• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Indeks Massa Tubuh

Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh adalah berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan seseorang dalam meter yang dikuadratkan. Meskipun IMT bukan digunakan untuk mengukur kadar lemak tubuh secara langsung, menurut hasil penelitian, IMT berkorelasi dengan hasil pengukuran lemak tubuh dengan cara pengukuran ketebalan kulit, impedansi bioelektrik, densitometri (pengukuran berat badan dalam air), dan Dual Energy X- Ray Absorptiometry (DXA). IMT merupakan metode skrining namun bukan diagnosis yang mudah dilakukan dan tidak mahal (CDC, 2016).

2.2.2 Interpretasi Indeks Massa Tubuh

1. Pada dewasa di atas umur 20 tahun, interpretasi IMT menggunakan kategori berat badan standar (WHO, 2017).

Tabel 2.4 Klasifikasi IMT menurut World Health Organization (2017).

IMT Status Berat Badan

<18,5 Underweight

18,5 – 24,9 Berat badan normal

25,0 – 29,9 Pre-obesitas

30,0 – 34,9 Obesitas kelas I

35,0 – 39,9 Obesitas kelas II

>40,0 Obesitas kelas III

Selain interpretasi menurut WHO, terdapat pula klasifikasi IMT menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) yang disesuaikan untuk orang Indonesia, yaitu (Depkes RI, 2011):

Tabel 2.5 Klasifikasi IMT menurut Depkes RI (2011)

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

2. Perhitungan Indeks Massa Tubuh untuk menentukan status berat badan juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Selama masa anak-anak dan remaja, rasio berat badan dan tinggi badan bervariasi tergantung umur dan jenis kelamin, sehingga nilai patokan berbeda-beda tergantung umur dan jenis kelamin. Pada anak-anak, IMT dihitung dengan rumus yang sama dengan dewasa lalu IMT yang diperoleh dibandingkan dengan persentil atau Z-skor. Menurut WHO, untuk anak-anak dan remaja berumur 5 – 19 tahun (WHO, 2017):

a. Overweight didefinisikan sebagai IMT umur > +1 SD b. Obesitas didefinisikan sebagai IMT umur> +2 SD.

c. Kurus didefinisikan sebagai IMT < -2 SD d. Amat kurus didefinisikan sebagai IMT < -3 SD

3. Perhitungan Indeks Massa Tubuh untuk menentukan status berat dapat menggunakan kurva Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Caranya yaitu dengan mengukur berat dan tinggi badan anak, lalu menghitung IMT dengan menggunakan rumus IMT. Setelah IMT diperoleh, IMT tersebut lalu diproyeksikan ke grafik IMT sesuai umur milik CDC.

Persentil pada grafik tersebut menggambarkan IMT anak tersebut relatif terhadap anak lain dengan jenis kelamin dan umur yang sama (CDC, 2016).

Tabel 2.6 Klasifikasi IMT menurut umur pada grafik CDC (2016).

Status Berat Badan Range Persentil

Underweight < Persentil ke-5

Normal Persentil ke-5 - < Persentil ke-85

Overweight Persentil ke-85 - < Persentil ke-95

Obesitas ≥ Persentil ke-95

Gambar 2.3 Grafik IMT sesuai umur menurut CDC (2016).

2.3 HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS

Obesitas, yaitu akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang menjadi risiko gangguan kesehatan (CDC, 2016), umumnya terjadi disertai dengan hiperandrogen perifer dan hiperandrogen perifer sendiri dapat menyebabkan peningkatan produksi sebum dan terjadinya akne vulgaris berat (Sihotang dan Wasitaatmaja, 2015). Untuk menilai obesitas, salah satu cara paling akurat adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Androgen utama yang berperan pada pria adalah testosteron sedangkan pada wanita dehidroepiandrosteron (DHEA) yang berperan dalam kontrol androgen dari kelenjar sebasea (Oberemok dan Shalita, 2002).

