merupakan elemen yang dapat mencegah depresi.

Selain itu, Snyder & Lopez (2002), juga menyatakan bahwa optimisme adalah harapan untuk masa depan dan memiliki dampak penting dalam bagaimana individu merespon pada saat kesulitan atau tantangan. Harapan mempengaruhi

(2)

cara individu menghadapi situasi dan mempengaruhi keberhasilan yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi. Maka optimisme dikonseptualisasikan terkait dengan suasana hati yang positif dan moral yang baik dengan ketekunan dalam pemecahan masalah yang efektif sehingga mencapai berbagai domain popularitas kesehatan yang baik, umur yang panjang dan terbebas dari trauma.

Optimisme mencerminkan sejauh mana individu memiliki harapan yang menyenangkan untuk masa depan dan didefinisikan sebagai keyakinan seseorang bahwa hasil yang baik akan terjadi pada dirinya (Scheier, Carver, Bridges, 2002).

Individu yang optimis cenderung fokus bagaimana masalah yang dihadapi bisa diatasi secara efektif dibanding menghindari atau menolak masalah.

Optimisme adalah salah satu komponen psikologi positif yang menimbulkan kesehatan, hidup yang bebas stress, hubungan sosial dan fungsi sosial yang baik serta memiliki peran dalam penyesuaian pada kondisi atau masalah yang sulit, ketika menghadapai masalah, individu yang optimis akan menunjukkan daya tahan yang lebih baik (Snyder & Lopez, 2002).

Individu yang memiliki optimisme cenderung memiliki gambaran tentang tujuan atau target yang diraih sehingga menyebabkan individu terdorong untuk melakukan usaha nyata dalam meraih tujuan yang dimaksud. Setiap permasalahan yang timbul mampu untuk diatasi dan diselesaikan jika memiliki sikap optimisme dimana optimisme itu berupa harapan yang muncul dalam pencapaian tujuan atau target seorang individu (Lestari, 2005).

Individu yang optimis biasa bekerja keras menghadapi stress atau tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa dan mengakui adanya faktor keberuntungan dan faktor lain yang turut mendukung keberhasilannya, merasa yakin memiliki kekuatan untuk menghilangkan pemikiran negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri dan menggunakan pemikiran yang inovatif untuk menggapai kesuksesan (Aisyah, dkk, 2015).

Optimisme membantu individu untuk mengatasi kendala atau hambatan yang muncul dalam mencapai tujuan sehingga individu cenderung tidak mudah putuas asa, merencanakan tindakan yang akan dilakukan dan tetap berusaha untuk mencari jalan keluar ketika menghadapi kegagalan (Ekasari & Susanti, 2009).

(3)

Dengan kemampuan yang kuat, individu yang optimis mencapai lebih banyak keberhasilan di tempat kerja, di sekolah, dan di dalam kegiatan olahraga. Individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dan bahkan memiliki tingkat hidup yang lebih lama.

Mempelajari cara berpikir atau keterampilan optimisme ketika gagal memberikan mafaat mengenai keterampilan permanen untuk mencapai lebih banyak keberhasilan dan kesehatan yang baik. Optimisme (Seligman, 2006) adalah alat atau cara untuk membantu individu mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri. Dalam pilihan tujuan itu sendiri, maka tujuan menjadi lebih bermakna. Ketika optimisme dipelajari dan disertai dengan komitmen yang baik, maka keyakinan mengenai kegagalan dan ketidakberdayaan (pesimis) lebih mudah diatasi.

Maka dapat disimpulkan, secara umum optimisme memiliki konsep psikologi positif dengan suasana hati dan moral yang positif, serta dapat dipelajari oleh setiap individu dengan keyakinan untuk berfikir lebih realistis dalam menghadapi masalah atau kegagalan yang merupakan kemunduran semata, kemudian berusaha tetap bangkit untuk mencapai keberhasilan target atau tujuan yang telah ditetapkan sehingga mendorong individu untuk selalu berpikir positif yaitu dengan berusaha yang dilakukan secara terencana dan memiliki harapan bahwa sesuatu yang terjadi bersifat sementara dan meyakini kemampuannya dalam mencapai keberhasilan.

2. Aspek Optimisme

Optimisme dapat dipelajari dan dikembangkan dalam diri manusia.

Optimisme dapat dilihat dari Explanatory style atau gaya penjelasan (Seligman, 2006) adalah cara dimana seseorang terbiasa menjelaskan kepada dirinya mengapa peristiwa terjadi. Maka pada initinya explanatory style atau gaya penjelasan sebagai cara seseorang yang sudah terbiasa menerangkan pada diri sendiri tentang penyebab atau alasan suatu peristiwa yang terjadi. Peristiwa dalam hal ini yaitu peristiwa yang bersifat baik (good) ataupun peristiwa yang bersifat buruk (bad).

(4)

Explanatory style terbagi ke dalam tiga bagian yaitu permanence (temporer/permanen), pervasiveness (spesifik/universal), dan personalization (internal/eksternal), yang diuraikan sebagai berikut (Seligman, 2006) :

a. Permanence (temporer/permanen)

Permanence (temporer/permanen), yaitu tentang waktu, cara penjelasan secara permanen atau sementara mengenai seberapa lama seseorang memandang peristiwa baik atau buruk terjadi. Kebiasaan seorang dalam menjelaskan penyebab dari banyak peristiwa buruk terjadi kepada dirinya akan tetap berlangsung dan selalu mempengaruhi kehidupannya adalah pesimis. Sedangkan seorang dengan optimisme akan menolak ketidakberdayaan dengan mempercayai penyebab peristiwa buruk adalah sementara, tidak permanen. Seseorang dengan optimis dalam cara kebiasaan menjelaskan penyebab peristiwa buruk biasanya menggunakan kalimat “kadang-kadang” “akhir-akhir ini”, sedangkan pesimis menggunakan kalimat “selalu begitu”, “tidak pernah”. Misalnya orang pesimis mengatakan “belajar tidak pernah nyaman ketika guru tidak ada di dalam kelas”, tetapi orang optimis akan mengatakan “belajar kadang-kadang tidak nyaman ketika guru tidak ada di dalam kelas”. Gaya optimisme dari penjelasan peristiwa baik merupakan lawan dari gaya optimis dari penjelasan peristiwa buruk.

