• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Yuridis Adanya Unsur Memberikan Keterangan Tidak Benar Pada Pasal 123 Juncto Pasal 126 Huruf C Tindak Pidana

Imigrasi Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, yang menyatakan bahwa:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”

Asas legalitas oleh Von Feuerbach dirumuskan dalam bahasa latin “Nullum Delictum Nullapoena Sina Praevia Lege”, yang berarti tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.71 Asas ini sangat penting dalam menentukan apakah suatu ketentuan pidana dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan tertentu dan apakah sudah ada peraturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut.72

Ketentuan dalam Peraturan Umum Bab I Pasal 2 KUHPidana berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.”

Di dalam ketentuan ini terdapat asas teritorialitet (berlakunya hukum pidana Indonesia) menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana) di dalam wilayah Indonesia. Artinya apabila terjadi suatu perbuatan yang dilarang atau tidak

71

Masruchin Ruba’i, Op.Cit., hal 11. 72

Tim Pengajar Mata Kuliah Pengajar Hukum Indonesia Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Pengantar Hukum Indonesia (Pembidangan dan Asas-Asas Hukum), UB Press, Malang, 2013, hal 42.

melakukan kewajiban, yang menurut undang-undang diancam dengan hukuman pidana, maka si pelaku, baik ia adalah seorang Warga Negara Indonesia maupun Orang Asing, dapat dikenai hukuman oleh Hakim.

Unsur memberikan keterangan tidak benar merupakan salah satu rumusan tindak pidana pada Pasal 123 juncto Pasal 126 huruf c Undang-Undang Keimigrasian. Subyek hukum dalam Pasal 123 juncto Pasal 126 huruf c Undang-Undang Keimigrasian adalah “setiap orang” yang artinya setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing yang melakukan perjalanan keluar masuk wilayah Negara Republik Indonesia. Sesuai asas teritorialitet, maka setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing dapat dikenai sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Maka subyek hukum “setiap orang” dalam ketentuan Pasal 123 juncto Pasal 126 huruf c Undang-Undang Keimigrasian dapat dikenai sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan unsur memberikan keterangan tidak benar yang terdapat dalam ketentuan pasal tersebut.

Namun mengingat Pasal 2 KUHPidana dibatasi oleh ketentuan Pasal 9 KUHPidana yang berbunyi:

“Berlakunya pasal 2-5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.”

Maka penjatuhan sanksi pidana terhadap warga negara asing yang terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan Indonesia tidak dapat diperlakukan sama seperti penjatuhan sanksi pidana terhadap warga negara Indonesia, karena Warga Negara Asing memiliki kekebalan diplomatik.

Namun hukum tetap harus ditegakkan, karena hukum memiliki fungsi sebagai perlindungan kepentingan demi kepastian hukum. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan). Sanksi pidana merupakan sanksi yang paling tajam karena sanksi ini dapat mengenai harta benda, kehormatan, kemerdekaan dan harta benda, bahkan terkadang merenggut nyawa si pelaku. Sanksi inilah yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lainnya. Karena sanksi pidana dianggap paling tajam, maka hukum pidana memiliki sebutan sebagai “obat terakhir (ultimum remedium)”, artinya hukum pidana baru akan digunakan apabila upaya-upaya pada bidang hukum lainnya dianggap tidak mampu mengatasi. Hukum pidana juga sering dikatakan sebagai accessoir (bergantung) terhadap bidang hukum lain, karena hukum pidana bersifat menguatkan norma dalam bidang hukum lain dengan ancaman pidana.73 Pernyataan-pernyataan ini menyatakan bahwa upaya hukum tidak selalu harus diawali dengan sanksi pidana, tetapi dapat ditegakkan terlebih dahulu oleh bidang hukum lainnya, yang salah satunya, yaitu sanksi berupa tindakan yang bersifat administrasi.