Obesitas atau overweight dapat menyebakan hiperandrogen perifer dengan cara menyebabkan hiperinsulinemia terlebih dahulu, dan hiperinsulinemia akan menyebabkan hiperandrogen. Terdapat dua mekanisme obesitas atau overweight dapat menyebabkan hiperinsulinemia (Mantzoros, 2006):

1. Peningkatan lemak pada anggota tubuh bagian atas dapat mengurani klirens insulin secara signifikan. Selain itu, asam lemak bebas/free fatty acids dan TNF-α juga dapat menyebabkan resistensi insulin. Asam lemak bebas yang dilepas dari jaringan adiposa lewat jalur lipolisis ke hepar akan mengurangi hepatic insulin extraction, yaitu proporsi insulin hasil sekresi pankreas yang dikeluarkan oleh hepar sebelum masuk ke sirkulasi sistemik (Finucane, 2014) dan meningkatkan glukoneogenesis, sehingga terjadilah hiperinsulinemia. Konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat juga memicu resistansi insulin perifer dengan cara mengurangi uptake glukosa oleh otot skeletal (Mantzoros, 2006).

2. TNF-α yang dihasilkan jaringan adiposa akan menimbulkan efek hiperinsulin dengan menstimulasi fosforilasi residu serin oleh Insulin Receptor Subtrate-1 (IRS-1) sehingga menghambat aktivitas tirosin kinase reseptor insulin (Mantzoros, 2006).

Selanjutnya, hiperinsulinemia akan menyebabkan hiperandrogen dengan empat mekanisme berikut:

1. Keberadaan insulin dalam darah akan menekan sekresi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) oleh hepar. Akibatnya, terjadi peningkatan testosteron bebas dalam sirkulasi darah karena kurangnya ikatan testosteron dengan SHBG sehingga terjadilah hiperandrogenisme (Baptiste, 2010).

2. Insulin dalam konsentrasi tinggi akan meniru kerja dari Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dan berikatan dengan Insulin-like Growth Factor-1 Binding Proteins (IGFBP-1). Namun, hiperinsulinemia akan menekan produksi dari IGFBP-1, dan rendahnya kadar IGFBP-1 akan menyebabkan tingginya kadar IGF bebas intraovarium. Tingginya kadar

IGF bebas intraovarium ini akan menstimulasi steroidogenesis (Mantzoros, 2006).

3. Hiperinsulinemia akan meningkatkan produksi Luteinizing Hormone (LH) dan meningkatkan produksi androgen (Rotstein, 2010).

4. Insulin akan meningkatkan aktivitas 17α-hidroksilase di sel teka dan meningkatkan produksi androstenedion dan testosteron (Rotstein, 2010).

Selain itu, obesitas juga berperan langsung dalam terjadinya hiperandrogenisme. Metabolisme kortisol pada orang yang obesitas dipengaruhi oleh aktivitas abnormal dari 11β-hidroksisteroid dehidrogenase (Mantzoros, 2006). Peningkatan klirens kortisol oleh gangguan ini akan menyebabkan peningkatan hormon adrenokortikotropik dan dengan demikian, terjadilah peningkatan androgen adrenal (Svendsen et al., 2009).

Gambar 2.4 Hubungan obesitas dengan hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme (Mantzoros, 2006).

Indeks Massa

Hiperproliferasi folikel Sebum P.acnes Inflamasi

2.5 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Variabel Independen Variabel dependen

Gambar 2.6 Kerangka konsep penelitian

2.6 HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara IMT terhadap kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

Akne vulgaris Indeks Massa Tubuh

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian ini adalah studi analitik. Pendekatan dilakukan dengan metode cross sectional.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 hingga jumlah sampel terpenuhi di SMP Bodhicitta, Medan.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1 Populasi

Siswa/i SMP Bodhicitta yang menderita akne vulgaris dan yang tidak menderita akne vulgaris.

3.3.2 Populasi Terjangkau

Siswa/i SMP Bodchitta kelas VII, VIII, dan IX.

3.3.3 Sampel

Siswa/i yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

A. Kriteria Inklusi

a. Siswa/i SMP Bodhicitta penderita akne vulgaris dengan semua tingkat keparahan maupun tanpa keluhan akne vulgaris.

b. Siswa/i SMP Bodhicitta kelas VI, VIII, dan IX yang berumur 12 – 15 tahun.

c. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent.

B. Kriteria Eksklusi

a. Sedang dalam pengobatan akne vulgaris (isotretinoin oral, antibiotik oral, antibiotik topikal, dan keratolitik).

b. Tidak mengisi data kuesioner dengan lengkap.

3.3.4 Besar Sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

n =

n

=

n = n = 49 Keterangan:

 n = jumlah sampel

 Z ½ α = nilai pada distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu (untuk α 0,05 nilainya1,96)

 P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari (dari pustaka)

 Q = 1-P

 d = presisi yang diinginkan = 0,1

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini minimal 49 orang dan dibulatkan menjadi 50 orang.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan metode non-probability sampling yaitu consecutive sampling dimana semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.

