• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Altitudinal Vegetasi Pohon dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan di Jalur Pendakian Sigarang-Garang Hutan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Altitudinal Vegetasi Pohon dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan di Jalur Pendakian Sigarang-Garang Hutan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ALTITUDINAL VEGETASI POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG

HUTAN GUNUNG SINABUNG, KABUPATEN KARO

TESIS

MAHYA IHSAN

117030018/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

STUDI ALTITUDINAL VEGETASI POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG

HUTAN GUNUNG SINABUNG, KABUPATEN KARO

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu

pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAHYA IHSAN

117030018/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : STUDI ALTITUDINAL VEGETASI POHON

DAN POLE SERTA POTENSI KARBON

TERSIMPAN DI JALUR PENDAKIAN

SIGARANG-GARANG HUTAN GUNUNG

SINABUNG, KABUPATEN KARO

Nama Mahasiswa : MAHYA IHSAN

Nomor Induk Mahasiswa : 117030018 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

NIP . 19621214 199103 2 001

NIP . 19690919 199903 1 002

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STUDI ALTITUDINAL VEGETASI POHON DAN POLE SERTA POTENSI KARBON TERSIMPAN DI JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG

HUTAN GUNUNG SINABUNG, KABUPATEN KARO

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini salah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya di jelaskan sumbernya dengan

benar.

Medan, 30 Juli 2013

MAHYA IHSAN

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mahya Ihsan

NIM : 117030018

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Studi Altitudinal Vegetasi Pohon dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan di Jalur Pendakian Sigarang-Garang Hutan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo

Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 30 Juli 2013

(6)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIAN PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

2. Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc 3. Dr. Suci Rahayu, M.Si

(7)

ABSTRAK

Kajian tentang studi altitudinal pohon dan pole serta potensi cadangan karbon tersimpan di Gunung Sinabung dilakukan mulai Januari sampai Juni 2013. Penentuan lokasi Penelitian dengan menggunakan metode Purposive Sampling pada setiap ketinggian tempat. Pengambilan sampel dengan menggunakan plot berukuran 10 x 10 m. Setiap 100 m kenaikan ketinggian tempat dibuat 20 plot penelitian sehingga dari ketinggian 1700-2000 mdpl diperoleh total plot sebanyak 60. Penelitian dilakukan pada tiga lokasi, lokasi I (1700-1800 mdpl), lokasi II (1800-1900 mdpl) dan lokasi III (1900-2000 mdpl). Parameter yang diukur meliputi Frekuensi, Dominansi, Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keaneka ragaman (H’) dan Indeks keseragaman (E). Diagram profil dianalisis dengan menggunakan software Auto cad dan Karbon tersimpan dianalisis dengan menggunakan persamaan allometrik yang dikemukakan oleh Brown. Berdasarkan penelitian ditemukan 52 spesies dari 41 famili yang termasuk dalam kategori pohon dan pole yang dikoleksi dari plot penelitian. Aglaia sp, Lithocarpus sp.1 dan Mycromeles corimbifedra adalatiga spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkatan pohon dan pada pole indeks Nilai Penting tertinggi ditemukan pada jenis Aglaia sp, Eugenia operculata dan Mycromeles corimbifera. Indeks keaneka ragaman jenis pohon diperoleh 2,98 (Lokasi I), 2,79 (lokasi II) dan 0,79 (lokasi III), indeks keaneka ragaman jenis pole diperoleh 2,72 (lokasi I), 2,41 (lokasi II) dan 1,64 (lokasi III). Nilai indeks keseragaman pada pohon diperoleh 0,87 (lokasi I), 0,92 (lokasi II) dan 0,44 (lokasi III). Indeks keseragaman pada pole diperoleh 0,87 (lokasi I), 0,85 (lokasi II) dan 0,79 (lokasi III). Karbon tersimpan tertinggi pada pohon diperoleh pada lokasi I (141,98 t/ha) dan berkontribusi 65,05% dari total karbon tersimpan dan karbon tersimpan pole tertinggi ditemukan pada lokasi II (6,33 t/ha) yang berkontribusi 39,7% dari total karbon tersimpan. Kata Kunci : Studi Altitudinal, Pohon dan Pole, Karbon Tersimpan, Gunung

(8)

ABSTRACT

A Study of the altitudinal study tree and pole and potential carbon storage in Sinabung mountain has been conducted from January until Juni 2013. Research conducted by using plot method place purposive random sampling at research location with increas elevation. Sampling has been made by using 10x10 meters belt transect. Every 100 m elevation level, were taken 20 sample plot so that up to 1700-2000 above sea level totalize plot were 60.The research areal study consist of three location, Location I (1700-1800 m above sea level), Location II (1800-1900 m above sea level) and location III (1900-2000 m above sea level). Measured parameter cover density, frequency, dominancy, Important Value Index (IVI),Diversity Index (H'), and Evenness (E). Analysis of profile diagram was done with software auto cad and analysis carbon storage was done with allometrik equation by brown. Based on this study, it is found that 52 species, from 41 families consisting of trees and pole were collected from the plots. Aglaia sp, Lithocarpus sp.1 and Mycromeles corimbifera were three spesies with highest important value index (IVI) on tree and on pole the highest important value index found at Aglai sp, Eugenia operculata and Mycromeles corimbifera.The species diversity index (H’) tree were 2,98 (Location I), 2,79 (Location II) and 0,79 (Location III), spesies diversity Indeks (H’) pole were 2,72 (Location I), 2,41 (Location II) and 1,64 (location III). The value of eveness indeks on tree were 0,87 (Location I), 0,92 (Location II) and 0,44 (location III). Eveness value indeks of pole were 0,87 (Location I), 0,85 (Location II) and 0,79 (Location III). Carbon Storage of trees achieved its highest values in Location I (141,98 t/ha) and contributed to total carbon storage of 65,05% and Carbon storage of pole achieved its highest value in location II (6,33 t/ha) and contributed to total carbon storage of 39,7%.

