• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) TERHADAP KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA SISWA/I SMP BODHICITTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) TERHADAP KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA SISWA/I SMP BODHICITTA SKRIPSI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

CYNTHIA MARGARETHA 140100163

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

CYNTHIA MARGARETHA 140100163

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

selesainya skripsi yang berjudul “Hubungan Indeks Massa Tubuh terhadap Angka Kejadian Akne vulgaris pada Siswa/i SMP Bodhicitta” yang merupakan salah satu syarat memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Aldy S. Rambe, Sp. S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ramona Duma Sari Lubis, M. Ked (KK), Sp. KK selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. dr. Nelva K. Jusuf, Sp. KK (K) selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Esther R.D. Sitorus, Sp. PA selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. Alfian Salim selaku Kepala Sekolah Menengah Pertama Bodhicitta, Medan yang telah memberikan izin penelitian di SMP Bodhicitta.

6. Seluruh staf pengajar dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi Edy Saputera dan Silvia yang telah banyak memberikan dorongan moril, doa, dan materil dalam penyusunan skripsi ini.

8. Tante yang penulis hormati dan sayangi Magdalena Armin yang telah banyak memberikan dorongan moril, doa, dan materil dalam penyusunan skripsi ini.

9. Teman-teman saya, Bella, Debby, Dina, Felicia, Femmy, Grace, Heppy, Kinia, Liza, Monica, Natalia, dan Yenny yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

(5)

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan sebagai masukan penulisan selanjutnya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Medan, 9 Desember 2017 Hormat Saya

Cynthia Margaretha

(6)

Daftar Isi... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Daftar Istilah/Singkatan ... ix

Abstrak ... x

Abstract ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Akne vulgaris ... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Epidemiologi ... 5

2.1.3 Etiopatogenesis ... 6

2.1.4 Gejala Klinis ... 7

2.1.5 Derajat Keparahan ... 9

2.1.6 Diagnosis ... 11

2.1.7 Diagnosis Banding ... 12

2.1.8 Tatalaksana ... 13

2.1.9 Komplikasi ... 16

2.1.10 Prognosis ... 16

2.2 Indeks Massa Tubuh ... 17

2.2.1 Definisi IMT ... 17

2.2.2 Interpretasi IMT ... 17

2.3 Hubungan antara Indeks Masa Tubuh dengan Akne vulgaris 19

2.4 Kerangka Teori... 22

2.5 Kerangka Konsep ... 23

2.6 Hipotesis ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Rancangan penelitian ... 24

3.2 Lokasi Penelitian ... 24

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

3.3.1 Populasi ... 24

3.3.2 Populasi Terjangkau ... 24

(7)

3.5 Identifikasi Variabel ... 26

3.5.1 Variabel Bebas ... 26

3.5.2 Variabel Terikat ... 26

3.6 Definisi Operasional... 26

3.7 Cara Kerja ... 27

3.8 Alur Penelitian ... 28

3.8.1 Persiapan ... 28

3.8.2 Alur Penelitian ... 28

3.9 Metode Analisis Data ... 31

3.9.1 Analisis Univariat ... 31

3.9.2 Analisis Bivariat ... 31

3.10 Etika Penelitian ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 48

(8)

Nomor Judul Halaman 2.1 Berbagai tipe lesi akne vulgaris ……… 9

2.2 Skar pada akne vulgaris ……… 16

2.3 Grafik IMT sesuai umur menurut CDC ……… 19 2.4 Hubungan obesitas dengan hiperinsulinemia dan

hiperandrogenisme ………

21

2.5 Kerangka teori penelitian ……….. 22

2.6 Kerangka konsep penelitian ……….. 23

3.1 Alur penelitian ……….. 30

(9)

Nomor Judul Halaman 2.1 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan Global

Acne Grading System ………..

10 2.2 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan

Comprehensive Acne Severity System…………..

11 2.3 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan klasifikasi

menurut Lehmann ………

11 2.4 Klasifikasi IMT menurut WHO ………... 17 2.5 Klasifikasi IMT menurut Depkes RI …………... 18 2.6 Klasifikasi IMT menurut umur pada grafik CDC 19 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel ……… 32 4.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan

kejadian akne vulgaris ……….

33 4.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan

derajat keparahan akne vulgaris ………...

33 4.4 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan

usia ………...

34 4.5 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan

jenis kelamin ………

35 4.6 Karakteristik IMT berdasarkan usia ……… 36 4.7 Karakteristik IMT berdasarkan jenis kelamin …. 36 4.8 Hubungan IMT dengan akne vulgaris pada

siswa/i SMP Bodhicitta ………

37

(10)

Lampiran Judul Halaman

A Daftar Riwayat Hidup ... 48

B Pernyataan Orisinalitas ... 50

C Lembar Penjelasan ... 51

D Lembar Persetujuan Penjelasan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 52

E Kuesioner Penelitian Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap Kejadian Akne vulgaris pada Siswa/i SMP Bodhicitta ... 53

F Surat Izin Penelitian ... 54

G Ethical Clearance ... 55

H Status responden ... 56

I Surat Balasan Penelitian ... 58

J Tabel Pengolahan Data SPSS ... 59

K Data Induk Penelitian ... 63

(11)

BB : Berat badan

CDC : Centers for Disease Control and Prevention DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia DHEA : Dehidroepiandrosterone

DXA : Dual Energy X-Ray Absorptiometry

FK : Fakultas Kedokteran

fT : Free Testosterone

IGF-1 : Insulin-like Growth Factor-1

IGFBP-1 : Insulin-like Growth Factor-1 Binding Proteins

IL-1 : Interleukin-1

IL-6 : Interleukin-6

IL-8 : Interleukin-8

IMT : Indeks Massa Tubuh

IRS-1 : Insulin Receptor Subtrate-1

LH : Lutenizing Hormone

MEU : Medical Education Unit

SHBG : Sex Hormone Binding Globulin SMP : Sekolah Menengah Pertama TNF-β : Tumor Necrosis Factor-β USU : Universitas Sumatera Utara WHO : World Health Organization

(12)

unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Di Indonesia, prevalensi akne dari tahun 1990 – 2010 adalah 9,34 kasus per 100.000 penduduk. Umumnya, akne vulgaris dimulai pada usia 12 - 15 tahun. Obesitas, yaitu akumulasi lemak abnormal, dapat diukur secara akurat dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Obesitas umumnya terjadi disertai hiperandrogen perifer dan hiperandrogen perifer dapat menyebabkan peningkatan produksi sebum dan terjadinya akne vulgaris berat. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan IMT dengan kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan dengan metode cross sectional. Pengumpulan data dilakukan di SMP Bodhicitta pada siswa/i SMP Bodhicitta dengan metode consecutive sampling dengan sampel sebanyak 50 orang. Pengumpulan data berupa data primer dilakukan lewat pengukuran tinggi badan, berat badan, serta penilaian lesi akne vulgaris. Selanjutnya, data dianalisis dengan uji Fisher’s exact test untuk menilai hubungan antara IMT dengan angka kejadian akne vulgaris. Hasil. Pada penelitian ini, angka kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta adalah 78% dengan mayoritas derajat keparahan ringan (89,7%). Perempuan (44%) lebih sering menderita akne vulgaris dibandingkan laki-laki (34%). Kelompok usia yang tersering menderita akne vulgaris adalah kelompok usia 14 tahun (42%). IMT yang terbanyak dimiliki sampel adalah berat badan kurang hingga normal (82%). Dari hasil analisis bivariat, ditemukan adanya hasil tidak signifikan (p > 0,05) antara IMT dan akne vulgaris, Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan hubungan antara IMT dengan angka kejadian akne vulgaris.

Kata kunci: indeks massa tubuh, akne vulgaris, siswa

(13)

cases per 100.000 inhabitants. In general, acne vulgaris begins on 12 – 15 year old. Obesity, which is abnormal accumulation of lipid, can be measured accurately with Body Mass Index (BMI). Obesity usually happens along with peripheral hyperandrogen and peripheral hyperandrogen can cause increase in sebum production and severe acne vulgaris. Objectives. To know the relation between BMI and acne vulgaris prevalence on Bodhicitta Middle School students. Methods. This study was an analytical study conducted using cross sectional method.