3.4.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang berasal dari sampel penelitian.

Pengumpulan data berat badan dilakukan dengan menggunakan instrumen timbangan seca dengan ketelitian 0,1 kg, pengumpulan data tinggi badan dilakukan dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm.

Selanjutnya, IMT yang diperoleh akan diproyeksikan ke kurva pertumbuhan IMT menurut umur dari CDC.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak sekolah mengenai jumlah siswa/i yang aktif bersekolah di SMP Bodhicitta.

3.5 IDENTIFIKASI VARIABEL 3.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah IMT.

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah akne vulgaris.

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

1. Indeks Massa Tubuh adalah berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan seseorang dalam meter yang dikuadratkan.

Cara Ukur : Mengukur berat badan dalam kilogram dan tinggi badan dalam meter, lalu menghitung IMT dengan rumus IMT

Alat Ukur : Timbangan seca dengan ketelitian 0,1 kg,

microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, dan kurva pertumbuhan IMT menurut umur dari CDC.

Hasil Ukur : Berat badan kurang hingga normal (underweight dan normal) dan berat badan berlebih (overweight dan obesitas).

Skala pengukuran : Ordinal

2. Akne vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Pengukuran akne vulgaris dilakukan oleh peneliti setelah terlebih dahulu dilatih oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.

Cara Ukur : Wawancara dan observasi

Alat Ukur : Kuesioner dan pemeriksaan fisik lokalisata Hasil Ukur : Menderita dan tidak menderita.

Skala pengukuran : Nominal

3. Derajat keparahan akne vulgaris dinilai dengan sistem skoring Global Acne Grading System.

Cara Ukur : Observasi

Alat Ukur : Pemeriksaan fisik lokalisata

Hasil Ukur : Akne ringan (skor 1-18), sedang (skor 19-30), dan berat (skor 31-38)

Skala pengukuran : Ordinal 3.7 CARA KERJA

1. Pengukuran tinggi badan

a. Meminta anak untuk melepaskan alas kaki yaitu sepatu

b. Meminta anak untuk berdiri membelakangi microtoise dengan posisi badan tegak

c. Menarik microtoise hingga bagian vertex kepala anak d. Membaca angka yang tertera pada microtoise

2. Pengukuran berat badan

a. Meminta anak untuk melepas sepatu, melepaskan jam tangan, jaket, tas, dan mengeluarkan barang-barang yang ada di kantong

b. Meminta anak untuk menaiki timbangan c. Melihat angka yang tertera pada timbangan

3. Mengukur IMT dan memproyeksikan IMT ke kurva CDC menurut umur a. Membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam

meter yang dikuadratkan

b. Memproyeksikan IMT hasil perhitungan ke kurva CDC sesuai umur sampel

c. Melihat posisi proyeksi IMT pada kurva dan membaca hasilnya sesuai tabel. Bodhicitta untuk mengetahui jumlah siswa/i yang dapat menjadi sampel penelitian sesuai kriteria inklusi. Untuk melakukan survei awal, peneliti meminta surat permohonan survei awal dari MEU FK USU dan meminta izin kepada Kepala SMP Bodhicitta, Drs. Alfian Salim.

3.8.2 Alur Penelitian

1. Pengurusan ethical clearance

Untuk mengurus ethical clearance, terdapat beberapa dokumen yang harus dilengkapi antara lain proposal penelitian, formulir isian oleh peneliti, lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian, lembar persetujuan subjek (informed consent), curriculum vitae peneliti, lembar pengesahan, dan rincian biaya yang diserahkan kepada komisi etik FK USU.

Setelah penyerahan dokumen kepada komisi etik, peneliti menunggu hingga keluarnya surat ethical clearance oleh komisi etik FK USU. Pada tanggal 28 Juli 2017, terbitlah ethical clearance dengan nomor 17/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2017.

2. Pengurusan surat izin penelitian

Setelah ethical clearance terbit, maka dilakukan pengurusan surat izin penelitian kepada bagian MEU FK USU. Pada tanggal 22 Agustus 2017, surat izin penelitian ke SMP Bodhicitta diterbitkan MEU FK USU.