Pada intinya, dalam menjelaskan peristiwa baik (good) seseorang yang optimis menjelaskan dengan penyebab yang bersifat permanen dan akan terus terjadi, sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa baik (good) hanya bersifat sementara dan kebetulan. Akan tetapi dalam menjelaskan peristiwa buruk (bad) seseorang yang optimis menjelaskan sebagai sesuatu yang sementara dan kebetulan, sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa buruk (bad) bersifat permanen dan akan terus terjadi. Individu optimis menjelaskan peristiwa baik pada diri sendiri dengan penyebab permanensi

“selalu”. Sebaliknya, individu pesimis menjelaskan peristiwa baik pada diri sendiri dengan penyebab sementara “kadang-kadang”. Individu optimis akan berusaha lebih keras sedangkan individu optimis akan mudah menyerah, dan percaya keberhasilan adalah sebuah kebetulan semata.

(5)

Tabel 2.1

Gaya Penjelasan permanence (temporer/permanen)

Peristiwa Ciri Pernyataan

Optimis Pesimis Optimis Pesimis

Baik (Good)

Selalu bergitu,

tidak pernah

Kadang- kadang, akhir-akhir

ini

“belajar selalu nyaman

ketika guru ada di dalam

kelas”

“belajar kadang- kadang nyaman ketika guru ada di dalam

kelas”

Buruk (Bad)

Kadang- kadang, akir-akhir

ini

Selalu bergitu, tidak pernah

“belajar kadang- kadang tidak nyaman ketika

guru tidak ada di dalam

kelas”

“belajar tidak pernah nyaman ketika guru tidak ada di dalam kelas”

b. Pervasiveness (spesifik/universal)

Berdasarkan pembahasan sebelumnya yaitu permanence (temporer/permanen) yang secara umum menjelaskan berdasarkan waktu, sedangkan dalam pervasiveness (spesifik/universal) secara umum tentang ruang atau bagian, yaitu mengenai bagaimana cara kebiasaan seseorang menjelaskan penyebab peristiwa baik atau buruk terjadi, apakah penjelasan secara universal atau spesifik. Universal yaitu orang yang memiliki cara kebiasaan menjelaskan pada peristiwa buruk untuk menyerah dan menjadi tidakberdaya dalam semua ruang atau bagian dari kehidupan, sedangkan spesifik yaitu seseorang menjadi tidak berdaya pada suatu ruang atau bagian dari kehidupan namun terus berjalan pada ruang atau bagian lain. Universal menghasilkan ketidakberdayaan (pesimis) pada semua ruang atau bagian situasi, sedangkan spesifik menghasilkan ketidakberdayaan (pesimis) pada ruang atau bagian situasi yang bermasalah saja.

(6)

Seseorang dengan optimisme dalam cara kebiasaan menjelaskan penyebab peristiwa buruk biasanya menggunakan kalimat “hanya”, sedangkan pesimisme menggunakan kalimat “semua”. Misalnya orang mengalami masalah tidak nyaman terhadap peristiwa buruk di sekolah terhadap gurunya, maka orang dengan pesimisme mengatakan “semua guru tidak adil”, sedangkan orang dengan optimisme mengatakan “hanya guru pelajaran praktikum yang tidak adil”. Maka orang dengan penjelasan yang universal dan permanen cenderung lemah ketika berada di bawah tekanan.

Pada intinya, dalam menjelaskan peristiwa baik (good) seseorang yang optimis menjelaskan dengan penyebab yang bersifat universal atau menyeluruh, sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa baik (good) hanya bersifat spesifik atau tertentu (khusus). Akan tetapi dalam menjelaskan peristiwa buruk (bad) seseorang yang optimis menjelaskan sebagai sesuatu yang spesifik atau tertentu (khusus), sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa buruk (bad) bersifat universal atau menyeluruh.

Tabel 2.2

Gaya Penjelasan Pervasiveness (spesifik/universal)

Peristiwa Ciri Pernyataan

Optimis Pesimis Optimis Pesimis

Baik (Good) Semua Hanya “semua guru

adil”

“hanya guru pelajaran praktikum yang adil”

Buruk (Bad) Hanya Semua

“hanya guru pelajaran praktikum yang tidak

adil”

“semua guru tidak adil”

c. Personalization (internal/eksternal)

(7)

Berdasarkan pembahasan sebelumnya yaitu Permanence (temporer/permanen) yang secara umum menjelaskan berdasarkan waktu, dalam Pervasiveness (spesifik/universal) berdasarkan ruang atau bagian, maka dalam Personalization (internal/eksternal) berdasarkan internal dan eksternal, yaitu mengenai bagaimana cara kebiasaan seseorang menjelaskan penyebab peristiwa baik atau buruk terjadi, apakah penjelasan secara internal dan eksternal. Ketika peristiwa buruk terjadi, seseorang dapat menyalahkan diri sendiri (menginternalisasi) atau menyalahkan orang lain/keadaan (eksternalisasi).

Internal yaitu, ketika mengalami peristiwa buruk seseorang menyalahkan dirinya sendiri, maka menyebabkan harga diri rendah, merasa dirinya tidak berbakat, tidak dapat dicintai dan kemudian berakhir pada ketidakberdayaan (pesimis). Sedangkan eksternal tidak kehilangan harga diri, ketika peristiwa buruk terjadi percaya bahwa bukan kesalahannya melainkan karena keadaan, ketidakberuntungan, atau masalah yang dibawa orang lain, yang kemudian menjadi optimisme. Misalnya, seseorang mengalami peristiwa buruk dalam kegiatan olahraga, orang dengan pesimisme mengatakan “Saya bodoh, saya tidak punya bakat dalam olahraga”, tetapi orang dengan optimisme mengatakan “Saya tidak beruntung dalam olahraga”. Maka biasanya gaya optimisme dalam menjelaskan peristiwa baik adalah kebalikan dari yang digunakan untuk kejadian buruk.

Pada intinya, dalam menjelaskan peristiwa baik (good) seseorang yang optimis menjelaskan dengan penyebab yang bersifat internal atau dari diri sendiri, sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa baik (good) hanya bersifat eksternal atau dari orang lain/keadaan. Akan tetapi dalam menjelaskan peristiwa buruk (bad) seseorang yang optimis menjelaskan sebagai sesuatu yang bersifat eksternal atau dari orang lain/keadaan, sedangkan seseorang yang pesimis menjelaskan penyebab peristiwa buruk (bad) bersifat internal atau dari diri sendiri. Individu optimis percaya bahwa dirinya menyebabkan kejadian atau peristiwa baik terjadi sehingga cenderung lebih menghargai diri dibandingkan dengan individu pesimis.

