• Tidak ada hasil yang ditemukan

Imunitas Terhadap Parasit

Dalam dokumen Imunitas Terhadap Penyakit Infeksi (Halaman 13-37)

BAB II Tinjauan Pustaka

D. Imunitas Terhadap Parasit

D. IMUNITAS TERHADAP PARASIT

Golongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, leishmania dan amuba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna terutama di negara-negara sedang berkembang. Kebanyakan infeksi parasit bersifat kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit untuk bertahan hidup terhadap imunitas spesifik. Saat ini banyak antibiotik dan antiparasit yang tidak efektif lagi untuk membunuh parasit, terutama untuk masyarakat di daerah endemis yang berulangkali terpajan.

Vaksin terhadap parasit juga belum berkembang, hal ini disebabkan vaksinasi sulit memberi proteksi terhadap protozoa karena memerlukan faktor humoral (IgG diduga berperan penting ) dan seluler. Pada malaria, antibodi diduga protektif mencegah merozoit memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap jenis spesies yang satu tidak protektif terhadap spesies yang lain.

Tripanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan memproduksi pirogen dan mantel antigen yang berubah-rubah / mutasi sehingga sulit dikenali dan dieliminasi sistem imun. Toksoplasma melepaskan diri dari efek sistem imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif. Respon seluler terhadap toksoplasma sangat efektif.

Leishmania mempunyai kemampuan menginfeksi makrofag dan memerlukan respon seluler untuk eradikasinya. IFN-γ yang diperoduksi sel Th1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit. Sel T, terutama Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya Tripanosoma cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak mengekspresikan resseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meningkatkan sitotoksisitas.

Tabel 3. Respon imun terhadap parasit yang menimbulkan penyakit

Parasit Penyakit Mekanisme imunitas

protektif utama Plasmodium Leishmania Tripanosoma Entamoeba histolitika Skistosoma Filaria Malaria Leishmaniasis (mukokutan, diseminata) Tripanosomiasis afrika Amebiasis Skistosomiasis Filariasis Antibodi dan CD8+/CTL Th1 CD4+ mengaktifkan makrofag unuk membunuh parasit yang dimakan

Antibodi

Antibodi, fagositosis

ADCC atas peran eosinofil, makrofag

CMI; peran antibodi?

1. Imunitas nonspesifik

Protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam sel pejamu karena mereka dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu.

Respon imun nonspesifik terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan yang tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen jalur alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.

2. Imunitas spesifik

Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam hal besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi kronik menimbulkan rangsangan antigen yang persisten yang meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofilia sering ditemukan pada infeksi cacing.

Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan Il-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain olehkarena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas

protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.

Pada filariasis limfatik, sumbatan oleh parasit di saluran limfe menimbulkan CMI kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit kronis sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal sehingga menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan malaria.

Pada beberapa kasus, infeksi cacing tidak dapat dihancurkan dengan sistem imun yang telah disebut diatas. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon seluler terhadap pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotik. Semua ini akibat pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengganggu kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati.

Mekanisme parasit menghindari sistem imun : 1. Pengaruh lokasi

Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara anatomis tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit intraseluler seperti T.cruzi, leishmania, plasmodium, T.spiralis, E.histolitika atau cacing yang hdup dalam lumen saluran cerna.

2. Parasit mengubah antigen

Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel permukaannya melalui proses variasi antigenik. Beberapa jenis malaria juga dapat melakukan hal ini. Ada dua bentuk variasi antigenik. Pertama adalah perubahan yang stage spesific dalam ekspresi antigen. Daam fase pematangan parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif, misalnya fase sporozoit parasit malaria antigeik berbeda dari merozoit yang berperan pada infeksi kronis. Pada waktu respon imun berkembang terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi, mengekspresikan antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk eliminasi imun. Variasi antigenik yang terus

menerus diduga ditimbulkan oleh adanya variasi terprogram dalam ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain menutupi dirinya dengan antibodi sehingga sistem imun pejamu tidak megenalnya.

