• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN

2.4. Imunologi Kanker

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap penyakit disebut sistem imun. Sistem imun dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keutuhan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai sumber baik dari luar dan dalam tubuh.

Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah/nonspesifik/

natural/innate/native/nonadaptif dan didapat/spesifik/adaptif/acquired. Selanjut nya akan disebut sebagai sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pada kanker, fungsi sistem imun adalah sebagai fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya kalau tumor sudah tumbuh. Peran sistem ini disebut immune

surveillance (Abbas et al. 2000; Chiplunkar 2001; Finn 2008; Kresno 2008; Mapara & Sykes 2004). Beberapa bukti yang mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan kanker adalah banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri dari sel T, sel NK dan makrofag; tumor dapat mengalami regresi spontan; tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila fungsi sistem imun tidak efektif; dan tumor seringkali menyebabkan imunosupresi pada penderita (Abbas et al.2000; Kresno 2008). Respon imun terhadap tumor dapat dibagi menjadi imunitas selular dan imunitas humoral (Baratawidjaja & Rengganis 2009a).

2.4.1. Imunitas Seluler

Pada pemeriksaan patologi anatomi tumor, sering ditemukan infiltrat sel- sel yang terdiri dari fagosit mononuclear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel

mast. Meskipun pada beberapa kanker, infiltrat sel monuklear merupakan indikator prognosis yang baik, tetapi pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dan prognosis. Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel kanker yang sudah dapat sensitisasi sebelumnya. Jenis sel efektor yang berperan dalam eliminasi tumor adalah sel T sitotoksik, sel NK dan makrofag.

Sel Limfosit T

Sel limfosit T terdiri dari sel CD4+, CD8+, sel T naïf, NKT dan Tr/Treg. Sel limfosit T naïf yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan antigen presenting cell (APC) atau rangsangan sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+ dengan fungsi efektor yang berbeda (Baratawidjaja & Rengganis 2009c).

Sel CD4+ atau sel Th/T helper disebut juga sel T inducer yang merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap akan diproses dan dipresentasikan makrofag dalam kontek MHC-II ke sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ yang

berproliferasi dan berdiferensiasi berkembang menjadi subset sel Th1 dan Th2 (Baratawidjaja & Rengganis 2009c).

Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti-tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel lain seperti CD8+, sel B, makrofag dan sel NK. Sel T CD4+ menghasilkan IFN-γ untuk merangsang makrofag yang kemudian menghasilkan TNF-α yang bersifat sitotoksik. Sitokin IFN-γ juga akan merangsang sel NK untuk melisiskan tumor. Selain itu sel T CD4+ juga akan menghasilkan IL-2 untuk merangsang pertumbuhan sel T CD8+ yang merupakan efektor dalam mengeliminasi tumor. Sitokin TNF-α dan IFN-γ juga mampu untuk meningkatkan ekspresi molekul MHC-I dan sensitifitas tumor terhadap lisis sel T sitotoksik (Baratawidjaja & Rengganis 2009a; Kresno 2008; Mapara & Sykes 2004).

Sel T CD8+ naïf yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik. Sel T sitotoksik mengenal antigen melalui kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC. Sel T sitotoksik menimbulkan sitolisi melalui perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis), TNF-α dan memacu produksi sitokin sel Th. Pada beberapa percobaan terbukti bahwa sel T sitotoksik menghasilkan respon imun anti-tumor yang efektor in vitro. Slovin et al. (1990) membuktikan bahwa suatu klon limfosit penderita sarcoma mampu melisiskan sel-sel segar sarcoma dan selanjutnya klon limfosit yang sama mampu melisiskan cell line

yang berasal dari sarcoma bersangkutan secara konsisten. Pada banyak penelitian menunjukkan bahwa pada kanker yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu sel T sitotoksik spesifik yang dapat menghancurkan tumor. Sel T sitotoksik biasanya mengenal peptide asal TSA yang diikat MHC I. Limfosit T yang menginfiltrasi ke jaringan tumor juga mengandung sel T sitotoksik yang memiliki kemampuan melisiskan tumor. Sel T sitotoksik tidak selalu efisien, disamping respon sel T sitotoksik tidak selalu terjadi pada tumor. Namun demikian peningkatan respon sel T sitotoksik dapat merupakan cara pendekatan

terapi yang menjanjikan di masa yang akan datang (Abbas et al. 2000; Kresno 2008).

Sel NK

Sel NK adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak tergantung pada MHC. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan reseptor Fc yang dapat mengikat sel tumor yang dilapisi antibodi dan dapat membunuh sel sasaran melalui antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity (ADCC) dan melalui pelepasan protease, perforin, dan granzim. Kemampuan sel NK membunuh sel tumor ditingkatkan oleh sitokin seperti IFN, TNF, IL-2 dan IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktifitas anti-tumor bergantung pada rangsangan yang terjadi bersamaan antara sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut. IFN (α,β,γ) mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenali dan melisiskan sel tumor. Sel NK mungkin berperan terhadap tumor yang sedang tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan antigen virus (Abbas et al.

2000). Sel NK juga berperan dalam mencegah metastasis dengan mengeliminasi sel tumor yang terdapat dalam sirkulasi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian (Kresno 2009).

Makrofag

Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel tumor melalui reseptor IgG yang dapat mengikat antigen tumor. Makrofag dapat memakan dan mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel CD4+ melalui MHC-II dan ke sel CD8+ melalui MHC-I. Jadi makrofag dapat berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap tumor.