3. Penelitian di SMP Bodhicitta

Setelah surat izin penelitian terbit, dilakukan kunjungan ke SMP Bodhicitta dan bertemu dengan Kepala SMP Bodhicitta untuk menyerahkan surat izin penelitian dari FK USU. Setelah memperoleh izin dari Kepala SMP Bodhicitta untuk melakukan penelitian pada siswa/i SMP Bodhicitta, peneliti mengumpulkan data primer dari sampel yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, dan penilaian lesi akne vulgaris. Setelah berat badan dan tinggi badan diperoleh, selanjutnya dilakukan penghitungan IMT dengan membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m) yang dikuadratkan, lalu diproyeksikan ke grafik CDC sesuai umur.

4. Analisis hubungan IMT dengan akne vulgaris

Setelah data IMT dan status akne vulgaris (menderita dan tidak menderita) diperoleh, dilakukan analisis hubungan dengan Fisher’s exact test pada SPSS.

Surat izin penelitian terbit

Penelitian Sampel yang memenuhi kriteria inklusi:

a. Siswa/i SMP Bodhicitta yang menderita maupun yang tidak menderita akne vulgaris

b. Berusia 12 – 15 tahun

c. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

Pengukuran berat badan (kg)

Pengukuran tinggi badan (m)

Penilaian lesi akne vulgaris

Tabel 3.1 Alur penelitian

Pengurusan surat izin penelitian Ethical clearance terbit Pengurusan ethical clearance Survei awal ke SMP Bodhicitta

IMT (kg/m2) Status akne

vulgaris

Analisis hubungan IMT dan akne vulgaris dengan Fisher’s exact test pada SPSS

3.9 METODE ANALISIS DATA

Data yang telah dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan software SPSS. Selanjutnya, dilakukan analisis data yaitu analisis univariat dan bivariat.

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Data kategorik seperti distribusi IMT dan angka kejadian akne vulgaris akan disajikan dalam jumlah dan persentase.

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menyatakan analisis terhadap dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel tergantung. Untuk dua tipe data nominal seperti IMT dan akne vulgaris, uji hipotesis yang digunakan adalah Chi square. Apabila syarat Chi square tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternatif yaitu uji mutlak Fisher (Tumbelaka et al., 2011).

3.10 ETIKA PENELITIAN

Untuk melaksanakan penelitian ini, dilakukan pengajuan ethical clearance kepada Komisi Etik FK USU. Pada tanggal 28 Juli 2017, terbitlah ethical clearance dengan nomor 17/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2017

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di SMP Bodhicitta yang berlokasi di Jl. Selam I No.

39 – 41, Kelurahan Tegal Sari Mandala I, Kecamatan Medan Denai, Medan, Indonesia.

Sampel pada penelitian ini adalah siswa/i SMP Bodhicitta kelas VII, VIII, dan IX. Jumlah sampel adalah 50 orang siswa/i yang dipilih dengan teknik consecutive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi. Semua data responden merupakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber secara metode kuesioner dan penilaian langsung tinggi badan, berat badan, dan lesi akne vulgaris. Karakteristik sampel pada penelitian ini dideskripsikan berdasarkan kelas, umur, jenis kelamin, IMT, kejadian akne vulgaris, dan derajat keparahan akne vulgaris.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel.

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

Kelas VII 12 24

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat dari 50 orang sampel penelitian, terdapat 13 siswa dari kelas VII (26%), 12 siswa dari kelas VIII (24%), dan 25 siswa dari kelas IX (50%).

Berdasarkan umur, terdapat 6 sampel (12%) berumur 12 tahun, 13 sampel (26%) berumur 13 tahun, 26 sampel (52%) berumur 14 tahun, dan 6 sampel (12%)

berumur 15 tahun. Rata-rata umur sampel adalah 13,66 dengan median 14 tahun.

Umur termuda adalah 12 tahun, sementara umur tertua adalah 15 tahun. Umur yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah 14 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 28 sampel penelitian (44%) dengan jenis kelamin perempuan dan 22 sampel penelitian dengan jenis kelamin laki-laki (56%).

Berdasarkan IMT, terdapat 41 orang sampel dengan berat badan kurang hingga normal (82%) dan 9 sampel dengan berat badan berlebih (18%).

Distribusi sampel berdasarkan kejadian akne vulgaris dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan kejadian akne vulgaris.

Kejadian Akne vulgaris Frekuensi Persentase (%)

Menderita akne vulgaris 39 78

Tidak menderita akne vulgaris 11 22

Total 50 100

Dari penelitian terhadap 50 orang sampel, diperoleh 39 sampel (78%) yang menderita akne vulgaris dan 11 sampel (22%) yang tidak menderita akne vulgaris.