3. Supresi sistem imun pejamu

Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel limfoid atau jaringan secara langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar mengurangi reflek respon imun pejamu. Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa dan pada infestasi filaria. Mekanismenya belum jelas. Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria dan tripanosomiasis afrika yang disebabkan karena produksi sitokin immunosupresif oleh makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T.

4. Resistensi

Parasit menjadi resisten terhadap respon imun selama menginvasi pejamu. Larva skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTL.

5. Hidup dalam sel pejamu

Protozoa menghindari respon imun dengan memilih hidup dalam sel pejamu atau dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Beberapa cacing hidup di lumen saluran cerna dan terlindung dari efektor CMI.

HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas atau ”alergi”, menunjukkan suatu keadaan dimana respon imun mengakibatkan reaksi yang berlebihan dan tidak sesuai yang merugikan inang. Reaksi itu secara khas terjadi pada orang tertentu setelah kontak kedua dengan antigen khusus (alergen). Kontak pertama merupakan peristiwa awal yang diperlukan dan menginduksi sensitisasi terhadap alergen itu.

Ada empat jenis reaksi hipersensitivitas utama yaitu Tipe I, II dan III adalah berperantara antibodi, sedang Tipe IV berperantara sel.

Tipe I : Hipersensitivitas Segera (Anafilaktik)

Hipersensitivitas jenis ini muncul sebagai reaksi jaringan yang terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Kalau reaksi itu terjadi pada setiap anggota spesies, maka reaksi tersebut dinamakan anafilaksis. Kalau reaksi hanya terjadi pada anggota tertentu dari suatu spesies, keadaan ini disebut dengan atopi.

Mekanisme umum pada hipersensitivitas segera melibatkan langkah-langkah berikut. Antigen menginduksi pembentukan antibodi IgE, yang mengikat erat bagian Fc-nya basofil dan sel mast. Beberapa minggu kemudian, kontak kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi antigen pada IgE yang terikat sel, pertautan silang molekul-molekul IgE dan pelepasan zat perantara secara farmakologik aktif dari sel dalam waktu beberapa menit.

Zat perantara pada hipersensitivitas anafilaktik ialah : a. Histamin

Histamin terdapat dalam keadaan telah terbentuk dalam trombosit dan dalam granula sel mast jaringan dan basofil. Pembebasan zat ini menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Obat antihistamin dapat menghambat tempat reseptor histamin dan relatif cukup efektif untuk rinitis alergika, tetapi tidak untuk asma.

b. Prostaglandin dan Tromboksan

Kedua zat ini berhubungan dengan leukotrien, dan diturunkan dari asam arakidonat lewat jalur siklooksigenase. Prostaglandin menyebabkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan menggumpalkan trombosit. Zat perantara tersebut menjadi aktif hanya selama beberapa menit setelah dilepaskan, zat-zat itu dinonaktifkan dengan enzim dan disintesis lagi dengan kecepatan lambat.

Terapi dan Pencegahan Reaksi Anaflaksis

Tujuan terapi adalah melawan daya kerja zat perantara dengan mempertahankan saluran nafas, ventilasi dan fungsi jantung. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain epinefrin, antihistamin, kortikosteroid, atau natrium kromolin. Natrium kromolin mencegah pelepasan zat perantara dari granula sel mast. Pencegahan dilakukan dengan

mengenali alergen dengan tes uji kulit, kemudian menghindari kontak dengan alergen tersebut.

Atopi

Penyakit hipersensitivitas atopi menunjukkan predisposisi keluarga yang kuat dan berhubungan dengan kadar IgE yang tinggi. Predisposisi terhadap atopi jelas bersifat genetik, tetapi gejalanya diinduksi oleh alergen khusus, misalnya alergen lingkungan (alergi pernafasan terhadap tepung sari, rumput atau debu rumah) atau makanan (alergi usus terhadap kerang atau kacang-kacangan. Manifestasi klinis berupa demam, asma, eksema, dan urtikaria. Banyak penderita memberi reaksi jenis segera terhadap uji kulit (suntikan, tempelan, goresan) dengan menggunakan antigen penyebab.