2.4.2. Imunitas Humoral

Meskipun imunitas selular pada tumor lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral tetapi tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen atau dengan efektor ADCC. Sel efektor ADCC memiliki reseptor Fc misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan jalan mencegah adesi sel tumor. Pada penderita tumor sering ditemukan komplek imun, namun pada kebanyakan tumor sifatnya masih belum jelas. Antibodi diduga lebih berperan pada sel yang bebas (leukemia, metastasis tumor) dibanding tumor padat. Hal tersebut mungkin disebabkan karena antibodi membentuk komplek imun yang mencegah sitotoksisitas sel T. pada umumnya desktruksi sel tumor lebih efisien bila sel tumor ada dalam suspensi. Adanya destruksi tumor sulit dibuktikan pada tumor yang padat (Baratawidjaja & Rengganis 2009a; Kresno 2008).

Walaupun diyakini sistim imun dapat memberikan respon terhadap pertumbuhan kanker, pada kenyataannya banyak kanker yang tetap bisa tumbuh karena immune surveillance terhadap kanker ini relatif tidak efektif. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor yaitu komponen sistem imun, mekanisme efektor sistem imun dan imunogenitas tumor.

3. HIPOTESIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran

Insiden kanker semakin meningkat dan perlu mendapat perhatian serius dalam pelayanan dan pengembangan obat kimia dan alternatif termasuk herbal. Berdasarkan data RS Kanker Dharmais penyakit kanker terbanyak pada perempuan adalah kanker payudara. Salah satu potensi obat herbal/alternatif bagi penderita kanker adalah propolis yang telah dibuktikan khasiatnya melalui tikus percobaan di Jepang. Selama ini propolis yang paling banyak dipasarkan di Indonesia adalah propolis Brasil. Padahal Indonesia Indonesia memiliki potensi produk propolis lokal karena memiliki hutan tropis terbesar ketiga setelah Brasil dan Zaire (Anonim 2009c; Anonim 2008). Komponen utama propolis Brasil adalah terpenoid dan turunan prenylated (Bankova et al. 2008). Kandungan propolis dipengaruhi oleh jenis lebah, musim, geografi dan habitat terutama jenis pohon di sekitar sarang lebah. Jenis lebah yang diternakkan di Brasil untuk menghasilkan madu dan propolis sama dengan jenis lebah yang diternakkan di Indonesia, yaitu Apis melifera, tetapi berbeda habitatnya. Habitat ternak lebah di Brasil adalah Baccharis dracunculifolia dan Eucaliptus sp., sementara di Indonesia (Jawa Tengah) pohon Calliandra, Pinus spdan Camelia sinensis. Oleh karena itu perbedaan habitat kemungkinan akan berakibat terhadap perbedaan kandungan kimia, kemampuan antioksidan dan efek biologis propolis. Potensi propolis di Indonesia cukup banyak sementara pasar propolis di Indonesia didominasi oleh produk impor, terutama dari Brasil. Sampai saat ini penelitian tentang efikasi propolis pada sel kanker manusia amat terbatas dan belum pernah ada yang menggunakan propolis Indonesia. Mempertimbangkan kandungan propolis yang dipengaruhi oleh jenis lebah, jenis tanaman habitatnya, maka perlu dilakukan standarisasi proses, identifikasi dan standarisasi kandungan bioaktif propolis Indonesia, uji efikasi dan keamanannya. Selain itu efek propolis terhadap sistem imun telah banyak dilakukan namun terbatas pada uji pada binatang. Sejauh pengetahuan peneliti belum ada publikasi penelitian yang

khusus meneliti efek efikasi propolis terutama Propolis Indonesia dalam memodulasi sistem imun pada pasien kanker payudara khususnya mengukur kadar sel CD8+ di darah tepi pasien kanker payudara. Gambar 3 menyajikan kerangka pemikiran penelitian ini dan kerangka operasional dapat dilihat pada Gambar 4.

3.2. Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan, dan tujuan penelitian ini maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut

1. Aktifitas antioksidan propolis Indonesia sama dengan Propolis Brasil. 2. Aktifitas sitotoksik propolis Indonesia sama dengan Propolis Brasil.

3. Pemberian Propolis Indonesia 900 mg per hari selama 21 hari dapat meningkat kan kadar vitamin A, C, E, Zn dan SOD dalam darah pasien kanker lebih baik daripada pasien kontrol.

4. Pemberian Propolis Indonesia 900 mg perhari selama 21 hari dapat meningkatkan kadar sel T CD8+ pada darah pasien kanker payudara lebih baik dari pada pasien kontrol.

JENIS LEBAH HABITAT MUSIM GEOGRAFI

MUTU DAN KHASIAT PROPOLIS

KANDUNGAN

GIZI KOMPONEN LAIN KANDUNGAN BIOAKTIF KADAR Zn, VIT A, C, E DAYA HAMBAT PROLIFERATIF ANTIOKSIDAN PRODUKSI SEL CD8+ MEMBUNUH

SEL KANKER SISTEM IMUN MENINGKAT

Keterangan:

Sel MCF7 : Cell linekanker payudara manusia KGSM : Kromatografi Gas Spektrometri Masa KCKT : Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Gambar 4. Kerangka Operasional

Tahap 2 Uji I Laboratorium

Uji Fitokimia (kualitatif) Uji Komponen Bioaktif

Peningkatan kadar sel T CD8+,SOD ,Vit A,C,E, dan Zn dlm darah pasien kanker payudara

Setiap pengujian pada uji laboratorium dilakukan terhadap propolis Indonesia dan Brasil. Hasilnya dibandingkan. Tahap 3 Uji II.

Uji hewan

Uji Vitamin dan Mineral Uji Antioksidan (DPPH)

Toksisitas/keamanan LD50 Akut

Tahap 4 Uji III. Uji Klinis

Uji Sitotoksik/daya hambat terhdp MCF7 cell

KCKT KGSM

Tahap 1.

Pembuatan Ekstrak Propolis

4. METODE

Dokumen terkait