Data was collected on Bodhicitta Middle School students using consecutive sampling method with 50 samples. Primary data collection was done by measuring height, weight, and assessing acne vulgaris lesions. Then, the data were analyzed with Fisher’s exact test to measure the relation between BMI and acne vulgaris prevalence. Results. In this study, the prevalence of acne vulgaris on Bodhicitta Middle school students is 78%, mostly with mild severity grade (89,7%). Girls are more frequently affected by acne vulgaris (44%) than boys (34%). Age group that is most frequently affected by acne vulgaris is 14 years old (42%). The most frequently encountered BMI in samples were underweight to normal category (82%). Bivariate analysis shows insignificant result (p > 0,05) between BMI and acne vulgaris. Conclusion: There is no relation between BMI and acne vulgaris prevalence.

Keywords: body mass index, acne vulgaris, students

(14)

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Mayoritas penyakit kulit bukanlah penyakit yang mengancam jiwa, namun penyakit kulit tetap memberikan tantangan tersendiri terhadap psikis manusia.

Penyakit kulit, secara spesifik akne vulgaris, dapat menyebabkan beban psikologis terhadap manusia sebab penyakit kulit dapat dilihat dan dikritik oleh semua orang setiap harinya dan memiliki potensi untuk menyebabkan stress psikososial (Bowe dan Shalita, 2011). Pada sebuah studi di Iran mengenai hubungan antara akne vulgaris dengan gangguan psikis, diperoleh bahwa terdapat hubungan antara akne vulgaris dengan beberapa gejala psikis seperti somatisasi, obsesi, sensitivitas, depresi, ansietas, fobia, paranoid, dan psikotisisme. Persentase terbesar dari gangguan psikis ini adalah depresi dengan prevalensi 31,1% dan psikotisisme dengan prevalensi 34% (Behnam et al., 2013). Gangguan psikis akibat akne vulgaris menyebabkan stress, dan stress yang timbul akan memperparah akne vulgaris (Ab dan Awadh, 2015), sehingga timbullah sebuah siklus yang memperparah kondisi penderita.

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja (Zaenglein et al., 2008). Penderita akne vulgaris umumnya akan mengeluh adanya ruam kulit berupa komedo, papula, pustula, nodus atau kista yang disertai rasa gatal (Afriyanti, 2015). Daerah predileksi akne vulgaris yang sering adalah pada wajah dan leher, punggung, dada, serta bahu dan lengan atas (Sihotang dan Wasitaatmadja, 2015).

Global Burden of Disease Project mengestimasi prevalensi akne vulgaris dunia sebesar 9,4%, menempatkan akne vulgaris dalam posisi kedelapan sebagai penyakit dengan prevalensi tertinggi di dunia (Vos et al., 2012; Hay et al., 2013).

Di Amerika Serikat, prevalensi akne vulgaris mencapai 85% pada kelompok umur 12 – 24 tahun. Akne vulgaris juga menempati posisi tiga besar penyakit kulit

(15)

dengan prevalensi tertinggi pada populasi umum pada sebuah studi yang dilakukan di Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris Raya (Bhate dan Williams, 2013). Di benua Asia, Taiwan dan Asia Selatan memiliki angka prevalensi akne vulgaris tertinggi pada kelompok umur 15 – 19 tahun (Lynn, 2016).

Di Indonesia sendiri, prevalensi akne dari tahun 1990 – 2010 adalah 9,34 kasus per 100.000 penduduk (Tan dan Bhate, 2015). Pada umumnya, akne vulgaris dimulai pada umur 12 – 15 tahun, dengan puncak tingkat keparahan pada umur 17 – 21 tahun (Sihotang dan Wasitaatmadja, 2015). Selain pada remaja, akne vulgaris juga dapat terjadi pada orang dewasa. Pada sebuah studi populasi di enam kota di Cina, ditemukan bahwa 25% dari total akne vulgaris terjadi pada orang dewasa (Shen et al., 2012). Sementara itu, prevalensi akne vulgaris tertinggi terjadi pada kelompok umur 14 – 17 tahun pada wanita dengan prevalensi 83 – 85% dan pada pria kelompok umur 16 – 19 tahun memiliki prevalensi 95 – 100%

(Afriyanti, 2015). Di Medan, proporsi akne vulgaris dari sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik pada Januari 2010 – Desember 2012 adalah 1,10% (182 pasien). Umumnya, penderita akne vulgaris berjenis kelamin perempuan dengan rentang umur 16 – 20 tahun dan tersering ditemukan pada pelajar/mahasiswa (Anggrenni, 2014).

Akne vulgaris dapat terjadi akibat adanya interaksi antara empat faktor, yaitu hiperproliferasi folikel pilosebasea, produksi sebum berlebih, inflamasi, dan proliferasi Propionibacterium acnes. Sebum, sekresi kaya lemak dari kelenjar sebasea, memiliki peran utama dalam patogenesis akne dengan mendorong penumpukan dan kolonisasi P. acnes (Zaenglein et al., 2008).

Akne vulgaris memilliki beberapa faktor risiko, salah satunya adalah obesitas (WHO, 2016) yaitu akumulasi lemak yang berlebih. Hal ini karena obesitas kerap dikaitkan dengan hiperandrogen perifer (Tsai et al., 2006). Dalam kaitannya dengan patogenesis akne vulgaris, peningkatan produksi androgen dapat menstimulasi hiperproliferasi folikel pilosebasea dan peningkatan produksi sebum (Zaenglein et al., 2008). Pada penelitian sebelumnya pada remaja Italia, telah ditemukan adanya penurunan risiko akne vulgaris pada remaja dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih rendah. Hasil dari penelitian tersebut

(16)

menunjukkan bahwa IMT yang lebih rendah merupakan faktor protektif dari akne vulgaris (Melnik et al., 2013). Hal ini mungkin dikaitkan dengan hiperproliferasi folikel pilosebasea dan peningkatan produksi sebum yang mendorong kolonisasi P.acnes (Zaenglein et al., 2008).

Berdasarkan uraian di atas bahwa akne vulgaris memiliki prevalensi yang tinggi pada umur remaja dan memiliki kecenderungan peningkatan risiko akne vulgaris pada individu dengan IMT yang lebih tinggi, penulis merasa tertarik untuk meneliti hubungan antara IMT dengan kejadian akne vulgaris pada siswa/i Sekolah Menengah Pertama Bodhicitta (SMP Bodhicitta), Medan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah hubungan antara IMT dengan kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Mengetahui angka kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta kelas VII, VIII, dan IX.

b. Mengetahui angka kejadian akne vulgaris berdasarkan umur pada siswa/i SMP Bodhicitta.

c. Mengetahui angka kejadian akne vulgaris berdasarkan jenis kelamin pada siswa/i SMP Bodhicitta.

d. Mengetahui karakteristik penderita akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

e. Mengetahui derajat keparahan akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

(17)

f. Mengetahui karakteristik IMT pada siswa/i SMP Bodhicitta baik yang menderita maupun yang tidak menderita akne vulgaris.

1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah:

a. Bagi instansi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi (SMP Bodhicitta) mengenai hubungan IMT dengan akne vulgaris dan menjadi masukan untuk upaya pencegahan akne vulgaris pada siswa/i.

b. Bagi siswa/i

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi siswa/i SMP Bodhicitta mengenai hubungan IMT dengan akne vulgaris dan menjadi masukan untuk upaya pencegahan akne vulgaris.

c. Bagi penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana berpikir kritis dan sistematis bagi peneliti serta bahan untuk penelitian lebih lanjut mengenai hubungan IMT dengan kejadian akne vulgaris.

d. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan terhadap akne vulgaris.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AKNE VULGARIS 2.1.1 Definisi

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja (Zaenglein et al., 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Global Burden of Disease Project mengestimasi prevalensi akne vulgaris dunia sebesar 9,4%, menempatkan akne vulgaris dalam posisi kedelapan sebagai penyakit dengan prevalensi tertinggi di dunia (Vos et al., 2012; Hay et al., 2013).

Di Amerika Serikat, prevalensi akne vulgaris mencapai 85% pada kelompok umur 12 – 24 tahun. Akne vulgaris juga menempati posisi tiga besar penyakit kulit dengan prevalensi tertinggi pada populasi umum pada sebuah studi yang dilakukan di Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris Raya (Bhate dan Williams, 2013). Di benua Asia, Taiwan dan Asia Selatan memiliki angka prevalensi akne vulgaris tertinggi pada kelompok umur 15 – 19 tahun (Lynn, 2016).

