• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana"

Copied!
392
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM TIDAK TERTULIS SEBAGAI SUMBER HUKUM

UNTUK PUTUSAN PENGADILAN

PERKARA PIDANA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc. (CTM), SP.A(K)

Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SUHAIMI

098101012/S-3HK

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : HUKUM TIDAK TERTULIS SEBAGAI SUMBER HUKUM UNTUK PUTUSAN PENGADILAN PERKARA PIDANA

Ditulis Oleh :

N a m a : SUHAIMI

Nomor Pokok : 0981010112

Program : DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

Telah Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka

Senat Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal 15 Juli 2013

KOMISI PEMBIMBING:

Promotor

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M. Hum.

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H Kopromotor Kopromotor

.

Ketua Dekan

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

LEMBAR PERSETUJUAN KOMISI PENGUJI

Judul Disertasi : HUKUM TIDAK TERTULIS SEBAGAI SUMBER HUKUM UNTUK PUTUSAN PENGADILAN PERKARA PIDANA

Ditulis oleh :

N a m a : SUHAIMI

Nomor Pokok : 0981010112

Program : DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

Telah Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka

Senat Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal 15 Juli 2013

KOMISI PENGUJI:

Penguji

Prof. Dr. Elwi Daniel, S.H., M.H.

Penguji

Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Penguji

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Dengan ini Saya menyatakan, bahwa Disertasi ini adalah asli karya Saya dan tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh Gelar Kesarjanaan, Magister ataupun Doktor di Perguruan Tinggi lainnya. Selain itu, sepengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis telah dirujuk dalam naskah ini dan juga telah dinyatakan dalam footnote dan daftar pustaka.

Medan, 15 Juli 2013 Yang Menyatakan

(5)

HUKUM TIDAK TERTULIS SEBAGAI SUMBER HUKUM UNTUK PUTUSAN PENGADILAN PERKARA PIDANA

ABSTRAK

(6)

diciptakan itu juga harus sesuai dengan tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

(7)

THE LIVING LAW AS A SOURCE OF LAW CRIMINAL CASE TO COURT DECISION

ABSTRACT

Conditions of law enforcement in Indonesia is truly alarming, because it is a rigid application of the principle of legality is untenable. In addition, discrimination against justice seekers, are also increasingly visible with various considerations of social and political backgrounds as well as one's position in the social strata. Consequently, only the sharp sword of justice down, but blunt upwards. Therefore, the principle of legality should immediately obtain the expansion of understanding. It means that the law is not the only guidelines Judges in decisions. Thus, the goal of this dissertation research, among others, is to analyze and criticize the unwritten law as a source of law for a criminal court in Indonesia. Based on the background and purpose of the study, it can be formulated problem, namely: 1. How consistency with the rule of law principle of legality in criminal law is not written? 2. How the implementation of the concept of the living law in criminal law in Indonesia? 3. How the role of law enforcement in applying unwritten law? To answer these problems, the research method used was the literature research (library research) with the specification of normative research. This dissertation research results prove that: 1. Rigid application of the principle of legality, is untenable, because it will have implications for law enforcement in Indonesia, which currently cause for serious concern. Moreover, in practice the principle of legality face a dilemma, if faced with the validity of unwritten laws that live in the midst of society, because of the use of the principle of legality in many cases less protective of the interests of society as a collective. 2. Practice courts apply the common law as the basis of criminal accountability that is contrary to the individual, while in law who live in the community, criminal responsibility is not always in the form of individual responsibility, because sanctions can also be imposed on others who are not actors, among them the family perpetrators. 3. The role of law enforcement in law enforcement efforts in Indonesia, especially Attorney/Prosecutor and the Judge has a very important position and strategically to create a sense of justice and rule of law in society. Based on these conclusions, the recommendations from the results of this dissertation research is in law enforcement, then it is fitting not solely pinned on the Judge, but the role of Attorney/Prosecutor also required its participation to apply the law as it should be, not only the written law but also unwritten laws. In addition, the establishment of national legislation should be defined functionally. That is, the new law should substantially completely meet the needs of the community. Furthermore, rights or obligations which it must also be created in accordance with the objective to achieve a just society in prosperity and prosper in justice.

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah, maka penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan judul: “Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum Untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana”.

Disertasi ini disusun adalah untuk memenuhi sebahagian persyaratan untuk memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Walaupun untuk menyusun Disertasi ini penulis telah mengerahkan kemampuan yang maksimal, akan tetapi tetap disadari, bahwa apa yang telah dicapai, tidaklah sesempurna apa yang diharapkan. Begitu pula sebagai insan biasa, penulis tidak mungkin bebas dari berbagai kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, atas segala kekurangan dan kesalahan itu penulis mohon maaf.

(9)

yang telah sangat sabar dan selalu memotivasi penulis, sehingga penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sangat tulus kepada Yang Terhormat dan Yang Amat Terpelajar Prof. Dr. Elwi Daniel, S.H., M.H., Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. dan Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. selaku Komisi Penguji di luar Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan penambahan wawasan serta pencerahan kepada Penulis, baik pada waktu ujian Disertasi, maupun setelah ujian Disertasi, sehingga penulis dapat melalui masa-masa sulit selama ujian Disertasi dengan hasil yang sangat mengembirakan dan membanggakan.

Selain itu, pada kesempatan yang sangat berbahagia ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sangat tulus kepada Yang Terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), SP.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama mengikuti pendidikan pada Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan kemudahan di bidang administrasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

bimbingan, motivasi dan kemudahan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga telah banyak memberikan bimbingan, motivasi dan kemudahan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ibu para Dosen Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar, mendidik dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Seluruh staf Tata Usaha Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai kemudahan di bidang administrasi selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Selain itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada istri dan anak-anakku yang tercinta, dimana dengan kekuatan do’a dan cintanyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

(11)

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi serta informasi yang berkaitan dengan penulisan Disertasi ini.