Tabel 2.3

(8)

Gaya Penjelasan Personalization (internal/eksternal)

Peristiwa Ciri Pernyataan

Optimis Pesimis Optimis Pesimis

Baik (Good)

internal atau dari diri

sendiri

eksternal atau dari orang lain/keadaan

“Saya punya bakat dalam olahraga”

“Saya beruntung

dalam olahraga”.

Buruk (Bad)

eksternal atau dari orang lain/keadaa

n

internal atau dari diri

sendiri

“Saya tidak beruntung

dalam olahraga”.

“Saya bodoh, saya tidak punya bakat

dalam olahraga”

Dapat disimpulkan bahwa optimisme merupakan pandangan positif individu menjelaskan peristiwa yang dialami baik kesuksesan ataupun kegagalan serta memiliki harapan mengenai masa depan yang dapat dilihat melalui gaya penjelasannya, sehingga optimisme memberikan manfaat dengan dampak positif terhadap diri seseorang, salah satunya menjadi lebih mungkin dan mudah dalam mencapai kesuksesan target yang ditetapkan.

Peristiwa buruk ataupun baik dapat terjadi pada seorang “optimis” dan

“pesimis”. Seorang pesimis mudah menyerah sehingga cenderung mudah berada dalam keadaan depresi (Seligman, 2006). Pesimis sebenarnya dapat mempelajari keterampilan optimis dan ketika keterampilan optimisme dipelajari maka secara permanen dapat meningkatkan kualitas hidup, maka dengan optimisme ketika mengalami kegagalan akan bangkit dan lebih banyak mencapai keberhasilan.

Individu dengan optimisme memiliki daya internalisasi yang positif, sehingga internalisasi dalam explanatory style yang dimiliki juga akan lebih positif (Seligman, 2006). Berbeda dengan pesimis yang memiliki daya internasilasi rendah, misalnya apabila siswa berprestasi rendah di sekolah, seringkali dengan mudahnya guru-guru atau orangtua menyimpulkan secara keliru bahwa siswa tersebut tidak berbakat atau bahkan bodoh. Siswa mungkin mengalami tekanan bahkan dapat menjadi depresi sehingga dapat mencegah anak

(9)

untuk mencoba dan bertahan serta berani mengambil resiko yang akan membuat dirinya menumbuhkan potensi yang dimilikinya. Lebih buruk lagi jika dengan menyimpulkan bahwa siswa “bodoh” atau tidak memiliki bakat adalah penyebabnya. Maka simpulan tersebut dapat membuat siswa memiliki explanatory style yang semakin buruk dan prestasi akademik yang rendah merupakan suatu hal yang biasa.

Ketika seseorang menghadapi kesulitan, maka akan bereaksi dengan memikirkannya, maka dengan cepat pikiran dapat berubah menjadi keyakinan.

Keyakinan tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan, sehingga dengan tidak disadari bahwa seseorang telah memiliki keyakinan tersebut dan terus berfokus terhadap keyakinan tersebut. Kemudian keyakinan tersebut berdampak pada adanya konsekuensi.

Seligman (2006), mengatakan Keyakinan adalah penyebab langsung dari apa yang dapat seseorang rasakan dan apa yang akan seseorang lakukan selanjutnya. Keyakinan pesimis hanyalah kepercayaan mengenai hal yang tidak menyenangkan. Keyakinan tertentu dapat menjadi pemicu respon mudah menyerah. Dalam menyelesaikan permasalahan mengenai keyakinan yang dapat memicu respon mudah menyerah, maka dapat dilakukan beberapa langkah penyelesaian, yaitu dengan melihat hubungan antara kesulitan, kepercayaan, dan konsekuensi, serta membantah keyakinan pesimis yang dimiliki dengan keterampilan dalam menghasilkan alternatif atau penyelesaian.

3. Keterampilan Optimisme

Keterampilan optimisme merupakan salan satu alternatif untuk membantah keyakinan pesimis dan dapat dilakukan dengan melihat hubungan antara kesulitan, kepercayaan, dan konsekuensi adalah langkah pertama untuk belajar optimisme. Seligman, (2006) dengan mengajarkan optimisme kepada anak-anak, maka sama pentingnya dengan mengajarkan mereka untuk bekerja keras atau jujur, karena itu optimisme dapat memiliki dampak mendalam pada kehidupan mereka nanti. Optimisme adalah kebiasaan yang jauh lebih penting,

(10)

khususnya dalam mencapai keberhasilan dan menjadi kebal terhadap perasaan putus asa dan ketidak berdayaan yang berlarut-larut yang dialami.

Sikap optimisme (Snyder & Lopez, 2002), menjadikan seseorang keluar cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan memiliki kemampuan dan didukung dengan anggapan bahwa setiap orang memiliki keberuntungan sendiri-sendiri.

Optimisme adalah hal yang baik bagi manusia. Dengan belajar optimis maka kita dapat menggunakan keterampilan optimis dalam menghadapi kekalahan dan kemunduran. Optimisme (Seligman, 2006), juga bersifat fleksibel dimana adanya kebebasan seseorang menggunakan keterampilan optimis sesuai dengan cara pandang dan tujuan penggunaannya. Optimisme yang dipelajari mudah dipertahankan begitu memulai ketika terbiasa mendebatkan keyakinan negatif, kehidupan sehari-hari berjalan jauh lebih baik dan akan menjadikan hidup lebih bahagia.

Optimisme (Ghufron & Risnawita, 2010), membuat individu memiliki energi atau kekuatan yang dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan sehingga mencapai keberhasilan, serta bekerja keras untuk melakukan sesuatu yang penting. Pemikiran optimisme memberikan dukungan kepada individu menuju hidup yang lebih berhasil dalam setiap aktifitas, dikarenakan seseorang dengan optimisme akan menggunakan semua potensi yang dimiliki.

