• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Indeks nilai penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam suatu komunitas, dimana nilai penting tersebut pada tingkatan pohon dan pole diperoleh dari hasil penjumlahan Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR).

Tabel 4.4 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP pada masing-masing jenis pohon di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

Tabel 4.4 Indeks Nilai Penting Jenis Pohon NO FAMILI SPESIES KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 1.840 3.093 0.719 5.65

2 Apocynaceae Rauwolfia perakensis 0.613 1.031 0.259 1.90

Rauwolfia sp. 1 3.067 4.124 2.619 9.81

Rauwolfia sp. 2 1.227 1.031 0.357 2.62

Rauwolfia sp. 3 1.227 1.031 2.785 5.04

3 Arecaceae Dypsis decipiens 1.227 2.062 0.080 3.37

4 Chlorantaceae Chlorantus elatior 17.178 15.464 21.832 54.47

5 Combretaceae Terminalia belerica 1.227 2.062 1.286 4.58

6 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 9.202 9.278 5.882 24.36

Macaranga tanaria 15.337 10.309 31.461 57.11

Mallotus paniculatus 3.681 6.186 7.390 17.26

7 Fagaceae Lithocarpus sp. 1.840 1.031 1.355 4.23

8 Flacourtiaceae Homalium longifolium 1.840 2.062 1.625 5.53

Osmelia maingayi 4.908 7.216 1.505 13.63

9 Guttiferae Cratoxylon arborescens 1.227 2.062 0.461 3.75

Cratoxylon cochinense 5.521 4.124 2.842 12.49

10 Meliaceae Toona sinensis 1.227 2.062 0.659 3.95

11 Moraceae Ficus auranthiaceae 12.270 9.278 4.261 25.81

Ficus trichocarpa 1.227 1.031 0.627 2.88

12 Myrsinaceae Ardisia wrayi 8.589 8.247 4.908 21.74

13 Myrtaceae Eugenia polyantha 1.227 2.062 5.821 9.11

14 Piperaceae Piper sp. 0.613 1.031 0.213 1.86

15 Rubiaceae Coffea malayana 3.681 4.124 1.056 8.86

TOTAL 100 100 100 300

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Nilai penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis Macaranga tanaria yaitu 57, 11%, selanjutnya

Chlorantus elatior dengan nilai INP 54, 47%, Ficus auranthiacea 25, 81%,

Baccaurea polyneura 24, 36%, Ardisia wrayi 21, 74%, Mallotus paniculatus 17, 26%,

Osmelia maingayi 13, 63%, Cratoxylon cochinense 12, 49%, Rauwolfia sp.1 9, 81%,

Eugenia polyantha 9, 11%, Coffea malayana 8, 86%, dan INP terendah terdapat pada jenis Piper sp. yaitu 1, 86% (Lampiran 6).

Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut dapat diketahui bahwa Macaranga tanaria dan

Chlorantus elatior mampu tersebar di lebih dari setengah wilayah area penelitian. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang cukup tinggi terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga mampu mendominasi sebagian besar wilayah penelitian. Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan di lokasi penelitian Macaranga tanaria dan Chlorantus elatior mampu tumbuh dengan baik pada kondisi suhu udara 21oC, suhu tanah 21oC, kelembaban udara 21oC, intensitas cahaya 97 lux, dan pH tanah 6,6 seperti pada Tabel 4.6.

29

Menurut Ludwig & Reynolds (1988), pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi antara lain: faktor vektorial (intrinsik) yaitu: faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya; faktor kemampuan bereproduksi; faktor sosial yang menyangkut femologi; faktor koaktif yang merupakan dampak dari interaksi intraspesifik; faktor stokhastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor yang berpengaruh.

Menurut Indriyanto (2005), Indeks Nilai Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang menunjukkan dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Selanjutnya Romadhon (2008) pada penelitian mangrove yang telah dilakukan menyebutkan bahwa indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0-300. Nilai penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominasi suatu spesies dalam komunitas.

