• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Pohon Dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan Di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Dan Perkebunan Kopi Telagah, Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Pohon Dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan Di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Dan Perkebunan Kopi Telagah, Langkat"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEANEKARAGAMAN POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER 30 TAHUN

DAN PERKEBUNAN KOPI TELAGAH, LANGKAT

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

JHONMARTHALI SIMAMORA 080805023

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(2)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER 30 TAHUN DAN

PERKEBUNAN KOPI TELAGAH, LANGKAT

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2013

(3)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh berkat dan kasihnya penulis diberikan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Pohon dan Pole Serta dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Telagah Kabupaten Langkat” sesuai dengan waktu yang diharapkan.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan serta arahan sejak pertama memulai penelitian hingga penulisan skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Arlen Hanel Jhon, M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga, SSi., MSi., selaku dosen penguji yang telah benyak memberi kritik, saran, serta masukan yang sangat membentu menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dra. Elimasni M.Si selaku dosen pembimbing akademis. Terimakasih kepada Bapak Dr. Alief Aththorick M.Si selaku koordinator Laboratorium Sistematika Tumbuhan dan Bapak Drs. Zaidun Sofyan M.Si selaku koordinator Laboratorium Ekologi Umum yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan di laboratorium. Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M. Sc. selaku ketua Departemen dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja M. Sc. selaku sekertaris departemen.

Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada Mr. Wu dan Kakak kami Anggia Sitanggang S.Si bersama tim “Rain Forest Coffee Foundation” yang telah bersedia menjadi sponsor penelitian ini.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada Ayahanda Alm. S. Simamora yang selalu menjadi inspirasi bagi perjalanan kehidupan dan pendidikan saya, kepada Ibunda tercinta M. Situmorang S.Pd yang telah berjuang sendiri memberi yang terbaik bagi saya, kepada Abangku Sandro Simamora S. Pd, Torang W. Simamora S.S, kakak iparku Rina Sinaga, S. Pd, dan Adikku Shinta Simamora, yang selalu menjadi dan memberi dukungan semangat. Terimakasih juga saya ucapkan kepada bapak Drs. Marihat Situmorang, M. Kom yang selalu membimbing saya dalam perjalanan perkuliahan saya.

Terimakasih saya ucapkan kepada tim yang telah membantu penelitian ini selama di lapangan (Pak Iwan Sembiring, Pak Marbun, Bang Umri, Bang Faridh, Gilang, Frans, Herclus, Posma, Pinta, Nisa Hidayati, Siska). Terimakasih kepada Pak Marbun dan keluarga yang telah bersedia memberi tumpangan tempat tinggal selama penelitian di lapangan. Terimakasih kepada Bang Mahya, Bang Kasbi, Bang Marzuki, Bang Zulfan Arico. Terimakasih kepada kakak asuh ku Kak Christine Silaban dan kakak-kakak asuh kami angkatan 2006, angkatan 2007, teman-teman seangkatan 2008, adik-adik angkatan 2009, angkatan 2010, dan 2011. Terimakasih kepada rekan-rekan asisten di Laboratorium Sistematika Tumbuhan, rekan-rekan-rekan-rekan di Laboratorium Ekologi Umum. Terimakasih kepada saudara-saudara saya di PKBKB. Terimakasih kepada rekan-rekan The Reason 2011. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

(4)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua kalangan yang menggunakannya.

Medan, Maret 2013

(5)

KEANEKARAGAMAN POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER 30 TAHUN

DAN PERKEBUNAN KOPI TELAGAH, LANGKAT

ABSTRAK

Penelitian “Potensi Karbon Tersimpan pada Pohon dan Pole Dikawasan Hutan Sekunder 30 Tahun dan Perkebunan Kopi Hutan Telagah Kabupaten Langkat” telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2012. Areal pengamatan ditentukan secara purposive sampling dengan luas 40 x 200 meter yang terdiri dari 20 plot dan subplot. Pada lokasi penelitian ditemukan 15 famili yang terdiri dari 23 jenis pohon dan 16 famili yang terdiri dari 25 jenis pole. Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian yaitu Macaranga tanaria dengan nilai INP 57, 11% dan jenis pole yang mendominasi di lokasi penelitian yaitu jenis Ficus aurantiaceae dengan nilai INP 55, 472%. Indeks keanekaragaman pohon dan pole secara berturut adalah 2, 650 dan 2, 715. Indeks keseragaman pohon dan pole secara berurut adalah 0,520 dan 0, 586. Jumlah karbon tersimpan pada masing-masing tegakan pohon, pole, dan tanaman kopi adalah 146, 519 ton/ha; 3, 933 ton/ha; 0, 0489 ton/ha.

Kata kunci: karbon, purposive sampling, pohon, pole, kopi, INP.

(6)

THE DIVERSITY OF TREE AND POLE

AND POTENTIAL OF CARBON STORED IN 30 YEARS SECONDARY FOREST AREA AND COFFEE FIELD AT TELAGAH DISTRICT

OF LANGKAT

ABSTRACT

The Diversity of Tree and Pole And Potential Of Carbon Stored In 30 Years Secondary Forest Area And Coffee Field at Telagah District of Langkat was investigated on February to June 2012. Study site was determined by purposive sampling with total area 40 x 200 meters devided into 20 plots and subplots. On research sites. There were found 15 family and 23 species for tree phase; 16 family and 25 species of pole phase. This study site was dominated by Macaranga tanaria

with important value index of tree phase is 57, 11%, and Ficus aurantiaceae with important value index of pole phase is 55, 472%. Diversity index of tree phase is 2, 650 and 2, 715 for pole phase. Equitability index of tree phase is 0, 520 and 0, 586 for pole phase. Potential of carbon stored in tree phase is 146, 519 ton/ha; 3, 933 ton/ha for pole phase; and 0, 0489 ton/ha for coffee plantation.

(7)

DAFTAR ISI

halaman

Persetujuan ii

Pernyataan Penghargaan

iii iv

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Tujuan 4

1.4 Manfaat 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Hutan 5

2.2 Hutan Hujan Tropis 6

2.3 Pohon 7

2.4 Potensi Karbon Tersimpan 8

2.5 Perubahan Iklim 10

Bab 3 Bahan dan Metoda

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Deskripsi Area 11

3.2.1 Letak dan Luas 11

3.2.2 Topografi 12

3.2.3 Iklim 12

3.2.4 Vegetasi 12

3.3 Pelaksanaan Penelitian 13

3.3.1 Di Lapangan 13

3.3.2 Di Laboratorium 13

3.4 Analisis Data 14

3.4.1 Analisis Vegetasi 14

3.4.2 Potensi Karbon Tersimpan 16

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Kekayaan Jenis Pohon dan Pole

4.1.1 Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Pohon

17 19

(8)

4.1.2 Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Pole 20

4.2 Struktur Vegetasi Pohon 22

4.3 Struktur Vegetasi Pole 25

4.4 Indeks Nilai Penting 27

4.5 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) 35

4.6 Karbon Tersimpan 36

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 41

5.2 Saran 42

Daftar Pustaka 43

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Jenis-Jenis Pohon dan Pole di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun

Desa Telagah Kabupaten Langkat 17

4.2 Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Pohon di

Kawasan Hutan Sekunder Desa Telagah Kabupaten Langkat 19 4.3 Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Pole di Kawasan

Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat. 20 4.4 Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Pohon di Lokasi Penelitian di

Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten

Langkat. 28

4.5 Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Pole di Lokasi Penelitian di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

31 4.6 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Kawasan Hutan Sekunder

30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat. 34

4.7 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Pohon dan Pole di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah

Kabupaten Langkat. 35

4.8 Kandungan Bimassa (Ton/Ha) Dan Karbon Tersimpan (Ton/Ha) Pada Vegetasi Pohon dan Pole Serta Tanaman Kopi di Kawasan

Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat 37

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

4.1 Luas Bidang Dasar Masing-Masing Famili pada Tingkatan Pohon di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah

Kabupaten Langkat 22

4.2 Luas Bidang Dasar Jenis-Jenis Pohon 23

4.3 Luas Bidang Dasar Masing-Masing Famili Tingkatan Pole di

Kawasan Hutan Sekunder Desa Telagah Kabupaten Langkat 25

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

1 Peta Penelitian 46

2 Plot Pengamatan 47

3 Tabel Pengamatan Vegetasi Pohon di Kawasan Hutan

Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat 49 4 Tabel Pengamatan Vegetasi Pole di Kawasan Hutan

Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat 53 5 Tabel Pengamatan Tanaman Kopi di Areal Perkebunan

Kopi Rakyat Desa Telagah Kabupaten Langkat 56 6 Tabel Analisis Vegetasi Pohon di Kawasan Hutan

Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat 59 7 Tabel Analisis Vegetasi Pole di Kawasan Hutan Sekunder

30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat

60

8 Tabel Pengukuran Biomassa Pohon 61

9 Tabel Pengukuran Biomassa Pole 69

10 Tabel Pengukuran Biomassa Tanaman Kopi 74

11 Contoh Perhitungan Nilai K, KR, F, FR, D, DR, INP, H’,

E, dan BK 80

12 Hasil Identifikasi Herbarium Medanese 83

13 Lampiran Foto-Foto Penelitian 84

(12)
(13)

KEANEKARAGAMAN POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER 30 TAHUN

DAN PERKEBUNAN KOPI TELAGAH, LANGKAT

ABSTRAK

Penelitian “Potensi Karbon Tersimpan pada Pohon dan Pole Dikawasan Hutan Sekunder 30 Tahun dan Perkebunan Kopi Hutan Telagah Kabupaten Langkat” telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2012. Areal pengamatan ditentukan secara purposive sampling dengan luas 40 x 200 meter yang terdiri dari 20 plot dan subplot. Pada lokasi penelitian ditemukan 15 famili yang terdiri dari 23 jenis pohon dan 16 famili yang terdiri dari 25 jenis pole. Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian yaitu Macaranga tanaria dengan nilai INP 57, 11% dan jenis pole yang mendominasi di lokasi penelitian yaitu jenis Ficus aurantiaceae dengan nilai INP 55, 472%. Indeks keanekaragaman pohon dan pole secara berturut adalah 2, 650 dan 2, 715. Indeks keseragaman pohon dan pole secara berurut adalah 0,520 dan 0, 586. Jumlah karbon tersimpan pada masing-masing tegakan pohon, pole, dan tanaman kopi adalah 146, 519 ton/ha; 3, 933 ton/ha; 0, 0489 ton/ha.

Kata kunci: karbon, purposive sampling, pohon, pole, kopi, INP.

(14)

THE DIVERSITY OF TREE AND POLE

AND POTENTIAL OF CARBON STORED IN 30 YEARS SECONDARY FOREST AREA AND COFFEE FIELD AT TELAGAH DISTRICT

OF LANGKAT

ABSTRACT

The Diversity of Tree and Pole And Potential Of Carbon Stored In 30 Years Secondary Forest Area And Coffee Field at Telagah District of Langkat was investigated on February to June 2012. Study site was determined by purposive sampling with total area 40 x 200 meters devided into 20 plots and subplots. On research sites. There were found 15 family and 23 species for tree phase; 16 family and 25 species of pole phase. This study site was dominated by Macaranga tanaria

with important value index of tree phase is 57, 11%, and Ficus aurantiaceae with important value index of pole phase is 55, 472%. Diversity index of tree phase is 2, 650 and 2, 715 for pole phase. Equitability index of tree phase is 0, 520 and 0, 586 for pole phase. Potential of carbon stored in tree phase is 146, 519 ton/ha; 3, 933 ton/ha for pole phase; and 0, 0489 ton/ha for coffee plantation.

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Daniel (1992), hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.

Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk ke dalam sektor LULUCF (Land use, land use change and forestry) adalah salah satu sektor penting yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor LULUCF sebesar 18%, sedangkan di Indonesia

Second National Communication melaporkan kontribusi LULUCF sebesar 48%. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat menentukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission) (Wibowo, 2010).

Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Siklus karbon adalah siklus

(16)

2

biogeokimia yang mencakup pertukaran/perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi (Sutaryo, 2009).

Selain melakukan proses fotosintesis untuk merubah karbon dioksida (CO2)

menjadi oksigen (O2), tumbuhan juga melakukan proses respirasi yang melepaskan

CO2. Namun proses ini cenderung tidak signifikan karena CO2 yang dilepas masih

dapat diserap kembali pada saat proses fotosintesis. Pada saat tumbuhan atau satwa hutan mati, akan terjadi proses dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO2 ke atmosfer. Di hutan alam akan banyak terjadi mortalitas akibat

usia, persaingan tempat tumbuh maupun akibat penyebab lain seperti hama, penyakit maupun bencana alam. Mortalita tumbuhan juga secara alami selalu diimbangi dengan proses regenerasi, sehingga terjadi keseimbangan ekologis termasuk keseimbangan karbon atau yang dikena dengan istilah “carbon neutral”. Akan tetapi pada saat unsur antropogenik terlibat secara berlebihan dalam ekologi hutan, maka akan terjadi proses percepatan pelepasan emisi akibat dekomposisi dan pada kenyataannya, pelepasan emisi antropogenik tersebut tidak dapat diimbangi oleh laju penyerapan karbon oleh hutan. Sehingga luas dan kualitas hutan semakin menyusut (Manuri et al., 2011).

Beberapa penelitian tentang potensi karbon tersimpan di beberapa lokasi penelitian yang telah dilakukan oleh: Bakri (2006) menunjukkan cadangan karbon di Hutan Wisata Taman Eden 100 sebesar 95, 82 ton/ha, Zaini (2011) cadangan karbon di kawasan hutan lindung dan perkebunan kopi kabupaten Pakpak Bharat sebesar 232, 290 ton/ha.

(17)

3

kawasan ini mengakibatkan sempat terjadinya pengalihfungsian lahan hutan menjadi kawasan pertanian. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kawasan hutan primer di Kawasan ekosistem Leuser di desa Telagah Kabupaten Langkat. Kegiatan pengalihfungsian lahan ini mengakibatkan pelepasan karbon ke atmosfer oleh vegetasi yang dimusnahkan. Untuk mengembalikan keadaan hutan menjadi hutan sekunder, dibutuhkan waktu puluhan tahun. Maka untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman Pohon dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Sekunder dan Perkebunan Kopi Hutan Telagah Kabupaten Langkat.

1.2Permasalahan

Keberadaan hutan sebagai gudang keanekaragaman flora dan fauna mengakibatkan kawasan hutan mengalami banyak eksploitasi. Vegetasi hutan terutama kayu menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Produk komoditas kayu tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kertas, meubel, maupun untuk konstruksi bangunan. Tegakan hutan yang banyak digunakan yaitu fase pole dan pohon sehingga dikhawatirkan pole dan pohon akan habis dari tegakan-tegakan hutan, sehingga ketersediaan jumlah karbon di hutan semakin menurun. Selain itu, adanya proses pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan menyebabkan berkurangnya kawasan hutan menyerap akumulasi karbondioksida dari atmosfer. Sejauh ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman pohon dan pole serta potensi karbon tersimpan di kawasan hutan sekunder 30 tahun dan perkebunan kopi desa Telagah, Langkat.

1.3Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman pohon dan pole serta potensi karbon tersimpan di kawasan hutan sekunder 30 tahun dan perkebunan kopi desa Telagah, Langkat.

(18)

4

1.4Manfaat

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Hutan bukan hanya sekumpulan individu pohon, tetapi sebagai masyarakat tumbuhan yang kompleks, terdiri atas pepohonan, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan. Satu sama lain saling berinteraksi. Untuk dikategorikan sebagai hutan, sekelompok pepohonan harus mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah, serta menghasilkan tumpukan bahan organik (serasah) yang sudah terurai maupun yang belum di atas tanah mineral (Indriyanto, 2008). Menurut Yunasfi (2008) menyatakan bahwa hutan mempunyai fungsi multiguna (multiple use), yaitu sebagai penghasil kayu dan non kayu ( non timber product), pengawetan dan perlindungan tata air (hydro orology), penghasil pakan dan makanan (forage and food), habitat kehidupan liar (wild life) serta tempat wisata alam terbuka (outdoor recreation).

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan Pohon-pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan (Withmore, 1991).