Di Indonesia sendiri, prevalensi akne dari tahun 1990 – 2010 adalah 9,34 kasus per 100.000 penduduk. Pada umumnya, akne vulgaris dimulai pada umur 12-15 tahun, dengan puncak tingkat keparahan pada umur 17-21 tahun (Sihotang dan Wasitaatmadja, 2015). Selain pada remaja, akne vulgaris juga dapat terjadi pada orang dewasa. Pada sebuah studi populasi di enam kota di Cina, ditemukan bahwa 25% dari total akne vulgaris terjadi pada orang dewasa (Shen et al., 2012).

Sementara itu, prevalensi akne vulgaris tertinggi terjadi pada kelompok umur 14 – 17 tahun pada wanita dengan prevalensi 83 – 85% dan pada pria kelompok umur 16 – 19 tahun memiliki prevalensi 95 – 100% (Afriyanti, 2015). Di Medan, proporsi akne vulgaris dari sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik pada Januari 2010 – Desember 2012 adalah 1,10% (182 pasien).

Umumnya, penderita akne vulgaris berjenis kelamin perempuan dengan rentang

(19)

umur 16 – 20 tahun dan tersering ditemukan pada pelajar/mahasiswa (Anggrenni, 2014).

2.1.3 Etiopatogenesis

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit multifaktorial dengan berbagai variasi tingkat keparahan. Akne vulgaris dapat terjadi akibat adanya interaksi antara empat faktor, yaitu hiperproliferasi folikel pilosebasea, produksi sebum berlebih, inflamasi, dan proliferasi Propionibacterium acnes (Zaenglein et al., 2008).

1. Hiperproliferasi folikel pilosebasea

Hiperproliferasi atau hiperkeratinisasi keratinosit menyebabkan oklusi infundibulum folikel sebasea. Oklusi ini menyebabkan penumpukan sebum di belakang plak hiperkeratotik. Akibatnya, terjadi kehilangan struktur folikel normal dan terbentuklah mikrokomedon yang merupakan lesi subklinis akne vulgaris yang pertama. Teori baru dari penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar Interleukin-1 (IL-1) yang meningkat dengan hiperkeratinisasi. Peningkatan produksi sebum yang disertai defisiensi asam lemak spesifik (asam linoleat) menimbulkan gangguan pada lapisan lemak yang dalam keadaan normal melindungi kulit dari patogen.

Ketidakseimbangan ini dan adanya luka fisik pada kulit menyebabkan lepasnya IL-1 dari keratinosit yang memicu terjadinya hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi (Bowe dan Shalita, 2011; Oberemok dan Shalita, 2002;

Williams et al., 2012).

2. Sebum

Sebum adalah cairan kaya lemak yang terdiri atas kolesterol, asam lemak, di- dan trigliserida, sterol, ester, skualen, wax esters, dan asam alkohol. Sebum merupakan media tumbuh yang baik bagi P.acnes, sebab sebum adalah sumber nutrisi bagi P.acnes. Selain itu, berbagai komponen yang ada dalam sebum juga memiliki efek inflamatori langsung. Salah satu lipid yaitu skualen yang teroksidasi akan menginduksi up-regulation dari produksi IL-6 (Bowe dan Shalita, 2011).

(20)

Produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgenik. Pada pria, testosteron adalah androgen utama, dan pada wanita, dehidroepiandrosteron (DHEA) yang berperan dalam kontrol androgen dari kelenjar sebasea (Oberemok dan Shalita, 2002).

3. Proliferasi Propionibacterium acnes

P.acnes adalah organisme dominan pada folikel sebasea, dimana bakteri tersebut tumbuh dalam lingkungan kaya lemak yang relatif anaerob pada mikrokomedon. P.acnes menghasilkan lipase ekstraselular yang menghidrolisis trigliserida sebum menjadi gliserol, yang merupakan substrat pertumbuhan P.acnes, lalu dikonversi lagi menjadi asam lemak bebas yang bersifat proinflamatori. Lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan P.acnes membuat P.acnes dapat berkembang dengan cepat dan menimbulkan reaksi inflamasi karena P.acnes dikenali sebagai patogen oleh sel imun manusia.

Sebagai respons terhadap P.acnes, sel imun nonspesifik menghasilkan sitokin proinflamatori seperti IL-8 dan Tumor Necrosis Factor-β (TNF-β). Sitokin ini berperan dalam kehadiran neutrofil dan makrofag/monosit ke folikel pilosebasea pada lesi akne vulgaris (Bowe dan Shalita, 2011).

4. Inflamasi

Inflamasi merupakan hasil langsung maupun tidak langsung dari proliferasi P.acnes. Rupturnya folikel dan perluasan inflamasi ke dermis menimbulkan lesi inflamasi akne vulgaris – papula, pustula, dan nodul (Oberemok dan Shalita, 2002).

2.1.4 Gejala Klinis

Akne vulgaris memiliki distribusi yang khas, yaitu pada wajah, leher (terutama bagian posterior), telinga, punggung bagian atas, dada (bagian mulai dari bahu hingga daerah xiphisternum), serta bahu. Pada akne berat, lesi dapat menjalar hingga lengan, sepanjang punggung belakang hingga daerah bokong (Brown et al., 2017).

(21)

Berbagai tipe lesi dari akne vulgaris:

1. Komedo

Komedo merupakan lesi yang dapat menjadi tanda patognomonis akne vulgaris. Ada dua tipe komedo:

a. Tipe tertutup (white heads)

Papula kecil berwarna pucat dengan sedikit peninggian tanpa orifisium yang terlihat jelas. Komedo tipe ini umumnya terdapat di bagian pipi dan dahi (Brown et al., 2017; Zaenglein et al., 2008).

b. Tipe terbuka (black heads)

Lesi dengan titik hitam di tengahnya yang terjadi karena oksidasi oleh udara.

Dapat ditemukan melanin pada lesi ini (Brown et al., 2017).

2. Papula

Papula adalah lesi padat yang menonjol dari permukaan kulit dan berukuran di bawah 0,5 cm (Zaenglein et al., 2008). Papula muncul dengan cepat, terkadang hanya dalam waktu beberapa jam dan umumnya akan menjadi pustula (Brown et al., 2017).

3. Pustula

Pustula adalah kavitas berbatas tegas berisi pus yang terletak di epidermis atau infundibulum. Pustula dapat berwarna putih, kuning, atau hijau kekuningan (Zaenglein et al., 2008).

4. Nodul

Nodul adalah lesi padat berbentuk bulat atau elips dengan diameter di atas 0,5 cm (Zaenglein et al., 2008).

5. Kista

Kista adalah kantung yang mengandung cairan atau materi semisolid (sel dan produk sel seperti keratin) yang dilapisi epitel (Zaenglein et al., 2008).

6. Skar

Jalur terakhir dari proses inflamasi akibat akne vulgaris. Umumnya, skar ice pick yang kecil dan dalam dapat terjadi, namun akne vulgaris yang lebih berat

(22)

dapat meninggalkan perubahan yang mencolok dengan atrofi atau formasi keloid (Brown et al., 2017).

A B C D

Gambar 2.1 Berbagai tipe lesi akne vulgaris (Zaenglein et al., 2008).

Keterangan:

A: closed comedone B: open comedone

C: papula D: nodulus 2.1.5 Derajat Keparahan

Hingga saat ini, belum ada sistem derajat keparahan yang dapat diterima secara universal. Namun, terdapat beberapa metode yang dikembangkan untuk menilai derajat keparahan akne vulgaris, antara lain:

1. Pada tahun 1956, Pillsbury, Shelley dan Kligman menerbitkan sistem derajat keparahan tertua yang dikenal saat ini, yaitu (Adityan et al., 2009):

a. Grade 1: komedo dan kista kecil hanya di wajah.

b. Grade 2: komedo dengan beberapa pustula dan kista kecil hanya di wajah.

c. Grade 3: banyak komedo dengan papula inflamatoris kecil dan besar serta pustula hanya di wajah.

d. Grade 4: banyak komedo dan lesi dalam yang bersatu membentuk kanal, dapat ditemukan pada wajah dan badan bagian atas.