Rentang nilai KR yang diperoleh yaitu 0, 613%-17, 178%. Nilai KR tertinggi terdapat pada jenis Chlorantus elatior dan terendah terdapat pada jenis Piper sp., dan

Rauwolfia perakensis (Lampiran 6). Menurut Indriyanto (2006) densitas adalah jumlah individu per unit satuan luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti yang sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K. Sedangkan Kerapatan relatif (KR) merupakan perbandingan antara nilai kerapatan suatu jenis dengan total kerapatan seluruh jenis pada lokasi penelitian.

Chlorantus elatior memiliki nilai FR (Frekuensi relatif) tertinggi dengan nilai 15, 464%, selanjutnya jenis Macaranga tanaria dengan nilai 10, 309%, Ficus auranthiacea dan Baccaurea polyneura 9, 202%, Ardisia wrayi 8, 247%, Homalium longifolium 7, 216%, Mallotus paniculatus 6, 186%, Coffea malayana, Cratoxylon cochinense, Rauwolfia sp. 1 masing-masing dengan nilai FR 4, 124%, Alangium salvifolium 3, 093%, Cratoxylon arborescens, Dypsis decipiens, Eugenia polyantha,

Osmelia maingayi, Terminalia belerica, Toona sinensis masing-masing dengan nilai

FR 2, 062%, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis Ficus trichocarpa, Piper sp.,

Rauwolfia perakensis, Rauwolfia sp.2, Rauwolfia sp.3, dan Lithocarpus sp. masing-masing dengan nilai FR 1, 031% (Lampiran 6).

Menurut Ginting (2011), Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas.

Indriyanto (2006) menyatakan bahwa di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem.

Untuk Dominansi Relatif (DR), Macaranga tanaria memiliki nilai tertinggi yaitu 31, 461%, selanjutnya jenis Chlorantus elatior 21, 832%, Baccaurea polyneura

5, 882%, Eugenia polyantha 5, 821%, Ardisia wrayi 4, 908%, Ficus auranthiaceae 4, 261%, Cratoxylon cochinense 2, 841%, Rauwolfia sp.3 2, 785%, Rauwolfia sp.1 2, 619%, Osmelia maingayi 1, 625%, Homalium longifolium 1, 505%, Lithocarpus sp. 1, 355%, Terminalia belerica 1, 286%, Coffea malayana 1, 056%, Alangium salvifolium

0, 719%, Toona sinensis 0, 659%, Ficus trichocarpa 0, 627%, Cratoxylon arborescens 0, 461%, Rauwolfia sp. 2 0, 357%, Rauwolfia perakensis 0, 259%, Piper

sp. 0, 213%, dan nilai DR terendah adalah jenis Dypsis decipiens dengan nilai 0, 080% (Lampiran 6).

Menurut Suin (2002), basal area adalah bagian tanah yang dikuasai oleh pokok tumbuhan. Karakter ini merupakan salah satu pengukur dominansi. Dominansi adalah proporsi tanah yang ditutupi oleh suatu jenis dari luas plot. Tutupan dan basal area juga sebagai salah satu karakter komunitas tumbuh-tumbuhan. Kepadatan dan frekuensi saja belum cukup memberikan informasi tentang penyebaran jenis tumbuhan pada suatu daerah, dimana jenis yang berbeda mungkin berbeda pula

31

bentuk hidupnya. Karena itu untuk menganalisis komunitas tumbuhan perlu pula dilengkapi dengan tutupan dan basal area.

Tabel 4.5 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP jenis pole di lokasi penelitian di kawasan Hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat. Tabel 4.5 Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Pole

No FAMILI SPESIES KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 0.971 1.471 1.177 3.618