Penegakan hukum adanya unsur memberikan keterangan tidak benar seperti yang telah diatur dalam Pasal 123 juncto Pasal 126 huruf c Undang-Undang Keimigrasian diselesaikan dengan sistem dan mekanisme yang ada dalam penegakan hukum imigrasi. Sama seperti bidang hukum lainnya, hukum imigrasi memiliki beberapa jenis upaya penegakan hukum imigrasi demi tercapainya tujuan hukum.

Dokumen keimigrasian sangat penting dan berharga bagi pemegangnya, oleh karena itu perlu dilakukan pengamanan terhadap dokumen tersebut. Dalam penggunaan dokumen keimigrasian bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan tidak jarang terjadi pelanggaran dan kejahatan, seperti adanya unsur memberikan keterangan tidak benar di dalam dokumen keimigrasian, kehilangan paspor maupun visa, pencurian dokumen keimigrasian, paspor palsu (counterfeit passport), yaitu paspor yang dibuat palsu, paspor dibuat palsu atau dipalsukan (forgery) yaitu paspor asli kemudian dipalsukan (asli dan dipalsukan) dan biasanya diperjualbelikan secara tidak sah. Perbuatan-perbuatan inilah yang harus dicegah dan diatasi dengan upaya penanggulangan kejahatan.

Implikasi yuridis adanya unsur memberikan keterangan tidak benar pada Pasal 123 juncto Pasal 126 huruf c tindak pidana imigrasi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dapat dihubungkan dengan upaya penanggulangan kejahatan antara lain:

1. Upaya Preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan. Upaya ini merupakan tindakan yang bersifat pencegahan. Upaya penanggulangan preventif dalam bidang keimigrasian dilakukan dengan tindakan pengamanan terhadap dokumen keimigrasian, sehingga paspor, visa maupun dokumen keimigrasian lainnya yang telah dikeluarkan secara sah dan resmi tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Saat

ini di seluruh dunia tercatat kurang lebih ada 250 paspor dengan fitur pengamanan yang berbeda-beda.74

Tindakan pengamanan terhadap dokumen keimigrasian dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:75

a. Pengamanan Terbuka

Pengamanan ini dilakukan langsung pada dokumen keimigrasian dan terlihat secara visual. Bentuk dan format dokumen keimigrasian harus sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan keimigrasian yang berlaku. Pengamanan terbuka merupakan cara pengamanan dokumen keimigrasian dengan menggunakan peralatan yang canggih, baik dalam memilih bahan atau kertas paspor, cara penulisannya, pemberian pengamanan yang dapat dilihat seperti cara penempelan foto, tanda tangan, sidik jari dan sebagainya, sehingga sukar bagi orang lain untuk merubah, memalsukan maupun menyalahgunakannya, meskipun secara visual dapat dilihat bentuknya, sehingga jika terjadi perubahan atau pemalsuan maka akan segera diketahui. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengamanan terbuka adalah Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2012 Tentang Spesifikasi Teknis Pengaman Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor.

74

Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Lintas Batas dan Kerjasama Luar Negeri,

Pemeriksaan Paspor, Ditjen Imigrasi, Jakarta, 2007, hal 69.

75

b. Pengamanan Tertutup

Pengamanan tertutup dilakukan dengan menggunakan peralatan yang canggih yang tidak dapat dilihat secara visual, namun bagi pejabat atau petugas yang berwenang mengawasi pelanggaran dan kejahatan terkait dokumen keimigrasian, dengan peralatan tertentu akan dapat menentukan adanya penyimpangan atau pemalsuan dokumen tersebut yang berada diluar jangkauan orang yang berusaha melakukan kejahatan. Pengamanan ini dilakukan pada sistem informasi perkantoran secara elektronik yang diperkenalkan ke publik dengan nama sistem Electronic Office (untuk selanjutnya disebut e-Office) yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-04.OT.03.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Penerapan E-Office Keimigrasian. Seperti yang terdapat dalam paspor baru, kini dilengkapi pengamanan dengan teknologi biometrik dan fasilitas sistem autogate diberikan kepada kepada warganegara Indonesia pemegang paspor elektronik maupun paspor non elektronik yang telah terpasang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sejak awal tahun 2013.