2. Pada tahun 1997, Doshi, Zaheer dan Stiller membuat sebuah sistem skoring yang disebut Global Acne Grading System. Sistem ini membagi wajah, dada, dan punggung menjadi enam area dan memberikan faktor perhitungan pada setiap daerah (Adityan et al., 2009).

(23)

Tabel 2.1 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan Global Acne Grading System (Adityan et al., 2009).

Lokasi Faktor

Dahi 2

Pipi kanan 2

Pipi kiri 2

Hidung 1

Dagu 1

Dada dan punggung belakang 3

Keterangan:

Setiap tipe lesi diberikan nilai tergantung derajat keparahannya: 0 = tidak ada lesi, 1 = komedo, 2 = papula, 3 = pustula, 4 = nodul. Skor = Faktor x derajat keparahan.

Derajat keparahan akne vulgaris : a. Skor 1 – 18 : akne vulgaris ringan.

b. Skor 19 – 30 : akne vulgaris sedang.

c. Skor 31 – 38 : akne vulgaris berat.

d. Skor > 39 : akne vulgaris amat berat.

3. Comprehensive Acne Severity System adalah sebuah sistem untuk menilai derajat keparahan akne vulgaris dan umumnya digunakan di Amerika Serikat (Tan, 2014).

(24)

Tabel 2.2 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan Comprehensive Acne Severity System (Tan, 2014).

Grading Deskripsi

Bersih Tidak ada lesi atau ada lesi yang sulit dikenali. Sangat sedikit komedo dan papula.

Hampir bersih

Sulit tampak dari jarak 2,5 m. Terdapat beberapa komedo, beberapa papula kecil dan sangat sedikit pustula.

Ringan Lesi mudah terlihat namun area yang terkena < ½ bagian wajah.

Banyak komedo, papula, dan pustula.

Sedang Lebih dari ½ bagian wajah yang terkena. Ditemukan sejumlah komedo, papula, dan pustula.

Berat Seluruh wajah terdapat lesi akne vulgaris. Wajah dipenuhi komedo, papula, pustula, dan sedikit kista serta nodul.

Amat berat Akne inflamatoris memenuhi seluruh wajah disertai adanya nodul dan kista.

4. Klasifikasi yang dipakai di Indonesia oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah klasifikasi menurut Lehmann tahun 2002 (Sihotang dan Wasitaatmadja, 2015), yaitu:

Tabel 2.3 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan klasifikasi menurut Lehmann (Sihotang dan Wasitaatmadja, 2015).

Derajat Lesi

Akne ringan Komedo < 20, atau lesi inflamasi <15, atau total lesi < 30.

Akne sedang Komedo 20 – 100 atau lesi inflamasi 15 – 50, atau total lesi 30 – 125.

Akne berat Kista > 5 atau komedo > 100 atau lesi inflamasi > 50 atau total lesi > 125

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis dapat dilakukan dengan cara inspeksi. Lesi akne vulgaris umumnya muncul di daerah yang memiliki banyak kelenjar sebasea seperti dahi, hidung, dan dagu. Meskipun demikian, akne vulgaris tidak terjadi pada daerah kulit kepala yang kaya kelenjar sebasea. Daerah periorbital umumnya tidak terkena akne vulgaris. Pada keadaan yang parah, bagian punggung dan dada bagian atas dapat terkena akne vulgaris (Rao, 2016).

(25)

Pada pasien wanita dengan gejala hirsutisme dan dismenorea, pemeriksaan hormon sebaiknya dilakukan. Pengukuran kadar testosteron total sebaiknya dilakukan pada pasien dengan gejala virilisasi. Kultur kulit juga dapat dilakukan untuk mengeksklusi kemungkinan diagnosis folikulitis gram negatif (Rao, 2016).

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari akne vulgaris adalah : a. Akne keloidalis nuchae (AKN)

Akne keloidalis nuchae (AKN) adalah suatu kondisi dengan ciri khas papula dan pustula yang berkembang dari folikel dan membentuk jaringan parut serupa keloid. Umumnya, AKN timbul di daerah kulit kepala bagian belakang dan leher belakang serta paling sering terjadi pada lelaki muda Afrika- Amerika. AKN bukan berasal dari penyakit akne vulgaris, melainkan penyakit folikulitis (Satter, 2017).

b. Erupsi akneiform

Erupsi akneiform adalah dermatosis menyerupai akne vulgaris, dengan lesi papulopustular, nodular atau kistik. Erupsi akneiform umunmya tidak memiliki komedo dan terjadi akibat pemakaian obat-obatan tertentu (kortikosteroid atau produk kosmetik tertentu). Gejala timbul tiba-tiba setelah pemakaian obat- obatan dan akan menghilang ketika pemakaian obat-obatan dihentikan (Kuflik, 2016).

c. Chloracne

Chloracne timbul akibat adanya polutan lingkungan berupa paparan terhadap hidrokarbon aromatik terhalogenasi. Manifestasi klinis berupa komedo dan kista umumnya ditemukan di wajah, leher, batang tubuh, ekstermitas, aksila, dan genitalia (Ju, 2009).

d. Rosacea

Rosacea adalah kondisi inflamasi dari folikel kulit yang menyebabkan papula dan pustula menyerupai akne vulgaris. Penyebab rosacea masih belum diketahui dengan jelas, meskipun dicurigai ada peran bakteri dalam penyakit ini. Umumnya rosacea ditemukan pada umur > 40 tahun. Gejala utamanya

(26)

adalah adanya kemerahan pada wajah bagian tengah (pipi medial dan hidung) yang berulang. Papula dan pustula juga merupakan gejala umum, namun pada rosacea tidak ditemukan komedo (Truter, 2009).

e. Folikulitis

Folikulitis secara histologi adalah keberadaan sel inflamasi di dalam dinding dan ostium folikel rambut membentuk pustula berbasis folikel rambut.

Manifestasi klinisnya berupa erupsi papulopustular. Umumnya, folikulitis mengenai daerah wajah, kulit kepala, dada, dan punggung atas (Satter, 2017).

f. Dermatitis perioral

Dermatitis perioral adalah dermatitis papulopustular wajah yang kronis (Kammler, 2017). Manifestasi klinis dermatitis perioral adalah papula kemerahan (eritema) dan pustula dengan permukaan kulit yang kasar dan kering. Umumnya dermatitis peroral terjadi pada wanita dan anak-anak dan terletak secara simetris di sekitar mulut dengan adanya daerah bersih di sekitar batas yang kemerahan (Oakley, 2016).

g. Syringoma

Syringoma adalah neoplasma mikrokistik jinak dengan gambaran diferensiasi menyerupai duktus ekrin. Syringoma berwarna seperti kulit dengan diameter di bawah 3 mm dan umumnya timbul di kelopak mata atas dengan lesi multipel (Shea et al., 2009).

2.1.8 Tatalaksana 1. Farmakologis

a. Terapi topikal

Tatalaksana topikal umumnya adalah terapi lini pertama terhadap akne derajat ringan hingga sedang. Obat topikal akne vulgaris mengandung benzoil peroksida, asam azelaik, asam salisilat, sulfur, atau antibakteria.

Tujuan tatalaksananya adalah untuk melancarkan aliran sebum, melepas sumbatan folikel, dan meminimalisir kolonisasi bakteri di kulit.

Tatalaksananya harus digunakan selama kurang lebih tiga bulan untuk memberikan manfaat (Truter, 2009).

(27)

Empat tipe sediaan topikal:

i. Keratolitik yang membantu pelepasan sel epitel berkeratin pada permukaan kulit. Keratolitik mencegah penutupan orifisium pilosebasea dan pembentukan sumbat folikel serta memfasilitasi aliran sebum. Contoh obat keratolitik: benzoil peroksida, asam salisilat, sulfur, dan resorsinol (Truter, 2009).

ii. Antimikroba untuk menurunkan jumlah bakteri P.acnes. Beberapa bahan antimikroba aktif adalah cetrimide, chlorhexidine, povidone- iodine, triclocarban, dan triclosan. Antibiotik topikal sebaiknya tidak dipakai sebagai monoterapi, melainkan dikombinasikan dengan keratolitik (Truter, 2009). Dahulu, tetrasiklin sering dipakai sebagai antimikroba pilihan. Namun, kini turunan tetrasiklin yaitu doksisiklin dan minosiklin lebih sering digunakan sebagai terapi antibiotik oral lini pertama dengan dosis 50 – 100 mg (Ramdani dan Sibero, 2015).

iii. Obat antiinflamasi, contohnya nikotinamida (Truter, 2009).

iv. Produk abrasif yang mengandung partikel kecil dan kasar yang umumnya terdapat dalam sabun pencuci wajah untuk mengangkat sumbat folikel secara mekanis. Umumnya produk abrasif ini mengandung partikel aluminium oksida atau granul polietilen (Truter, 2009).

b. Terapi sistemik i. Antibiotik oral

Antibiotik yang dapat digunakan adalah:

 Cycline oral sebagai antibiotik lini pertama dalam menangani akne vulgaris sedang hingga berat (Truter, 2009).