Umumnya keterampilan optimisme digunakan ketika mengalami kegagalan atau mengalami kesehatan yang memburuk, akan tetapi keterampilan optimisme juga dapat dilakukan ketika mencapai lebih banyak tujuan atau kesehatan yang lebih baik, serta memberikan pengaruh terhadap produktivitas yang dihasilkan seseorang (Margaret, 2006).

Optimisme merupakan kekuatan internal dalam diri seorang individu, berpandangan positif tentang kehidupannya danlebih baik daripada sebelumnya.

Optimisme membuat seseorang selalu berusah, dan jika mengalami permasalahan, maka tetap berpikir positif dan meyakini menyelesaikan permasalahannya dengan sebaik mungkin (Lopez dan Snyder, 2003).

(11)

Belajar dan penggunaan keterampilan optimisme disesuaikan dengan penilaian kebutuhan optimisme itu sendiri. Misalnya, perubahan explanatory style dari pesimis ke optimis, semakin banyak dilakukan dengan menggunakan terapi kognitif, maka semakin sering disampaikan semakin menyeluruh perubahan kepada optimis (Seligman, 2006). Terapi kognitif umumnya menggunakan taktik yaitu, belajar mengenali pikiran otomatis (kebiasaan) yang menembus kesadaran penuh saat merasa dalam keadaan atau peristiwa buruk, belajar memperdebatkan pikiran otomatis dengan mengumpulkan bukti yang bertentangan, belajar membuat penjelasan yang berbeda dan digunakan untuk membantah pikiran otomatis, belajar mengalihkan perhatian dari pikiran yang menekan, dan belajar mengenali dan menimbang keadaan peristiwa buruk atau bahkan depresi, dengan berasumsi bahwa banyak hal yang dapat dilakukan, meyakini “ada solusi tepat yang sempurna untuk setiap masalah dan harus menemukan solusi tersebut”.

Ketika percaya diri dapat mengubah diri sendiri, maka seseorang bersedia mengubah kebiasaan berpikir menjadi kekuatan baru yang dapat dipahami.

Semakin besar optimis yang dimiliki maka akan merubah cara pandang terhadap sesuatu dan gaya optimis menjadi lebih bangkit dalam diri.

4. Manfaat dan Pentingnya Optimisme

Belajar bagaimana cara berpikir atau belajar keterampilan optimisme ketika gagal memberikan keahlian secara permanen untuk menangkis ketidakberdayaan dalam hidup. Keahlian ini juga membantu dalam mencapai yang lebih baik dan memiliki kesehatan yang baik. Optimisme (Seligman, 2006), adalah alat atau cara untuk membantu individu mencapai tujuan yang ditetapkannya pada dirinya sendiri, makna yang dimaksud terletak pada pilihan tujuan itu sendiri.

Setiap manusia menginginkan kesehatan, baik sehat fisik dan rohani.

Memiliki sikap optimisme menurut Ghufron dan Risnawita (2010), membawa pengaruh bagi kesehatan yakni optimisme dapat membantu meningkatkan kesehatan secara psikologis, memiliki perasaan yang baik, melakukan penyelasaian masalah dengan cara yang logis sehingga hal ini dapat meningkatkan

(12)

kekebalan tubuh menjadi lebih sehat. Optimisme dengan cara berpikir positif, realistis memandang masalah membantu seseorang keluar dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan memiliki kemampuan.

Optimisme baik bagi kesehatan dan kesejahteraan (Wade & Tauris, 2007).

Dengan memiliki sikap optimisme menghasilkan kesehatan yang baik dan bahkan memperpanjang usia seeorang. Seseorang dengan optimisme tidak menyangkal bahwa memiliki masalah atau menghindari masalah, sebaliknya memandang masalah sebagai kesulitan sementara yang dapat diatasi.

Jika mempelajari optimisme disertai dengan komitmen maka ketidakberdayaan mungkin dapat berakhir (Seligman, 2006). Maka ketika mempelajari optimisme, seseorang dapat memilih untuk menggunakan tekniknya kapanpun. Misalnya, ketika seseorang telah mempelajari teknik optimisme dengan baik, maka ketika menghadapi kekalahan dan kemunduran, seseorang tersebut dapat mengurangi ketidakberdayaan dalam hidupnya dengan menyanggah pemikiran buruk yang mungkin dapat mengganggu, yang kemudian lebih lanjut akan mendatangkan kemunduran yang baru.

Compton & Hoffman (2013), menyatakan optimisme sebagai prediktor dari kesejahteraan subjektif individu dan merupakan bagian dari psikologi positif, oleh sebab itu, optimisme memberikan kontribusi positif bagi kesehatan psikologis indvidu. Optimisme menjadi faktor penting dalam diri seseorang karena cenderung mampu mengatasi stress yang dialami dengan kemampuan untuk bertahan menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam berbagai bidang kehidupan.

Optimisme memungkinkan seseorang menggunakannya sebagai cara untuk memperoleh pengaruh lebih baik dari kebijakan yang telah ditetapkan setelah berusaha dalam hidup. Seseorang dengan optimisme (Waskito, 2013) memperoleh manfaat yaitu lebih sedikit depresi, kesehatan yang lebih baik, dan pencapaian yang lebih tinggi dalam hidup, misalnya ketika terjadi perlombaan atau persaingan, dalam bidang apapun, maka seseorang dengan optimisme berpeluang lebih besar untuk memenangkan perlombaan dan pencapaian yang lebih tinggi dalam hidup.

(13)

5. Faktor yang Mempengaruhi Optimisme

Optimisme pada seseorang bisa dipengaruhi dari berbagai macam faktor, ada dua faktor yang mempengaruhi cara berpikir optimis yaitu faktor etnosentris dan faktor egosentris (Adhi, 2008). Faktor etnosentris adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu kelompok atau area yang menjadi ciri khas dari kelompok atau ras lain. Faktor etnosentris ini meliputi keluarga, status sosial, jenis kelamin, agama dan kebudayaan. Hal tersebut membentuk kecenderungan berpikir yang sama antara individu-individu dengan kelompok sosial yang sama. Sedangkan faktor egosentris adalah sifat-sifat yang dimiliki tiap individu yang didasarkan pada fakta bahwa tiap pribadi adalah unik dan berbeda antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain.