Atas segala bimbingan dan bantuan yang telah diberikan, semoga Allah Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada Kita. Akhirnya penulis berharap semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 15 Juli 2013 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI...

LEMBAR PERSETUJUAN KOMISI PENGUJI...

(13)

BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA

PIDANA DI INDONESIA ... A. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Hukum Tidak Tertulis

Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia………. B. Implikasi Konsepsi Barat Terhadap Hukum Adat Indonesia C. Implikasi Hukum Tidak Tertulis Terhadap Konsistensi Asas

Legalitas Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ... D. Eksistensi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Hukum

di Indonesia ...

BAB III IMPLEMENTASI KONSEP THE LIVING LAW DALAM

HUKUM PIDANA INDONESIA ………

A. Implikasi Civil Law System Terhadap Sistem Huku m di Indonesia ... B. Implikasi Common Law System Terhadap Sistem Hukum di

Indonesia ... C. Implikasi Hukum Adat Terhadap Sistem Hukum di

Indonesia ... D. Implementasi Hukum Tidak Tertulis (The Living Law) di

Indonesia ...

106 126

143

186 201

201

219

230

239

267

(14)

BAB IV PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM MENERAP-

KAN HUKUM TIDAK TERTULIS………...

A. Hukum Sebagai Sarana Untuk Memperoleh Keadilan ……. B. Sumber Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia ……… C. Penerapan Hukum Tidak Tertulis Oleh Jaksa/Penuntut

Umum Dalam Proses Peradilan ………

D. Kewenangan Hakim Menerapkan Hukum Tidak Tertulis Dalam Putusan Perkara Pidana ………

BAB V PENUTUP………...

A. Kesimpulan ………

B. Rekomendasi ………..

DAFTAR PUSTAKA ...

CURRICULUM VITAE ...

290

300

339

357 357 360

(15)

HUKUM TIDAK TERTULIS SEBAGAI SUMBER HUKUM UNTUK PUTUSAN PENGADILAN PERKARA PIDANA

ABSTRAK

(16)

diciptakan itu juga harus sesuai dengan tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

(17)

THE LIVING LAW AS A SOURCE OF LAW CRIMINAL CASE TO COURT DECISION

ABSTRACT

Conditions of law enforcement in Indonesia is truly alarming, because it is a rigid application of the principle of legality is untenable. In addition, discrimination against justice seekers, are also increasingly visible with various considerations of social and political backgrounds as well as one's position in the social strata. Consequently, only the sharp sword of justice down, but blunt upwards. Therefore, the principle of legality should immediately obtain the expansion of understanding. It means that the law is not the only guidelines Judges in decisions. Thus, the goal of this dissertation research, among others, is to analyze and criticize the unwritten law as a source of law for a criminal court in Indonesia. Based on the background and purpose of the study, it can be formulated problem, namely: 1. How consistency with the rule of law principle of legality in criminal law is not written? 2. How the implementation of the concept of the living law in criminal law in Indonesia? 3. How the role of law enforcement in applying unwritten law? To answer these problems, the research method used was the literature research (library research) with the specification of normative research. This dissertation research results prove that: 1. Rigid application of the principle of legality, is untenable, because it will have implications for law enforcement in Indonesia, which currently cause for serious concern. Moreover, in practice the principle of legality face a dilemma, if faced with the validity of unwritten laws that live in the midst of society, because of the use of the principle of legality in many cases less protective of the interests of society as a collective. 2. Practice courts apply the common law as the basis of criminal accountability that is contrary to the individual, while in law who live in the community, criminal responsibility is not always in the form of individual responsibility, because sanctions can also be imposed on others who are not actors, among them the family perpetrators. 3. The role of law enforcement in law enforcement efforts in Indonesia, especially Attorney/Prosecutor and the Judge has a very important position and strategically to create a sense of justice and rule of law in society. Based on these conclusions, the recommendations from the results of this dissertation research is in law enforcement, then it is fitting not solely pinned on the Judge, but the role of Attorney/Prosecutor also required its participation to apply the law as it should be, not only the written law but also unwritten laws. In addition, the establishment of national legislation should be defined functionally. That is, the new law should substantially completely meet the needs of the community. Furthermore, rights or obligations which it must also be created in accordance with the objective to achieve a just society in prosperity and prosper in justice.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan, karena itu penerapan asas legalitas1 secara kaku sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Selain itu, perlakuan diskriminasi terhadap pencari keadilan, juga semakin kasat mata dengan berbagai pertimbangan latar belakang sosial dan politik serta kedudukan seseorang dalam strata sosialnya. Konsekuensinya, pedang keadilan hanya tajam ke bawah, akan tetapi tumpul ke atas. Oleh karena itu, asas legalitas2

1

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of

legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Di Indonesia ketentuan asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah

diadakan lebih dulu”. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia,

Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1.Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada

suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta,

2005, hal. 41 dan Andi Hamzah, Naskah Akademik RUU-KUHAP, Makalah Diskusi Panel 27

tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hal. 12.

2

Utrecht sejak dahulu juga sudah sangat berkeberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya antara lain ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya Hukum Pidana Adat yang masih hidup dan akan hidup di Indonesia. Lebih lanjut Utrecht mengatakan,

bahwa: “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan antara lain,

bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif

(collectieve belangen). Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum ditentukan secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan suatu kejahatan, akan tetapi tidak diatur oleh hukum sebagai suatu

pelanggaran ketertiban umum, maka ia tidak dapat dihukum. Lihat Utrecht, Rangkaian Sari

Kuliah Hukum Pidana I, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1958, hal. 195-198.

(19)

mendapat perluasan pengertian, artinya undang-undang bukan satu-satunya pedoman Hakim dalam menjatuhkan putusan.