Prevalensi akne vulgaris sebesar 78% sesuai dengan sebuah penelitian tentang prevalensi akne vulgaris pada populasi remaja muda yang diperkirakan sebesar 79% - 95% (Munawar et al., 2009).

Tabel 4.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan derajat keparahan akne vulgaris.

Derajat Keparahan Frekuensi Persentase (%)

Ringan 35 89,7

Sedang 4 10,3

Berat 0 0

Total 39 100

Berdasarkan tabel 4.3, derajat keparahan akne vulgaris dengan jumlah terbesar adalah ringan (89,7%), diikuti oleh tingkat keparahan sedang (10,3%). Sementara itu, akne vulgaris tingkat keparahan berat tidak ditemukan pada siswa/i SMP Bodhicitta. Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh oleh Zohra et al. (2017)

pada pasien Departemen Kulit Kelamin Universitas Kedokteran Bangabandhu Sheikh Mujib, ditemukan bahwa tingkat keparahan sedang yang tersering ditemukan (41,67%) sementara tingkat keparahan ringan sebesar 29,17%.

Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan perbedaan kelompok umur. Pada penelitian Zohra et al., rentang umur subjek penelitian adalah umur 11 – 40 tahun, sementara pada penelitian ini rentang umur adalah dari umur 12 – 15 tahun. Pada penelitian oleh Bagatin (2014), prevalensi akne vulgaris cenderung meningkat seiring umur hingga umur 19 tahun sebelum terjadi penurunan angka kejadian.

Akne vulgaris persisten juga ditemukan pada 40% - 54% sampel di atas umur 25 tahun. Selain itu, pada penelitian ini, peneliti tidak menilai akne vulgaris yang terdapat pada punggung dan dada karena penelitian dilakukan di sekolah dan sulitnya memperoleh informed consent dari murid bila memerlukan penilaian lesi pada punggung dan dada. Hal ini juga dapat memengaruhi hasil penilaian derajat keparahan akne vulgaris.

Selanjutnya, kejadian akne vulgaris dianalisis berdasarkan umur dan jenis kelamin dan karakteristik IMT juga dianalisis berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel 4.4 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan umur.

Umur

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

n % n % n % dari 50 siswa/i yang menderita akne vulgaris. Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat, prevalensi akne vulgaris adalah sebesar 85% pada kelompok umur 12 – 24 tahun (Bhate dan Williams, 2013). Umur dengan kejadian akne vulgaris terbesar adalah umur 14 tahun (42%), diikuti oleh umur 13 tahun (20%), umur 15 tahun (10%), dan umur dengan kejadian akne vulgaris terendah adalah umur 12

tahun (6%). Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian di Australia, dimana kejadian akne vulgaris terendah adalah pada kelompok umur 10 – 12 tahun yaitu 27,7%

sementara angka kejadian akne vulgaris tertinggi adalah pada kelompok umur 16 – 18 tahun yaitu sebesar 93,3%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi akne vulgaris meningkat seiring umur, dan pada penelitian pada remaja di Sao Paulo, Brazil, semua remaja di atas umur 14 tahun memiliki akne vulgaris (Bagatin, 2014). Peningkatan prevalensi akne vulgaris seiring umur kemungkinan menggambarkan onset pubertas (Semyonov, 2010).

Tabel 4.5 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

n % n % n %

Perempuan 22 44 6 12 28 56

Laki-laki 17 34 5 10 22 44

Total 39 78 11 22 50 100

Menurut tabel 4.5, jenis kelamin yang terbanyak menderita akne vulgaris adalah perempuan yaitu sebesar 44%, sementara laki-laki yang menderita akne vulgaris adalah sebesar 34%. Ini menunjukkan bahwa remaja perempuan cenderung lebih cepat mengalami akne vulgaris dibandingkan remaja laki-laki, sebab rentang umur penelitian ini adalah pada siswa/i dari umur 12 – 15 tahun.

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Bagatin (2014), dimana pada penelitian tersebut ternyata 61% remaja perempuan memiliki akne vulgaris pada umur 12 tahun dan mencapai puncak kejadian pada umur 16 tahun dengan angka kejadian sebesar 83%. Sementara pada remaja laki-laki, prevalensi akne vulgaris pada umur 12 tahun hanyalah 40%, namun angka ini melonjak menjadi 95% pada umur 16 tahun. Penyebab tingginya angka kejadian akne vulgaris pada perempuan dapat dikaitkan dengan perubahan hormon saat menstruasi atau lebih tingginya angka stress psikologis pada perempuan (El-Hamd et al., 2017).