Upaya preventif yang dilakukan terhadap seluruh jenis dokumen keimigrasian bertujuan untuk mencegah dan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran dan kejahatan, termasuk perbuatan yang memenuhi rumusan unsur memberikan keterangan tidak benar dalam suatu dokumen keimigrasian.

2. Upaya Represif

Upaya penanggulangan represif adalah tindakan konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Upaya ini dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya, serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum dan dapat menimbulkan kerugian. Sehingga pelaku tidak mengulangi perbuatan itu dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya.

Upaya penanggulangan secara represif dalam bidang imigrasi lebih dikenal dengan sebutan Tindakan Keimigrasian. Tindakan keimigrasian adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang terhadap seseorang (pelaku) yang telah terbukti melakukan pelanggaran, penyimpangan, penyalahgunaan, dan kejahatan dalam penegakan hukum keimigrasian.76 Penindakan Hukum Keimigrasian terhadap Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing harus tetap dibedakan, mengingat kekebalan diplomatik yang dimiliki Warga Negara Asing. Tindakan Keimigrasian dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Tindakan Non Litigasi

Tindakan non litigasi dalam Keimigrasian merupakan suatu upaya penyelesaian perkara yang dilakukan di luar proses peradilan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang di bidang

76

imigrasi. Tindakan ini dapat berupa sanksi maupun tindakan bersifat administrasi yang dikenakan terhadap Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing (Orang Asing). Tidak ada istilah khusus untuk tindakan non litigasi terhadap pelaku yang berkewarganegaraan Indonesia, namun pengaturannya tersebar dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian. Sedangkan bagi Orang Asing dikenal dengan istilah “Tindakan Administratif Keimigrasian” yang sebagian besar telah diatur dalam Bab VII Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 Undang-Undang Keimigrasian dan sebagian lainnya tersebar dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian lainnya.

Seluruh dokumen keimigrasian harus melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, baik pada saat permohonan maupun penggunaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Keimigrasian yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.

(3) Dalam hal terdapat keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan dengan proses penyelidikan Keimigrasian.

Pada Pasal 9 ayat (3) disebutkan keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri seseorang dapat mengacu pada suatu bentuk penyimpangan, pelanggaran, maupun

kejahatan. Unsur memberikan keterangan tidak benar dalam dokumen keimigrasian merupakan suatu unsur kejahatan di bidang keimigrasian mengenai suatu keadaan yang bertentangan dengan kebenaran sehingga keabsahannya diragukan. Tindakan non litigasi sebagai upaya penyelesaian awal yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di luar proses peradilan dalam menangani perkara-perkara yang didalamnya terdapat unsur memberikan keterangan tidak benar dalam keimigrasian.

Berikut ini jenis-jenis tindakan non litigasi dalam keimigrasian terkait unsur memberikan keterangan tidak benar dalam dokumen keimigrasian, antara lain:

1) Tindakan Administrasi Terkait Permohonan dan Penggunaan Dokumen Keimigrasian

Menurut ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, tindakan-tindakan keimigrasian non litigasi terkait permohonan dan penggunaan dokumen keimigrasian dibagi 2 (dua) menurut jenis produk hukumnya, yaitu:

a) Dokumen Perjalanan Republik Indonesia

Tindakan keimigrasian di luar proses peradilan terhadap Dokumen Perjalanan Republik Indonesia berupa tindakan penarikan, pembatalan, dan pencabutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 pada Bagian Ketiga Bab III mengenai Persyaratan dan Tata Cara Pemberian, Penarikan, Pembatalan, Pencabutan, Penggantian, serta Pengadaan Blanko, dan Standarisasi Dokumen Perjalanan Republik Indonesia, yaitu Pasal 63 sampai dengan Pasal 65.

