• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Hukum Tidak Tertulis Terhadap Konsistensi Asas Legalitas Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA

C. Implikasi Hukum Tidak Tertulis Terhadap Konsistensi Asas Legalitas Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Untuk memahami bagaimana implikasi hukum tidak tertulis terhadap asas legalitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, maka pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu posisi hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Pemahaman tersebut berawal dari posisi hukum adat sebagai hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah, hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya mengikat yang kuat dalam masyarakat, ada sanksi tersendiri dari masyarakat, jika melanggar aturan hukum adat. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat, bahkan seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara dan apabila hakim tersebut tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat, itu artinya hakim juga harus mengerti dan

menguasai hukum adat dan hal ini membuktikan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis mempunyai pengaruh terhadap asas legalitas.

Dalam suatu komunitas masyarakat di wilayah manapun masyarakat itu berada, mereka pasti memiliki aturan yang menggariskan perilaku anggota masyarakat tersebut. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang disertai dengan sanksi, sebab aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia, karena fungsi sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan tersebut. Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum mencerminkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Artinya semakin tinggi kesadaran masyarakat maka semakin rendah tingkat pelanggaran hukumnya. Aturan hukum akan ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat apabila aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka akan hak dan kewajiban secara proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu aturan yang melingkupinya memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan tunduk dan patuh pada aturan hukum tersebut, dengan tanpa mempersoalkan apakah aturan itu tertulis atau tidak, sebab dalam kenyataan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat hidup aturan yang tidak tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum adat, walaupun aturan tersebut tidak tertulis tetapi masyarakat mematuhinya.

Berbicara mengenai hukum yang tidak tertulis sangat erat kaitannya dengan sejarah kehidupan dan keberadaan suatu masyarakat, karena hukum yang tidak tertulis lahir dan terbentuk dalam masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai macam individu yang menempati suatu wilayah tertentu di

mana di dalamnya terdapat berbagai macam fungsi-fungsi dan tugas-tugas tertentu. Masyarakat dapat terbentuk akibat kesamaan genealogis, kultur, budaya, agama, atau karena hidup dan mendiami suatu teritori yang sama, salah satu di antara sekian banyak kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan tersebut dikenal dengan masyarakat adat.

Banyak literatur maupun pandangan para ahli yang mengartikan atau memberi definisi tentang masyarakat adat, anatara lain masyarakat adat dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun, di wilayah geografis tertentu serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Bagi kelompok ini berlaku aturan-aturan yang mereka tetapkan sendiri dan digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan-aturan itu dipatuhi secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikenal dengan hukum adat. Jadi keterikatan masyarakat akan hukum adat berarti bahwa hukum adat itu masih hidup dan dipatuhi dan ada lembaga adat yang masih berfungsi antara lain untuk mengawasi bahwa hukum adat memang dipatuhi.

Secara historis dapat ditelusuri, bahwa hukum adat selalu dipatuhi oleh warga masyarakat, karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati warganya, sehingga mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Di samping itu juga secara materil dan formal, hukum adat berasal dari masyarakat itu sendiri, atau merupakan kehendak dari suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, kepatuhan hukum itu akan tetap ada selama

kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi secara bersama, kehendak kelompok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral warga masyarakat untuk mematuhi hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Masalahnya sekarang, aturan tidak tertulis itu sering dianggap tidak menjamim

kepastian hukum karena dalam menyelesaikan suatu masalah aturan yang dipakai dapat diterapkan berbeda karena tidak ada norma yang baku yang harus diterapkan atas suatu persoalan hukum, lain halnya dengan undang-undang sebagai hukum tertulis yang memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum. Selain itu hukum tidak tertulis sering dianggap tidak konsisten karena dalam penerapannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kepentingan yang menghendakinya.

Anggapan yang demikian adalah sangat keliru, sebab dalam kenyataannya hukum tertulis selama ini selalu tertinggal dari fenomena yang muncul dalam masyarakat, untuk itu hukum tidak tertulis melakukan back up terhadap undang-undang sebagai hukum tertulis. Dalam kaitannya dengan kesadaran dan kepatuhan hukum, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kepatuhan hukum masyarakat, terhadap hukum adat sebagai hukum tidak tertulis dengan undang-undang sebagai hukum tertulis, kesadaran masyarakat adat terhadap norma-norma baik dan buruk adalah secara sukarela sebagai akibat adanya kewajiban moral, sedangkan kesadaran hukum manusia modern adalah karena adanya sifat memaksa dari hukum tersebut. Dengan demikian, kepatuhan hukum masyarakat modern pun bukan karena di junjung tingginya aturan-aturan hukum, tetapi lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap sanksi atau ancaman yang diberikan oleh hukum.

Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.190

Pemahaman seperti ini mencakup juga pemahaman terhadap hukum pidana adat, yang bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan. Sejauhmana hukum pidana adat tercakup atau berperan mempengaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat setempat, masih atau tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum pidana adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum pidana adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat

190

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hal. 15-16.

pertentangan antara hukum pidana adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian atau perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum, hakim wajib mencari dan menemukan hukum, Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak memberi keadilan.191

Implikasi hukum tidak tertulis terhadap konsistensi asas legalitas harus dipahami dengan mengacu pada penerapan asas legalitas itu sendiri. Selain itu, pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang menentukan: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.192

191

Ibid., hal. 16.

192

A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1.

Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.193

Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.194 Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essential, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.195

Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).196

193

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005, hlm. 41 dan Andi Hamzah, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Paper Panel Diskusi 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel

Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hal. 12.

194

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001, hal. 3.

195

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980, hal. 21.

196

Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 12.

Selain itu, seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berisi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya”. Ketentuan ini merupakan terjemahan dari kata aslinya:197

Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk starfbepaling”. Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan menjadi “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang mendahului perbuatan itu.” Kemudian oleh Tim penerjemah Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) diterjemahkan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada“. Asas legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah “nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali.198

Asas nulla poena mula-mula diperkenalkan oleh Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Selanjutnya oleh Paul Johann Anseln von Feurbach, dirumuskan dalam bahasa latin “nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali199

197

Secara harfiah banyak ahli hukum Indonesia yang memberikan terjemahan dengan kalimat yang berbeda tapi pengertiannya tetap sama, antara lain: P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005, hal. 41. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001, hal. 3.

198

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal. 183.

199

P. A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia., Bandung: Sinar Baru, 1984, hal. 118-128.

mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing-masing. Di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon,200 asas Legalitas diterima dalam doktrin:201

Substansi asas legalitas yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana.

Actus non facit renum nisi means sit rea (an act does not itself contitute guilt unless the mind is guity), sebagai hukum tidak tertulis, dan terwujud dalam praktek pengadilan.

202

Dalam konteks pengkajian asas legalitas, jika mengacu pada ketentuan Pasal

1 ayat (1) KUHP, berarti bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana kalau Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Dalam asas legalitas undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.

200

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).

201

Bambang Purnomo, Op. Cit., hal. 184.

202

Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas). Bandingkan dengan KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hal. 68-69.

perbuatan itu termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menentukan; Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Dalam pasal ini tegas disampaikan, hanya membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.203

Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru meskipun berlaku surut dapat dilaksanakan.204

203

J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty,1995, hal. 4.

204

Dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute”. Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply”. Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas

Pemikiran penafsiran yang terkandung dalam ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1), fokus penekanannya diletakkan pada perkataan sebelumnya,205

Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang secara surut atau yang dikenal dengan asas

ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat berlaku surut, namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak, karena terdapat pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2) yang menentukan: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender”. Muladi, HAM Dalam Perspektif Hukum Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 102.

205

Lihat Pasal 1 ayat (1) menentukan;“Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.

retroaktif,206

sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan tersangka ataupun terdakwa. Untuk memahami aturan Pasal 1 ayat (2) ini, pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam undang-undang. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus diperlakukan kepadanya. Secara teoretis asas legalitas mempunyai makna antara lain:207

a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b)Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

c) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian yang pertama tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi harus ada aturan hukum tertulis terlebih dahulu, hal ini jelas tampak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu yang mengharuskan adanya aturan pidana dalam perundangan. Sehubungan dengan itu dengan adanya ketentuan yang demikian ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Pengertian yang kedua dimaknakan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Di Indonesia dan di Belanda pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak

206

Asas retroaktif dikenal dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

207

dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan. Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi lebih umum atau lebih abstrak daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi ini berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya.208 Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut dipidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada

Dokumen terkait