Menurut McNaughton & Wolf (1990), ada tiga tipe pepohonan penting yang mendominasi area geografik yang luas yaitu: pohon-pohon coniferous yang selalu hijau (evergreen coniferous), pohon-pohon berdaun besar dan selalu rontok (decideous broad-leafs), pohon-pohon berdaun lebar yang selalu hijau (evergreen broad-leafs). Pada umumnya hutan coniferous yang selalu hijau terdapat di belahan bumi sebelah utara, hutan dengan pohon berdaun lebar yang selalu rontok terdapat di daerah lintang tengah, dan hutan dengan pohon berdaun lebar dan selalu hijau hanya terdapat pada daerah dengan curah hujan tinggi di tiap sisi equator. Meskipun kita

(20)

dapat mengalompokkan daerah berhutan di dunia ini menjadi tiga biome umum, seperti halnya biome lain dimana pengelompokan satu dengan yang lain pada daerah yang luas, dengan komposisi keadaan ekologi yang terus menerus berubah. Sepanjang batas-batasnya hutan dikelompokkan menjadi beberapa bagian atau berubah menjadi tanah berhutan yang jarang, savana, tundra atau padang rumput.

2.2 Hutan Hujan Tropis

Biome hutan tropis menempati daerah dengan cuarah hujan tinggi, secara umum besarnya curah hujan melebihi 200 cm per tahun dan pasti lebih dari 150 cm per tahun. Biome yang berada di tengah hutan huja tropis, meskipun daerah ini terdapat di sepanjang tepi biome dan sampai ke daerah decideous atau hutan semi decideous, akhirnya bergabung dengan savana dan semak berduri. Hutan hujan didominasi oleh tanaman-tanaman yang tinggi, berdaun lebar dan selalu hijau. Keadaan musim yang terjadi di daerah ini dibanding dengan kawasan dengan iklim sedang, hutan tropis cenderung memiliki curah hujan yang tinggi, temperatur tinggi dan relatif konstan, fotoperiode (lamanya pencahayaan) seragam sepanjang tahun berada di sekitar 25oC baik di siang hari maupun malam hari dan variasi musim yang sempit. Kelembaban relatif di sekitar 80% (McNaughton & Wolf, 1990).

Salah satu corak lain yang menonjol dari hutan hujan tropis adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu. Hanya beberapa jenis epifit dan sebagian kecil tumbuhan teduhan saja yang bersifat terna. Beberapa famili tumbuhan yang anggotanya dalam iklim sedang semuanya bersifat terna misalnya Rubiaceae, dan di hutan tropik kelompok tumbuhan ini berupa pohon (Ewusie, 1990).

Soerianegara & Indrawan (1987) dalam Indriyanto (2005) membagi hutan hujan tropik (tropical rain forest) atas tiga zone menurut ketinggian tempat, yaitu: a. Hutan hujan bawah, terletak pada 0-1000m dpl.

(21)

7

Dipterocarpaceae, terutama dari genera Shorea. Jenis dan famili yang membentuk lapisan tajuk ini diantaranya Koompasia, Genua, Madhuka, Palaquium, dan Sindora. Lapisan tajuk kedua biasanya dikuasai famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae,

dan Guttifereae. Lapisan tajuk paling bawah merupakan anakan pohon, belukar serta semak penutup tanah.

b. Hutan hujan tengah, terletak pada 1000-3000 m dpl.

Pada zone ini pohon-pohonnya tidak setinggi pada zone pertama. Jenis-jenis yang umum terdapat pada zone ini adalah Quercus, Castanopsis, Nethofagus, Magnolia, dan Ulmus. Beberapa asosiasi yang terdapat yaitu asosiasi Pinus mercusii,

Agathis, Podocarpus, Duabanga malucans dan Araucaria.

c. Hutan hujan atas, terletak pada 3000-4000m dpl.

Hutan pada zona ini umumnya merupakan kelompok yang terpisah-pisah oleh belukar dan padang rumput. Jenis-jenis yang terdapat pada zona ini adalah

Podocarpus, Dacrydium, Eugenia, dan beberapa jenis famili Guttifereae.

2.3Pohon

Pohon merupakan kelompok tumbuhan berkayu, berukuran besar, dengan tinggi lebih dari 5 meter (Indriyanto, 2005). Pohon sebagai salah satu kelompok tumbuhan kormus

(Cormophyta), yaitu kelompok tumbuhan yang tubuhnya secara nyata

memperlihatkan diferensiasi dalam tiga bagian pokok meliputi akar, batang, dan daun.

Pepohonan itu beragam ukurannya, tetapi spesies hutan hujan bukan yang tertinggi di bumi ini. Ketinggian rata-rata yang umum pada lapisan atasnya dapat ditetapkan pada 30 m dengan yang tertinggi tidak melebihi 46-55 m. Dalam hal yang luar biasa, dapat tercapai ketinggian antara 60 dan 90 m. Dengan demikian pohon tropika biasanya lebih tinggi dari pada pohon hutan iklim-sedang yang ketinggian rata-ratanya 30 m dan dalam beberapa hal luar biasa dapat mencapai 46 m. Namun demikian, semua pohon itu dilampaui ketinggiannya oleh pohon non tropika seperti kayu merah California (Sequoia sempervirens) dan pohon Eucalyptus regnans Australia yang berturut-turut dapat mencapai ketinggian 111 m dan 107 m. Dalam hal

(22)

lingkar batang, hutan hujan tropika itu terkenal dengan kerampingannya, dengan lingkar batang satu meter merupakan ukuran yang lumrah. Adalah benar bahwa pohon yang lebih besar mencapai lingkar batang sampai 17 m, tetapi lagi-lagi hal ini juga terlampaui oleh pohon raksasa California (Sequoiadendron giganteum) dan pohon raksasa Selandia Baru (Agathis autralis), yang masing-masing mencapai lingkar batang 23 m (Ewusie, 1990).

Menurut Kadri (1992) dalam Direktorat Jendral Kehutanan, klasifikasi pohon dalam sebuah hutan sangat berguna untuk keperluan pengelolaan hutan itu sendiri. Klasifikasi pohon dapat didasarkan pada ukuran pohon atau posisi tajuk pohon di dalam hutan. Parameter ukuran pohon yang dimaksudkan berupa diameter batang setinggi dada (diameter batang pada ketinggian 130 cm di atas tanah) dan tinggi pohon. Untuk setiap fase pertumbuhan, ukuran tersebut akan selalu berbeda. Oleh karena itu, klasifikasi pohon berdasarkan ukuran dibedakan dalam fase-fase sebgai berikut:

1) Semai (seedlings), yaitu pohon yang tingginya kurang dari atau sama dengan1,5 meter.

2) Sapihan atau pancang (saplings), yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.

3) Tiang (poles), yaitu pohon dengan diameter batang 10 cm-19 cm.

4) Pohon inti (nucleus trees), yaitu pohon dengan diameter batang 20 cm-49 cm. 5) Pohon besar (trees), yaitu pohon dengan diameter batang lebih dari 50 cm.

2.4 Potensi Karbon Tersimpan

(23)

9

ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sekitar 0,7 + 1,0 Pg diserap oleh ekosistem daratan (Rahayu et al. 2007).

Karbon hutan memainkan peranan penting dalam siklus ekologi secara alami dan berkontribusi dalam mencegah pemanasan global dengan menyerap CO2 dari

atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Karena separuh massa tanaman merupakan karbon, maka sejumlah karbon tersimpan dalam hutan, sehingga hutan merupakan penyimpan karbon terbesar di daratan bumi (Heriansyah et al. 2002).

Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2

dengan jumlah besar 0,7 + 1,0 Pg per tahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7-4,50C. Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian juga dapat melepaskan cadangan karbon ke atmosfer dalam jumlah yang cukup berarti. Namun, jumlah tersebut tidak memeberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang

mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah dan rumput (Rahayu et al. 2007).

Perkebunan bukanlah hutan alami. Hutan alami memiliki berbagai jenis pohon dan menjadi tempat hidupnya bermacam-macam tumbuhan dan hewan. Sebaliknya, perkebunan seringkali hanya memiliki satu spesies pohon dengan umur yang sama dan ditanam berdekatan. Mereka tidak mendukung kehidupan hewan dan memiliki kadar air bersih yang rendah. Pohon-pohon ini juga menyimpan karbon dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan hutan alami. Definisi UNFCCC akan “hutan” belum membedakan hutan alami dengan perkebunan – namun ini hal yang mutlak (Novis, 2008).