Hal tersebut sesuai pula dengan konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2011 (untuk selanjutnya disingkat dengan RUU-KUHP), pada Pasal 1 angka (3) dirumuskan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan, bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.3 Selanjutnya pada Pasal 1 angka (4) dijelaskan, bahwa: ”berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakatsebagaimana dimaksud pada angka (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.4

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) sampai angka (4) RUU KUHP tersebut, maka secara ringkas dapat dikatakan, bahwa Hukum Pidana Indonesia adalah berdasarkan asas legalitas yang dipertegas dengan larangan menggunakan penafsiran analogi. Walaupun demikian, asas legalitas tersebut dapat dikesampingkan dengan memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka (4) ini, jika tidak hati-hati dalam penerapannya, maka Hakim bisa terjebak pada analogi.5 Sedangkan analogi6

3

Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2011.

4

Ibid.

5

Analogi adalah memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan peraturan

tersebut (lihat Syafruddin Kalo, Teori & Penemuan Hukum, 2004, Diktat Untuk Mata Kuliah

Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal. 69.

(20)

RUU KUHP tersebut dilarang dipergunakan. Tegasnya ketentuan Pasal 1 tersebut antara satu dengan yang lainnya terjadi kontradiksi, dengan kata lain pembuat undang-undang kurang konsisten.

Terlepas dari hal tersebut, setidak-tidak RUU KUHP Nasional tersebut, jika nanti disahkan dan diberlakukan, maka telah secara nyata membuka peluang penerobosan terhadap asas legalitas. Hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tidak terabaikan keberadaannya, malahan UUD 1945 hasil amandemen kedua dalam Pasal 18B ayat (2) telah menentukan secara limitatif, bahwa: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, asas legalitas dewasa ini memang mulai melemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa: ”asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar ”kepastian hukum”. Namun, dalam realitasnya asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut:7

1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 angka (2) KUHP;

6

Dalam hukum pidana analogi tidak diperbolehkan, berhubung dengan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, terkecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelum peristiwa pidana dilakukan.

7

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, Bandung: Citra Aditya

(21)

2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;

3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai ”nullum delictum sine lege”, akan tetapi juga sebagai ”nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, akan tetapi juga sebagai asas legalitas materiel, yaitu dengan mengakui Hukum Pidana Adat, yaitu suatu hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat atau hukum tidak tertulis yang berfungsi sebagai salah satu sumber hukum.

Walaupun demikian, kenyataan yang nampak hingga saat ini adalah kebijakan pembangunan hukum nasional masih kental dengan hegemoni hukum modern yang sarat dengan model penalaran positivistiknya. Kenyataan tersebut nampak dari beberapa indikasi, yakni:

”a. Pembangunan hukum nasional yang terfokus pada kebijakan legislasi berupa peraturan perundang-undangan;

b. Penegakan hukum yang lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, aspek prosedural dan seringkali bersifat legalistik-formalistik”.8

Selain itu, tatanan hukum Indonesia saat ini, yang disebut-sebut sebagai ”Hukum Nasional”, tidak dibangun dari jati diri bangsa Indonesia, namun dipaksakan

8

Al. Wisnubroto, Qua Vadis Tatanan Hukum Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta:

(22)

dari konsep bangsa asing (not developed from within but imposed from out side). Perjalanan sejarah hukum Indonesia yang terinvensi melalui usaha transplantasi, transformasi, penetrasi atau upaya apapun namanya yang mengarah pada pemasukan sistem hukum asing (sistem hukum modern/Eropa) ke dalam suatu sistem hukum asli (sistem hukum pribumi/tradisional/adat) yang sudah mapan, sehingga akan mengalami kesulitan dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Dengan demikian, nyatalah bahwa sumber permasalahan memakai tradisi negara hukum model Barat (constitutional state) pada negara berkembang adalah tidak terjadinya receptio in complexu secara

sempurna, ”melainkan hanya penerimaan konsep negara dan hukum ketatanegaraan Barat secara terpenggal (konstruksi dan norma positifnya dimengerti dan diterima), akan tetapi ide dan maksud dasarnya terlepas dan tidak tertangkap”.9

Di negara-negara berkembang, kebanyakan mewarisi perundang-undangan kolonial seperti Indonesia, karena itu pula pembinaan hukum melalui perundang-perundangan baru memegang peranan yang sangat penting, tetapi di samping itu harus dipahami pula tidak semua persoalan atau sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dibawa ke pengadilan untuk penyelesaiannya. Namun demikian, seperti apa yang dikatakan oleh S.Tasrif, bahwa ia menyetujui hukum adalah ”suatu alat yang ampuh untuk mencapai pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering)”,

10

9

Ibid., mengutip pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode

dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002, hal. 406.

10

S.Tasrif, Tanggap Atas Prasaran Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, dalam:

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya

Tulis, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 2006, hal. 35.

(23)

peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin, bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya.

Apa yang dikatakan oleh S.Tasrif tersebut, bahwa perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya sangat berperan membantu peranan hukum dalam pembangunan, sehingga sangat diperlukan suatu penelitian tentang hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum dalam putusan pengadilan.

Selain itu, masyarakat lebih cepat melihat hukum itu ada di ruang pengadilan, yaitu melalui perangkat-perangkat penegak hukumnya, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim. Putusan pengadilan yang adil, putusan yang tidak memihak adalah harapan semua pencari keadilan, apakah ia terdakwa maupun korban serta juga para penegak hukumnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, harapan tersebut selalu kandas dilindas asas legalitas yang berkuasa dalam pertimbangan putusan pengadilan.

Peranan Hakim atau pengadilan dalam hal penerapan dan pengembangan hukum adalah sangat penting untuk dipelajari, dipahami ataupun diteliti. Seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta,11

11

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu

Pengenal Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 2009, hal. 97-98.