 Doksisiklin atau minosiklin dapat digunakan sebagai antibiotik lini kedua. Dosis optimal untuk kedua jenis obat adalah 100 – 200 mg perhari (Truter, 2009).

 Tetrasiklin generasi pertama seperti oksitetrasiklin dapat digunakan sebagai lini ketiga (Truter, 2009).

(28)

 Eritromisin dapat diberikan pada anak di bawah 12 tahun atau pada wanita hamil (Truter, 2009).

ii. Agen hormonal

Terapi hormonal baik digunakan pada orang yang mengalami akne vulgaris akibat pengaruh hormon. Agen hormonal yang dapat digunakan yaitu kontrasepsi oral, cyproterone acetate, dan drospirenone (Truter, 2009).

iii. Isotretinoin oral

Isotretinoin adalah metabolit dari vitamin A yang berperan dalam inhibisi diferensiasi dan proliferasi kelenjar sebasea, mengurangi ukuran kelenjar sebasea, menekan produksi sebum, dan menormalkan deskuamasi epitel folikel (Truter, 2009).

Isotretinoin diberikan pada akne nodular dan akne yang tidak respons terhadap terapi lainnya. Isotretinoin diberikan dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg perhari dengan dosis kumulatif 120 – 150 mg/kg selama empat hingga enam bulan. Pemberian bersama dengan steroid pada onset terapi dapat digunakan pada kasus akne vulgaris yang berat untuk mencegah memberatnya penyakit. Akan tetapi, isotretinoin tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena memiliki efek teratogenik (Truter, 2009).

2. Nonfarmakologi

Beberapa nasihat yang dapat diberikan kepada penderita akne vulgaris :

a. Mencuci muka dengan sabun untuk mengurangi minyak pada kulit dan menghilangkan bakteri dari permukaan kulit dapat mengurangi keparahan jerawat (Truter, 2009).

b. Pasien sebaiknya menghindari gaya rambut yang menyebabkan rambut terus menyentuh wajah, serta mencuci rambut secara teratur (Truter, 2009).

c. Pasien sebaiknya menghindari pemakaian kosmetik yang mengandung banyak minyak dan sebaiknya menggunakan pelembab berbasis air (Truter, 2009).

(29)

2.1.9 Komplikasi

Ada dua komplikasi dari akne vulgaris, yaitu:

1. Pembentukan skar

Secara umum, terdapat empat tipe skar yang dapat timbul akibat akne vulgaris: ice-pick, rolling, boxcar, dan skar hipertrofi (Zaenglein et al., 2008).

Gambar 2.2 Skar pada akne vulgaris (Zaenglein et al., 2008).

Keterangan:

A: ice-pick scar B: skar atrofi

C: skar hipertrofi

2. Hiperpigmentasi

Hiperpigmentasi umumnya terjadi pada pasien berkulit gelap.

Hiperpigmentasi pascainflamasi dapat bertahan hingga beberapa bulan setelah resolusi lesi akne vulgaris (Zaenglein et al., 2008).

2.1.10 Prognosis

Akne vulgaris umumnya membaik bersamaan dengan meningkatnya umur pasien meninggalkan masa remaja, namun terdapat kasus dimana akne vulgaris bertahan hingga masa dewasa seseorang. Umumnya pasien tidak mengalami konsekuensi jangka panjang dari akne vulgaris, namun lesi berat dapat meninggalkan skar pada daerah yang terserang (Rao, 2016).

(30)

2.2 INDEKS MASSA TUBUH (IMT) 2.2.1 Definisi IMT

Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh adalah berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan seseorang dalam meter yang dikuadratkan. Meskipun IMT bukan digunakan untuk mengukur kadar lemak tubuh secara langsung, menurut hasil penelitian, IMT berkorelasi dengan hasil pengukuran lemak tubuh dengan cara pengukuran ketebalan kulit, impedansi bioelektrik, densitometri (pengukuran berat badan dalam air), dan Dual Energy X- Ray Absorptiometry (DXA). IMT merupakan metode skrining namun bukan diagnosis yang mudah dilakukan dan tidak mahal (CDC, 2016).

2.2.2 Interpretasi Indeks Massa Tubuh

1. Pada dewasa di atas umur 20 tahun, interpretasi IMT menggunakan kategori berat badan standar (WHO, 2017).

Tabel 2.4 Klasifikasi IMT menurut World Health Organization (2017).

IMT Status Berat Badan

<18,5 Underweight

18,5 – 24,9 Berat badan normal

25,0 – 29,9 Pre-obesitas

30,0 – 34,9 Obesitas kelas I

35,0 – 39,9 Obesitas kelas II

>40,0 Obesitas kelas III

Selain interpretasi menurut WHO, terdapat pula klasifikasi IMT menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) yang disesuaikan untuk orang Indonesia, yaitu (Depkes RI, 2011):

(31)

Tabel 2.5 Klasifikasi IMT menurut Depkes RI (2011)

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

2. Perhitungan Indeks Massa Tubuh untuk menentukan status berat badan juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Selama masa anak-anak dan remaja, rasio berat badan dan tinggi badan bervariasi tergantung umur dan jenis kelamin, sehingga nilai patokan berbeda-beda tergantung umur dan jenis kelamin. Pada anak-anak, IMT dihitung dengan rumus yang sama dengan dewasa lalu IMT yang diperoleh dibandingkan dengan persentil atau Z-skor. Menurut WHO, untuk anak-anak dan remaja berumur 5 – 19 tahun (WHO, 2017):

a. Overweight didefinisikan sebagai IMT umur > +1 SD b. Obesitas didefinisikan sebagai IMT umur> +2 SD.

c. Kurus didefinisikan sebagai IMT < -2 SD d. Amat kurus didefinisikan sebagai IMT < -3 SD

3. Perhitungan Indeks Massa Tubuh untuk menentukan status berat dapat menggunakan kurva Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Caranya yaitu dengan mengukur berat dan tinggi badan anak, lalu menghitung IMT dengan menggunakan rumus IMT. Setelah IMT diperoleh, IMT tersebut lalu diproyeksikan ke grafik IMT sesuai umur milik CDC.

Persentil pada grafik tersebut menggambarkan IMT anak tersebut relatif terhadap anak lain dengan jenis kelamin dan umur yang sama (CDC, 2016).

(32)

Tabel 2.6 Klasifikasi IMT menurut umur pada grafik CDC (2016).

Status Berat Badan Range Persentil

Underweight < Persentil ke-5

Normal Persentil ke-5 - < Persentil ke-85

Overweight Persentil ke-85 - < Persentil ke-95

Obesitas ≥ Persentil ke-95

Gambar 2.3 Grafik IMT sesuai umur menurut CDC (2016).

2.3 HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS

Obesitas, yaitu akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang menjadi risiko gangguan kesehatan (CDC, 2016), umumnya terjadi disertai dengan hiperandrogen perifer dan hiperandrogen perifer sendiri dapat menyebabkan peningkatan produksi sebum dan terjadinya akne vulgaris berat (Sihotang dan Wasitaatmaja, 2015). Untuk menilai obesitas, salah satu cara paling akurat adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Androgen utama yang berperan pada pria adalah testosteron sedangkan pada wanita dehidroepiandrosteron (DHEA) yang berperan dalam kontrol androgen dari kelenjar sebasea (Oberemok dan Shalita, 2002).