Menurut Seligman (2006), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi optimisme berasal dari pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan konsep diri. Clark dalam McGinnis (2005), menyatakan bahwa optimisme dipengaruhi oleh pengalaman bergaul dengan individu-individu di sekitarnya, misalnya pengalaman tidak menyenangkan dapat merusak pandangan optimis, serta kritik negatif dari individu yang dihormati seperti orang tua, guru, akan membuat individu belajar mengkritik dirinya dengan gaya yang pesimis.

Optimisme (Vaughan, 2005), digambarkan sebagai suatu pola pikir positif yang selalu bisa melihat sisi positif dari segala hal yang menimpanya. Pola pikir individu juga mempengaruhi optimisme, banyak orang yang menyatakan mereka ingin lebih positif, tetapi individu tersebut harus bisa merubah pola pikir melalu rencana dan tindakan yang akan dilakukan, serta pengalaman bergaul dengan orang lain juga menjadi salah satu faktor (McGinnis, 2005).

Perkembangan optimisme dalam diri individu (Hutz, 2014), dipengaruhi oleh orang tua, dikarenakan memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan remaja seperti perasaan aman, suasana kehangatan keluarga yang didasari oleh kasih sayang yang berperan dalam mengoptimalkan fungsi perkembangan remaja secara fisik, psikologis, dan sosialnya termasuk optimisme.

Optimisme merupakan kekuatan internal dalam diri seorang individu, akan selalu berpandangan positif tentang kehidupannya, berusaha menjadikan lebih

(14)

baik daripada sebelumnya, sehingga dengan optimisme yang dimiliki membuat seseorang berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Jika mengalami permasalahan, maka akan tetap berpikir positif dan meyakini bisa menyelesaikan permasalahannya sebaik mungkin (Lopez & Snyder, 2003).

Salah satu faktor internal yang mempengaruhi optimisme adalah konsep diri (Kurniawan, dkk, 2015), konsep diri dalam hal ini adalah positif yang membuat individu memiliki keyakinan akan kemampuannya sehingga mampu mengasah kompetensi interpersonalnya. Maka, individu dengan konsep diri positif mampu mengoptimalkan kemampuannya dengan memanfaatkan banyak kesempatan untuk melatih kemampuan kemudian akan meningkatkan optimisme.

Optimisme dapat dibangun dengan menanamkan konsep diri yang positif yaitu kemampuan mengenal dirinya dengan baik, selalu berpikir positif, menerima keberadaan individu lain, merancang tujuan-tujuan yang realistis dan yang dianggapnya berguna dan memiliki pola perilaku optimis (Carr, 2004). Sedangkan pola konsep diri negatif, pengetahuan, evaluasi, dan pengharapan dari seorang individu tentang dirinya adalah sangat sedikit, kurang realistis dan cenderung bersikap pesimis, artinya jika seseorang sudah mengenal dirinya dan selalu berpikiran positif, maka akan memacu timbulnya rasa optimisme.

Pengenalan terhadap kemampuan atau potensi diri sangat penting bagi diri individu, karena dengan mengenali potensi diri yang dimiliki menumbuhkan perasaan mampu dan kompeten dalam diri serta perasaan berharga dalam diri individu (Cast & Burke, 2002). Persepsi mengenai kemampuan dan kompetensi diri berdampak pada harapan yang postif terhadap masa depan, optimisme mempengaruhi diri individu dalam mencapai tujuan serta usaha yang besar ketika menghadapi tantangan atau hambatan (Peterson, 2000).

B. Optimisme Berdasarkan Usia Remaja

Masa remaja merupakan masa terjadinya banyak perubahan esensial dalam diri individu yang berkaitan dengan jasmani maupun rohani, salah satu perubahan yang signifikan adalah tumbuhnya akan kesadaran, kemampuan, potensi serta cita-cita (Kartono, 2007).

(15)

Kemampuan remaja (Gunarsa, 2008), dalam menghadapi tuntutan dan kehidupan akan mempengaruhi identitas dirinya yaitu ketika remaja merasa kurang mampu menghadapi masa depan akan merasa ditolak oleh lingkungan sosial, akan tetapi dengan sikap optimisme dapat membuat remaja bertahan saat mengalami kesulitan dan berusaha menyelesaikan masalah sebaik mungkin.

Individu pada masa remaja mulai memiliki rasa optimisme yang tinggi, karena pada masa ini remaja memiliki keyakinan terhadap kemampuan dan potensi yang dimilikinya, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nashori (2011), menunjukkan bahwa salah satu karakter orang muda Indonesia termasuk remaja memiliki optimisme yang lebih tinggi dibanding orang dewasa, maka dalam hal ini disimpulkan mengenai salah satu karakter yang berbeda dari remaja dengan karakter orang dewasa adalah optimisme.

Remaja menurut Hall (Yusuf, 2012), mengalami mekanisme evolusi, yakni remaja dapat memperoleh sifat-sifat tertentu melalui pengalaman hidupnya apabila remaja berekembang dalam lingkungan yang kondusif, maka akan memperoleh sifat-sifat positif yang mengembangkan nilai-nilai insaninya. Siswa pada masa remaja dapat mengembangkan optimisme secara optimal.

Remaja dengan optimisme memiliki pandangan positif mengenai dirinya yang lebih percaya diri dan terampil dalam menghadapi berbagai situasi serta hambatan yang dialami (Montana, 2001). Sikap optimis menjadikan seseorang keluar dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan memiliki kemampuan serta percaya diri untuk mengembangkan potensi dirinya.

Ciri-ciri individu memiliki optimisme tinggi yaitu seseorang cenderung mendorong dirinya untuk tidak mudah menyerah sebelum bekerja keras, walaupun menghadapi tantangan yang sulit, individu yakin bahwa dirinya mampu memecahkan tantangan dengan sukses. Remaja yang optimis mampu menjalani kehidupan yang lebih bahagia dari pada remaja yang pesimis, karena remaja optimis percaya bahwa dibalik kegagalan atau kesusahan terdapat sesuatu yang membahagiakan (Vaughan, 2005).

(16)

Menurut Snyder & Lopez (2002), remaja yang mempunyai optimisme akan mampu bertahan dalam menghadapi masalah dengan mempunyai keyakinan bahwa dirinya akan berhasil. Karakteristik dari optimisme mempunyai dampak penting pada cara individu merespon kesulitan. Remaja yang kurang optimis akan mengantisipasi kegagalan sebagai sebuah musibah yang akan berlangsung lama dalam hidupnya, selalu terjadi disetiap aspek hidupnya dan kegagalan tersebut disebabkan oleh kesalahannya sendiri.