(24)

la loi)”.12

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Pengadilan atau Hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah Hakim yang pasif yang merupakan corong belaka dari badan perundang-undangan seperti yang digambarkan oleh Mostesquieu, Oleh karena itu, pada umumnya orang sekarang mengetahui, bahwa selain menerapkan undang-undang, Pengadilan atau Hakim itu juga menemukan atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini disebabkan, karena di dalam sistem hukum Indonesia dikenal asas yang menyatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu tidak boleh menolak untuk memeriksa satu perkara dengan alasan, bahwa hukum mengenai perkara itu tidak ada atau tidak jelas”. Asas atau prinsip ini dinamakan asas non-liquet. Asas ini termuat di dalam Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang berlaku di masa Kolonial Hindia Belanda.

Ketentuan Pasal 22 AB tersebut, pada saat ini diadopsi oleh Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa: ”Pengadilan dilarang, menolak untuk memeriksa, mengadili, memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Pada ayat (2) ditentukan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”

12

Adanya ajaran, bahwa Hakim hanyalah corong undang-undang (La bouche qui

prononce les poroles de la loi) dan dilarang menciptakan hukum, pada umumnya dianut oleh

negara-negara yang menganut tradisi Civil Law System pada abad ke 19. Lihat M.D.A.

Freeman, Llyod’s, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet & Maxwell, 2001, hal.

1384-1386. Lihat pula Neil Mac Cormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of Legal Reasoning,

(25)

akan tetapi Hakim harus aktif dan berperan di dalam menemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang cukup penting, tidak saja di dalam menemukan hukum, akan tetapi juga di dalam mengembangkan hukum”.13

Paul Scholten

14

mengatakan: ”Het recht is er, doch moet gevonden worden” (hukum telah ada, tetapi harus diketemukan). Selanjutnya Paul Scholten mengatakan adalah ”sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan, bahwa undang-undang itu telah mengatur segala-galanya secara tuntas”.15

Apa yang dikatakan oleh Scholten tersebut memberikan makna, bahwa selengkap apapun undang-undang itu tetap menyiratkan kekuranglengkapan. Apa lagi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial itu masih diberlakukan di Indonesia, sudah barang tentu banyak yang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan teori yang pernah dikemukakan oleh Cicero, ”Ubi societas, ibi ius” (”where there is a society, there is law”) di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Sehubungan dengan itu, Von Savigny, menyatakan, bahwa: ”hukum itu akan

13

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Ibid., hal. 98 mengutip, Soedikno

Martokoesoemo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia, disertasi

Universitas Gajah Mada, 1970, Penyalur (Penerbit) PT. Gunung Agung. Lihat juga buku: Bab

Tentang Penemuan Hukum Prof. Dr. Soedikno Mertokoesoemo dan Prof. Mr. A. Pitlo, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983.

14

E. Utrecht dalam Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Djakarta: PT Penerbit Dan

Balai Buku ”Ichtiar”, tjetakan kelima, 1959, hal. 224, mengutip pendapat Paul Scholten dalam bukunya, Alg Deel, hal.19.

15

Anthon Freddy Susanto dalam Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju

Progresivitas Makna, cet. Pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hal. 11 mengutip

pendapat Scholten. Bandingkan juga Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum

(26)

berkembang sebagaimana berkembangnya pemikiran masyarakatnya”. Artinya, jika pemikiran masyarakatnya berkembang dengan baik, maka hukumnya juga akan berkembang pula dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika pemikiran masyarakatnya tidak berkembang dengan baik, maka hukumnya juga tidak akan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, peranan hukum tidak tertulis untuk melengkapi hukum yang tertulis, khususnya dalam pertimbangan putusan hakim sangatlah dibutuhkan. Dengan kata lain, penerapan hukum tertulis (asas legalitas) semata-mata akan banyak menciderai rasa keadillan masyarakat, terutama masyarakat kecil dan miskin.

(27)

Sehingga dengan demikian, ”keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembukt ian ini”.16

Kedua, Conviction-Raisonee, dalam sistem ini pun dapat dikatakan, bahwa

”keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dengan demikian, ”keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal”.17

Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif, merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukt i yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa

16

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Edisi Kedua, hal. 277.

17

(28)

tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.

Keempat, pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk

Stelsel), sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Selain itu, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu, antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

(29)

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu ”dibarengi” dengan keyakinan hakim”.18

Sehubungan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro19

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dijelaskan pula, bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Penjelasan Pasal tersebut juga menegaskan, bahwa yang diprioritaskan pertama untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang itu adalah untuk

berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan. Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah Hakim terpaksa memidana seseorang, sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah, jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Sehingga sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) ini dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia. Sistem tersebut tercantum dalam Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

18

Ibid., hal. 278-279.

19

Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:

(30)

tegaknya kebenaran, kemudian keadilan dan yang terakhir adalah kepastian hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum yang selalu menjadi label asas legalitas, ternyata dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP, kepastian hukum diposisikan paling belakang, yaitu di belakang kebenaran dan keadilan.

Selain itu, Penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tersebut merupakan pintu masuk penerapan melawan hukum materiel, baik fungsi negatif maupun positif. Hal mana disebabkan dalam memutus suatu perkara, Hakim tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan yang ada, setidak-tidaknya Hakim lebih leluasa untuk menemukan hukum atau menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan yang ada padanya yang termasuk juga di dalamnya adalah keyakinan Hakim, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun tidak memenuhi unsur-unsur perundangan-undangan. Akan tetapi, dia meyakini perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela, tidak patut menurut hukum yang hidup masyarakat atau yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Di lain pihak ia berkeyakinan walaupun perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan, tetapi ia berkeyakinan, bahwa perbuatan tersebut tidak tercela dalam pandangan masyarakat.