Tipe II : Hipersensitivitas Sitotoksik

Antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel akan mengaktifkan komplemen (atau efektor lain) untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada antigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi ABO, atau penyakit hemolitik Rh.

Penisilin, Fenasetin dan Kuinidin, dapat melekat pada protein permukaan di sel darah merah dan memicu pembentukan antibodi. Antibodi autoimun semacam itu (IgG) kemudian bergabung dengan permukaan sel, dan mengakibatkan hemolisis. Infeksi tertentu seperti Mycoplasma pneumoniae dapat menginduksi antibodi yang bereaksi silang dengan antigen sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik. Pada demam reumatik, antibodi terhadap Streptokokus grup A bereaksi silang dengan jaringan jantung. Pada sindrom Good-pasture, antibodi terhadap membran dasar ginjal dan paru-paru mengakibatkan kerusakan berat terhadap selaput melalui aktivitas leukosit yang ditarik oleh komplemen.

Tipe III : Hipersensitivitas Komplek Imun

Bila antibodi bergabung dengan antigen khususnya, maka akan terbentuk kompleks imun. Biasanya kompleks imun dengan cepat dibuang oleh sistem

retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks ini tetap bertahan dan diendapkan dalam jaringan, sehingga mengakibatkan beberapa penyakit. Pada infeksi bakteri atau virus, kompleks imun ini dapat diendapkan pada organ tubuh (misal ginjal) sehingga mengganggu fungsi organ tersebut. Pada penyakit autoimun, antigen ”self” dapat menimbulkan antibodi yang mengikat antigen organ dan diendapkan dalam organ sebagai kompleks, terutama dalam sendi (artritis), ginjal (nefritis), atau pembuluh darah (vaskulitis). Dimanapun diendapkan, komleks imun ini mengaktifkan sistem komplemen, dan sel polimorfonuklear ditarik ke tempat itu, dimana sel-sel ini menyebabkan radang dan cedera jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe III yang khas adalah reaksi penyakit serum.

Penyakit Serum

Setelah injeksi serum asing (atau obat tertentu), antigen perlahan-lahan dibersihkan dari sirkulasi, dan produksi antibodi dimulai. Adanya antigen dan antibodi secara serentak mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang mungkin beredar atau diendapkan di berbagai tempat. Beberapa hari sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing, menimbulkan gejala demam, urtikaria, artralgia, limfadenopati dan splenomegali. Gejala tersebut meningkat sementara antigen dibuang lewat sistem imun, dan gejala mereda bila semua antigen telah dibuang. Meskipun gejala baru tampak setelah beberapa hari, penyakit serum digolongkan sebagai reaksi segera, karena gejala-gejalanya muncul dengan cepat setelah terbentuk kompleks imun.

Penyakit Kompleks Imun

Contoh penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Gejala timbul beberapa minggu setelah

terinfeksi streptokokus β-hemolitik grup A, terutama pada kulit. Kadar komplemen secara khas rendah, menimbulkan dugaan reaksi antigen antibodi. Tumpukan kental dari immunoglobulin dan C3 yang terlihat di sepanjang selaput dasar glomerulus yang diwarnai oleh imunofluoresensi, memberi kesan kompleks antigen-antibodi, namun antigen streptokokus jarang terlihat. Kemungkinan kompleks imun tersebut disaring oleh glomerulus, lalu memfiksasi komplemen , menarik polimorf, dan memulai proses peradangan.

Tipe IV : Hipersensitivitas Berperantara Sel (Lambat)

Hipersensitivitas berperantara sel merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi. Dikatakan respon lambat artinya respon dimulai beberapa jam (atau hari) setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari. Respon ini terutama terdiri dari infiltrasi sel berinti satu dan indurasi jaringan seperti yang terlihat pada uji kulit tuberkulin.