(24)

2.4Perubahan Iklim

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya, cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lainseperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit, dan saprofit (Irwanto, 2006).

Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim (Novis, 2008).

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbon dioksida (CO2 ), metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah

(25)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2012 di kawasan hutan sekunder 30 tahun, Ekosistem Leuser, dan Perkebunan Kopi rakyat, Desa Telagah, Kabupaten Langkat. Lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder ditetapkan dengan metode Purposive Sampling. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian yang dianggap representatif, sedangkan di perkebunan kopi ditetapkan dengan metode kuadrat.

3.2 Deskripsi Area 3.2.1 Letak dan Luas

Kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat, memiliki luas ± 78.000 m2 (7,8 ha). Hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat terletak pada posisi 03o16’55,6” LU dan 98o21’03,2” BT (Lampiran 1) serta berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara : Desa Rumah Galoh

b. Sebelah Selatan : Kawasan ekosistem Leuser c. Sebelah Barat : Kawasan Ekosistem Leuser d. Sebelah Timur : Desa Tanjung Gunung.

(26)

12 3.2.2 Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, yaitu hutan sekunder dan perkebunan kopi desa Telagah, Kabupaten Langkat, diketahui memiliki topografi rata sampai dengan curam.

3.2.3 Iklim

Keadaan curah hujan di Kawasan Hutan Sekunder Telagah adalah rata-rata 2000-2500 mm pertahunnya. Dimana curah hujan tertinggi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Mei. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai September. Berdasarkan Schmidt-Ferguson, tipe iklim di kawasan hutan sekunder Kabupaten Langkat adalah tipe A, dengan suhu maksimum dengan 14-300C dengan kelembaban rata-rata berkisar antara 90-100%.

3.2.4 Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di sekitar areal penelitian, vegetasi yang umum ditemukan yaitu dari Pteridophyta (Aspleniaceae, Polypodiaceae, dan

Sellaginellaceae), Spermatophyta yang terdiri dari Monokotil (Araceae dan

Arecaceae) dan Dikotil (Annonaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, dan Moraceae) dan

(27)

15

3.3 Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Di Lapangan

Pengamatan di hutan sekunder dilakukan dengan menggunakan jalur transek. Di lokasi penelitian dibuat 20 plot dengan menggunakan metode purposive sampling

(Lampiran 2 A). Pada plot yang ukurannya 20 x 20 meter dan subplot 10 x 10 meter diukur lingkar batang pohon dan pole, pengukuran dilakukan sebatas 1,3 m dari permukaan tanah atau setinggi dada orang dewasa atau disebut dengan Diameter Breast High (dbh). Pengamatan di perkebunan kopi menggunakan metode kuadrat dengan ukuran plot 5 x 5 meter sebanyak 25 plot (Lampiran 2 B). Untuk keperluan herbarium, masing-masing sampel dikoleksi dan diberi label gantung, dimasukkan dalam kantong plastik, disiram dengan alkohol 70%, dan dilakban.

Pada lokasi pengamatan, dilakukan pengukuran faktor fisik yang meliputi ketinggian dan koordinat menggunakan GPS (Global Positioning System), suhu udara menggunakan termometer, suhu tanah dengan soil termometer, kelembaban udara menggunakan higrometer, pH tanah dengan soil tester, dan intensitas cahaya menggunakan lux meter.

3.3.2 Di Laboratorium

Spesimen yang berasal dari lapangan dikeringkan dengan menggunakan oven. Spesimen diidentifikasi menggunakan buku-buku acuan antara lain :

a. A Field Guide to Common Sumatran Trees (Draft & Wulf, 1978)

b. Collection Of Illustrated Tropical Plant, Oleh E. J. H. Corner and Prof. Dr. Watanabe.

c. Flora (Dr. C. G. G. J. Van Steenis, 1987).

(28)

16

Jumlah individu suatu jenis Luas Plot contoh/ Plot pengamatan

Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno & Soedarsono, 1997)

d. Malayan Wild Flowers Dicotyledon (Henderson, 1959)

e. Malesian Seed Plants Volume 1 – Spot-Characters An Aid for Identification of Families and Genera. (Balgooy, 1997).

f. Malesian Seed Plants Volume 2 – Portraits of Tree Families (Balgooy, 1998). g. Plant Classification. (L. Berson , 1957).

h. Taxonomy Of Vascular Plants. (Lawrence, 1958).

i. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 1 (Whitmore, 1972) j. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 2 (Whitmore, 1973) k. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 3 (Phil, 1978)

3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Vegetasi

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman,dari masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis vegetasi pohon, nilai INP terdiri dari KR, FR,dan DR, dianalisis menurut buku acuan Ekologi Hutan (Indriyanto, 2006).

a. Kerapatan

Kerapatan Mutlak (KM) =

Kerapatan Relatif (KR )=

b. Frekuensi

Frekuensi Mutlak (FM) =

Kerapatan mutlak suatu jenis

x100% Jumlah total kerapatan mutlak seluruh jenis

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

(29)

17

Frekuensi Relatif (FR) =

c. Luas Basal Area

Luas basal area = π r2 =

( π = 3,14).

d. Dominansi

Dominansi Mutlak (DM) =

Jumlah dominansi suatu spesies

Dominansi Relatif (DR) = x 100% Jumlah dominansi seluruh spesies

e. Indeks nilai penting

INP = KR + FR + DR

f. Indeks Keanekaragaman dari Shanon-Wiener H’ = -∑pi ln pi

pi = ni N

Keterangan;

ni = jumlah individu suatu jenis. N = jumlah total individu seluruh jenis

Frekuensi suatu jenis

x 100% Frekuensi total seluruh jenis

1 π d2 4

Luas basal area suatu jenis

Luas area penelitian

(30)

18

g. Indeks Keseragaman E = H’

H maks

Keterangan: E = indeks keseragaman H’ = indeks keragaman

Hmaks = indeks keragaman maksimum (ln S) S = jumlah Genus/jenis

3.4.2 Potensi Karbon Tersimpan

Potensi karbon tersimpan pada pohon dan pole dianalisis berdasarkan Persamaan Allometrik Ketterings: BK = 0,11 x ρ x D2,62 (Kettering (2001) dalam Hairiah & Rahayu (2007)).

Untuk tanaman kopi dianalisa dengan persamaan: BK= 0,281 x D2,62 (Arifin (2001) dalam Hairiah & Rahayu (2007)).

Keterangan : BK : Berat kering

ρ : Berat jenis kayu ( g cm-3 ) (http:\\www.worldagroforestry.org) D : Diameter pohon (cm)

Total Biomassa = BK1 + BK2 + ...BKn .

Total Biomassa Biomassa per satuan luas =

Luas area(m2) Karbon tersimpan = Biomassa per satuan luas x 0,46

(31)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kekayaan Jenis Pohon dan Pole

[image:31.595.117.521.340.769.2]

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat, didapatkan jenis pohon dan pole yang cukup bervariasi seperti pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Jenis-Jenis dan Jumlah Individu Pohon dan Pole di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat

No Famili Spesies Jumlah Individu/0,8 Ha

Pohon Pole

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 3 1

2 Anacardiaceae Buchanania sessifolia - 1

3 Apocynaceae Rauwolfia perakensis 1 -

Rauwolfia sp.1 5 2

Rauwolfia sp. 2 2 -

Rauwolfia sp. 3 2 -

4 Arecaceae Dypsis decipiens 2 1

5 Chlorantaceae Chlorantus elatior 28 2

6 Combretaceae Terminalia belerica 2 1

7 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 15 6

Macaranga tanaria. 25 4

Mallotus paniculatus. 6 -

8 Fagaceae Lithocarpus sp. 3 -

Quercus lamponga - 1

9 Flacourtiaceae Homalium longifolium 3 5

Osmelia maingayi 8 -

10 Guttiferae Cratoxylon arborescens 2 3

Cratoxylon cochinense 9 2

11 Lechytidaceae Planchoria valida - 1

12 Meliaceae Toona sinensis 2 -

13 Moraceae Ficus auranthiaceae 20 21

Ficus carthacea - 6

Ficus sp. 1 - 1

Ficus sp. 2 - 1

Ficus trichocarpa 2 2

14 Myrsinaceae Ardisia wrayi 14 15

15 Myrtaceae Eugenia polyantha 2 5

16 Piperaceae Piper sp. 1 12

17 Rubiaceae Anthocepalus cadamba - 5

Canthium horridum - 1

Coffea malayana 6 3

Coffea robusta - 1

Jumlah Individu 103 163

Jumlah Spesies 23 26

Jumlah Famili 15 16

(32)

