• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMUNOLOGI SISTEM RESPIRASI

Dalam dokumen Skenario a Blok 14 Tahun 2018 (1) (Halaman 85-93)

Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder)

4. IMUNOLOGI SISTEM RESPIRASI

Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu  bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus

dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan  pembesaran limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat memberikan

gambaran pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi  pleura.

Ca2+  yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada  percampuran antara bakteri dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat  bertahan dan berkembang biak didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M. Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen  protektif antara lain katG  yang memproduksi enzim katalase/peroksidase yang

dapat melindungi M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV  yang merupakan gen “induk” dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu proses pembentukan protein untuk multiplikasi.

Makrofag yang terinfek si mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-1 serta sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai  Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity.  Pada tahapan ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayed-type-hypersensitivity  terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan  bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes

tuberkulin.

Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti  banyak dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex  paru (fokus Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.

yang dapat menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara.

Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10%  pasien dengan imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis.

Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka waktu  beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering terjadi reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama pada apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas  pada parenkim paru.

Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka semakin infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan tahan asam. M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M. Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.

a. Imunitas Mukosa

Permukaan mukosa terdiri atas saluran pernapasan, saluran gastrointestinal, dan saluran urogenital, mewakili pintu masuk utama dari  patogen, terutama bakteri dan virus. Patogen bereplikasi dan menyebabkan  penyakit pada daerah awal mukosa atau menginvasi jaringan tetangga dan aliran darah, menginduksi penyakit sistemik lokal (Kaul and Ogra, 1998). Selama respirasi, aliran udara terekspose terus-menerus oleh mikroorganisme airborne dan antigen dari lingkungan. Oleh karena itu, permukaan mukosa harus memiliki sistem pertahanan non spesifik yang sama kuatnya dengan mekanisme pertahanan spesifik untuk melindungi saluran pernapasan dari infeksi.

b. Imunitas Bawaan

Pertahanan bawaan terdiri dari beberapa komponen fisik, seluler, dan antimikroba. Mekanisme pertahanan mencegah partikel-partikel antigen dan mikroorganisme memasuki paru –  paru. Mekanisme ini dimulai dari hidung, yang fungsinya sebaagai penyaring dengan menangkap partikel besar oleh fimbrae atau rambut hidung. Partikel yang lebih kecil melewati saringan ini, lalu terhirup dan

 partikel atau mikroorganisme yang melewati sistem pertahanan ini berkontak dengan mediator yang ada di mukus, seperti lisozim, laktoferin, collectin, dan defensin, yang dihasilkan oleh sel  –   sel pada saluran pernapasan. Produksi dari molekul –  molekul ini dapat melisiskan patogen atau menghancurkannya melalui opsonisasi atau dengan mengerahkan sel  –  sel inflamasi (Boyton and Openshaw, 2002). Sebagai tambahan, mekanisme pertahanan lain yang penting adalah  pencernaan mikroorganisme oleh sel  –   sel fagosit seperti makrofag dan sel dendrit. Aktivitas dari sel  –   sel fagosit dan mikrobicidal penting untuk menjaga  paru –  paru dalam kondisi bersih dan steril.

c. Imunitas Adaptif

Sistem imun di saluran pernapasan atas dan bawah terdiri dari (Davis, 2001):

Epitel yang mengandung sel  –  sel epitel dan jaringan ikat di bawahnya yang mengandung sel –  sel imunokompeten.

MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissue) yang termasuk juga NALT (Nose Associated Lymphoid Tissue), LALT (Larynx Associated Lymphoid Tissue), dan BALT (Bronchus Associated Lymphoid Tissue).

Limfonodus yang mendrainase saluran pernapasan.