(31)

Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan”.20

20

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hal.

275.

Oleh karena itu, dalam Hukum Pidana dimungkinkan adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum dan alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu pemaafan perbuatan seseorang sekalipun telah melakukan tindak pidana atau melawan hukum. Alasan pembenar ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 31, 32, 33, 34, 35. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana orang yang melakukan tindak pidana, karena melaksanakan peraturan perundang-undangan, melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, keadaan darurat serta pembelaan diri.

Sedangkan alasan pemaaf ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana, orang yang tidak mengetahui, bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana karena adanya paksaan, tekanan dan ancaman yang tidak bisa dihindari”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, setidak-tidaknya ada lima alasan yang menjadi latar belakang penelitian ini perlu untuk dilakukan, yakni:

(32)

Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, ”Hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya”.21

Dibenarkannya melakukan penafsiran berarti walaupun asas legalitas bersifat rigid tetap dimungkinkan dilakukan pengecualian sepanjang batas-batas tertentu, meski

dalam realitasnya penganut legal positivis menolak hal tersebut. Dalam ajaran positivis larangan penafsiran analogi bukan hanya sekedar doktrin, melainkan telah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas membuka peluang untuk menerapkan hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang sekaligus menegatifkan asas legalitas. Selain itu, juga membuka peluang bagi

Hakim untuk melakukan penemuan hukum atau penafsiran-penafsiran, sepanjang tidak bernuansakan penafsiran analogi, akan tetapi penafsiran yang dibenarkan yaitu penafsiran ekstensif.

21

(33)

diformulasikan secara tegas dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) KUHP.

Dalam sejarah peradilan Indonesia penafsiran analogi pernah diterapkan oleh Bismar Siregar ketika menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan yaitu dalam kasus seorang lelaki yang menyetubuhi seorang perempuan dengan janji akan menikahinya, akan tetapi kemudian ia mengingkari janjinya tersebut.

Menurut Hakim Bismar, memang benar dari segi hukum perdata perikatan hukum yang demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga walaupun ada cedera janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh terdakwa, hal tersebut tidak dapat digugat ganti rugi oleh saksi korban, tetapi Bismar berpendapat di bidang pidana, perbuatan cedera janji dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Bismar menganalogikan sesuatu yang melekat bersatu dalam diri seseorang seperti ”alat kelamin” sebagai ”barang” dengan menafsirkan istilah ”barang” dalam bahasa daerah terdakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal sebagai ”bonda” yang dapat diartikan sebagai ”alat kelamin”. Saksi korban menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa karena bujuk-rayu hendak dinikahi sama dengan menyerahkan bonda (barang) karena tipu muslihat. Hakim Bismar kemudian memutus menghukum laki-laki tersebut berdasarkan Pasal 378 KUHP (Penipuan). Akan tetapi, ”putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena dianggap melakukan analogi”.22

Kedua, adanya ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Pengadilan

22

Widodo Dwi Putri, mengutip Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

144/PID/1983/PT Mdn dalam disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum,

(34)

dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini mirip dengan ketentuan Pasal 22 A.B. yang menentukan: ”bilamana seorang Hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka Hakim itu dapat dituntut karena penolakan mengadili. Oleh karena itu, maka Hakim terpaksa turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak menyebut suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal undang-undang diam saja. Rasio ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 A.B. ini: masyarakat tidak tertolong apabila ditinggalkan dengan perselisihan-perselisihan yang tidak selesai. Sehingga, tugas Hakim ialah menyelesaikan semua perkara. Selain itu, Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, adanya pendapat, bahwa: ”Hakim tidak lain dari pada corong undang-undang atau ”Labouche qui prononce les paroles de la loi” telah tidak berlaku lagi”.23

Menurut van Apeldoorn, Hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal konkrit yang terjadi di masyarakat dan selanjutnya dibawa kemukanya, Hakim harus menambah (aanvullen) apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, karena undang-undang

23

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet ke-lima, Djakarta: P.T Penerbit

(35)

tidak dapat meliputi segala kejadian yang timbul di masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit tersebut, yaitu: ”menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit, diserahkan kepada Hakim”.24

Lembaga penemuan hukum ini akan dibawa kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interprestasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala Hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendiri melalui kontruksi penafsiran, rechtsverfijning

Ketentuan tersebut di atas dapat dimaknai, bahwa Hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan masyarakat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.

24

(36)

(menghaluskan hukum, membentuk pengecualian-pengecualian atas aturan-aturan hukum yang bersifat umum).

Paham yang menyatakan, bahwa Hakim tidak lain adalah corong undang-undang belaka (La bouche qui prononce les poroles de la loi) harus ditinggalkan karena masyarakat bergerak/berkembang begitu cepat, sehingga tidak jarang zaman meninggalkan hukum jauh di belakang.

Ketiga, adanya ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

(37)

Dalam tradisi hukum Civil Law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis. Sementara Hakim hanyalah corong undang-undang dan dilarang untuk menciptakan hukum. Para Hakim dari tradisi Eropa Kontinental, pada dasarnya berada pada arus besar (mainstream) pemikiran, bahwa ”law as it is written in the book”. Artinya, Hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dahulu melihat kepada undang-undang dari pada sumber hukum lainnya. Tempat pengadilan dalam sistem hukum yang lebih cenderung ke tradisi kontinental serta dominasi paradigma Positivisme Hukum, tidak memberi ruang yang cukup pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang mampu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.25

Sifat melawan hukum (wederrechtelijkeheid) dalam ilmu hukum dikenal dua macam, yaitu sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkehid) dan sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijkehid). Sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkeheid) merupakan sifat melawan hukum yang luas yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Jadi walaupun undang-undang tidak menyebutkannya, maka melawan hukum adalah tetap merupakan unsur dari setiap tindak pidana. Sedangkan sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid) adalah ”merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru Keempat, Perbuatan Melawan Hukum Materil Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006.