Hipersensitivitas Kontak

Hipersensitivitas berperantara sel ini terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia sederhana (nikel, formaldehida), bahan dari tumbuhan, pemakaian obat topikal (sulfonamida, neomisin), bahan-bahan kosmetik, sabun dan lain sebagainya. Molekul-molekul kecil tersebut memasuki kulit dan kemudian bertindak sebagai hapten melekat pada protein tubuh untuk bertindak sebagai antigen lengkap. Hipersensitivitas berperantara sel pun diinduksi, terutama dalam kulit. Bila kulit kontak lagi dengan zat penyebab, orang yang telah peka itu akan mengalami eritema, gatal-gatal, vesikasi, eksema atau nekrosis kulit dalam 12-48 jam. Pada sensitivitas kontak, sel yang membawa antigen mungkin berupa sel langerhans dalam epidermis.

Hipersensitivitas Tipe-Tuberkulin

Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme yang terdapat dalam banyak penyakit menular dan telah digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Contoh khasnya adalah reaksi tuberkulin. Bila sejumlah kecil tuberkulin disuntikkan ke dalam epidermis pasien yang sebelumnya pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hanya sedikit reaksi segera yang muncul, indurasi dan kemerahan mencapai puncaknya pada 48-72 jam. Uji kulit positif menunjukkan bahwa orang tersebut pernah terinfeksi oleh penyebab, tetapi ini tidak berarti bahwa penyakitnya masih ada. Namun bila uji kulit negatif berubah menjadi positif menunjukkan infeksi baru dan mungkin sekarang masih aktif.

Respon uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis dan memberi sokongan untuk kemoprofilaksis atau kemoterapi. Contoh uji kulit yang lain adalah uji lepromin positif menunjukkan lepra tuberkuloid (dengan imunitas berperantara sel yang aktif), sedang uji lepromin negatif menunjukkan lepra lepromatosa (dengan imunitas berperantara sel yang terganggu). Pada infeksi jamur sistemik (misalnya

koksidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis) uji kulit jenis lambat yang positif terhadap antigen khusus membantu menentukan kontak terhadap organismenya.

DEFISIENSI IMUN

Pertama kali ditemukan oleh Bruton tahun 1953 dimana beliau menemukan hipogamaglobulinemia pada anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan artritis lutut sejak usia 4 tahun disertai dengan otitis media, sepsis pneumokokus dan pneumonia.Analisa elektroforesis protein serum tidak menunjukkan fraksi globulin gama. Anak tersebut tidak menunjukkan respon imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan difteri. Defisiensi itu merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat terjadi pada pria dan wanita.

Kita harus mencurigai adanya defisiensi imun bila ditemukan tanda-tanda adanya peningkatan kerentanan terhadap infeksi rekuren, kronis, oportunistik, dan respon buruk terhadap antibiotika. Manifestasi lain munculnya hepatosplenomegali atau diare. Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir.

Awitan gejala klinis penyakit defisiensi kongenital biasanya jarang di bawah usia 3-4 bulan, karena ada efek proteksi antibodi maternal. Organ tubuh yang sering terkena adalah saluran nafas yang diserang bakteri piogenik atau jamur. Gejala lain yang dapat terjadi pada defisiensi imun adalah ruam kulit, diare, pertumbuhan terganggu, hati dan limpa membesar, abses rekuren atau osteomielitis. Dapat terjadi penurunan resistensi terhadap virus, bila terjadi defisiensi seluler.

DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK A. Defisiensi komplemen

Defisiensi fungsi komplemen berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi dan penyakit autoimun Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Komponen komplemen diperlukan tubuh untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit automun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.