Sistem imun mukosa dapat dibagi menjadi daerah induktif, yang merupakan MALT dan antigen  –   antigen dari permukaan mukosa menggambarkan limfosit B dan T, dengan demikoan meninisiasi respon imun; dan daerah efektor, terutama limfosit setelah ekstravasasi dan diferensiasi yang mendekas fungsinya (Brandtzaeg and Pabst, 2004; Kiyono and Fukuyama, 2004). Inisiasi respon imun antigen spesifik terjadi melalui pintu khusus yang terdiri dari sel M yan terletak di epitel diatas folikel MALT. Folikel –  folikel ini mengandung semua sel imunokompeten, seperti sel B, sel T, dan APC yang dibutuhkan untuk generasi respon imun (Brandtzaeg and Pabst, 2004).

Sel M terspesialisasi untuk pengambilan luminal dan transpor antigen. Dari transpor antigen dari daerah luminal, kehadiran antigen dibutuhkan untuk aktivasi sel T. APC pada paru –   paru digambarkan oleh submukosa dan sel dendritik intersititial, dan makrofag alveolar. Makrofag alveolar 85% terdapat di sel  –   sel alveoli, dimana jumlah sel  –   sel densrit tidak sampai 1% dalam ruang  paru  –   paru. Pada orang normal, makrofag alveolar dilaporkan memiliki APC yang lebih rendah dibandingkan dengan sel dendrit. Karena makrofag alveolar

Meskipun demikian, ketika masuknya partikel asing atau mikroorganisme, makrofag alveolar akan berpengaruh pada derajat aktivitas atau maturasi dari sel dendrit dengan melepaskan sitokin (Nicod et al ., 2000). Sel dendrit terletak pada batas epitel dipercaya sebagai APC yang poten, mendorong  perkembangan sel T dan berhubungan erat dengan inisiasi dan potensasi respon

imun(Ogra, 2003). Sel dendrit menangkap antigen, migrasi pada drainase organ limfoid lokal dan setelah proses maturasi, memilih antigen  – limfosit spesifik dimana mereka menyajikan antigen yang telah diproses, dengan demikian menginisiasi respon imun adaptif (Banchereau and Steinman, 1998; Banchereau et al ., 2000).

Setelah menjadi sel efektor-memori, sel limfosit B dan T bermigrasi dari MALT dan limfonodus regional ke darah perifer untuk ekstravasasi  berikutnya pada daerah efektor mukosa. Proses ini diarahkan oleh profil lokal molekul adhesi vaskular dan chamokines, terutama the mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1) (Brandtzaeg and Pabst, 2004). Diantara sel T yang berpatisipasi dalam respon imun adalah CD4+, CD8+ dan sel γδ+ T. Sel T spesifik-antigen adalah efektor dari fungsi imun, melalui lisis dari sel yang terinfeksi atau melalui sekresi sel sitokin T1 helper atau Th2. Perbedaan  perbandingan atau polarisasi dari sitokin ini memiliki kemampuan untuk memodulasi respon imun terhadap infeksi. Sebagai tambahan, sel T CD4+ membantu sel B untuk berkembang menuju sel plasma imunoglobulin (Ig) A (McGhee and Kiyono, 1999).

d. IgA pada Imunitas Mukosa

IgA merupakan isotop primer Ig diinduksi pada daerah mukosa (Aittoniemi et al . 1999; Brandtzaeg, 1989dan diperkirakan memediasi fungsi  pertahanan pada daerah tersebut (Lamm, 1997; Mazanec et al ., 1993).Polimer IgA (PigA) mengandung terutama 2 atau 4 monomer IgA yang terpolimerisasi melalui rantai J, yang ditambahkan pada molekul Ig tepat sebelum sekresi oleh sel  plasma (Johansen et al ., 2000)