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jenis pohon dan pole di kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah terdiri dari 15 famili dan 23 spesies. Sedangkan pole yang ditemukan terdiri dari 16 famili dan 26 spesies. Data ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis pohon dan pole di kawasan ini masih cukup rendah dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya diantaranya: Susilo (2004) melaporkan bahwa di kawasan Hutan Tangkahan, Stasiun Resort Tangkahan Subseksi Langkat Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser ditemukan 159 jenis pohon yang termasuk dalam 35 famili; Ihsan (2007) melaporkan bahwa di kawasan hutan pegunungan bawah gunung Sinabung ditemukan 114 jenis pohon yang termasuk dalam 33 famili; Astuti (2009) melaporkan bahwa di kawasan hutan taman wisata alam Sicike-cikeh ditemukan 43 jenis pohon yang termasuk ke dalam 18 famili; dan Zaini (2011) melaporkan bahwa di kawasan hutan lindung kabupaten Pakpak Bharat ditemukan 97 jenis pohon yang terdiri dari 33 famili.

Dari jenis-jenis yang ditemukan, beberapa jenis diantaranya tergolong pada fase pohon namun tidak ditemukan pada fase pole. Sebaliknya, beberapa jenis ditemukan dalam fase pole namun tidak ditemukan pada fase pole. Hal ini disebabkan karena perbedaan toleransi masing-masing jenis/individu terhadap intensitas cahaya yang mempengaruhi perkecambahan biji. Menurut Whitmore (1997), spesies pohon-pohon pionir akan tumbuh dengan cepat pada intensitas cahaya yang tinggi dan membentuk kanopi. Di bawah kanopi tersebut akan tumbuh semaian-semaian pohon klimaks, ketika pohon-pohon pionir mati, maka akan digantikan oleh pohon-pohon klimaks.

(33)

19

4.1.1 Perbandingan Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Pohon

[image:33.595.109.559.232.551.2]

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat, didapatkan data perbandingan jumlah jenis dan individu pohon seperti pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Pohon di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat

No Famili Spesies Jumlah

Jenis Persentase Jenis (%) Jumlah (Individu/0, 8 Ha) Persentase individu (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 1 4.348 3 1.840

2 Apocynaceae Rauwolfia perakensis 4 17.391 1 0.613

Rauwolfia sp.1 5 3.067

Rauwolfia sp. 2 2 1.227

Rauwolfia sp. 3 2 1.227

3 Arecaceae Dypsis decipiens 1 4.348 2 1.227

4 Chlorantaceae Chlorantus elatior 1 4.348 28 17.178

5 Combretaceae Terminalia belerica 1 4.348 2 1.227

6 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 3 13.043 15 9.202

Macaranga tanaria. 25 15.337

Mallotus paniculatus. 6 3.681

7 Fagaceae Lithocarpus sp. 1 4.348 3 1.840

8 Flacourtiaceae Homalium longifolium 2 8.696 3 1.840

Osmelia maingayi 8 4.908

9 Guttiferae Cratoxylon arborescens 2 8.696 2 1.227

Cratoxylon cochinense 9 5.521

10 Meliaceae Toona sinensis 1 4.348 2 1.227

11 Moraceae Ficus auranthiaceae 2 8.696 20 12.270

Ficus trichocarpa 2 1.227

12 Myrsinaceae Ardisia wrayi 1 4.348 14 8.589

13 Myrtaceae Eugenia polyantha 1 4.348 2 1.227

14 Piperaceae Piper sp. 1 4.348 1 0.613

15 Rubiaceae Coffea malayana 1 4.348 6 3.681

Total 23 163

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jenis Chlorantus elatior ditemukan dalam jumlah individu paling banyak yaitu 28 individu (17, 178%), Macaranga tanaria ditemukan sebanyak 25 individu (15, 337%), dan Ficus auranthiaceae 20 individu (12, 270%). Jumlah individu pohon yang paling sedikit ditemukan yaitu

Piper sp. dan jenis Rauwolfia perakensis masing-masing1 individu (0,613%).

Tingginya nilai persentase Chlorantus elatior dan Macaranga tanaria yang ditemukan pada daerah penelitian disebabkan karena jenis-jenis dari famili ini memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif cepat pada wilayah lahan yang terbuka dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi. Berdasarkan pengukuran faktor

(34)

kimia lingkungan di lapangan, intensitas cahaya di lokasi penelitian ini adalah 97 Lux (Tabel 4.6). Hal ini sesuai dengan pernyataan Irwanto (2006), pada fase awal perkembangan hutan sekunder, kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh jenis- jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7-25 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang luas. Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohon-pohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh dengan umur yang kurang lebih sama. Walaupun tegakan yang tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh. Intensitas cahaya yang tinggi serta fluktuasi radiasi dan kelembaban menguntungkan bagi permudaan jenis-jenis pionir awal, sedangkan intensitas cahaya yang rendah diperlukan untuk pertumbuhan jenis pohon klimaks yang tumbuh dibawah naungan tajuk.

4.1.2 Perbandingan Jumlah Jenis dan Individu Pole

[image:34.595.110.563.650.772.2]

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat, didapatkan data perbandingan jumlah jenis dan individu pole seperti pada Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Perbandingan Jumlah Jenis dan Individu Pole di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat

No FAMILI SPESIES Jumlah

Jenis

Persentase Jenis (%)

Jumlah (individu/ 0,8 Ha)

Persentase Individu (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 1 3.846 1 0.971

2 Anacardiaceae Buchanania sessifolia 1 3.846 1 0.971

3 Apocynaceae Rauwolfia sp.1 1 3.846 2 1.942

4 Arecaceae Dypsis decipiens 1 3.846 1 0.971

5 Chlorantaceae Chlorantus elatior 1 3.846 2 1.942

6 Combretaceae Terminalia belerica 1 3.846 1 0.971

(35)

21

Macaranga tanaria 4 3.883

8 Fagaceae Quercus lamponga 1 3.846 1 0.971

9 Flacourtiaceae Homalium longifolium 1 3.846 5 4.854

10 Guttiferae Cratoxylon arborescens 2 7.692 3 2.913

Cratoxylon cochinense 2 1.942

11 Lechytidaceae Planchoria valida 1 3.846 1 0.971

12 Moraceae Ficus auranthiaceae 5 19.23 21 20.388

Ficus carthacea 6 5.825

Ficus sp. 1 1 0.971

Ficus sp. 2 1 0.971

Ficus trichocarpa 2 1.942

13 Myrsinaceae Ardisia wrayi 1 3.846 15 14.563

14 Myrtaceae Eugenia polyantha 1 3.846 5 4.854

15 Piperaceae Piper sp. 1 3.846 12 11.650

16 Rubiaceae Anthocepalus cadamba 5 19.23 5 4.854

Canthium horridum 1 0.971

Coffea malayana 3 2.913

Coffea robusta 1 0.971

Total 26 103

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jenis Ficus cartachea ditemukan paling banyak yaitu 21 individu (20, 388%), diikuti oleh jenis Ardisia wrayi dengan 15 individu (14, 563%), dan jenis Piper sp. 12 individu (11, 65%). Hal ini disebabkan karena jenis-jenis ini lebih cepat tumbuh pada intensitas cahaya yang tinggi sehingga banyak dijumpai di areal hutan yang terbuka. Menurut Whitmore (1997), setiap spesies pohon membutuhkan jumlah intensitas cahaya yang berbeda untuk proses regenerasi. Jenis pole yang paling sedikit ditemukan yaitu: Alangium salvifolium,

Buchanania sessifolia, Canthium horridum, Coffea robusta, Dypsis decipiens, Ficus

sp.1, Ficus sp.2, Planchoria valida, Quercus lamponga, Terminalia belerica yang masing-masing terdiri dari 1 individu (0, 971%).