(9)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Mahya Ihsan

Tempat dan Tanggal Lahir : Natal, 19 Nopember 1984

Alamat Rumah : Jl. Pahlawan, No. 86 Natal, Kecamatan Natal

Telepon : 081370488551

e-mail : mahyaihsan@yahoo.com

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 142705 Tamat : 1997

SMP : SMP Negeri 1 Natal Tamat : 2000

SMA : SMA Negeri 3 Sipirok Tamat : 2003

Strata-1 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2008

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan hasil penelitian ini dengan baik. Shalawat beserta salam tidak lupa penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang safa’at nya sangat kita harapkan dikemudian hari. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada :

Ayahanda dan Ibunda yang telah bersusah payah membesarkan dan mengasuh penulis mulai dari kecil sampai saat sekarang ini. Doa mereka selalu mengiringi penulis dalam setiap waktu tidak pernah pudar oleh panas dan hujan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dana pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Bapak Dr. T. Alief Aththorick selaku dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar mulai dari awal hingga hasil penelitian ini terselesaikan dengan baik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku dosen penguji yang telah membimbing penulis dalam mengoreksi penyusunan hasil penelitian, memberikan saran dan masukan yang membangun sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Biologi yang telah memberikan kemudahan segala urusan hingga terselesaikannya hasil penelitian ini.

Rekan-rekan seperjuangan di S2 Biologi Zulfan Arico, Sri Jayanti, Aini Qomariah, Rivo Hasper, Rahmad Lingga, Nurzaidah Putri, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, terima kasih atas dukungan, bantuan doa dan tenaganya selama penulis melakukan penelitian.

Adik-adik S1 biologi yang terlibat dan ikut membantu penulis dalam melakukan penelitian selama di lapangan dan di laboratorium : Gilang Pradana, Juhardi Sembiring, Marzuki Rahman, Khairul Umri, Posma, Farid Akhsani, Nisa Hidayati, Putri Yohani, Nursaniah, Rita, Dewi dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Mohon maaf atas semua salah selama kita di lapangan, masa-masa bersama kalian sangat berkesan dihati penulis. Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada adinda semua hanya doa semoga adinda semua berhasil dan sukses selalu.

Adinda Dwi Putri Ramadhani yang telah menemani penulis selama ini dengan penuh kesabaran. Terima kasih juga atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membantu penulis menyediakan buku dan memfasilitasi penulis dalam melakukan identifikasi spesimen. Penulis doakan semoga adinda sukses selalu dan dimudahkan segala urusan dalam menyelesaikan studinya.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini jauh dari sempurna, baik dari segi pemaparan, penulisan atau pun isinya. Penulis berharap adanya masukan dari semua pembaca sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi lebih baik. Demikian yang dapat penulis sampaikan, terima kasih perhatiannya

Medan, Juli 2012

(11)

DAFTAR ISI

2.2 Zonasi Elevasi Pegunungan 7

2.3 Struktur dan Komposisi Hutan 8

2.4 Diagram Profil Hutan 9

2.5 Degradasi Hutan dan Pemanasan Global 10

2.6 Mitigasi dan Penyelamatan 12

2.7 Biomassa Dan Karbon Tersimpan 12

BAB 3 BAHAN DAN METODE 14

(12)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

1 Kekayaan Jenis Pohon dan Pole di Setiap Lokasi Penelitian 20 2 Luas Bidang Dasar Pada Setiap Jenis di Setiap Lokasi

Penelitian

25 3 Nilai KR (%), FR (%) dan DR (%) Tertinggi Sepuluh Jenis

Pohon dan Pole pada Ketinggian 1700-1800 mdpl (Lokasi I)

33 4 Nilai KR (%), FR (%) dan DR (%) Tertinggi Sepuluh Jenis

Pohon dan Pole pada Ketinggian 1800-1900 mdpl (Lokasi II)

34 5 Nilai KR (%), FR (%) dan DR (%) Tertinggi Sepuluh Jenis

Pohon dan Pole pada Ketinggian 1900-2000 mdpl (Lokasi III)

35 6 Indeks Keaneka ragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Pohon dan Pole Pada Setiap Lokasi Penelitian

39 7 Data Faktor Fisik Lingkungan di Setiap Lokasi Penelitian 40 8 Kandungan Organik Tanah pada Setiap lokasi penelitian 43 9 Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Pohon di Hutan Gunung

Sinabunng Jalur Sigarang-Garang

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

1 Perbandingan Jumlah Jenis Pohon dan Pole Pada Setiap Famili 23 2 Komposisi Vegetasi Pohon dan Pole Pada Setiap Ketinggian di

Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

24 3 Perbandingan LBD (%) Pohon Pada Masing-Masing Famili di

Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

27 4 Perbandingan LBD (%) Pole pada Masing-Masing Famili di

Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

28 5 Diagram Vertikal dan Horizontal Profil Vegetasi di Lokasi I

(1700-1800 mdpl)

29 6 Diagram Vertikal dan Horizaontal Profil Vegetasi di Lokasi II

(1800-1900 mdpl)

30 7 Diagram Vertikal dan Horizontal Profil Vegetasi di Lokasi III

(1900-2000 mdpl)

31 8 Kandungan Karbon Tersimpan (%) pada Pohon dan Pole di

Setiap Lokasi Penelitian

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Judul

Halaman

1 Peta Lokasi Penelitian 54

2 Desain Pengambilan Sampel 55

3 Hasil Identifikasi Spesimen 56

4 Hasil Analisis Tanah 58

5 Data Penelitian Lapangan Pohon dan Pole pada Setiap Lokasi Penelitian

59 6 Analisis Vegetasi Pohon pada Setiap Lokasi di Hutan

Gunung Sinabung Jalur Sigarang-garang.