Setelah sekresi oleh sel plasma, IgA mukosa ditransportasikan dari lapisan epitel baso-lateral ke apikal (luminal). Transpor IgA ke dalam lumen dimediasi oleh reseprot polimer Ig (pIgR), ang diekspresikan pada daerah baso-lateral dari sel epitel yang melapisi permukaan mukosa(Mostov, 1994). Selama transpor, pIgR terbelah secara proteolitik dan porsi molekul ekstraselular,

e. Fungsi IgA

IgA memilipi peran penting dalam imunitas mukosa, mencegah mikroorganisme dan protein asing dari penetrasi permukaan mukosa (Mestecky et al ., 1999). IgA juga menetralisasi toksin dan organisme infeksi. sIgA telah dimaksudkan untuk bekerja pada level anatomi yang berbeda dalam hubungannya dengan epitelium mukosa. Pada daerah luminal, pIgA mengadapi antigen dengan  jaringan utama menghasilkan kompleks imun, yang diproses bersama jalur eksretori dan disekresikan secretions (Kaetzel et al., 1991; Stokes et al ., 1975). Selama transpor melalui sel epitel pelapis, setelah pIgR-mediated endocytosis, IgA dapat berinteraksi dengan patogen intraselular, seperti virus, memblok replikasi mereka (Burns et al ., 1996; Mazanec et al ., 1992; Mazanec et al ., 1995). Identifikasi dan karakterisasi dari reseptor leukosit – Fc untuk IgA (FcαR, CD89)  pada neutrofil, eosinofil, dan monosit manisa telas jelas mendemonstrasikan peran

aktif IgA pada imunitas mukosa.

f. Respon Imun Bawaan terhadap TB

Penelitian imunologi dan genetik menyimpulkan bahwa imunitas  bawaan relevan dengan pertahanan melawan  M.tuberculosis.  Pengambilan  M.tuberculosis oleh makrofag alveolar menunjukkan langkah pertama pertahanan  bawaan melawan TB. Interaksi ini dimediasi oleh reseptor selular seperti reseptor

komplemen, reseptor manosa, reseptor surfaktan, dan reseptor scavenger (Chan et al ., 1992; Downing et al ., 1995; Flesch and Kaufmann, 1988; Gaynor et al ., 1995; Schlesinger et al ., 1993). Baru  –   baru ini, perhatian difokuskan pada peran dari toll-like receptor (TLR) dalam memidiasi pengambilan mycobakteria oleh makrofa. Secara spesifik, peran dari TLR2 dan TLR4 dalam mengenali mycobacteria dan mendorong respon antimikroba.

Immune response to TB. Aktivasi TLR oleh dinding sel  M.tuberculosis dengan kandungan lipoprotein menginduksi produksi dari IL-12, sitokin penting yang merespon dalam melawan TB(Brightbill et al ., 1999). TLR yang memediasi  produksi IL-12 juga menghasilkan peningkatan produksi nitrit oksida sintetase

dan NO, yang penting untuk membunuh mycobacteria intracellular.

Selain itu, TLR berkontribusi dengan mendeteksi mycobacteria  berkaitan dengan pola molekul dan memiasi sekresi molekul efektor

g. Respon Imun Spesifik terhadap TB

Respon Imun spesifik terhadap M.tuberculosis pada paru kompleks dan melibatkan mekanisme multipel. Sel T dipercaya penting dalam respon imun  protektif melawan TB, dan interkasi sel T-makrofag kritis sebagai kontrol

terhadap infeksi. Produksi dari sitokin inflamasi dan chemokines, diinduksi oleh  pencernaan  M.tuberculosis  oleh makrofag alveolar (Means et  al ., 1999),

membawa pada migrasi monosit derivat makrofag dan sel dendritik ke daerah yang terinfeksi. Sel dendrtik yang menelan mycobacteria, deasa dan bermigrasi ke limfonodus regional(Bodnar et al ., 2001; Henderson et al ., 1997; Hertz et al ., 2001), dimana sel T diutamakan untuk melawasn antigen mycobacterial. Sel T utama meluas dan bermigrasi ke daerah terinfeksi pada paru  –  paru. Migrasi dari makrofag dan sel T membentuk granuloma, yang terdiri dari sel  –  sel seperti sel B, sel dendritik, sel endotelial, fibroblas, dan mungkin sel stroma (Gonzalez-Juarrero et al ., 2001).