C. Optimisme Berdasarkan Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial memiliki kontribusi besar dalam optimisme seseorang.

Dalam lingkungan sosial terjadi proses interaksi antar individu yang secara bertahap akan menjadi bagian dari kepribadian serta kebiasaan berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu peristiwa ataupun masalah yang terjadi dan dialami (Prastisti dan Helmi, dkk, 2015). Keyakinan yang diperoleh tidak muncul secara tiba-tiba melainkan sebagai proses yang melibatkan interaksi antara individu dengan keadaan atau kebiasaan yang ada dalam lingkungan sosial.

Kluckhon (Yusuf, 2011), berpendapat bahwa keadaan atau kebiasaan yang ada dalam lingkungan sosial dapat mempengaruhi dan mengatur kehidupan manusia mulai dari lahir sampai mati, baik disadari ataupun tidak disadari, secara bertahap dapat mempengaruhi individu untuk mengikuti pola-pola tertentu dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik mengenai cara berpikir, cara bersikap, ataupun cara berperilaku. Misalnya, penelitian yang telah dilakukan oleh Edward (Snyder, 2015), mengungkapkan hasil bahwa adanya perbedaan tingkat pesimisme yang dimiliki oleh pelajar Amerika-Asia dengan pelajar Amerika- Kaukasia, disimpulkan bahwa pelajar Amerika-Asia memiliki tingkat pesimisme yang lebih tinggi dibandingkan pelajar Amerika-Kaukasia.

D. Optimisme Berdasarkan Gender

Individu dikatakan optimis jika memiliki ciri-ciri kehidupannya didominasi oleh pikiran yang positif, berani mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang mantap (Vaughan

(17)

2005). Berpikir optimis yang menyebabkan laki-laki dan perempuan untuk saling memiliki harapan dan pola pikir positif, sehingga lebih mudah mencapai tujuan masa depan (Kurniawan, 2015). Pola pikir positif mengoptimalkan fungsi laki- laki dan perempuan remaja yang membuat keyakinan akan kemampuannya dengan memanfaatkan banyak kesempatan dan meningkatkan optimisme.

Gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status, dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan sosial budaya yang tertanam melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Puspitawati, 2013). Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Perempuan lebih dituntut untuk pasif, toleran, dan lemah lembut (Conger, 2007). Perempuan mempunyai ciri-ciri mudah dipengaruhi, sangat sub missive, sangat pasif, tidak menyukai petualangan, merasa kesulitan dalam memutuskan sendiri, kurang percaya diri, tidak ambisius dan dangat bergantung. Sedangkan laki-laki dituntut untuk mudah dipengaruhi, dominan, sangat aktif, dapat memutuskan sesuatu secara mudah, suka berpetualang, sangat percaya diri, ambisius dan tidak bergantung.

Penelitian mengenai optimisme yang dilakukan oleh Nurindah, dkk (2012), pada 20 remaja usia 15 – 18 tahun di Panti Asuhan “X” Yogyakarta, subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta dengan kriteria pendidikan minimal SLTP, ditemukan hasil bahwa terdapat perbedaan skor optimisme antara laki—laki dan perempuan, bahwa perempuan memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

E. Implikasi Optimisme terhadap Bimbingan dan Konseling

Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan membutuhkan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) sebagai salah satu layanan yang memfasilitasi perkembangan siswa di sekolah sehingga tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya (Kemdikbud, 2016). Program Bimbingan dan Konseling memberikan layanan yang terintegrasi dengan program pengembangan semua aspek hidup siswa di sekolah. Melalui layanan bimbingan dan konseling setiap

(18)

siswa diupayakan untuk mengembangkan potensi dan kompetensi hidup yang efektif, serta memfasilitasi dalam mencapai kompetensi perkembangan atau pola perilaku yang diharapkan, khususnya pada siswa sekolah menengah yang berada dalam perkembangan masa usia remaja, salah satunya terhadap siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Aspek optimis merupakan salah satu aspek penting dalam diri peserta didik atau siswa yang dapat dipelajari dan dapat dikembangkan dengan tujuan mampu memiliki konsep diri lebih positif dan menumbuhkan potensi yang dimiliki. Dalam bidang layanan bimbingan dan konseling, optimisme berada dalam bidang pribadi, seperti yang diungkapkan oleh Yusuf (2009), bahwa sikap optimis dalam menghadapi kehidupan dan masa depan merupakan salah satu kompetensi peserta didik dalam bimbingan dan konseling pribadi, dengan tujuan yaitu peserta didik memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.

Optimisme (Seligman, 2006) dapat dilihat dari kebiasaan explanatory style atau gaya penjelasan berdasarkan kejadian atau pengalaman yang dialami.

Pengalaman yang dialami terbentuk dari cara menerangkan kepada dirinya sendiri tentang alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Maka pada initinya explanatory style atau gaya penjelasan sebagai cara seseorang yang sudah terbiasa menerangkan terhadap diri tentang sebab atau alasan pada suatu peristiwa yang terjadi.

Peristiwa dalam hal ini yaitu bersifat baik (good) atau bersifat buruk (bad).

Kunci perubahan individu terteletak pada pikiran. Usaha berupa restruktur kognitif diperlukan untuk memperbaiki proses berpikir yang menjadi pembuka jalan bagi munculnya optimis dalam menginterpretasikan suatu situasi. Restruktur kognitif menggunakan teknik pengubahan keyakinan irasional menjadi rasional berdasarkan Teori Ellis (Seligman, 2006), yang menyatakan bahwa keyakinan akan mempengaruhi perasaan dan perasaan mempengaruhi perilaku seseorang yang akan menghasilkan konsekuensi tertentu.

Explanatory style atau gaya penjelasan merupakan inti dari berpikir optimis, sehingga perubahan Explanatory style dilakukan dengan memberikan latihan berpikir optimis model ABCDE. Berpikir optimis (Seligman, 2006),

(19)

adalah cara pandang individu yang memiliki harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupannya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk mengatasi.