67 7 Analisis Vegetasi Pole pada Setiap Lokasi di Hutan

Gunung SinabungJalur Sigarang-garang

70 8 Analisis Korelasi Pearson Karbon Biomassa Dengan

Kandungan Organik Tanah

72 9 Karbon Tersimpan Pohon Lokasi I (1700-1800 mdpl) 73 10 Karbon Tersimpan Pole Pada Setiap Lokasi Penelitian 78

(16)

ABSTRAK

Kajian tentang studi altitudinal pohon dan pole serta potensi cadangan karbon tersimpan di Gunung Sinabung dilakukan mulai Januari sampai Juni 2013. Penentuan lokasi Penelitian dengan menggunakan metode Purposive Sampling pada setiap ketinggian tempat. Pengambilan sampel dengan menggunakan plot berukuran 10 x 10 m. Setiap 100 m kenaikan ketinggian tempat dibuat 20 plot penelitian sehingga dari ketinggian 1700-2000 mdpl diperoleh total plot sebanyak 60. Penelitian dilakukan pada tiga lokasi, lokasi I (1700-1800 mdpl), lokasi II (1800-1900 mdpl) dan lokasi III (1900-2000 mdpl). Parameter yang diukur meliputi Frekuensi, Dominansi, Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keaneka ragaman (H’) dan Indeks keseragaman (E). Diagram profil dianalisis dengan menggunakan software Auto cad dan Karbon tersimpan dianalisis dengan menggunakan persamaan allometrik yang dikemukakan oleh Brown. Berdasarkan penelitian ditemukan 52 spesies dari 41 famili yang termasuk dalam kategori pohon dan pole yang dikoleksi dari plot penelitian. Aglaia sp, Lithocarpus sp.1 dan Mycromeles corimbifedra adalatiga spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkatan pohon dan pada pole indeks Nilai Penting tertinggi ditemukan pada jenis Aglaia sp, Eugenia operculata dan Mycromeles corimbifera. Indeks keaneka ragaman jenis pohon diperoleh 2,98 (Lokasi I), 2,79 (lokasi II) dan 0,79 (lokasi III), indeks keaneka ragaman jenis pole diperoleh 2,72 (lokasi I), 2,41 (lokasi II) dan 1,64 (lokasi III). Nilai indeks keseragaman pada pohon diperoleh 0,87 (lokasi I), 0,92 (lokasi II) dan 0,44 (lokasi III). Indeks keseragaman pada pole diperoleh 0,87 (lokasi I), 0,85 (lokasi II) dan 0,79 (lokasi III). Karbon tersimpan tertinggi pada pohon diperoleh pada lokasi I (141,98 t/ha) dan berkontribusi 65,05% dari total karbon tersimpan dan karbon tersimpan pole tertinggi ditemukan pada lokasi II (6,33 t/ha) yang berkontribusi 39,7% dari total karbon tersimpan. Kata Kunci : Studi Altitudinal, Pohon dan Pole, Karbon Tersimpan, Gunung

(17)

ABSTRACT

A Study of the altitudinal study tree and pole and potential carbon storage in Sinabung mountain has been conducted from January until Juni 2013. Research conducted by using plot method place purposive random sampling at research location with increas elevation. Sampling has been made by using 10x10 meters belt transect. Every 100 m elevation level, were taken 20 sample plot so that up to 1700-2000 above sea level totalize plot were 60.The research areal study consist of three location, Location I (1700-1800 m above sea level), Location II (1800-1900 m above sea level) and location III (1900-2000 m above sea level). Measured parameter cover density, frequency, dominancy, Important Value Index (IVI),Diversity Index (H'), and Evenness (E). Analysis of profile diagram was done with software auto cad and analysis carbon storage was done with allometrik equation by brown. Based on this study, it is found that 52 species, from 41 families consisting of trees and pole were collected from the plots. Aglaia sp, Lithocarpus sp.1 and Mycromeles corimbifera were three spesies with highest important value index (IVI) on tree and on pole the highest important value index found at Aglai sp, Eugenia operculata and Mycromeles corimbifera.The species diversity index (H’) tree were 2,98 (Location I), 2,79 (Location II) and 0,79 (Location III), spesies diversity Indeks (H’) pole were 2,72 (Location I), 2,41 (Location II) and 1,64 (location III). The value of eveness indeks on tree were 0,87 (Location I), 0,92 (Location II) and 0,44 (location III). Eveness value indeks of pole were 0,87 (Location I), 0,85 (Location II) and 0,79 (Location III). Carbon Storage of trees achieved its highest values in Location I (141,98 t/ha) and contributed to total carbon storage of 65,05% and Carbon storage of pole achieved its highest value in location II (6,33 t/ha) and contributed to total carbon storage of 39,7%.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa, sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon. Penyerapan karbon terjadi didasarkan atas proses kimiawi dalam aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menyerap CO2dari atmosfer dan air dari

tanah menghasilkan oksigen dan karbohidrat yang selanjutnya akan diubah mejadi selulosa dan lignin sebagai cadangan karbon (Kementrian Kehutanan, 2010).

Pohon memegang peranan yang sangat penting sebagai penyusun komunitas hutan dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan, baik dalam mencegah erosi, siklus hidrologi, menjaga stabilitas iklim global, dan sebagai penyimpan karbon. Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini dikarenakan ketidakseimbangan antara konsentrasi CO2 di atmosfer dengan ketersediaan vegetasi tanaman, yang dalam hal ini adalah pohon (Daniel et al., 1979). Hairiah dan Rahayu (2007) mengemukakan bahwa pemanasan global disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer yang dipengaruhi oleh peningkatan gas rumah kaca (GRK). Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat pembakaran batu bara dan minyak bumi, dan diikuti dengan deforestasi yang semakin meningkat sehingga sumberdaya alam yang semula berfungsi sebagai rosot (sink) karbon berubah menjadi sumber (source) emisi karbon.