Menurut Polunin (1990), tumbuhan hanya dapat tumbuh di tempat yang kondisinya cukup sesuai bagi pertumbuhan, dan jenis-jenis yang berbeda seing kali mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Dalam hal ini, air, suhu, pengaruh cahaya, dan iklim memiliki peranan yang sangat tinggi bagi keberlangsungan hidup, perkembangan yang normal, proses reproduksi, serta adaptasi yang dilakukan tumbuhan tersebut untu bertahan pada lingkungan yang ekstrim. Ini berarti bahwa kondisi lingkungan sekitar tumbuhan merupakan faktor-faktor utama yang membatasi penyebaran jenis-jenis tumbuhan tertentu.

(36)

Dalam beberapa kondisi lahan hutan yang terbuka, tegakan yang berada pada areal yang sudah mendapatkan perlakuan penebangan memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan areal yang belum ditebang. Hal ini disebabkan oleh adanya ruang terbuka dan terjadinya penurunan persaingan diantara tegakan dalam mendapatkan unsur hara, sehingga mempercepat terjadinya pertumbuhan dan perkembangan diantara tegakan (Saputra, 2009).

4.2 Struktur Vegetasi Pohon

[image:36.595.107.541.408.622.2]

Untuk mengkaji struktur hutan, Luas Basal Daerah (LBD) menjadi salah satu indikator yang sering digunakan. LBD ini meliputi ukuran lingkar pohon atau diameter pohon. Gambar 4.3 berikut menyajikan data Luas Basal Area (LBD) dari masing-masing famili pohon yang terdapat pada 0, 8 Ha lokasi penelitian di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

Gambar 4.1 Luas Bidang Dasar Masing-Masing Famili pada Tingkatan Pohon

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa famili Euphorbiaceae memiliki nilai Luas Bidang Dasar (LBD) yang paling besar yaitu 10, 171 m2. Nilai ini sangat berbeda nyata dibanding dengan nilai LBD famili lainnya. Famili Chlorantaceae

(37)

23

Adanya perbedaan yang cukup signifikan dan sangat variatif pada tingkatan pohon yang ditemukan di daerah penelitian menunjukkan adanya perbedaan kemampuan masing-masing famili untuk bertoleransi terhadap faktor fisik-kimia lingkungan (Tabel 4.6) yang mendukung pertumbuhan individu maupun jenis masing-masing famili. LBD juga ditentukan oleh umur masing-masing-masing-masing individu atau jenis pohon. Lebih lanjut Krebs (1994) menyatakan bahwa keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan faktor fisik lingkungan lainnya), faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme, dan lain-lain) dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah, dan faktor lainnya yang saling berinteraksi.

[image:37.595.109.529.407.623.2]

Secara spesifik, LBD dari masing-masing jenis pohon disajikan dalam Gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2 Luas Bidang Dasar Jenis-Jenis Pohon

Berdasarkan Gambar 4.2, LBD pohon tertinggi terdapat pada jenis Macaranga tanaria

yaitu 7, 153 m2, dan diikuti oleh jenis Chlorantus elatior dengan nilai LBD 4, 964 m2. Nilai LBD jenis ini sangat berbeda jauh dengan nilai LBD Macaranga tanaria. Selanjutnya Baccaurea polyneura 1, 337 m2, Eugenia polyantha 1, 323, Ardisia wrayi

1, 116 m2, Ficus auranthiaceae 0, 969m2, Cratoxylon cochinense 0, 646m2,

(38)

Homalium longifolium 0, 369 m2, Osmelia maingayi 0, 342 m2, Coffea malayana 0, 240 m2, Dypsis decipiens 0, 183 m2, Alangium salvifolium 0, 163 m2, Ficus trichocarpa 0, 143 m2, Cratoxylon arborescens 0, 105 m2, dan selebihnya terdapat pada jenis pohon yang lainnya dengan nilai LBD 3, 846 m2 (Lampiran 3).

Perbedaan luas bidang dasar disebabkan adanya perbedaan kemampuan masing-masing jenis untuk beradaptasi dengan faktor lingkungan yang ada. Tingginya nilai LBD suatu jenis menunjukkan jenis tersebut memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan kelas diameter dan kelas tajuk. Hasil pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.6. Seperti yang dinyatakan oleh Soerianegara & Indrawan (1987) bahwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai adaptasi yang tinggilah yang bisa hidup sukses di suatu daerah. Selain itu juga jenis-jenis tersebut juga dipengaruhi oleh pertumbuhan dari bibit atau kecambah dari suatu jenis dimana kecambah yang terlebih dahulu tumbuh dapat menguasai daerah tutupan tajuk nantinya, yang kemudian akan berpengaruh terhadap kecambah yang lambat dalam tahap pertumbuhannya dikarenakan adanya perbedaan toleransi terhadap naungan.

Struktur tegakan dapat digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu struktur tegakan vertikal dan horizontal. Struktur tegakan vertikal merupakan sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk, sedangkan yang dimaksud struktur tegakan horizontal yaitu sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Struktur tegakan yang digunakan adalah struktur tegakan horizontal, karena ukuran kenormalan hutan alam salah satunya dapat dilihat dari kondisi struktur tegakan horizontal yang merupakan sebaran dimensi tegakan (banyaknya pohon per satuan luas) pada berbagai ukuran diameter (kelas diameter) pohon (Utami, 2007).

(39)

25

menunjukkan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas (Indriyanto, 2005).

4.3 Struktur Vegetasi Pole

[image:39.595.107.528.291.481.2]

Luas Basal Area (LBD) dari masing-masing famili pada tingkatan pole yang terdapat pada 0, 8 Ha lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun desa Telagah kabupaten Langkat ditunjukkan pada Gambar 4.3 berikut:

Gambar 4.3 Luas Bidang Dasar Masing-Masing Famili Tingkatan Pole

Berdasarkan Gambar 4.3, dapat diketahui bahwa famili Moraceae memiliki Luas Bidang Dasar (LBD) paling besar yaitu 0, 497 m2, dan Myrsinaceae dengan nilai 0, 272 m2, selanjutnya Rubiaceae 0, 186 m2, Flacourtiaceae 0, 182 m2,

Euphorbiaceae 0, 114 m2, Guttiferae 0, 102 m2, Piperaceae 0, 076 m2, Myrtaceae 0, 069 m2, Apocynaceae 0, 043 m2, Chlorantaceae 0, 025 m2, Arecaceae 0, 024 m2,

Alangiaceae 0, 021 m2, Anacardiaceae 0, 011 m2, dan Fagaceae dengan nilai LBD terkecil yaitu 0, 008 m2.

Perbedan nilai LBD yang cukup signifikan ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah adanya perbedaan kemampuan toleransi masing-masing famili terhadap faktor-faktor lingkungan (Tabel 4.6) yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jenis pada setiap famili. Lebih lanjut lagi Daniel et al. (1992)

(40)

menyatakan bahwa pertumbuhan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban, sinar matahari, tersedianya air dalam tanah dan proses fisiologi tumbuhan tersebut.

Naughton & Wolf (1990) menyatakan bahwa kompetisi atau persaingan mempengaruhi kemampuan individu untuk bertahan hidup dan bereproduksi, dan dapat ditunjukkan dengan perubahan-perubahan ukuran populasi pada suatu waktu. Dengan semakin bertambahnya waktu, individu-individu tersebut mengalami pertumbuhan yang memerlukan banyak energi sehingga terjadilah persaingan, baik itu persaingan antar individu dalam satu jenis ataupun antar berbagai jenis agar dapat tetap hidup dan tumbuh. Persaingan ini dapat berupa persaingan untuk mendapatkan sinar matahari, hara mineral dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti serangan hama dan penyakit. Persaingan ini akan terus berlanjut hingga terjadilah proses seleksi alam, sehingga individu-individu tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk hidup dan tumbuh secara wajar, serta akan dapat menyebabkan kematian bagi individu-individu yang tidak mampu bertahan untuk hidup dan persaingan ini juga mengakibatkan selalu terjadi pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada setiap tingkat kelas diameternya.

[image:40.595.107.533.533.730.2]

Gambar 4.4 berikut menunjukkan perbandingan Luas Bidang Dasar (LBD) masing-masing jenis pole.