Fungsi granuloma adalah sebagai imunitas yang memfasilitasi interaksi antara sel T dan makrofag, menyediakan rangka pada sel, granuloma menutup mycobacteria dari penyebaran ke daerah paru lainnya, membatasi penyebaran infeksi. Walaupun begitu, berdasarkan komposisi sel dan profil sekresi sitokin dan kemokin, granuloma juga dihubungkan dengan patologi atau kurang adekuatnya multiplikasi basil (Saunders and Cooper, 2000).

Sel T CD4+

Sel T CD4+ memainkan peran utama dalam respon imun melawan  M. tuberculosis. Peptida antigen dari mycobacteria, berdegradasi dalam  phagolysosomal dan kompleks dengan molekul MHC kelas II dikenali oleh sel T CD4+ yang akan mengaktivasi sel T CD4+ (Davis and Bjorkman, 1988). Fungsi utama sel T CD4+ dalam imunitas TB diperkirakan dengan memproduksi sitokin, khususnya IFN-γ, yang akut untuk aktivasi makrofag dan induksi selanjutnya dari mekanisme mikrobisidal (Flesch and Kaufmann, 1990). Peran akut dari IFN-γ dalam mengontrol infeksi mycobacterial telah didemonstrasikan pada model hewan. Tikus dengan defisiensi IFN-γ or in IL-12, sitokin yang menginduksi  produksi IFN-γ secara akut, lebih rentan terhadap M. tuberculosis (Cooper et al .,

1993; Cooper et al ., 1997). Penelitian terhadap manusia menunjukkan, pasien dengan defisiensi reseptor IFN-γ menunjukkan penyebaran infeksi M.bovis BCG dan/atau mycobacteri dari lingkungan, yang berujung pada kematian sekitar

Sel T CD4+ juga berkontibusi dalam mengontrol infeksi infeksi mycobacterium melalui mekanisme independent IFN-γ. Bukti yang lebih jauh,  pentingnya sel T CD4+ dalam mengontrol TB pada manusia, yaitu studi yang dihubungkan dengan HIV, deplesi sel T CD4+ pada infeksi meningkatkan kerentanan pada TB primer dan reaktivasi TB secara dramatis(Havlir and Barnes, 1999; Jones et al ., 1993).

Sel T CD8+

Sel T CD8+ juga berpartisipasi dalam respon mun antimycobacterium. Berkebalikan dari epitop peptida yang ditunjukkan oleh molekul MHC, molekul CD1 menunjukkan lipid atau glikolipid pada sel T(Porcelli and Modlin, 1999). Sel T CD8+ memiliki dua fungsi utama dalam imunitas TB, melisiskan sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin, terutama IFN-γ dengan waktu produksi yang lebih lambat dan terbatas.

Makrofag

Makrofag dilaporkan memiliki peran yang sangat penting dalam respon imun adaptif dalam melawan mycobacterium dengan memproduksi sitokin seperti TNF-α dan IL-1β. TNF-α dan IL-1β bersama dengan IFN-γ, diproduksi oleh sel T menstimulasi produksi NO dalam makrofag. Produksi NO dan reaktif nitrogen oleh makrofag diperkirakan sebuah mekanisme perlawanan efektif terhadap  patogen mikroba intraselular seperti mycobacterium (Chan et al ., 1992; Denis,

1991). Sel B

Peran sel B dan antibodi lebih kurang dimengerti. Penelitian menujukkan bahwa peran sel B adalah sebagai APC dan formasi granuloma, atau  peran dala regulasi kemokin dan adesi molekul yang mengerahkan neutofil,

Dalam dokumen Skenario a Blok 14 Tahun 2018 (1) (Halaman 85-93)

Dokumen terkait