(19)

rakyat tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Oleh karena itu, informasi mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis pohon, jenis tanah dan topografi di Indonesia sangat penting (Kementrian kehutanan, 2010). Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot. Jumlah C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.

Setiap tumbuhan dalam hutan mempunyai kisaran toleransi untuk tumbuh permanen di dalam habitatnya. Di luar itu terdapat zona pinggir, yaitu tempat mereka tinggal tetapi tidak permanen yang kadang-kadang dapat dicapai dengan pemencaran alami dari spora, buah dan biji, keadaan iklim, tanah atau topografi yang menunjukkan mereka tumbuh secara lokal dan sementara. Telah kita ketahui bahwa suhu merupakan faktor utama bagi kisaran elevasi tumbuhan di pegununungan (Steenis, 2006).

Kawasan hutan gunung Sinabung masuk dalam kawasan hutan Sibayak II dan merupakan suatu bahan studi yang menarik. Menurut Laporan Eksplorasi Flora Nusantara yang dikemukakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kawasan hutan Sibayak II yang berada di sekitar hutan gunung Sinabung memiliki kondisi yang masih bagus. Kawasan ini ditumbuhi pohon-pohon berukuran besar dengan berbagai jenis yang mempunyai kualitas kayu sangat bagus. Jenis-jenis dari suku Fagaceae seperti Quercus sp. dan Castanopsis sp. sangat banyak dijumpai di hutan ini. Selain itu juga ada jenis-jenis lain seperti Styrax benzoin, Schima wallichii, Calophyllum dan Flacourtica rukam juga termasuk pohon-pohon yang mendominasi kawasan ini (LIPI, 2003).

(20)

mengeluarkan sedikit lahar yang hanya terdapat pada puncak gunung. Asap yang mengandung debu vulkanik terbawa angin yang berasal dari arah timur laut yang cukup kencang menyusuri lereng-lereng gunung kearah tenggara menerpa sejumlah desa yang dilewatinya. Desa yang terparah yang terkena asap dan debu vulkanik adalah desa Sukanalu dan desa Sigarang-garang.

Debu dan pasir vulkanik yang disemburkan keatas mulai dari berukuran besar sampai berukuran yang lebih halus. Debu dan pasir vulkanik ini merupakan salah satu batuan induk tanah yang nantinya akan melapuk menjadi bahan induk tanah dan selanjutnya akan mempengaruhi sifat dan ciri tanah yang terbentuk (Fiantis, 2006). Sifat-sifat tanah yang dipengaruhi yaitu sifat fisik, kimia serta biologi tanah. Hal ini tentunya juga sangat berpengaruh pada keadaan vegetasi terutama dalam menjalankan metabolisme tubuhnya seperti melakukan fotosintesis sehingga juga dapat mempengaruhi laju pembentukan biomassa.

Penelitian seperti ini penting artinya karena kehadiran vegetasi yang berupa pohon pada suatu landskap umumnya akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen di udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah, dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisinya. Sebagai contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi besarnya penurunan laju erosi tanah tergantung pada struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah tersebut (Arrijani, 2008). Mengerti tentang cadangan karbon tersimpan pada setiap gradien ketinggian dapat membantu kita untuk memprediksi dengan lebih baik respon terhadap keseimbangan karbon dan perubahan iklim dimasa mendatang (Zhu et al., 2010).

(21)

masyarakat di sekitar gunung Sinabung, selain itu jalur ini juga bukan merupakan jalur yang umum untuk mendaki gunung Sinabung. Belum lengkapnya data tentang struktur dan komposisi serta kandungan karbon tersimpannya mendorong peneliti untuk mengetahui potensi vegetasi di jalur ini.

1.2. Permasalahan

Setiap ketinggian pada hutan pegunungan memiliki variasi struktur dan komposisi yang berbeda-beda. Banyak pohon-pohon yang hanya dapat tumbuh pada ketinggian tertentu saja, dan ada pula yang dapat tumbuh hampir disetiap ketinggian. Keadaan tersebut menyebabkan penyerapan karbon di setiap ketinggian berbeda pula. Bagaimana struktur dan komposisi vegetasi serta potensi karbon tersimpan di gunung Sinabung jalur Sigarang-garang belum diketahui baik sebelum letusan maupun setelah terjadinya letusan. Daerah ini merupakan daerah yang mengalami dampak letusan pada bulan Agustus 2010 yang mengakibatkan rusaknya sebagian vegetasi yang ada.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

a. Struktur dan komposisi vegetasi pada setiap ketinggian di hutan gunung Sinabung jalur Sigarang-garang

b. Potensi karbon tersimpan di hutan gunung Sinabung di jalur Sigarang-garang

1.4. Hipotesis

Kawasan Hutan gunung Sinabung Kabupaten Karo memiliki variasi struktur vegetasi dan cadangan karbon tersimpan yang cukup tinggi pada setiap ketinggian yang berbeda-beda.

1.5. Manfaat

(22)
(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tumbuhan kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Sesuai letak dan kondisi suatu hutan terdapat perbedaan jenis dan komposisi pohon pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temperate (Rahman, 1992).

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang sedang berbuah, ada yang dalam perkecambahan atau berada dalam tingkatan kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan tersebut. Hutan hujan tropis memiliki vegetasi yang khas daerah tropis basah dan menutupi semua permukaan daratan yang memiliki iklim panas, curah hujan cukup banyak serta tersebar secara merata (Irwan, 1992).

(24)

2.2 Zonasi Elevasi Hutan Pegunungan

Penurunan suhu karena bertambahnya elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang secara kasar dalam posisi tegak meniru zonasi menurut garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan. Reaksi dunia tumbuhan terhadap zona suhu ini mengakibatkan suatu pengelompokan menurut perbedaan kepekaan atau toleransi ekologi. Tampaknya banyak terjadi keselarasan antara reaksi terhadap elevasi, garis lintang yang menyebabkan bahwa penyebab mendasarnya adalah suhu (Steenis, 2006).

Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian > 1.000 meter di atas permukaan air laut (Arief, 1994). Menurut Damanik et al.(1992), ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera kira-kira adalah sebagai berikut:

a. Daerah ketinggian 0 - 1.200 diatas permukaan laut, disebut dataran rendah b. Daerah ketinggian 1.200 - 2.100 meter diatas permukaan laut, disebut hutan

pegunungan bagian bawah

c. Daerah ketinggian 2.100 - 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian atas

d. Daerah ketinggian diatas 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan subalpin

Mintakat dasar dalam suatu deretan gunung-gunung pada umumnya mempunyai curah hujan yang lebih tinggi daripada daratan-daratan rendah di dekatnya, dan sebagai akibatnya sering ditempati oleh komunitas-komunitas yang mirip dengan komunitas-komunitas yang suka kelembaban yang terdapat di dataran-dataran rendah. Hutan basah dapat tersebar sangat luas dan sering kali sangat lebat pada lereng-lereng bagian bawah di gunung-gunung. Tipe vegetasi mintakat gunung lebih mirip dengan daerah iklim sedang, atau dengan kata lain lebih sesuai dengan hutan basah daerah iklim sedang (Polunin, 1990).

(25)

Sifat tanah pegunungan berubah dengan pertambahan ketinggian tempat, umumnya menjadi lebih masam dan miskin zat hara, terutama ditempat-tempat dimana terdapat gambut asam. Tanah di puncak gunung, dibagian atas pungung-punggung gunung, dan di bukit-bukit kecil, yang hanya menerima air dari atmosfer, kering dan lebih miskin zat hara daripada tanah-tanah di dalam cekungan atau di lereng-lereng yang lebih rendah, yang menerima masukan air tanah yang tertapis dari atas. Selain itu kemiringan lereng dan keterbukaan vegetasi penutup juga merupakan factor-faktor yang penting. Suhu rendah memperlambat proses pembentukan tanah karena evapotranspirasi menurun, reaksi kimia lebih lambat dan kerapatan organisme tanah lebih rendah (Mackinnon et al., 2000).

2.3 Struktur dan Komposisi Hutan

Studi tentang komposisi dan struktur hutan merupakan bagian dari analisis vegetasi. Data komposisi jenis dan struktur hutan tersebut berguna untuk mengetahui kondisi keseimbangan komunitas hutan menjelaskan interaksi di dalam dan antar jenis (Odum, 1971), dan memprediksi kecendrungan komposisi tegakan dimasa mendatang (Whittaker, 1974).

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas tajuk (Daniel et al., 1992). Sementara itu Sorianegara & Indrawan (1980) menyatakan bahwa struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter.

(26)

2.4 Diagram Profil Hutan

Kondisi lingkungan dimasa depan dapat diprediksi dari komposisi dan

struktur biota pada saat ini. Spesies atau komunitas tertentu yang interaksinya unik

dalam ekosistem dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kualitas

lingkungan, mengidentifikasi permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan

awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi pada masa depan (Setyawan,

2008).

Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan

tropis. Konsep ini telah dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun masih

menjadi perdebatan (Whitmore, 1985). Beberapa peneliti menyatakan bahwa

adanya strata pada kanopi hutan, namun peneliti lain tidak menemukannya.

Penyebab utama kerancuan ini adalah subyektifitas, defenisi dan metode yang

digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga hal yang saling terkait, yaitu:

stratifikasi vertikal biomassa, stratifikasi vertikal kanopi dan stratifikasi vertikal

spesies (Ashton dan Hall, 1992).

Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan

panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi

setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi,

diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi

ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan

secara visual dan kulaitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau

biomassa dibuat sebagai pelengkap profil hutan (Ashton dan Hall, 1992).

2.5 Degradasi Hutan dan Pemanasan Global

Pemanasan global merupakan isu penting di awal abad ke 21 yang penyebab utamanya adalah peningkatan kadar CO2 di atmosfer sebagai akibat pembakaran bahan bakar fosil (Yuliasmara et al., 2009). Menurut Watson et al. (2000) selama 150 tahun terakhir telah terjadi peningkatan konsentrasi CO2 sebesar ± 28% sehingga suhu bumi meningkat 0,50C dibandingkan zaman pra-industri.

(27)

terjadi di wilayah negara-negara berkembang dengan hutan tropis yang luas, seperti Brazil, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Gabon, Kosta Rika, Kamerun, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo (IPCC, 2007). Menurut FAO (2006), 13 juta hektar hutan tropis hilang setiap tahunnya, sementara 7,3 juta hektar telah mengalami berbagai tingkat degradasi hutan per tahunnya. Emisi global dari penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan telah mencapai 1,65 Gt karbon per tahun.

Peranan pohon-pohon dalam komunitas hutan semakin sulit dipertahankan mengingat tekanan masyarakat terhadap kelompok tumbuhan dari waktu ke waktu terus meningkat (Yusuf et al., 2005). Pembakaran hutan banyak dilakukan untuk mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian baik monokultur maupun polikultur menyebabkan hilangnya sebagian dari fungsi hutan yaitu fungsi hidrologi, penyerap CO2 di atmosfer, mempertahankan biodiversitas, dan mempertahankan produktivitas tanah (Van Noordwijk et al., 2002). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak.