(41)

27

Gambar 4.4 menunjukkan Ficus auranthiaceae memiliki nilai LBD paling besar yaitu 0, 4104 m2, dan diikuti jenis Ardisia wrayi 0, 2719 m2, Homelium longifolium 0, 1822 m2, Baccaurea polyneura 0, 1373 m2, Macaranga tanaria 0, 0839 m2, Piper miniatum 0, 076 m2, Eugenia polyantha 0, 0687 m2, Anthocepalus cadamba

0, 0593 m2, Ficus carthacea 0, 0554 m2, Cratoxylon arborescens 0, 0513 m2,

Cratoxylon cochinense 0, 0510 m2, Coffea malayana 0, 0503, Rauwolfia sp. 0, 0427 m2, dan selebihnya terdapat pada jenis-jenis pole yang lain yaitu 0, 2189 m2 (Lampiran 4).

Menurut Shepherd (1986), persyaratan tumbuh suatu jenis pohon identik dengan kisaran toleransi suatu jenis terhadap faktor tempat tumbuh (iklim dan edafik). Iklim mencakup curah hujan , temperatur dan kelembaban nisbih udara. Sedangkan faktor edafik, misalnya ketinggian tempat dari permukaan laut, jenis tanah, pH tanah, dan kandungan unsur hara lainnya. Oleh karena itu kisaran toleransi terhadap faktor-faktor tempat tumbuh akan mempengaruhi kemampuan adaptasi (penyesuaian diri) setiap jenis pohon terhadap lingkungannya. Berdasarkan kondisi penyebaran struktur tegakan menurut Utami (2007), tegakan hutan dapat diketahui dengan melihat struktur tegakan yang merupakan sebaran pohon persatuan luas. Pada tegakan hutan bekas tebangan, struktur tegakan yang tebentuk berada lebih rendah dari struktur tegakan pada hutan primer. Kondisi ini dapat dikembalikan ke bentuk semula seiring dengan berjalannya waktu.

4.4 Indeks nilai penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam suatu komunitas, dimana nilai penting tersebut pada tingkatan pohon dan pole diperoleh dari hasil penjumlahan Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR).

Tabel 4.4 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP pada masing-masing jenis pohon di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.

(42)
[image:42.595.108.498.118.425.2]

Tabel 4.4 Indeks Nilai Penting Jenis Pohon

NO FAMILI SPESIES KR

(%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 1.840 3.093 0.719 5.65

2 Apocynaceae Rauwolfia perakensis 0.613 1.031 0.259 1.90

Rauwolfia sp. 1 3.067 4.124 2.619 9.81

Rauwolfia sp. 2 1.227 1.031 0.357 2.62

Rauwolfia sp. 3 1.227 1.031 2.785 5.04

3 Arecaceae Dypsis decipiens 1.227 2.062 0.080 3.37

4 Chlorantaceae Chlorantus elatior 17.178 15.464 21.832 54.47

5 Combretaceae Terminalia belerica 1.227 2.062 1.286 4.58

6 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 9.202 9.278 5.882 24.36

Macaranga tanaria 15.337 10.309 31.461 57.11

Mallotus paniculatus 3.681 6.186 7.390 17.26

7 Fagaceae Lithocarpus sp. 1.840 1.031 1.355 4.23

8 Flacourtiaceae Homalium longifolium 1.840 2.062 1.625 5.53

Osmelia maingayi 4.908 7.216 1.505 13.63

9 Guttiferae Cratoxylon arborescens 1.227 2.062 0.461 3.75

Cratoxylon cochinense 5.521 4.124 2.842 12.49

10 Meliaceae Toona sinensis 1.227 2.062 0.659 3.95

11 Moraceae Ficus auranthiaceae 12.270 9.278 4.261 25.81

Ficus trichocarpa 1.227 1.031 0.627 2.88

12 Myrsinaceae Ardisia wrayi 8.589 8.247 4.908 21.74

13 Myrtaceae Eugenia polyantha 1.227 2.062 5.821 9.11

14 Piperaceae Piper sp. 0.613 1.031 0.213 1.86

15 Rubiaceae Coffea malayana 3.681 4.124 1.056 8.86

TOTAL 100 100 100 300

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Nilai penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis Macaranga tanaria yaitu 57, 11%, selanjutnya

Chlorantus elatior dengan nilai INP 54, 47%, Ficus auranthiacea 25, 81%,

Baccaurea polyneura 24, 36%, Ardisia wrayi 21, 74%, Mallotus paniculatus 17, 26%,

Osmelia maingayi 13, 63%, Cratoxylon cochinense 12, 49%, Rauwolfia sp.1 9, 81%,

Eugenia polyantha 9, 11%, Coffea malayana 8, 86%, dan INP terendah terdapat pada jenis Piper sp. yaitu 1, 86% (Lampiran 6).

Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut dapat diketahui bahwa Macaranga tanaria dan

(43)

29

Menurut Ludwig & Reynolds (1988), pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi antara lain: faktor vektorial (intrinsik) yaitu: faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya; faktor kemampuan bereproduksi; faktor sosial yang menyangkut femologi; faktor koaktif yang merupakan dampak dari interaksi intraspesifik; faktor stokhastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor yang berpengaruh.

Menurut Indriyanto (2005), Indeks Nilai Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang menunjukkan dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Selanjutnya Romadhon (2008) pada penelitian mangrove yang telah dilakukan menyebutkan bahwa indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0-300. Nilai penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominasi suatu spesies dalam komunitas.

Rentang nilai KR yang diperoleh yaitu 0, 613%-17, 178%. Nilai KR tertinggi terdapat pada jenis Chlorantus elatior dan terendah terdapat pada jenis Piper sp., dan

Rauwolfia perakensis (Lampiran 6). Menurut Indriyanto (2006) densitas adalah jumlah individu per unit satuan luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti yang sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K. Sedangkan Kerapatan relatif (KR) merupakan perbandingan antara nilai kerapatan suatu jenis dengan total kerapatan seluruh jenis pada lokasi penelitian.

Chlorantus elatior memiliki nilai FR (Frekuensi relatif) tertinggi dengan nilai 15, 464%, selanjutnya jenis Macaranga tanaria dengan nilai 10, 309%, Ficus auranthiacea dan Baccaurea polyneura 9, 202%, Ardisia wrayi 8, 247%, Homalium longifolium 7, 216%, Mallotus paniculatus 6, 186%, Coffea malayana, Cratoxylon cochinense, Rauwolfia sp. 1 masing-masing dengan nilai FR 4, 124%, Alangium salvifolium 3, 093%, Cratoxylon arborescens, Dypsis decipiens, Eugenia polyantha,

Osmelia maingayi, Terminalia belerica, Toona sinensis masing-masing dengan nilai

(44)

FR 2, 062%, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis Ficus trichocarpa, Piper sp.,

Rauwolfia perakensis, Rauwolfia sp.2, Rauwolfia sp.3, dan Lithocarpus sp. masing-masing dengan nilai FR 1, 031% (Lampiran 6).

Menurut Ginting (2011), Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas.

Indriyanto (2006) menyatakan bahwa di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem.

Untuk Dominansi Relatif (DR), Macaranga tanaria memiliki nilai tertinggi yaitu 31, 461%, selanjutnya jenis Chlorantus elatior 21, 832%, Baccaurea polyneura

5, 882%, Eugenia polyantha 5, 821%, Ardisia wrayi 4, 908%, Ficus auranthiaceae 4, 261%, Cratoxylon cochinense 2, 841%, Rauwolfia sp.3 2, 785%, Rauwolfia sp.1 2, 619%, Osmelia maingayi 1, 625%, Homalium longifolium 1, 505%, Lithocarpus sp. 1, 355%, Terminalia belerica 1, 286%, Coffea malayana 1, 056%, Alangium salvifolium

0, 719%, Toona sinensis 0, 659%, Ficus trichocarpa 0, 627%, Cratoxylon arborescens 0, 461%, Rauwolfia sp. 2 0, 357%, Rauwolfia perakensis 0, 259%, Piper

sp. 0, 213%, dan nilai DR terendah adalah jenis Dypsis decipiens dengan nilai 0, 080% (Lampiran 6).