(33)

Obesitas atau overweight dapat menyebakan hiperandrogen perifer dengan cara menyebabkan hiperinsulinemia terlebih dahulu, dan hiperinsulinemia akan menyebabkan hiperandrogen. Terdapat dua mekanisme obesitas atau overweight dapat menyebabkan hiperinsulinemia (Mantzoros, 2006):

1. Peningkatan lemak pada anggota tubuh bagian atas dapat mengurani klirens insulin secara signifikan. Selain itu, asam lemak bebas/free fatty acids dan TNF-α juga dapat menyebabkan resistensi insulin. Asam lemak bebas yang dilepas dari jaringan adiposa lewat jalur lipolisis ke hepar akan mengurangi hepatic insulin extraction, yaitu proporsi insulin hasil sekresi pankreas yang dikeluarkan oleh hepar sebelum masuk ke sirkulasi sistemik (Finucane, 2014) dan meningkatkan glukoneogenesis, sehingga terjadilah hiperinsulinemia. Konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat juga memicu resistansi insulin perifer dengan cara mengurangi uptake glukosa oleh otot skeletal (Mantzoros, 2006).

2. TNF-α yang dihasilkan jaringan adiposa akan menimbulkan efek hiperinsulin dengan menstimulasi fosforilasi residu serin oleh Insulin Receptor Subtrate-1 (IRS-1) sehingga menghambat aktivitas tirosin kinase reseptor insulin (Mantzoros, 2006).

Selanjutnya, hiperinsulinemia akan menyebabkan hiperandrogen dengan empat mekanisme berikut:

1. Keberadaan insulin dalam darah akan menekan sekresi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) oleh hepar. Akibatnya, terjadi peningkatan testosteron bebas dalam sirkulasi darah karena kurangnya ikatan testosteron dengan SHBG sehingga terjadilah hiperandrogenisme (Baptiste, 2010).

2. Insulin dalam konsentrasi tinggi akan meniru kerja dari Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dan berikatan dengan Insulin-like Growth Factor-1 Binding Proteins (IGFBP-1). Namun, hiperinsulinemia akan menekan produksi dari IGFBP-1, dan rendahnya kadar IGFBP-1 akan menyebabkan tingginya kadar IGF bebas intraovarium. Tingginya kadar

(34)

IGF bebas intraovarium ini akan menstimulasi steroidogenesis (Mantzoros, 2006).

3. Hiperinsulinemia akan meningkatkan produksi Luteinizing Hormone (LH) dan meningkatkan produksi androgen (Rotstein, 2010).

4. Insulin akan meningkatkan aktivitas 17α-hidroksilase di sel teka dan meningkatkan produksi androstenedion dan testosteron (Rotstein, 2010).

Selain itu, obesitas juga berperan langsung dalam terjadinya hiperandrogenisme. Metabolisme kortisol pada orang yang obesitas dipengaruhi oleh aktivitas abnormal dari 11β-hidroksisteroid dehidrogenase (Mantzoros, 2006). Peningkatan klirens kortisol oleh gangguan ini akan menyebabkan peningkatan hormon adrenokortikotropik dan dengan demikian, terjadilah peningkatan androgen adrenal (Svendsen et al., 2009).

Gambar 2.4 Hubungan obesitas dengan hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme (Mantzoros, 2006).

(35)

Indeks Massa Tubuh

2.4 KERANGKA TEORI

Berat badan kurang hingga normal

Berat badan berlebih

Resistensi

insulin Hiperinsulinemia

Hiperandrogenisme

Derajat Keparahan

Comprehensive Acne Severity System

Keterangan:

Global Acne Grading System

Klasifika si

Lehmann

Pillsbury, Shelley, Kligman

– – – – : variabel yang tidak diteliti : variabel yang diteliti

Gambar 2.5 Kerangka teori penelitian

Pemeriksaan fisik lokalisata Diagnosis

Akne vulgaris Etiopatogenesis

Hiperproliferasi folikel Sebum P.acnes Inflamasi

(36)

2.5 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Variabel Independen Variabel dependen

Gambar 2.6 Kerangka konsep penelitian

2.6 HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara IMT terhadap kejadian akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

Akne vulgaris Indeks Massa Tubuh

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian ini adalah studi analitik. Pendekatan dilakukan dengan metode cross sectional.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 hingga jumlah sampel terpenuhi di SMP Bodhicitta, Medan.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1 Populasi

Siswa/i SMP Bodhicitta yang menderita akne vulgaris dan yang tidak menderita akne vulgaris.

3.3.2 Populasi Terjangkau

Siswa/i SMP Bodchitta kelas VII, VIII, dan IX.

3.3.3 Sampel

Siswa/i yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

A. Kriteria Inklusi

a. Siswa/i SMP Bodhicitta penderita akne vulgaris dengan semua tingkat keparahan maupun tanpa keluhan akne vulgaris.

b. Siswa/i SMP Bodhicitta kelas VI, VIII, dan IX yang berumur 12 – 15 tahun.

c. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent.

(38)

B. Kriteria Eksklusi

a. Sedang dalam pengobatan akne vulgaris (isotretinoin oral, antibiotik oral, antibiotik topikal, dan keratolitik).

b. Tidak mengisi data kuesioner dengan lengkap.

3.3.4 Besar Sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

n =

n

=

n = n = 49 Keterangan:

 n = jumlah sampel

 Z ½ α = nilai pada distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu (untuk α 0,05 nilainya1,96)

 P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari (dari pustaka)

 Q = 1-P

 d = presisi yang diinginkan = 0,1

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini minimal 49 orang dan dibulatkan menjadi 50 orang.

(39)

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan metode non-probability sampling yaitu consecutive sampling dimana semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.

3.4.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang berasal dari sampel penelitian.

Pengumpulan data berat badan dilakukan dengan menggunakan instrumen timbangan seca dengan ketelitian 0,1 kg, pengumpulan data tinggi badan dilakukan dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm.

Selanjutnya, IMT yang diperoleh akan diproyeksikan ke kurva pertumbuhan IMT menurut umur dari CDC.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak sekolah mengenai jumlah siswa/i yang aktif bersekolah di SMP Bodhicitta.

3.5 IDENTIFIKASI VARIABEL 3.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah IMT.

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah akne vulgaris.

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

1. Indeks Massa Tubuh adalah berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan seseorang dalam meter yang dikuadratkan.

Cara Ukur : Mengukur berat badan dalam kilogram dan tinggi badan dalam meter, lalu menghitung IMT dengan rumus IMT

Alat Ukur : Timbangan seca dengan ketelitian 0,1 kg,

(40)

microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, dan kurva pertumbuhan IMT menurut umur dari CDC.

Hasil Ukur : Berat badan kurang hingga normal (underweight dan normal) dan berat badan berlebih (overweight dan obesitas).

Skala pengukuran : Ordinal

2. Akne vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Pengukuran akne vulgaris dilakukan oleh peneliti setelah terlebih dahulu dilatih oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.

Cara Ukur : Wawancara dan observasi

Alat Ukur : Kuesioner dan pemeriksaan fisik lokalisata Hasil Ukur : Menderita dan tidak menderita.

Skala pengukuran : Nominal

3. Derajat keparahan akne vulgaris dinilai dengan sistem skoring Global Acne Grading System.

Cara Ukur : Observasi

Alat Ukur : Pemeriksaan fisik lokalisata

Hasil Ukur : Akne ringan (skor 1-18), sedang (skor 19-30), dan berat (skor 31-38)

Skala pengukuran : Ordinal 3.7 CARA KERJA

1. Pengukuran tinggi badan

a. Meminta anak untuk melepaskan alas kaki yaitu sepatu

b. Meminta anak untuk berdiri membelakangi microtoise dengan posisi badan tegak

c. Menarik microtoise hingga bagian vertex kepala anak d. Membaca angka yang tertera pada microtoise

(41)

2. Pengukuran berat badan

a. Meminta anak untuk melepas sepatu, melepaskan jam tangan, jaket, tas, dan mengeluarkan barang-barang yang ada di kantong

b. Meminta anak untuk menaiki timbangan c. Melihat angka yang tertera pada timbangan

3. Mengukur IMT dan memproyeksikan IMT ke kurva CDC menurut umur a. Membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam

meter yang dikuadratkan

b. Memproyeksikan IMT hasil perhitungan ke kurva CDC sesuai umur sampel

c. Melihat posisi proyeksi IMT pada kurva dan membaca hasilnya sesuai tabel.