Hutan hujan tropis merupakan penyerap karbon terbesar serta memiliki kontribusi secara kuantitatif terhadap perubahan karbon global (Chave et al., 2005). Berdasarkan semua tipe penggunaan lahan, dilaporkan bahwa hutan gambut memiliki potensi yang besar dalam menyimpan carbon. Menurut Murdiyarso (2004), hutan gambut adalah tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung

ribuan tahun. Secara global biomassa pada lahan gambut menyimpan sekitar

329-525 Gt C atau 15-35% dari total karbon daratan. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon

di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate atau beriklim sedang

(Kanada dan Rusia), sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah

tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata lahan gambut di Indonesia

adalah 5 m, bobot isi biomassa 114 kg/m , dengan kadar karbon 50% dan luas

lahan tersebut 16 juta ha, maka stok massa karbon di lahan gambut Indonesia

adalah sebesar 46 Gt. Jadi sekitar 65 % stok massa karbon di daerah tropis

(28)

Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu kontributor yang cukup besar bagi total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena adanya aktifitas deforestasi, degradasi dan perambahan hutan. Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK hasil aktifitas manusia merupakan cara mitigasi efektif dalam menekan perubahan iklim global (Bakhtiar et al., 2008)

2.6 Mitigasi dan Penyelamatan

Ketika negara-negara maju berjuang mengurangi tingkat emisi mereka yang tinggi melalui berbagai teknologi baru dan pembangunan bersih, negara-negara berkembang dapat berkontribusi dalam upaya mitigasi melalui pemilihan sistem pembangunan ekonomi yang tidak lagi bergantung terhadap konversi hutan. Indonesia, sebagai pemimpin dari koalisi 18 tahun negara-negara hutan hujan (Rain Forest Countries), dan menjadi tuan rumah dari 13 Convention of the Parties (COP 13) UNFCCC di Bali pada bulan Desember 2007, telah menerima tanggung jawab untuk mempersiapkan berbagai analisa teknis substansial Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) dalam rangka implementasi konsep

REDD setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012 (Maulana, 2009).

(29)

tanaman dalam menyerap CO2 dan menyimpannya ke dalam organ-organ pohon (daun, cabang, batang, dan akar).

2.7 Biomassa dan Karbon Tersimpan

Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown 1997). Biomassa vegetasi merupakan berat bahan vegetasi hidup yang terdiri dari bagian atas dan bagian bawah permukaan tanah pada suatu waktu tertentu (Yuniawati, 2011). Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi hutan karena 50% biomassa tersusun oleh karbon (Brown, 1997).

Selama proses fotosintesis hutan mengabsorpsi gas CO2 dari atmosfer dan kemudian menyimpannya sebagai materi organik dalam bentuk biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO di atmosfer melalui aktivitas fisiologinya. Pengukuran produktivitas hutan dalam sudut pandang penelitian ini relevan dengan pengukuran biomassa hutan yang menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan karbon yang tersimpan dalam tanaman pada umur tertentu (Hardjana, 2008).

(30)

CO2 di atmosfir, dapat dilakukan dengan jalan mengukur jumlah C yang tersimpan dalam biomassa pohon dan tumbuhan bawah, C dalam lapisan organik dan C di dalam tanah (Monde, 2009).

Pengukuran biomassa sangat dibutuhkan untuk menduga besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam hutan dan pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia (Tresnawan, 2002). Besarnya karbon tersimpan mencapai 50% dari nilai biomassanya (Brown, 1997). Mengukur besarnya biomassa tersimpan di atas permukaan tanah dapat dilakukan dengan membuat plot-plot pada daerah yang akan diduga karbonnya (Chave et al., 2005) dengan cara mengukur diameter tegakan setinggi dada (Sujarwo & Darma, 2011), serta menghitungnya dengan menggunakan persamaan allometrik ataupun dengan cara destruktif. Menurut Tresnawan & Rosalina (2002), keunggulan menggunakan persamaan allometrik diantaranya dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia, mengurangi biaya dan mengurangi kerusakan pohon.

(31)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.2Letak dan Luas

Hutan gunung Sinabung secara administratif termasuk Desa Lau Kawar, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo dengan luas areal 13.844 ha. Dari Berastagi berjarak lebih kurang 27 km atau 86 km dari kota Medan. Secara geografis, hutan gunung Sinabung jalur Sigarang-garang terletak pada 0310’49,3”BT dan 9824’11,1”LU (Lampiran 1) , yang berada pada ketinggian  1400 - 2450 m dpl (UML, 2001).

Hutan gunung Sinabung berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Kawasan Ekosistem Leuser & Kabupaten Langkat - Sebelah Selatan : Kecamatan Munte

- Sebelah Barat : Kawasan Ekosistem Leuser & Kecamatan Payung - Sebelah Timur : Kecamatan Simpang Empat & Kabanjahe

(Unit Manajemen Leuser, 2001)

3.3Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi relatif bergelombang sampai dengan curam. Gambaran lokasi pengamatan pada tiap ketinggian adalah sebagai berikut :

Lokasi I (1700 - 1800 ) : Jalur landai, teduh dan sebagian terbuka karena adanya daerah pertanian penduduk.

Lokasi II (1800 - 1900)) : Jalur bergelombang dan teduh

(32)

Iklim

3.3.1 Curah Hujan

Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah I Sampali, diperoleh data curah hujan kawasan hutan gunung Sinabung adalah rata-rata 2628,6 mm pertahunnya (UML, 2001).

3.3.2 Tipe Iklim

Berdasarkan Schmidt-Ferguson, tipe iklim di kawasan hutan gunung Sinabung adalah tipe A dengan rata-rata curah hujan bulanan selama sepuluh tahun berkisar antara 139,6 s/d 335,0 mm (UML, 2001).

3.3.3 Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di sekitar areal penelitian, vegetasi yang umum ditemukan yaitu dari famili Lauraceae, Fagaceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Theaceae, dan Rubiaceae.

3.4. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai bulan Maret 2013 di kawasan hutan gunung Sinabung Kabupaten Karo, Jalur Sigarang-garang. Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode Purposive Sampling with Random Start. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang dianggap representative, sedangkan metode pengambilan sampel nya dengan menggunakan metode kombinasi antara metode line transect dan metode kuadrat.