25

Widodo Dwi Putro, Disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum,

(38)

merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana”.26

Praktek peradilan pidana di Indonesia menganut sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Tetapi diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dikenakan pidana. Putusan bisa berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum. Sifat melawan hukum materiel terdiri dari sifat melawan hukum materiel fungsi negatif dan sifat melawan huku m materiel fungsi positif. Ajaran melawan hukum materiel fungsi negatif mengatakan, bahwa jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, tidak tercela, maka terdakwa tidak dipidana walaupun unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti dilakukan oleh terdakwa.

Sedangkan ajaran melawan hukum materiel fungsi positif mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak diatur di dalam hukum positif atau hukum tertulis, tetapi perbuatan tersebut melanggar norma-norma tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat dan perbuatan itu dianggap tercela, maka terdakwa masih dapat dipidana.

26

M. Sudrajad Basar dalam Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang

(39)

Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya dan merupakan alasan pembenar.

Sifat melawan hukum materiel yang negatif tersebut dalam praktek tidak secara tegas dipraktekkan dalam peradilan pidana di Indonesia, karena Mahkamah Agung RI ternyata mempraktekkan pula sifat melawan hukum materiel dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya Nomor 275K/Pid/1982 dalam perkara Korupsi Bank Bumi Daya, Mahkamah Agung secara tegas dan jelas mengartikan sifat melawan hukum materiel, yaitu menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut Mahkamah Agung ”merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat banyak”.27

Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiel ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa ”perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut”.28

27

Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, Jakarta: IKAHI, 2007, hal. 25.

28

Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif Dan Praktek Dari Mahkamah Agung Republik

(40)

Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat, bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiel telah mempunyai fungsi positif. Fungsi ini, menurut ajaran umum hukum pidana, ”tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas”.29

Walaupun demikian, Mahkamah Agung sebagai garda terakhir penegakan hukum ternyata tidak memperdulikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan kata lain Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materiel sebagaimana terdapat dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Dengan demikian, pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di samping mempunyai daya efek jera bagi para pelaku korupsi yang semakin menggurita.

Hanya saja, yurisprudensi yang memiliki daya tangkal yang kuat untuk menekan angka kenaikan tindak pidana korupsi tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan, bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

29

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan

(41)

Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH, seluruh putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Kelima, ketentuan Undang-Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil pada Pasal 5 ayat (3) huruf (b) menentukan, bahwa:

Hukum materiil sipil untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:

a. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan yang terhukum;

b. bahwa bilamana Hukuman Adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara. Dengan pengertian, bahwa Hukuman Adat yang menurut faham Hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

(42)

Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang yang menentukan secara tegas pada Pasal 1-nya, bahwa: ”Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang hingga tanggal 31 Desember 1960 belum mendapat pengesahan atau persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ditetapkan menjadi Undang-Undang.” Lebih lanjut dalam Pasal 2-nya menentukan, bahwa: ”Peraturan-peraturan Negara termaksud dalam Pasal 1 yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, akan segera disesuaikan dengan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960.”

Perlu ditegaskan, bahwa dalam penelusuran kepustakaan di Indonesia bahwa penelitian tentang: ”Hukum tidak tertulis sebagai salah satu sumber hukum dalam keputusan pengadilan perkara pidana” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini masih orisinal.

(43)

”putusan-putusan Mahkamah Konstitusi kerap dikatakan memiliki sifat progresif karena dilandasi oleh pemikiran progresif dari Hakim-Hakimnya”.30

Teori Roscoe Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil. Oleh karena itu, ”hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif”.

Di negara-negara Anglo-Saxon, Hakim pengadilan diberi kebebasan untuk tidak terbelenggu oleh ketentuan undang-undang guna mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri, sehingga produk hukumnya cenderung responsif. Sebaliknya, di negara-negara Eropa Kontinental, Hakim hanya boleh menerapkan hukum sesuai ketentuan undang-undang, sehingga produk hukumnya cenderung ortodoks.

31

30

Moh. Mahfud MD, Hukum Kata Kerja, Hukum Untuk Manusia, Kata Pengantar

dalam, Norbertus Jegalus, Hukum Kata Kerja Diskursus Tentang Hukum Progresif, cet. ke-1,

Jakarta: Obor, April 2011, hal. xxiii.

31

Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward

responsive aw, Harper & Row, 1978, Penerjemah, Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, cet. ke-2, Bandung: Nusamedia, Agustus 2008, hal. 83-84.

(44)

Satjipto Rahardjo mengatakan, ”hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum”.32

Selanjutnya Satjipto Rahardjo

Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan bermacam-macam. Di antara cara berhukum yang bermacam-macam itu, hukum progresif memiliki tempatnya sendiri.

Untuk membuat deskripsi yang jelas mengenai hukum progresif, maka ia dapat dihadapkan kepada cara berhukum yang positif-legalistis. Dalam cara berhukum terakhir, maka berhukum adalah menerapkan undang-undang. Cara berhukum yang demikian ini semata-mata berdasarkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau ”mengeja undang-undang”. Di sini orang tidak berpikir jauh kecuali membaca

teks dan logika penerapannya. Cara berhukum seperti ini adalah ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah pasal undang-undang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi.

Segalanya berjalan secara linier, sehingga cara berhukum sudah seperti mesin otomatis. Paul Scholten (1954) menyebutnya sebagai: ”hanteren van logische figuren”, sedangkan O.W. Holmes (1963) mengatakannya sebagai ”a book of mathematics”.

33

32

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks,kumpulan tulisan peringatan

Ulang Tahun yang ke-40 Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh,, dalam Memahami Hukum Dari

Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, Ed.1-1, 2009.

33

Ibid.