4. Menilai lesi akne vulgaris, lalu mengelompokkannya sesuai derajat keparahan Global Acne Grading System.

3.8 ALUR PENELITIAN 3.8.1 Persiapan

Pada tahap ini, peneliti terlebih dahulu melakukan survei awal ke SMP Bodhicitta untuk mengetahui jumlah siswa/i yang dapat menjadi sampel penelitian sesuai kriteria inklusi. Untuk melakukan survei awal, peneliti meminta surat permohonan survei awal dari MEU FK USU dan meminta izin kepada Kepala SMP Bodhicitta, Drs. Alfian Salim.

3.8.2 Alur Penelitian

1. Pengurusan ethical clearance

Untuk mengurus ethical clearance, terdapat beberapa dokumen yang harus dilengkapi antara lain proposal penelitian, formulir isian oleh peneliti, lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian, lembar persetujuan subjek (informed consent), curriculum vitae peneliti, lembar pengesahan, dan rincian biaya yang diserahkan kepada komisi etik FK USU.

(42)

Setelah penyerahan dokumen kepada komisi etik, peneliti menunggu hingga keluarnya surat ethical clearance oleh komisi etik FK USU. Pada tanggal 28 Juli 2017, terbitlah ethical clearance dengan nomor 17/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2017.

2. Pengurusan surat izin penelitian

Setelah ethical clearance terbit, maka dilakukan pengurusan surat izin penelitian kepada bagian MEU FK USU. Pada tanggal 22 Agustus 2017, surat izin penelitian ke SMP Bodhicitta diterbitkan MEU FK USU.

3. Penelitian di SMP Bodhicitta

Setelah surat izin penelitian terbit, dilakukan kunjungan ke SMP Bodhicitta dan bertemu dengan Kepala SMP Bodhicitta untuk menyerahkan surat izin penelitian dari FK USU. Setelah memperoleh izin dari Kepala SMP Bodhicitta untuk melakukan penelitian pada siswa/i SMP Bodhicitta, peneliti mengumpulkan data primer dari sampel yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, dan penilaian lesi akne vulgaris. Setelah berat badan dan tinggi badan diperoleh, selanjutnya dilakukan penghitungan IMT dengan membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m) yang dikuadratkan, lalu diproyeksikan ke grafik CDC sesuai umur.

4. Analisis hubungan IMT dengan akne vulgaris

Setelah data IMT dan status akne vulgaris (menderita dan tidak menderita) diperoleh, dilakukan analisis hubungan dengan Fisher’s exact test pada SPSS.

(43)

Surat izin penelitian terbit

Penelitian Sampel yang memenuhi kriteria inklusi:

a. Siswa/i SMP Bodhicitta yang menderita maupun yang tidak menderita akne vulgaris

b. Berusia 12 – 15 tahun

c. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

Pengukuran berat badan (kg)

Pengukuran tinggi badan (m)

Penilaian lesi akne vulgaris

Tabel 3.1 Alur penelitian

Pengurusan surat izin penelitian Ethical clearance terbit Pengurusan ethical clearance Survei awal ke SMP Bodhicitta

IMT (kg/m2) Status akne

vulgaris

Analisis hubungan IMT dan akne vulgaris dengan Fisher’s exact test pada SPSS

(44)

3.9 METODE ANALISIS DATA

Data yang telah dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan software SPSS. Selanjutnya, dilakukan analisis data yaitu analisis univariat dan bivariat.

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Data kategorik seperti distribusi IMT dan angka kejadian akne vulgaris akan disajikan dalam jumlah dan persentase.

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menyatakan analisis terhadap dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel tergantung. Untuk dua tipe data nominal seperti IMT dan akne vulgaris, uji hipotesis yang digunakan adalah Chi square. Apabila syarat Chi square tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternatif yaitu uji mutlak Fisher (Tumbelaka et al., 2011).

3.10 ETIKA PENELITIAN

Untuk melaksanakan penelitian ini, dilakukan pengajuan ethical clearance kepada Komisi Etik FK USU. Pada tanggal 28 Juli 2017, terbitlah ethical clearance dengan nomor 17/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2017

(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di SMP Bodhicitta yang berlokasi di Jl. Selam I No.

39 – 41, Kelurahan Tegal Sari Mandala I, Kecamatan Medan Denai, Medan, Indonesia.

Sampel pada penelitian ini adalah siswa/i SMP Bodhicitta kelas VII, VIII, dan IX. Jumlah sampel adalah 50 orang siswa/i yang dipilih dengan teknik consecutive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi. Semua data responden merupakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber secara metode kuesioner dan penilaian langsung tinggi badan, berat badan, dan lesi akne vulgaris. Karakteristik sampel pada penelitian ini dideskripsikan berdasarkan kelas, umur, jenis kelamin, IMT, kejadian akne vulgaris, dan derajat keparahan akne vulgaris.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel.

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

Kelas VII 12 24

VIII 13 26

IX 25 50

Umur 12 tahun 5 10

13 tahun 13 26

14 tahun 26 52

15 tahun 6 12

Jenis kelamin Perempuan 28 56

Laki-laki 22 44

IMT BB kurang hingga normal 41 82

BB berlebih 9 18

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat dari 50 orang sampel penelitian, terdapat 13 siswa dari kelas VII (26%), 12 siswa dari kelas VIII (24%), dan 25 siswa dari kelas IX (50%).

Berdasarkan umur, terdapat 6 sampel (12%) berumur 12 tahun, 13 sampel (26%) berumur 13 tahun, 26 sampel (52%) berumur 14 tahun, dan 6 sampel (12%)

(46)

berumur 15 tahun. Rata-rata umur sampel adalah 13,66 dengan median 14 tahun.

Umur termuda adalah 12 tahun, sementara umur tertua adalah 15 tahun. Umur yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah 14 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 28 sampel penelitian (44%) dengan jenis kelamin perempuan dan 22 sampel penelitian dengan jenis kelamin laki-laki (56%).

Berdasarkan IMT, terdapat 41 orang sampel dengan berat badan kurang hingga normal (82%) dan 9 sampel dengan berat badan berlebih (18%).

Distribusi sampel berdasarkan kejadian akne vulgaris dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan kejadian akne vulgaris.

Kejadian Akne vulgaris Frekuensi Persentase (%)

Menderita akne vulgaris 39 78

Tidak menderita akne vulgaris 11 22

Total 50 100

Dari penelitian terhadap 50 orang sampel, diperoleh 39 sampel (78%) yang menderita akne vulgaris dan 11 sampel (22%) yang tidak menderita akne vulgaris.

Prevalensi akne vulgaris sebesar 78% sesuai dengan sebuah penelitian tentang prevalensi akne vulgaris pada populasi remaja muda yang diperkirakan sebesar 79% - 95% (Munawar et al., 2009).

Tabel 4.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan derajat keparahan akne vulgaris.

Derajat Keparahan Frekuensi Persentase (%)

Ringan 35 89,7

Sedang 4 10,3

Berat 0 0

Total 39 100

Berdasarkan tabel 4.3, derajat keparahan akne vulgaris dengan jumlah terbesar adalah ringan (89,7%), diikuti oleh tingkat keparahan sedang (10,3%). Sementara itu, akne vulgaris tingkat keparahan berat tidak ditemukan pada siswa/i SMP Bodhicitta. Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh oleh Zohra et al. (2017)

(47)

pada pasien Departemen Kulit Kelamin Universitas Kedokteran Bangabandhu Sheikh Mujib, ditemukan bahwa tingkat keparahan sedang yang tersering ditemukan (41,67%) sementara tingkat keparahan ringan sebesar 29,17%.

Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan perbedaan kelompok umur. Pada penelitian Zohra et al., rentang umur subjek penelitian adalah umur 11 – 40 tahun, sementara pada penelitian ini rentang umur adalah dari umur 12 – 15 tahun. Pada penelitian oleh Bagatin (2014), prevalensi akne vulgaris cenderung meningkat seiring umur hingga umur 19 tahun sebelum terjadi penurunan angka kejadian.

Akne vulgaris persisten juga ditemukan pada 40% - 54% sampel di atas umur 25 tahun. Selain itu, pada penelitian ini, peneliti tidak menilai akne vulgaris yang terdapat pada punggung dan dada karena penelitian dilakukan di sekolah dan sulitnya memperoleh informed consent dari murid bila memerlukan penilaian lesi pada punggung dan dada. Hal ini juga dapat memengaruhi hasil penilaian derajat keparahan akne vulgaris.