2 Anacardiaceae Buchanania sessifolia 0.971 1.471 0.603 3.044

3 Apocynaceae Rauwolfia sp. 1 1.942 2.941 2.427 7.310

4 Arecaceae Dypsis decipiens 0.971 1.471 1.359 3.800

5 Chlorantaceae Chlorantus elatior 1.942 2.941 1.436 6.319

6 Combretaceae Terminalia belerica 0.971 1.471 0.653 3.095

7 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 5.825 5.882 7.803 19.511

Macaranga tanaria 3.883 4.412 4.769 13.064

8 Fagaceae Quercus lamponga 0.971 1.471 0.463 2.905

9 Flacourtiaceae Homalium longifolium 4.854 7.353 10.354 22.561

10 Guttiferae Cratoxylon arborescens 2.913 4.412 2.915 10.239

Cratoxylon cochinense 1.942 2.941 2.899 7.782

11 Lechytidaceae Planchoria valida 0.971 1.471 0.798 3.240

12 Moraceae Ficus auranthiaceae 20.388 11.765 23.319 55.472

Ficus carthacea 5.825 7.353 3.150 16.328

Ficus sp. 1 0.971 1.471 1.683 4.125

Ficus sp. 2 0.971 1.471 0.999 3.441

Ficus trichocarpa 1.942 1.471 1.796 5.208

13 Myrsinaceae Ardisia wrayi 14.563 10.294 15.451 40.309

14 Myrtaceae Eugenia polyantha 4.854 5.882 3.904 14.641

15 Piperaceae Piper sp. 11.650 8.824 4.344 24.818

16 Rubiaceae Anthocepalus cadamba 4.854 5.882 3.369 14.106

Canthium horridum 0.971 1.471 0.916 3.358

Coffea malayana 2.913 2.941 2.857 8.711

Coffea robusta 0.971 1.471 0.554 2.996

TOTAL 100 100 100 300

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa jenis Ficus auranthiaceae

memiliki nilai INP terbesar yaitu 55, 472%. selanjutnya Ardisia wrayi dengan nilai INP 40, 309%, Piper sp. 24, 818%, Homalium longifolium 22, 561%, Baccaurea polyneura 19, 511%, Ficus carthacea 16, 328%, Eugenia polyantha 14, 641%,

Anthocepalus cadamba 14, 106%, Macaranga tanaria 13, 064%, Cratoxylon arborescens 10, 239%, Coffea malayana 8, 711%, Cratoxylon cochinense 7, 782%,

Rauwolfia sp.1 7, 310%, Chlorantus elatior 6, 319%, Ficus trichocarpa 5, 208%,

Ficus sp.1 4, 125%, Dypsis decipiens 3, 800%, Alangium salvifolium 3, 618%,

Canthium horridum 3, 358%, Ficus sp. 2 3, 441%, Planchoria valida 3, 240%,

Buchanania sessifolia 3, 044%, Coffea robusta 2, 996%, dan nilai INP terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai INP 2, 905% (Lampiran 7). Menurut Indriyanto (2006), spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar.

Keadaan ini menunjukkan bahwa Ficus auranthiaceae memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan situasi faktor biotis maupun abiotis (Tabel 4.6) sehingga mampu tumbuh menyebar di sekitar lokasi penelitian sehingga sangat berpengaruh terhadap indeks nilai penting jenis ini yang menunjukkan kemampuan jenis tersebut untuk mendominasi wilayah tumbuhnya.

Dominansi jenis menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam suatu komunitas di areal hutan. Dominansi jenis ini ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi. Tingginya nilai INP pun menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lebih baik dibanding jenis lainnya. Jenis dominan dengan INP tertinggi dari tiap kondisi hutan memiliki jenis yang beragam. Jenis-jenis tiap bentuk pertumbuhan menunjukkan komposisi berbeda dari tiap kondisi hutan tersebut (Rahmasari, 2011).

Untuk nilai Frekuensi Relatif (FR) jenis Ficus auranthiaceae memiliki FR tertinggi dengan nilai 11, 765%, selanjutnya diikuti nilai FR dari jenis Ardisia wrayi

dengan nilai 10, 294%, Piper sp. 8, 824%, Homalium longifolium, Ficus carthacea

dengan nilai masing-masing 7, 353%, Anthocepalus cadamba, Baccaurea polyneura,

Eugenia polyantha dengan nilai masing-masing jenis 5, 882%, Cratoxylon arborescens, Macaranga tanaria dengan nilai masing-masing jenis 4, 412%,

Chlorantus elatior, Coffea malayana, Cratoxylon cochinense, Rauwolfia sp. 1 dengan nilai FR masing-msing jenis yaitu 2, 941%, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis

Alangium salvifolium, Buchanania sessifolia., Canthium horridum, Coffea robusta,

Dypsis decipiens, Ficus sp.1, Ficus sp. 2, Ficus trichocarpa, Planchoria valida,

Quercus lamponga, Terminalia belerica dengan nilai FR masing-masing jenis yaitu 1, 471% (Lampiran 7).