(45)

Cara berhukum memang dimulai dari teks, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan mengolahnya lebih lanjut yang disebut aksi dan usaha manusia itu. Dengan demikian, maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi, baik pikiran maupun empati dan keberanian.

Hadi Suyoto mengutip pendapat Gustav Radbruch yang menyatakan, bahwa: ”putusan hakim yang ideal setidaknya memuat idee des recht yang meliputi unsur keadilan (gerechtigheit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechmassingheit) ketiga unsur harus diterapkan secara proporsional yang pada akhirnya menghasilkan putusan yang memenuhi harapan para pencari keadilan”.34

Selanjutnya Hadi Suyoto menyatakan, bahwa: ”ketiga unsur yang dipopulerkan Gustav Radbruch tersebut dalam implimentasinya tidaklah mudah, oleh karena Hakim harus bekerja lebih sungguh-sungguh dalam menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsshepping)”. Akan tetapi, sangat disayangkan masih banyak ditemukan kesungguhan hakim belum maksimal bahkan sekadar menerima apa adanya dalam undang-undang atau hukum positif. ”Sehingga hegemoni ini berimplikasi terhadap hak-hak dan atau kepentingan-kepentingan para pencari keadilan terabaikan atau bahkan kepatutan, keadilan, ketertiban dan kepentingan umum juga menjadi hal-hal yang terlupakan”.35

34

Majalah Varia Peradilan, Tahun XXV No. 293 , April 2010, hal. 67.

35

Hadi Suyoto, Ibid.

Sedangkan di Amerika seorang Hakim dianggap menjalankan empat peranan: Pertama, menegakkan norma (norm enforcer) ;

(46)

Keempat sebagai seorang politikus.36

Ketiga: Peradilan rasional, peradilan yang bekerja atas asas-asas kerja sebuah organisasi birokrasi dan hasilnya berlaku secara universal, peradilan inilah yang banyak berkembang di negara-negara modern, tidak terkecuali di Indonesia.

Peranan terakhir ini tidak lazim diakui di Indonesia, kecuali apabila diperdebatkan apa yang sering dikeluhkan para hakim, bahwa pada masa Orde Baru sangat terasa pengaruh Menteri Kehakiman (seorang yang ditunjuk secara politis) terhadap para Hakim, termasuk juga pada para Hakim Agung.

Merujuk terhadap konsep tentang rasionalitas hukum, baik formal maupun substantif Max Weber menengarai adanya tiga tipe penyelenggaraan peradilan dalam masyarakat, yaitu:

Pertama: Peradilan Kadi atau peradilan dengan fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan kebijaksanaan sang Pengadil.

Kedua: Peradilan Empiris, dalam peradilan ini Hakim memutuskan perkara-perkaranya dengan cara beranalogi dengan keputusan-keputusan terdahulu yang ada relevansinya dengan perkara yang sedang ditangani. Tipe yang kedua ini lebih rasional.

37

Sehingga ada pertanyaan yang muncul dari sebuah peradilan rasional, apakah hasilnya sudah bisa berlaku universal? Ketika putusan peradilan hanya didasarkan atas ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau kitab undang-undang (rechtspraak naar wetboeken), ”pengadilan yang demikian ini adalah diilhami dengan paham positif atau

moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving)”.38

36

Mardjono Reksodiputro, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum memperingati 70 tahun

Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., Bandung: PT. Refika Aditama, Oktober 2008, hal. 110.

37

Hadi Suyoto, Op. Cit., hal. 68.

38

Djokosoetono, Hukum Tata Negara, kuliah dihimpun oleh Harun Al Rasyid pada

(47)

Konsep yang terus dicantumkan di dalam ketentuan undang-undang Kekuasaan Kehakiman, walaupun undang-undang tersebut telah berapa kali dirubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah diterimanya konsep yang menjadi acuan pengadilan pidana yaitu:

Pertama, bahwa pengadilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Kedua, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Ketiga, bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili.

Keempat, bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Di dalam praktek konsep yang ada bernaung di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut merupakan konsep yang selalu diabaikan untuk dipedomani oleh para hakim dalam memutus suatu perkara, khususnya konsep ketiga dan keempat.

Para Hakim seharusnya konsisten menerapkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman39

Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 7.

(yang merupakan konsep

39

(48)

ketiga) yang membuka peluang bagi sumber hukum tidak tertulis untuk

dipertimbangkan hakim dalam mengadili dan memutus perkara. ”Tetapi faktanya, pasal tersebut merupakan pasal yang mati suri dalam prakteknya”.

Di satu sisi Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman membuka peluang diterapkannya sumber hukum tak tertulis dalam pertimbangan suatu putusan, di lain sisi Undang-Undang tersebut tidak menunjukkan konsistensinya, karena pada Pasal 6 ayat (2) ditegaskan bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah ”menurut undang-undang”, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 6 ayat (2) tersebut secara terang-terangan menegaskan, bahwa: ”seseorang itu baru dapat dijatuhi pidana apabila menurut undang-undang cukup bukti bahwa seorang itu dianggap dapat dipertanggungjawabkan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Oleh karena itu, mungkin saja Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman inilah yang selalu menjadi tameng bagi Hakim dalam memutuskan perkara dengan mengabaikan pertimbangan sosiologis atau keadilan masyarakat. Dengan pasal tersebut Hakim merasa terbebaskan dari segala kritik terhadap putusannya yang tidak memuaskan banyak pihak. Hakim berpijak pada ajaran positivisme hukum secara kaku. Namun tidaklah adil, jika kritikan hanya ditujukan kepada Hakim dan putusannya, tanpa melihat problem

tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

(49)

mendasar pada sistem penegakan hukum di Indonesia yang menyebabkan prinsip keadilan menjadi lemah ditindas oleh prinsip kepastian hukum yang bernuansakan penerapan hukum tertulis secara kaku.