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian pada siswa/i SMA Shafiyyatul Amaliyyah Medan. Pada penelitian yang dilakukan Purwaningdyah (2009)

tersebut, diperoleh bahwa angka kejadian akne vulgaris lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%). Hal ini dikaitkan dengan lebih tingginya kesadaran wanita untuk mencari informasi dan pelayanan kesehatan terkait akne vulgaris. Selain itu, peranan hormon androgen pada pria juga memegang peranan penting karena kelenjar sebum sangat sensitif terhadap hormon androgen.

Akibatnya, terjadi peningkatan ukuran kelenjar sebum dan peningkatan sekresi sebum yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2015).

Tabel 4.6 Karakteristik IMT berdasarkan umur.

Berat badan kurang IMT

Total Umur

hingga normal Berat badan berlebih

n % n % n % kurang hingga normal pada penelitian ini adalah 82% dan total anak dengan berat badan berlebih adalah 18%. Penelitian di Amerika Serikat oleh Ogden (2010) pada anak umur 12 – 19 tahun memperoleh hasil bahwa sebanyak 34,2% anak memiliki berat badan berlebih dengan kurva IMT menurut umur di atas persentil ke-85, angka yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian peneliti.

Tabel 4.7 Karakteristik IMT berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.7, jumlah anak perempuan dengan berat badan kurang hingga normal adalah sebesar 44%, sementara jumlah anak laki-laki dengan berat badan kurang hingga normal adalah sebesar 38%. Namun, jumlah anak perempuan dengan berat badan berlebih lebih besar (12%) dibandingkan dengan jumlah anak laki-laki dengan berat badan berlebih (6%). Menurut Wisniewski (2009), terdapat beberapa perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan perbedaan IMT. Anak perempuan umumnya memiliki massa lemak yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki, dimana anak laki-laki umumnya memiliki massa otot yang lebih besar. Selain itu, umumnya remaja laki-laki lebih sering melakukan aktivitas fisik dibandingkan anak perempuan.

Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik dan intake energi dapat meningkatkan risiko anak menjadi overweight atau obesitas. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak perempuan lebih rentan terhadap faktor keluarga dan lingkungan yang dapat menimbulkan obesitas, misalnya konflik dalam keluarga dapat mendorong anak perempuan untuk mengemil lebih sering, tapi hal ini tidak berlaku pada anak laki- laki.

Hasil penelitian peneliti tidak sesuai dengan penelitian Wang, et al. (2000), dimana menurut penelitian tersebut, lebih banyak anak laki-laki yang mengalami overweight yaitu sebesar 10,8% sementara pada anak perempuan hanya 2,3%.

Menurut Wang, masalah kelebihan berat badan umumnya lebih sering terjadi pada anak laki-laki mungkin dikarenakan kurangnya kepedulian anak laki-laki terhadap gambaran tubuhnya dibandingkan anak perempuan (Wang et al., 2000).

Tabel 4.8 Hubungan IMT dengan Akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

IMT

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

p value

Berdasarkan tabel 4.8, diketahui bahwa siswa/i dengan berat badan kurang hingga normal lebih banyak yang menderita akne vulgaris (62%) dibandingkan siswa/i dengan berat badan berlebih (16%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Pranitasari (2011) pada 198 siswa/i SMAN 1 Prambanan, dimana diperoleh jumlah penderita akne vulgaris yang lebih banyak pada IMT normal dan underweight yaitu sebesar 51% dibandingkan dengan penderita akne vulgaris pada kelompok IMT overweight dan obesitas yaitu sebesar 15,2%.

Berdasarkan tabel 4.8, diketahui bahwa siswa/i dengan berat badan kurang hingga normal lebih banyak yang menderita akne vulgaris (62%) dibandingkan siswa/i dengan berat badan berlebih (16%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Pranitasari (2011) pada 198 siswa/i SMAN 1 Prambanan, dimana diperoleh jumlah penderita akne vulgaris yang lebih banyak pada IMT normal dan underweight yaitu sebesar 51% dibandingkan dengan penderita akne vulgaris pada kelompok IMT overweight dan obesitas yaitu sebesar 15,2%.

Dokumen terkait