Model ABCDE adalah cara yang dilakukan untuk meningkatkan optimisme yang dikembangkan dari model ABC, yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Albert Elis dan Aaron Beck (Seligman, 2006). Model ABCDE yang dimaksud adalah :

a. Adversity (A), kesulitan berupa peristiwa sulit yang dialami sehingga bereaksi memikirkan kesulitan, peristiwa yang dialami dapat bersifat positif atau negatif seperti permasalahan dengan teman, mengalami kegagalan, dan sebagainya.

b. Belief (B), kepercayaan yaitu pemikiran yang diinterpretasi dengan cepat tentang suatu kesulitan (A) yang menyebabkan akibat.

c. Consequences (C), konsekuensi yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang mengikuti kesulitan (A).

d. Disputation (D), penyanggahan yaitu argumen yang dibuat untuk membantah keyakinan yang telah dibuat sebelumnya (B), yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu distraksi dan disputasi.

e. Energization (E), energi yaitu penguatan akibat emosi dan perilku dari argumen yang telah dibuat.

Model ABCDE, memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengenal seputar masalah optimisme, melakukan dialog internal, mengenali kembali cara- cara berpikir yang telah digunakan (ABC), mengenali gaya penjelasan yang digunakan, belajar cara berpikir yang lain dalam melihat peristiwa yang sama serta melakukan penyanggahan (D) untuk melawan cara pikir yang tidak mendukung sehingga menimbulkan perasaan dan perilaku dalam energy baru (E).

Gambaran proses berpikir optimis dimulai ketika remaja mengalami suatu peristiwa (A) maka akan timbul pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi, saat itulah ketiga dimensi keyakinan (B), bekerja dan menghasilkan emosi atau tindakan (C). Teknik utamanya dengan belajar menggunakan sanggahan (D), yang diawali dengan melihat rangkaian ABC yang menyatakan bahwa emosi dan

(20)

tindakan (C), muncul dari keyakinan (B) tentang kesulitan (A) yang menimpa.

Ketika dilakukan perubahan tanggapan mental Berupa sanggahan (D) terhadap kesulitan (A), maka dapat mengatasi kemunduran yang terjadi.

Secara umum, model ABCDE Seligman merupakan usaha yang dilakukan dengan terencana dan dapat diselenggarakan dalam waktu singkat secara sistematis guna mempelajari langkah atau strategi untuk mendapatkan pemikiran, keyakinan serta harapan bahwa peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupan hanya bersifat sementara dan meyakini kemampuannya untuk mengatasi kesulitan.

Proses belajar membawa perubahan yang berupa kecakapan baru (Suryabrata, 2002). Hasil berpikir optimis bertujuan untuk memunculkan keterampilan baru berupa rekonstruksi kognitif yang erat kaitannya dengan Explanatory Style atau gaya penjelasan. Seligman (2006) megungkapkan bahwa cara berpikir optimis atau pesimis yang digunakan individu akan mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupan.

Tabel 2.4 Model ABCDE Adversity (A) (kesulitan)

Belief (B) (kepercayaan)

Consequences (C) (konsekuensi) Disputation (D) (penyanggahan) Energization (E) (peguatan)

Model ABCDE Seligman (2006), dirancang sebagai suatu pengembangan dalam membantu individu mengarahkan kearah yang lebih positif, sehingga individu memiliki cara berpikir yang positif dan relistis dalam memandang suatu masalah, berpikir positif yang dimaksud adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Hasil akhirnya diharapkan dapat memunculkan keterampilan baru berupa rekonstruksi kognitif pengubahan irasional menjadi rasional yang erat kaitannya dengan Explanatory Style atau gaya penjelasan optimis.

Tabel 2.5

Contoh Penggunaan Isian Model ABCDE

(21)

Adversity (A) (kesulitan) Guruku membentakku di depan semua murid di kelas dan mereka semua tertawa

Belief (B) (kepercayaan) Guru itu membenciku dan sekarang semua murid di kelas menganggapku bodoh

Consequences (C) (konsekuensi) Aku merasa sangat sedih dan aku berharap bisa menghilang dari pembelajaran di kelas

Disputation (D) penyanggahan Hanya karena guruku membentakku, bukan berarti dia membenciku, guruku pernah membentak hampir pada semua anak, jadi aku tidak yakin anak-anak di kelas menganggapku bodoh

Energization (E) (peguatan) Aku masih merasa agak sedih karena dibentak, tapi jauh lebih baik daripada tadi, dan aku sudah tidak ingin menghilang dari pembelajaran di kelas

Kemudian mintalah siswa untuk membaca kembali keyakinan tersebut dan menyanggah dengan kata-katanya sendiri, serta menjelaskan bagamana cara kerja setiap bagian dari sanggahannya. Misalnya dalam contoh diatas yakinkan mengenai bagaimana cara kesadaran bahwa gurunya sudah pernah membentak siswa lain dan meniadakan keyakinan bahwa “guruku membenciku”.

Menyanggah keyakinan negatif adalah keahlian yang bisa dipelajari setiap orang. Maka, dalam setiap aspek kehidupan menjadi lebih baik apabila seseorang dapat mengembangkan dan memiliki kemampuan untuk menyanggah keyakinan negatif yang mengganggu dirinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Jika keahlian optimisme dipelajari sejak dini, keahlian tersebut akan menjadi dasar.

Optimisme adalah kebiasaan yang penting dalam mencegah dan membantu mengatasi depresi atau keadaan terpuruk atau menganggap selalu

(22)

mengalami kegagalan, misalnya siswa mengalami kegagalan dengan menurunnya prestasi ataupun pengalaman keberhasilan yang mulai menurun, akan menyebabkan atau mengarahkan siswa tersebut kepada kondisi tertekan atau depresi, akan tetapi dengan menyanggah keyakinan negative dan mempelajari keterampilan optimisme maka akan kebal terhadap keputusasaan dan tidak berlarut-larut.

Seseorang yang mempunyai pikiran optimis bisa menjadi semacam imunisasi psikologis yang mampu menangkal segudang masalah dalam kehidupan sehari-hari (Adilia, 2010). Optimisme merupakan cara berpikir yang positif dan relistis dalam memandang suatu masalah, berpikir positif yang dimaksud adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk.