Problem itu berakar dari sistem hukum yang dianut yaitu civil law system. Masalah utama terlihat ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi undang-undang yang merupakan prinsip utama dari kultur civil law system, sistem ini telah diadopsi Indonesia.

Problem yang tidak putus-putusnya dari reformasi hukum adalah problem yang menyangkut keadilan dalam hubungannya dengan penegakan hukum. Hukum ataupun peraturan perundang-undangan seharusnya bersikap adil, tetapi realitasnya keadilan bagai barang mewah yang tidak terjangkau sebagian masyarakat, terutama masyarakat kecil dan miskin.

Tetapi di lain pihak, negara asal Civil Law System seperti Prancis telah membuka pintu untuk mentransfer sistem hukum yang lain, seperti common law system.

Achmad Ali40

40

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence), Vol.1 Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 498.

(50)

Realitas hukum di Indonesia, memberlakukan: (1) Perundang-undangan (ciri Eropa Kontinental), (2) Hukum Adat (ciri customary law), (3) Hukum Islam dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia (ciri Islamic Law System), (4) Hakim Indonesia di dalam praktek mengikuti ”Yurisprudensi” (ciri common law, dengan asasnya ”stare decisis”. Itulah argumen, sehingga ”pakar modern memasukkan Indonesia ke dalam ”Mix Legal System” (berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat dan

hukum Islam), dan memang itulah yang tepat”.41

Memperhatikan apa yang dikemukakan Achmad Ali di atas, tergambarlah bahwa ia sangat tidak setuju, jika Indonesia menganut sistem hukum Civil Law. Sampai-sampai ia menghujat pakar hukum lainnya yang berdiri atas pendapat Indonesia menganut sistem hukum Civil Law: ”Maka bagi para alumni Fakultas-Fakultas Hukum di Indonesia produk ”tempo doloe” senantiasa dicekoki dengan indoktrinasi, bahwa: ”sistem hukum Indonesia (yang mantan Kerajaan Hindia Belanda), adalah menganut sistem Civil Law atau Eropa Kontinental”, katanya”.42

Begitu pula halnya dengan konsep keempat, hal tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, mengamanatkan ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, tidak digunakan oleh para Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara (pidana). Padahal pasal tersebut memiliki titik temu dengan pemikiran Eugen Ehrlich yang menegaskan, bahwa: ”titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam

41

Ibid., hal. 499.

42

(51)

perundang-undangan juga tidak dalam putusan pengadilan maupun ilmu pengetahuan di bidang hukum akan tetapi dalam masyarakat itu sendiri”.43

Kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut mengilhami mantan Hakim Agung, Bismar Siregar untuk mengatakan, bahwa: ”mengamati hukum yang berlaku sekarang ini, siapapun tidak akan menyangkal, bahwa apa yang disebut hukum yang Berketuhanan Yang Maha Esa, masih jauh dari harapan”.

Putusan Hakim beberapa waktu belakangan ini, khususnya priode 2009-2011 banyak mendapat kritikan tajam dari masyarakat, karena dinilai mencederai rasa keadilan yang menyimpang dari nilai-nilai keadilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen Pasal 24 ayat (1) yang menentukan, bahwa kekuasaan Kehakiman (di mana produknya adalah putusan Hakim) merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan hukum dan keadilan, ibarat ketidakakuran antara bibir dan hati. Yang mencuat ke permukaan di dominasi oleh prinsip kepastian hukum, sementara keadilan tenggelam di dasar laut yang dalam. Padahal setiap putusan Hakim diawali dengan kalimat yang sangat sakral, yakni: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

44

Untuk menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan aparat penegak hukum, khususnya Hakim, tidaklah cukup hanya berbekal kualitas ilmu hukum dan ilmu

43

Eugen Ehrilch, Fundamental Prinsiples of the Sosiology of Law, New York: Arno

Press, Edisi 1975, terjemahan oleh W. L. Moll.

44

Bismar Siregar, Meningkatkan Peranan dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Dalam

Pembangunan Sebagai Pengamalan Pancasila Menjelang Tahun 2000, dalam Abu Daud

Busroh, Derap Langkah Menabur Keadilan Memorial 60 Tahun, Jilid 1, Palembang, Sumatera

Referensi

Dokumen terkait

Konsep sinergistik antara probiotik dan prebiotik (disebut sinbiotik) sebagai penurun kadar kolesterol serum menjadi obyek penelitian dewasa ini. Yoghurt merupakan

Pada tahap proses perhitungan berikutnya adalah menentukan keanggotaan waduk Kenteng di dalam satu dari sembilan kelompok tertentu, maka perlu dibuat indeks kemiripan waduk

Bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, dan makna adalah arti yang mengacu pada suatu fakta dan realita. Artinya, tidak akan terwujud suatu bahasa yang hanya

Pada setiap layanan tersebut, dirumuskan fungsional, kualitas, sumber daya, dan kemampuan layanan TI pada proses bisnis akademik, yang berbentuk dokumen katalog

Populasi target penelitian ini adalah pasien rawat inap apendektomi yang memperoleh terapi profilaksis dengan seftriakson atau sefotaksim di kelas III RS PKU Muhammadiyah

Saya ingin menganalisis struktur kepribadian dari tokoh utama dalam novel Umibe no Kafuka karya Haruki Murakami yang dikaitkan dengan teori analisis kepribadian Carl Gustav

Kriteria Restriksi dalam penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi (responden adalah wanita usia subur 15-49 tahun yang menerima KB suntik 3 bulan minimal 1 bulan, datang

Saya adalah satu-satunya pengarang/penulis Hasil Kerja ini; Hasil Kerja ini adalah asli; Apa-apa penggunaan mana-mana hasil kerja yang mengandungi hakcipta telah dilakukan secara