Pasal 63, berbunyi:

(1) Penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan kepada pemegangnya pada saat berada di dalam atau di luar Wilayah Indonesia. (2) Penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:

a. pemegangnya telah dinyatakan sebagai tersangka oleh instansi berwenang atas perbuatan pidana yang diancam hukuman paling singkat 5 (lima) tahun atau red notice yang telah berada di luar Wilayah Indonesia; atau

b. masuk dalam daftar Pencegahan.

(3) Dalam hal penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dilakukan pada saat pemegangnya berada di luar Wilayah Indonesia berupa Paspor, kepada yang bersangkutan diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor sebagai dokumen pengganti yang akan digunakan untuk proses pemulangan.

Pasal 64, berbunyi:

Pembatalan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan dalam hal:

a. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia tersebut diperoleh secara tidak sah;

b. pemegang memberikan keterangan palsu atau tidak benar;

c. pemegangnya meninggal dunia pada saat proses penerbitan Paspor;

d. tidak diambil dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan; atau

Pasal 65, berbunyi:

(1) Pencabutan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan dalam hal:

a. pemegangnya dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;

b. pemegangnya telah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. anak berkewarganegaraan ganda yang memilih kewarganegaraan asing;

d. masa berlakunya habis;

e. pemegangnya meninggal dunia;

f. rusak sedemikian rupa sehingga keterangan di dalamnya menjadi tidak jelas atau memberi kesan yang tidak pantas lagi sebagai dokumen resmi;

g. dilaporkan hilang oleh pemegangnya yang dibuktikan dengan surat keterangan lapor kepolisian; atau

h. pemegangnya tidak menyerahkan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam upaya penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia.

(2) Dalam hal pencabutan Paspor dilakukan pada saat pemegangnya berada di luar Wilayah Indonesia maka kepada yang bersangkutan diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor sebagai dokumen pengganti Paspor yang akan digunakan untuk proses pemulangan.

Pejabat negara yang dapat melakukan tindakan-tindakan tersebut diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013, yang berbunyi:

Pemberian, penarikan, pembatalan, pencabutan, dan penggantian Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dilakukan oleh:

a. Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk untuk Paspor diplomatik dan Paspor dinas; atau

b. Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk untuk Paspor biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor.

b) Visa

Tindakan non litigasi terhadap Visa terkait dengan pemberian izin tinggal, yaitu Pejabat Imigrasi dapat menolak dan membatalkan izin tinggal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 pada Bagian Ketiga Bab V mengenai Persyaratan dan Tata Cara Permohonan, Pemberian, Jangka Waktu, Penolakan dan Pembatalan, dan Alih Status Izin Tinggal pada Pasal 158 dan Pasal 159.

Pasal 158, berbunyi:

Pejabat Imigrasi dapat menolak permohonan pemberian atau perpanjangan Izin Tinggal kunjungan, Izin Tinggal terbatas, dan Izin Tinggal Tetap dalam hal:

a. namanya tercantum dalam daftar Penangkalan; b. Dokumen Perjalanannya diduga palsu;

c. menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum atau diduga melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan yang berlaku di Indonesia;

d. memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Visa;

e. diduga terlibat dalam kejahatan internasional dan kejahatan transnasional terorganisasi;

f. menunjukan perilaku yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum;

g. termasuk dalam daftar pencarian orang dari suatu negara asing;

h. diduga terlibat dalam kegiatan makar terhadap pemerintahan Republik Indonesia; atau

i. diduga terlibat kegiatan politik yang merugikan negara.

Pasal 159, berbunyi:

(1) Izin Tinggal kunjungan, Izin Tinggal terbatas, dan Izin Tinggal Tetap dapat dibatalkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.

(2) Izin Tinggal kunjungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing:

a. terbukti melakukan tindak pidana terhadap negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

b. melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum;

c. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal kunjungan; atau

e. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian. (3) Izin Tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing: a. terbukti melakukan tindak pidana terhadap

negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

b. melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum;

c. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal terbatas; e. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian;

atau

f. putus hubungan perkawinan karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal terbatas karena kawin secara sah dengan warga negara Indonesia.