Penelitian yang telah membuktikan efektivitas konseling model ABCDE Seligman (2006) untuk meningkatkan optimisme, seperti yang telah dilakukan oleh Nisa (2015) pada siswa SMPN 15 Bandung, menunjukkan adanya peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian, maka dengan demikian dapat dijadikan upaya preventif dalam menangani siswa dengan orientasi hidup pesimis, agar menjadi lebih optimis.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Marwati, dkk (2013), mengenai pelatihan berpikir optimis pada remaja dipanti asuhan didapatkan hasil bahwa adanya peningkatan dengan gaya penjelasan baru yang dapat digunakan dan mendukung peningkatan optimisme.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kamaratih, dkk (2016), mengenai pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan orientasi masa depan remaja tuna daksa didapatkan hasil bahwa dapat meningkatkan orientasi masa depan remaja tuna daksa secara signifikan dengan keterampilan dalam merekonstruksi kognitif serta mampu membuat rancangan masa depan yang lebih detail dan realistis sesuai kapasitas diri subjek.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, model layanan yang dapat digunakan untuk meningkatkan optimisme yang paling banyak digunakan dan berhasil adalah dengan menggunakan model ABCDE Seligman.

(23)

F. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Aisyah, dkk (2015), yang telah melakukan penelitian mengenai optimisme terhadap seluruh santri tingkat SMA kelas X sampai kelas XII yang berusia 16-18 tahun di pondok pesantren Al Muayyad Surakarta, ditemukan hasil bahwa sebanyak 1 subjek (0,9%) berkategori optimisme rendah, 11 subjek (9,6%) berkategori sedang, 76 subjek (66,1) berkategori optimisme yang tinggi, dan sebanyak 27 subjek (23,4%) yang memiliki optimisme sangat tinggi. Walaupun dominan optimisme subjek paling banyak berada dalam kategori optimisme yang sangat tinggi, namun masih ada subjek yang berada dalam kategori sedang, yang menunjukan adanya kecenderungan permasalahan terhadap optimisme masa depan, seperti kurang percaya diri, merasa dirinya tidak berharga, kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Kemudian, hasil survey mengenai optimisme yang dilakukan oleh Rizki (2013), terhadap 23 siswa secara acak tingkat SMA kelas 1, 2 dan kelas 3 di SMA Negeri 3 Pekalongan, ditemukan hasil bahwa sebanyak 14 subjek (60,9%) mempunyai rasa optimisme yang rendah ketika mengerjakan ujian. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa jika kesiapan dalam belajar siswa rendah menyebabkan semakin rendah pula optimisme siswa dalam mengerjakan ujian.

Selain itu, hasil penelitian tentang profil optimisme yang dilakukan oleh Wulandari, dkk (2017), terhadap seluruh siswa tingkat SMA kelas X di SMA Negeri 2 Bandung, ditemukan hasil sebanyak 29 subjek (8,81%) berada pada kategori sangat pesimis, sebanyak 34 subjek (10,33%) berada pada kategori cukup pesimis, sebanyak 56 subjek (17,02%) berada pada kategori rata-rata, sebanyak 79 subjek (24.01%) berada pada kategori cukup optimis, dan sebanyak 131 subjek (39,81%) berada pada kategori sangat optimis. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum peserta didik berada pada kategori cukup optimis dan mayoritas berada pada kategori sangat optimis. Akan tetapi, masih ditemukan peserta didik berada pada kategori rata-rata, cukup pesimis, dan bahkan sangat pesimis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, optimisme peserta didik dapat dikatakan belum optimal.

(24)

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sidabalok, dkk (2019), melakukan penelitian mengenai optimisme terhadap 251 siswa di SMA Negeri 17 Medan, ditemukan hasil bahwa terdapat 33 siswa yang memiliki tingkat optimisme sedang, dan terdapat 218 subjek yang memiliki tingkat optimisme tinggi. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum subjek penelitian memiliki tingkat optimisme tinggi. Maka, dengan optimisme dalam dirinya siswa selalu berpikir positif dan selalu percaya diri dengan apa yang dilakukannya, serta mampu menyelesaikan masalah mereka dengan pandangan yang positif.

Penelitian yang telah membuktikan efektivitas konseling model ABCDE Seligman (2006) untuk meningkatkan optimisme, seperti yang telah dilakukan oleh Nisa (2015) pada siswa SMPN 15 Bandung, menunjukkan adanya peningkatan skor optimis yang signifikan terhadap subjek penelitian, maka dengan demikian dapat dijadikan upaya preventif dalam menangani siswa dengan orientasi hidup pesimis, agar menjadi lebih optimis.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Marwati, dkk (2013), mengenai pelatihan berpikir optimis pada remaja dipanti asuhan didapatkan hasil bahwa adanya peningkatan dengan gaya penjelasan baru yang dapat digunakan dan mendukung peningkatan optimisme.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kamaratih, dkk (2016), mengenai pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan orientasi masa depan remaja tuna daksa didapatkan hasil bahwa dapat meningkatkan orientasi masa depan remaja tuna daksa secara signifikan dengan keterampilan dalam merekonstruksi kognitif serta mampu membuat rancangan masa depan yang lebih detail dan realistis sesuai kapasitas diri subjek.

Referensi

Dokumen terkait

Kelebihan dari pelumas berbahan dasar minyak nabati ini jika dibandingkan dengan bahan dasar minyak bumi yaitu memiliki indeks viskositas tinggi, tingkat pengurangan jumlah

Dapat di lihat dari hasil wawancara di atas bahwa proses pembelajaran Tahsin setelah selesai shalat Ashar berjamaah, santri langsung murajaah surah-surah

5) belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik. 6) emosi positif sangat membantu pembelajaran. 7) otak-citra menyerap informasi

Dalam rangka mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) berdasarkan keadilan, KKP akan mengimplementasikan prinsip-prinsip blue economy dalam

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research. 33) PTK merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam

tentang website ini contoh ad art Pastinya ada banyak pertanyaan yang muncul di pikiran setiap webmaster, dan salah satunya adalah bagaimana cara membuat website?Jika berbicara

Proses pengumpulan data merupakan proses yang sangat penting dalam mendapatkan data yang valid sesuai indikator yang dipantau di masing-masing unit pelayanan, menggunakan tata cara

Pada tahun 2011, Yenti dkk membuat asam oksalat dari ampas tebu dengan katalisator basa berupa NaOH 4 N dengan fokus penelitian adalah pengaruh suhu operasi