33

Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi jenis tersebut. Dengan demikian sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang dipelajari, meskipun belum dapat menggambarkan pola penyebarannya. Spesies organisme yang penyebarannya luas akan memiliki nilai frekuensi perjumpaan yang besar (Indriyanto, 2005).

Dominansi Relatif (DR) jenis Ficus auranthiaceae memiliki nilai DR tertinggi dengan nilai 23, 319%, selanjutnya jenis Ardisia wrayi dengan nilai 15, 451,

Homalium longifolium 10, 354%, Baccaurea polyneura 7,803%, Macaranga tanaria

4,769%, Piper sp. 4, 344%, Eugenia polyantha 3, 904%, Anthocepalus cadamba

3,369%, Ficus carthacea 3, 150%, Cratoxylon arborescens 2, 915%, Cratoxylon cochinense 2,899%, Rauwolfia sp.1 2, 427%, Ficus trichocarpa 1, 769%, Ficus sp. 1 1,683%, Chlorantus elatior 1, 436%, Dypsis decipiens 1, 359%, Alangium salvifolium

1,177%, Ficus sp.2 0, 999%, Canthium horridum 0, 916%, Planchoria valida 0, 798%, Terminalia belerica 0, 653%, Buchanania sessifolia 0, 603%, Coffea robusta

0, 554%, dan nilai DR terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai 0, 463% (Lampiran 7).

Kemampuan suatu jenis untuk tumbuh tersebar mendominasi suatu area tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor fisik kimia lingkungan yang sangat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan jenis tersebut. Beberapa faktor fisik-kimia lingkungan tersebut antara lain suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan pH tanah. Menurut Suin (2002), dalam studi ekologi pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan. Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi organisme yang diteliti. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisika dan kimia. Faktor fisika di daratan antara lain ialah temperatur, curah hujan, cahaya, kelembaban udara, kadar air tanah, porositas tanah, dan tekstur tanah. Faktor kimia di

daratan antara lain adalah pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Tabel 4.6 berikut memperlihatkan hasil pengukuran faktor-fisik kimia lingkungan di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

Tabel 4.6 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

Suhu Udara (oC) Suhu Tanah (oC) Kelembaban Udara (%) Intensitas Cahaya (lux) pH Tanah 21 21 91 97 6,6

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa suhu udara di lokasi penelitian ini adalah 21oC, suhu tanah 21oC, kelembaban udara 91%, intensitas cahaya 97 lux, dan pH tanah adalah 6, 6.

Keberadaan jenis pohon dan pole di lokasi penelitian ini tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh faktor lingkungan abiotik seperti suhu udara, suhu dan pH tanah, kelembabaan, dan intensitas cahaya. Perbedaan komposisi pohon dan pole yang ditemukan menunjukkan adanya perbedaan toleransi dari masing-masing jenis maupun individu terhadap faktor-faktor abiotik yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriyanto (2005), bahwa penggantian spesies tumbuhan tertentu oleh spesies yang lain sangat tergantung pada kemampuan spesies tumbuhan untuk bersaing dengan yang lain terhadap tempat (ruang tumbuh), cahaya, air, dan unsur hara tanah. Pada tempat-tempat dengan kondisi ekstrem (keras) seperti di padang pasir dan lingkungan montane, umumnya tetumbuhan berjarak cukup lebar, sehingga mengurangi tingkat persaingan yang terjadi. Akan tetapi, pada kondisi yang ideal seperti di hutan hujan tropis, persaingan yang terjadi sangat keras dan tetumbuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi pada banyak niche ekologi yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya.

Cahaya merupakan faktor penting dalam persaingan antar tetumbuhan. Pada kenyataan seperti itu, akhirnya timbul kesan bahwa semua persaingan di atas tanah bergantung kepada tersedianya cahaya. Tetumbuhan yang memerlukan cahaya dan tetumbuhan yang memerlukan naungan dapat hidup berdampingan, tetapi persaingan tetap terjadi di antara mereka. Persaingan terhadap cahaya dijadikan alasan yang tepat

35

sebagai penyebab munculnya struktur ekosistem hutan yang kompleks pada hutan hujan tropis yang menggunakan cahaya secara maksimum (Indriyanto, 2005).