3.5. Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Di Lapangan

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Metode Kombinasi antara Metode line transect dan Metode Kuadrat (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Lokasi penelitian dibagi tiga berdasarkan ketinggian yakni :

(33)

Penentuan ketinggian lokasi penelitian didasarkan atas survei dan penelitian sebelumnya. Pengambilan data vegetasi dan karbon tersimpan pada masing-masing lokasi dibuat plot berukuran 10 x 10 m untuk pohon dan pole sebanyak 20 plot (Lampiran 2), sehingga terdapat 60 plot pada semua lokasi penelitian. Pada setiap plot dilakukan pengamatan pada seluruh pohon yang berdiameter > 20 cm dengan mengukur diameter batang setinggi dada ( 1,3 m), dan pole mulai dari tegakan yang berdiameter 10 sampai dengan 20 cm, mencatat jenis pohon dan pole, dan jumlah individu dari setiap jenis pohon dan pole yang dijumpai pada lokasi pengamatan.

Gambaran dari tegakan hutan dilakukan dengan cara membuat diagram profil pada masing-masing lokasi dalam plot tunggal sebesar 10 x 20 m, diukur diameter pohon dan pole setinggi dada (cm), tinggi bebas cabang, tinggi total (m), luas proyeksi tajuk (kanopi), serta digambar pada kertas milimeter bentuk tajuk tersebut.

Spesimen dari seluruh individu, dikoleksi dan diberi label gantung setelah lebih dahulu mencatat ciri-ciri morfologinya, kemudian dilakukan pengawetan spesimen yaitu spesimen disusun dan dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70%. Udara dalam kantong plastik dikeluarkan dan kantong plastik ditutup dengan lakban, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan.

Faktor abiotik yang diukur meliputi suhu udara dengan Termometer, kelembaban udara dengan Higrometer, kelembaban dan pH tanah dengan Soiltester , suhu tanah dengan Soil termometer, intensitas cahaya dengan Luxmeter, dan ketinggian dengan Altimeter. Untuk pengukuran bahan organik tanah, dilakukan pengambilan sampel pada masing-masing lokasi penelitian sebanyak empat kali ulangan, kemudian dihomogenkan dan dibawa ke laboratorium Laboratorium Ilmu tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalisis kandungan C, N, P, K, Al, dan Mg nya.

3.5.2 Di Laboratorium

(34)

a. Malayan Wild Flowers Dicotyledon (Henderson, 1959)

b. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 1 (Whitmore, 1972) c. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 2 (Whitmore, 1973) d. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 3 (Phil, 1978) e. A Field Guide to Common Sumatran Trees (Draft & Wulf, 1978)

f. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno & Soedarsono, 1997)

g. Malesian Seed Plants Volume 1 – Spot-Characters An Aid for Identification of Families and Genera. (Balgooy, 1997).

h. Malesian Seed Plants Volume 2 – Portraits of Tree Families (Balgooy, 1998). i. Collection Of Illustrated Tropical Plant, Oleh E. J. H. Corner and Prof. Dr.

Watanabe.

j. Taxonomy Of Vascular Plants. ( Lawrence, 1958). k. Flora ( Dr. C. G. G. J. Van Steenis, 1987).

l. Plant Classification. ( L. Berson , 1957).

Spesimen herbarium yang tidak dapat diidentifikasi di laboratorium taksonomi, di kirim ke herbarium Universitas Andalas Padang untuk diidentifikasi lebih lanjut.

3.6 Analisis Data

3.6.1 Analisis Struktur dan Komposisi

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, Indeks Similaritas, Indeks Keseragaman dari masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis vegetasi pohon, nilai INP terdri dari KR, FR dan DR (Magurran, 1983).

(35)

b. Frekuensi

(36)

h. Indeks Similaritas

2C

IS= X 100 % A + B

Keterangan: A = Jumlah jenis yang terdapat pada lokasi A B = Jumlah jenis yang terdapat pada lokasi B

C = Jumlah jenis yang terdapat pada kedua lokasi yang dibandingkan

3.6.2 Analisis Diagram Profil Hutan

Diagram profil hutan ditentukan dengan perbandingan luas areal penelitian dengan luas tutupan tajuk (kanopi) pohon yang terdapat dalam areal penelitian tersebut. Penutupan yang lebih besar menggambarkan regenerasi yang tinggi. Perbandingan ini dapat ditentukan dengan membuat diagram profil pada berbagai tegakan hutan diatas kertas milimeter dan dengan menggunakan software Auto Cad.

3.6.3 Analisis Potensi Karbon Tersimpan (Carbon Sink)

(37)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kekayaan Jenis Pohon dan Pole

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Gunung Sinabung jalur sigarang-garang, ditemukan 52 jenis pohon dan pole yang termasuk kedalam 18 Famili dengan kerapatan sebesar 364 individu/0,6 ha. Jumlah jenis pohon yang ditemukan adalah sebanyak 43 jenis (Lampiran 3) dengan kerapatan 205/0,6 ha dan jumlah jenis pole sebanyak 36 Jenis dengan kerapatan 159/0,6 ha seperti yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kekayaan Jenis Pohon dan Pole di Setiap Lokasi Penelitian

(38)

Lanjutan...

(39)

sehingga masih banyak dijumpai jenis-jenis tumbuhan. Selain itu juga dikarenakan zona yang diteliti berada pada ketinggian 1600-1800 mdpl, sedangkan penelitian ini hanya dilakukan pada ketinggian 1700-2000 mdpl. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil yang rendah bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2006) di Bukit Wawouwai, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang memperoleh jumlah jenis sebanyak 88 jenis. Tingginya jumlah jenis ini karena areal penelitian berada pada dataran rendah (600-800 mdpl) yang tidak dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban dan ketinggian tempat.