Selanjutnya, kejadian akne vulgaris dianalisis berdasarkan umur dan jenis kelamin dan karakteristik IMT juga dianalisis berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel 4.4 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan umur.

Umur

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

n % n % n %

12 tahun 3 6 2 4 5 10

13 tahun 10 20 3 6 13 26

14 tahun 21 42 5 10 26 52

15 tahun 5 10 1 2 6 12

Total 39 78 11 22 50 100

Berdasarkan hasil penelitian dari tabel 4.4, terdapat 39 orang siswa/i (78%) dari 50 siswa/i yang menderita akne vulgaris. Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat, prevalensi akne vulgaris adalah sebesar 85% pada kelompok umur 12 – 24 tahun (Bhate dan Williams, 2013). Umur dengan kejadian akne vulgaris terbesar adalah umur 14 tahun (42%), diikuti oleh umur 13 tahun (20%), umur 15 tahun (10%), dan umur dengan kejadian akne vulgaris terendah adalah umur 12

(48)

tahun (6%). Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian di Australia, dimana kejadian akne vulgaris terendah adalah pada kelompok umur 10 – 12 tahun yaitu 27,7%

sementara angka kejadian akne vulgaris tertinggi adalah pada kelompok umur 16 – 18 tahun yaitu sebesar 93,3%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi akne vulgaris meningkat seiring umur, dan pada penelitian pada remaja di Sao Paulo, Brazil, semua remaja di atas umur 14 tahun memiliki akne vulgaris (Bagatin, 2014). Peningkatan prevalensi akne vulgaris seiring umur kemungkinan menggambarkan onset pubertas (Semyonov, 2010).

Tabel 4.5 Karakteristik kejadian akne vulgaris berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

n % n % n %

Perempuan 22 44 6 12 28 56

Laki-laki 17 34 5 10 22 44

Total 39 78 11 22 50 100

Menurut tabel 4.5, jenis kelamin yang terbanyak menderita akne vulgaris adalah perempuan yaitu sebesar 44%, sementara laki-laki yang menderita akne vulgaris adalah sebesar 34%. Ini menunjukkan bahwa remaja perempuan cenderung lebih cepat mengalami akne vulgaris dibandingkan remaja laki-laki, sebab rentang umur penelitian ini adalah pada siswa/i dari umur 12 – 15 tahun.

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Bagatin (2014), dimana pada penelitian tersebut ternyata 61% remaja perempuan memiliki akne vulgaris pada umur 12 tahun dan mencapai puncak kejadian pada umur 16 tahun dengan angka kejadian sebesar 83%. Sementara pada remaja laki-laki, prevalensi akne vulgaris pada umur 12 tahun hanyalah 40%, namun angka ini melonjak menjadi 95% pada umur 16 tahun. Penyebab tingginya angka kejadian akne vulgaris pada perempuan dapat dikaitkan dengan perubahan hormon saat menstruasi atau lebih tingginya angka stress psikologis pada perempuan (El-Hamd et al., 2017).

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian pada siswa/i SMA Shafiyyatul Amaliyyah Medan. Pada penelitian yang dilakukan Purwaningdyah (2009)

(49)

tersebut, diperoleh bahwa angka kejadian akne vulgaris lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%). Hal ini dikaitkan dengan lebih tingginya kesadaran wanita untuk mencari informasi dan pelayanan kesehatan terkait akne vulgaris. Selain itu, peranan hormon androgen pada pria juga memegang peranan penting karena kelenjar sebum sangat sensitif terhadap hormon androgen.

Akibatnya, terjadi peningkatan ukuran kelenjar sebum dan peningkatan sekresi sebum yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2015).

Tabel 4.6 Karakteristik IMT berdasarkan umur.

Berat badan kurang IMT

Total Umur

hingga normal Berat badan berlebih

n % n % n %

12 tahun 5 10 0 0 5 5

13 tahun 12 24 1 2 13 26

14 tahun 19 38 7 14 26 42

15 tahun 5 10 1 2 6 12

Total 41 82 9 18 50 100

Menurut tabel 4.6, total anak berumur 12 – 15 tahun dengan berat badan kurang hingga normal pada penelitian ini adalah 82% dan total anak dengan berat badan berlebih adalah 18%. Penelitian di Amerika Serikat oleh Ogden (2010) pada anak umur 12 – 19 tahun memperoleh hasil bahwa sebanyak 34,2% anak memiliki berat badan berlebih dengan kurva IMT menurut umur di atas persentil ke-85, angka yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian peneliti.

Tabel 4.7 Karakteristik IMT berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin

IMT Berat badan kurang hingga normal

Berat badan berlebih

Total

n % n % n %

Laki-laki 19 38 3 6 22 44

Perempuan 22 44 6 12 28 56

Total 41 82 9 18 50 100

(50)

Berdasarkan tabel 4.7, jumlah anak perempuan dengan berat badan kurang hingga normal adalah sebesar 44%, sementara jumlah anak laki-laki dengan berat badan kurang hingga normal adalah sebesar 38%. Namun, jumlah anak perempuan dengan berat badan berlebih lebih besar (12%) dibandingkan dengan jumlah anak laki-laki dengan berat badan berlebih (6%). Menurut Wisniewski (2009), terdapat beberapa perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan perbedaan IMT. Anak perempuan umumnya memiliki massa lemak yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki, dimana anak laki-laki umumnya memiliki massa otot yang lebih besar. Selain itu, umumnya remaja laki-laki lebih sering melakukan aktivitas fisik dibandingkan anak perempuan.

Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik dan intake energi dapat meningkatkan risiko anak menjadi overweight atau obesitas. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak perempuan lebih rentan terhadap faktor keluarga dan lingkungan yang dapat menimbulkan obesitas, misalnya konflik dalam keluarga dapat mendorong anak perempuan untuk mengemil lebih sering, tapi hal ini tidak berlaku pada anak laki- laki.

Hasil penelitian peneliti tidak sesuai dengan penelitian Wang, et al. (2000), dimana menurut penelitian tersebut, lebih banyak anak laki-laki yang mengalami overweight yaitu sebesar 10,8% sementara pada anak perempuan hanya 2,3%.

Menurut Wang, masalah kelebihan berat badan umumnya lebih sering terjadi pada anak laki-laki mungkin dikarenakan kurangnya kepedulian anak laki-laki terhadap gambaran tubuhnya dibandingkan anak perempuan (Wang et al., 2000).

Tabel 4.8 Hubungan IMT dengan Akne vulgaris pada siswa/i SMP Bodhicitta.

IMT

Akne vulgaris

Menderita Tidak menderita Total

p value

0,662

n % n % n %

Berat badan kurang hingga normal Berat badan berlebih

31 8

62 16

10 1

20 2

41 9

82 18

Total 39 78 11 22 50 100

Gambar

Gambar 2.1 Berbagai tipe lesi akne vulgaris (Zaenglein et al., 2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan Global Acne Grading System (Adityan et  al., 2009)
Gambar 2.2 Skar pada  akne vulgaris (Zaenglein et al., 2008).
Tabel 2.4 Klasifikasi IMT menurut World Health Organization (2017).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Presiden Suku Bajo (PSB) :Bermula dari keinginan dan kebutuhan komunitas Suku Bajo akan pengorganisasian maka beberapa tahun lalu diadakanlah pertemuan atau musyawarah

Parameter pertumbuhan yang diukur adalah diameter petiol, tinggi tanaman, lebar tajuk, luas daun, berat basah dan kering umbi, serta diameter umbi.. Data

Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Fear of Missing Out (FoMO) adalah ketakutan, kegelisahan, dan kecemasan yang muncul

Bank umum merupakan bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu

Tidak ada kendala yang berarti artinya yang terkumpul di baznas tulungagung itu memang mayoritas dari pns terus kalau dari masyarakat sekitar itu menggunakan UPZ

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan sistematis

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Sang Maha Pencipta, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan nikmat berupa

pada saat dan tempat yang telah ditentukan. Pembaca Doa adalah peserta didik yang ditunjuk untuk.. bertugas membaca doa pada saat dan tempat yang