(4) Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing:

a. terbukti melakukan tindak pidana terhadap negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum; c. melanggar pernyataan integrasi;

d. mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin kerja;

e. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal Tetap; f. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian;

atau

g. putus hubungan perkawinan Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan, kecuali perkawinan yang telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih. Tindakan keimigrasian terkait permohonan dan penggunaan dokumen keimigrasian yang terbukti memiliki unsur memberikan keterangan tidak benar dibagi menjadi 2 (dua) menurut kewarganegaraan pemilik dokumen keimigrasian, yaitu:

a) Warga Negara Indonesia

Dalam hal terdapat unsur memberikan keterangan tidak benar saat melakukan permohonan dan/atau penggunaan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia bagi Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia dapat dilakukan tindakan pembatalan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia oleh Pejabat Imigrasi. Tindakan pembatalan terhadap Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang didalamnya terkandung unsur memberikan keterangan tidak benar diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 pada Pasal 64 huruf b, berbunyi:

Pembatalan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan dalam hal:

b. pemegang memberikan keterangan palsu atau tidak benar;

b) Orang Asing

Dokumen keimigrasian yang digunakan Orang Asing untuk melakukan perjalanan masuk ke Wilayah Indonesia adalah paspor dan visa. Namun dokumen yang dapat dibuktikan keabsahannya adalah visa, karena visa yang sah dan resmi harus diterbitkan oleh pemerintah negara yang ingin dituju dan diberikan kepada Orang Asing yang akan masuk ke wilayah negara tersebut. Visa merupakan dasar pemberian izin tinggal. Dalam hal masuk ke Wilayah Indonesia, visa yang digunakan adalah Visa Republik Indonesia.

Apabila keabsahan visa yang digunakan diragukan karena data didalamnya memenuhi unsur memberikan keterangan tidak benar, maka tindakan yang dapat dikenakan kepada Orang Asing tersebut adalah:

1. Penolakan pemberian atau perpanjangan visa yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 pada Pasal 158 huruf d, yang berbunyi:

Pejabat Imigrasi dapat menolak permohonan pemberian atau perpanjangan Izin Tinggal kunjungan, Izin Tinggal terbatas, dan Izin Tinggal Tetap dalam hal:

d. memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Visa;

2. Pembatalan visa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 dengan syarat memberikan keterangan tidak benar yang terdapat pada Pasal 159 ayat (2) huruf d, Pasal 159 ayat (3) huruf d, dan Pasal 159 ayat (4) huruf e, yang berbunyi:

(2) Izin Tinggal kunjungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing:

d. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal kunjungan;

(3) Izin Tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing:

d. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal terbatas;

(4) Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan dalam hal Orang Asing:

e. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal Tetap;

Penolakan pemberian atau perpanjangan dan pembatalan visa termasuk suatu Tindakan Administratif Keimigrasian. Pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Keimigrasian menyebutkan bahwa:

(2)Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :

a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;

b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;

c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;

d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;

e. pengenaan biaya beban;

f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.

2) Pencegahan dan Penangkalan

Pada sadarnya pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang untuk melakukan perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan hak dan kebebasan seseorang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat.77

Menurut Bab I Pasal 1 angka ke-28 Undang-Undang Keimigrasian, berbunyi:

Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka ke-29 Undang-Undang Keimigrasian, berbunyi:

Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian.

Subyek pencegahan adalah setiap orang yang terlibat masalah politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat, keimigrasian, pidana, dan perdata yang mengganggu dan mengancam stabilitas

77

nasional. Subyek penangkalan adalah Orang Asing yang melakukan pelanggaran dan kejahatan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat, keimigrasian, pidana, dan perdata.78

Pejabat yang berwenang meminta pencegahan berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Keimigrasian, antara lain:

a) Menteri Keuangan b) Jaksa Agung

c) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia d) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

e) Kepala Badan Narkotika Nasional

f) Pimpinan kementerian/lembaga yang memiliki wewenang pencegahan.

Menurut Pasal 93 dan Pasal 99 Undang-Undang

Dokumen terkait