(45)

31

bentuk hidupnya. Karena itu untuk menganalisis komunitas tumbuhan perlu pula dilengkapi dengan tutupan dan basal area.

[image:45.595.118.479.212.557.2]

Tabel 4.5 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP jenis pole di lokasi penelitian di kawasan Hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat. Tabel 4.5 Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Pole

No FAMILI SPESIES KR

(%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Alangiaceae Alangium salvifolium 0.971 1.471 1.177 3.618

2 Anacardiaceae Buchanania sessifolia 0.971 1.471 0.603 3.044

3 Apocynaceae Rauwolfia sp. 1 1.942 2.941 2.427 7.310

4 Arecaceae Dypsis decipiens 0.971 1.471 1.359 3.800

5 Chlorantaceae Chlorantus elatior 1.942 2.941 1.436 6.319

6 Combretaceae Terminalia belerica 0.971 1.471 0.653 3.095

7 Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 5.825 5.882 7.803 19.511

Macaranga tanaria 3.883 4.412 4.769 13.064

8 Fagaceae Quercus lamponga 0.971 1.471 0.463 2.905

9 Flacourtiaceae Homalium longifolium 4.854 7.353 10.354 22.561

10 Guttiferae Cratoxylon arborescens 2.913 4.412 2.915 10.239

Cratoxylon cochinense 1.942 2.941 2.899 7.782

11 Lechytidaceae Planchoria valida 0.971 1.471 0.798 3.240

12 Moraceae Ficus auranthiaceae 20.388 11.765 23.319 55.472

Ficus carthacea 5.825 7.353 3.150 16.328

Ficus sp. 1 0.971 1.471 1.683 4.125

Ficus sp. 2 0.971 1.471 0.999 3.441

Ficus trichocarpa 1.942 1.471 1.796 5.208

13 Myrsinaceae Ardisia wrayi 14.563 10.294 15.451 40.309

14 Myrtaceae Eugenia polyantha 4.854 5.882 3.904 14.641

15 Piperaceae Piper sp. 11.650 8.824 4.344 24.818

16 Rubiaceae Anthocepalus cadamba 4.854 5.882 3.369 14.106

Canthium horridum 0.971 1.471 0.916 3.358

Coffea malayana 2.913 2.941 2.857 8.711

Coffea robusta 0.971 1.471 0.554 2.996

TOTAL 100 100 100 300

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa jenis Ficus auranthiaceae

memiliki nilai INP terbesar yaitu 55, 472%. selanjutnya Ardisia wrayi dengan nilai INP 40, 309%, Piper sp. 24, 818%, Homalium longifolium 22, 561%, Baccaurea polyneura 19, 511%, Ficus carthacea 16, 328%, Eugenia polyantha 14, 641%,

Anthocepalus cadamba 14, 106%, Macaranga tanaria 13, 064%, Cratoxylon arborescens 10, 239%, Coffea malayana 8, 711%, Cratoxylon cochinense 7, 782%,

Rauwolfia sp.1 7, 310%, Chlorantus elatior 6, 319%, Ficus trichocarpa 5, 208%,

Ficus sp.1 4, 125%, Dypsis decipiens 3, 800%, Alangium salvifolium 3, 618%,

Canthium horridum 3, 358%, Ficus sp. 2 3, 441%, Planchoria valida 3, 240%,

(46)

Buchanania sessifolia 3, 044%, Coffea robusta 2, 996%, dan nilai INP terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai INP 2, 905% (Lampiran 7). Menurut Indriyanto (2006), spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar.

Keadaan ini menunjukkan bahwa Ficus auranthiaceae memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan situasi faktor biotis maupun abiotis (Tabel 4.6) sehingga mampu tumbuh menyebar di sekitar lokasi penelitian sehingga sangat berpengaruh terhadap indeks nilai penting jenis ini yang menunjukkan kemampuan jenis tersebut untuk mendominasi wilayah tumbuhnya.

Dominansi jenis menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam suatu komunitas di areal hutan. Dominansi jenis ini ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi. Tingginya nilai INP pun menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lebih baik dibanding jenis lainnya. Jenis dominan dengan INP tertinggi dari tiap kondisi hutan memiliki jenis yang beragam. Jenis-jenis tiap bentuk pertumbuhan menunjukkan komposisi berbeda dari tiap kondisi hutan tersebut (Rahmasari, 2011).

Untuk nilai Frekuensi Relatif (FR) jenis Ficus auranthiaceae memiliki FR tertinggi dengan nilai 11, 765%, selanjutnya diikuti nilai FR dari jenis Ardisia wrayi

dengan nilai 10, 294%, Piper sp. 8, 824%, Homalium longifolium, Ficus carthacea

dengan nilai masing-masing 7, 353%, Anthocepalus cadamba, Baccaurea polyneura,

Eugenia polyantha dengan nilai masing-masing jenis 5, 882%, Cratoxylon arborescens, Macaranga tanaria dengan nilai masing-masing jenis 4, 412%,

Chlorantus elatior, Coffea malayana, Cratoxylon cochinense, Rauwolfia sp. 1 dengan nilai FR masing-msing jenis yaitu 2, 941%, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis

Alangium salvifolium, Buchanania sessifolia., Canthium horridum, Coffea robusta,

Dypsis decipiens, Ficus sp.1, Ficus sp. 2, Ficus trichocarpa, Planchoria valida,

(47)

33

Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi jenis tersebut. Dengan demikian sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang dipelajari, meskipun belum dapat menggambarkan pola penyebarannya. Spesies organisme yang penyebarannya luas akan memiliki nilai frekuensi perjumpaan yang besar (Indriyanto, 2005).

Dominansi Relatif (DR) jenis Ficus auranthiaceae memiliki nilai DR tertinggi dengan nilai 23, 319%, selanjutnya jenis Ardisia wrayi dengan nilai 15, 451,

Homalium longifolium 10, 354%, Baccaurea polyneura 7,803%, Macaranga tanaria

4,769%, Piper sp. 4, 344%, Eugenia polyantha 3, 904%, Anthocepalus cadamba

3,369%, Ficus carthacea 3, 150%, Cratoxylon arborescens 2, 915%, Cratoxylon cochinense 2,899%, Rauwolfia sp.1 2, 427%, Ficus trichocarpa 1, 769%, Ficus sp. 1 1,683%, Chlorantus elatior 1, 436%, Dypsis decipiens 1, 359%, Alangium salvifolium

1,177%, Ficus sp.2 0, 999%, Canthium horridum 0, 916%, Planchoria valida 0, 798%, Terminalia belerica 0, 653%, Buchanania sessifolia 0, 603%, Coffea robusta

0, 554%, dan nilai DR terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai 0, 463% (Lampiran 7).

Kemampuan suatu jenis untuk tumbuh tersebar mendominasi suatu area tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor fisik kimia lingkungan yang sangat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan jenis tersebut. Beberapa faktor fisik-kimia lingkungan tersebut antara lain suhu udara, suhu

Gambar

Tabel 4.1 Jenis-Jenis dan Jumlah Individu Pohon dan Pole di Kawasan Hutan                   Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat
Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Pohon di Kawasan                   Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat
Tabel 4.3 Perbandingan Jumlah Jenis dan Individu Pole di Kawasan Hutan                    Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat
Gambar 4.1 Luas Bidang Dasar Masing-Masing Famili pada Tingkatan Pohon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya kekayaan jenis herba di hutan sekunder kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara diduga disebabkan berbagai faktor lingkungan yang cukup

Dari penelitian yang dilakukan pada empat lokasi berdasarkan empat ketinggian berbeda, di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan, ditemukan sebanyak 69 jenis pohon

Dari penelitian yang dilakukan pada empat lokasi berdasarkan empat ketinggian berbeda, di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan, ditemukan sebanyak 69 jenis pohon

Hasil Penelitian Struktur, Komposisi dan Potensi Karbon Tersimpan Hutan Sekunder dan Tambak di kawasan Hutan Mangrove desa Pulau Sembilan ini diharapkan dapat bermanfaat

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi kepada peneliti selanjutnya mengenai struktur dan komposisi vegetasi pohon serta potensi karbon tersimpan di Kawasan

Di kawasan hutan sekunder, baik hutan sekunder muda maupun hutan sekunder tua terdapat beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sebagian besar merupakan jenis herba dan