1. Defisiensi Komplemen Kongenital

Defisiensi ini mengakibatkan infeksi berulang dan penyakit kompleks imun seperti lupus eritematosus sistemik dan glomerulonefritis.

a. Defisiensi inhibitor esterase C1 (C1 INH deficiency)

Defisiensi inhibitor esterase C1 berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi sering terjadi. Defek tersebut mengakibatkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan menimbulkan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Kulit, saluran cerna dan nafas dapat terkena dan edem laring yang fatal dapat terjadi.

b. Defisiensi komplemen C2 dan C4

Defisiensi ini menimbulkan penyakit serupa LES, yang disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen.

c. Defisiensi komplemen C3

Defisiensi komplemen C3 dapat menimbulkan beratnya rekurensi infeksi, terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik misal streptokokus dan stafilokokus. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Hal ini disebabkan adanya mutasi pada C3 cDNA.

d. Defisiensi komplemen C5

Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.

e. Defisiensi C6,C7 dan C8

Defisiensi C6,C7 dan C8 menimbulkan kerentanan terhadap septikemia meningokokus dan gonokokus oleh karena lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas Neisseria.

2. Defisiensi komplemen fisiologik

Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan karena kadar C3, C5 dan faktor B yang masih rendah.

3. Defisiensi komplemen didapat

Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen sehingga meningkatkan resiko infeksi salmonella dan pneumokokus.

a. Defisiensi Clq,r,s

Defisiensi ini dilaporkan bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri.

b. Defisiensi C2 dan C4

Defisiensi C2 merupakan defisiensi yang paling sering terjadi. Defisiensi C2 dan C4 dijumpai pada penderita LES.

c. Defisiensi C3

Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.

d. Defisiensi C5-C8

Penderita dengan defisiensi C5-C8 menunjukkan kerentanan yang meningkat terhadap infeksi terutama Neisseria.

e. Defisiensi C9

Defisiensi C9 sangat jarang terjadi. Penderita dengan defisiensi ini tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9.

B. Defisiensi Interferon (IFN) dan Lisozim

Defisiensi IFN kongenital menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal.Sedang defisiensi IFN dan Lisozim didapat biasanya ditemukan pada penderita malnutrisi protein/kalori.

C. Defisiensi Sel NK

Defisiensi sel NK kongenital dilaporkan pada penderita osteoporosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan autoantibodi biasanya meningkat. Defisiensi sel NK didapat biasanya terjadi akibat immunosupresi atau radiasi.

D. Defisiensi Sistem Fagosit

Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun dan

resiko infeksi meningkat bila jumlah sel tersebut turun sampai di bawah 500/mm3. Meskipun defek terutama mengenai fagosit, tetapi defisiensi disini ditekankan pada sel PMN.

a. Chronic Granulomatous Disease (CGD)

Penyakit ini mempunyai ciri-ciri : infeksi rekuren berbagai mikroba, baik gram negatif (Eschericia, Serratia, Klebsiella) maupun gram positif (Stafilokokus). CGD merupakan penyakit sex-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrofil, ketidakmampuan membentuk peroksid hydrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.

b. Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)

Merupakan penyakit immunodefisiensi yang x-linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Penyakit ini diduga akibat defisiensi generasi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Dehydrogenase (NADPH). Gejalanya mulai terlihat pada usia di bawah 2 tahun berupa kerentanan yang tinggi tehadap kuman yang mempunyai virulensi rendah seperti S.epidermidis, Serratia marcescens dan Aspergillus. Kelainan klinis yag ditemukan ialah lmfadenopati, hepatosplenomegali dan kelenjar getah bening yang terus mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik terjadi di kelenjar getah bening, kulit, saluran cerna, hati dan tulang. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase yang dibutuhkan untuk membunuh kuman intraselular.

c. Sindrom Chediak-Higashi

Sindrom Chediak-Higashi sangat jarang ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokokus dan stapilokokus. Prognosis buruk kebanyakan pasien meninggal pada usia anak. Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuannya melepas isinya sehingga proses menelan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada sindrom ini aktivitas sel NK dan enzim lisosom menurun.

d. Sindrom Job

Sindrom Job berupa pilek berulang, abses stafilokokus, eksim kronis dan otitis media. Kemampuan neutrofil untuk menelan makanan tidak menunjukkan kelainan,

Dalam dokumen Imunitas Terhadap Penyakit Infeksi (Halaman 13-37)

Dokumen terkait