Jumlah jenis terbanyak pada tingkatan pohon dijumpai pada lokasi 1 sebanyak 31 jenis diikuti dengan lokasi 2 sebanyak 22 jenis dan disusul oleh lokasi 3 sebanyak 6 jenis. Tabel 1 diatas juga menunjukkan bahwa pada tingkatan pole jumlah jenis terbanyak dijumpai pada lokasi 1 yaitu sebanyak 23 jenis diikuti oleh lokasi 2 sebanyak 17 jenis dan disusul oleh lokasi 3 sebanyak 8 jenis, demikian juga dengan jumlah individu secara keseluruhan mengalami penurunan seiring dengan naiknya ketinggian tempat.Hutan-hutan pegunungan bawah komposisinya didominansi oleh jenis-jenis dari famili Fagaceae dan Lauraceae sehingga hutan ini juga dikenal dengan hutan Laurofagaceum, selain itu juga banyak ditemukan liana seperti rotan dan jenis-jenis dari famili Myrtaceae. Ketinggian tempat dapat berpengaruh terhadap kekayaan jenis pohon, yaitu semakin tinggi letak lokasi maka kekayaan jenis semakin rendah (Steenis, 1984).

Tingginya jumlah jenis pada lokasi 1 dan lokasi 2 disebabkan karena faktor fisik kimia lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan pohon dan pole serta karakter dari masing-masing pohon dan pole. Menurut Kimins (1987), variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi tumbuhan, dispersal dan natalitas, sedangkan keberhasilannya menjadi individu baru dipengaruhi oleh fertilitas dan fekunditas yang berbeda setiap jenis sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-masing jenis.

(40)

pada lokasi 3 pada kedua tingkatan dijumpai pada famili Ericaceae dengan jumlah sebanyak 3 jenis. famili Myrtaceae, Theaceae dan Ericaceae dapat ditemukan pada semua ketinggian. Lokasi III merupakan lokasi yang sangat berbeda dengan lokasi I dan lokasi II karena famili Fagaceae tidak dijumpai pada lokasi ini sedangkan famili Rosaceae tidak dapat dijumpai di lokasi lain selain lokasi ini. Persentase perbandingan jumlah jenis pada masing-masing famili dapat dilihat pada Gambar 1. berikut.

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Jenis Pohon dan Pole Pada Setiap Famili

(41)

famili Hammamelidaceae. Untuk mengetahui sebaran famili dan komposisi hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

2470 mdpl

2300 mdpl

2100 mdpl

2000 mdpl

1900 mdpl

1800 mdpl

1700 mdpl

Gambar 2. Komposisi Vegetasi Pohon dan Pole pada Setiap Ketinggian di Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

4.2Luas Bidang Dasar dan Tutupan Tajuk Vegetasi Pohon dan Pole

Salah satu indikator dalam mengkaji struktur hutan adalah data diameter batang yang diukur setinggi dada (dbh/diameter breast high). Richards (1952) mengatakan, struktur hutan merupakan hasil dari penataan ruang oleh komponen-komponen tegakan seperti diameter batang, percabangan, tinggi pohon, keadaan tajuk dan stratifikasinya. Lebih lanjut Istomo (1994) menambahkan, struktur tegakan hutan juga dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis, berawal dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Tabel 2 memperlihatkan data basal area dari setiap jenis pada lokasi penelitian.

Araliaceae Euphorbiaceae Fagaceae Guttiferae Hammamelidaceae Lauraceae Magnoliaceae Myristicaceae Myrtaceae Theaceae

Araliaceae Ericaceae Magnoliaceae Myrtaceae Rosaceae Theaceae

(42)
(43)
(44)

Gambar 3. Perbandingan LBD(%) Pohon pada Masing-Masing Famili di Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

(45)

Lauraceae. Penyebaran biji dari famili Fagaceae dapat dikatakan berhasil karena banyak sekali bijinya dapat ditemukan dalam lantai hutan. Biji dari famili ini tergolong keras dan mempunyai masa dormansi yang lama sehingga anakan dari famili ini jarang sekali dijumpai di hutan ini. Persentase LBD pada tingkatan pole ditunjukkan oleh Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Perbandingan LBD (%) Pole pada Masing-Masing Famili di Hutan Gunung Sinabung Jalur Sigarang-Garang

(46)

(a)

(b)

Gambar 5. Diagram Vertikal (a) dan horizontal (b) Profil Vegetasi di lokasi I (1700-1800 mdpl)

Keterangan :

Go = Gordonia sp VR = Villebrunea rubescens

LB = Lithocarpus bancana Gw = Grewia sp Ag = Aglaia sp Fc = Ficus sp

(47)

yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan seedling. Selanjutnya Yamamoto (2000) mengatakan jenis-jenis yang toleran terhadap cahaya akan berkembang dengan baik pada areal yang penutupan tajuknya kecil, sebaliknya pada areal yang tutupan tajuk nya lebih besar dibawahnya akan tumbuh jenis yang resisten terhadap cahaya atau hanya membutuhkan sedikit cahaya saja.

Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan anak pohon. Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala, 1996).

(a)

(b)

Gambar 6. Diagram Vertikal (a) dan Horizontal (b) Profil Vegetasi di lokasi II (1800-1900 mdpl)

Keterangan :

Ac = Actinodaphne sp SP = Symingtonia populnea

Ag = Aglaia sp LB = Lithocarpus bancana

(48)

Pengukuran faktor fisik kimiawi lingkungan menunjukkan pada lokasi ini suhu rata-ratanya 190C, suhu tanah berkisar 150C dan kelembaban 91%. Rendahnya nilai tersebut disebabkan karena besarnya kanopi yang menutupi wilayah tersebut. Luas tutupan tajuk dibentuk dari banyaknya pohon-pohon besar yang tumbuh dilokasi ini. Penguasaan ruang juga dapat diamati pada tutupan tajuk/kanopi yang dibentuk oleh pohon dan pole.

Lokasi II (Gambar 6) dan lokasi III (Gambar 7) menunjukkan tumpang tindih tajuk yang mulai berkurang seiring dengan menurunnya jumlah individu pohon dan pole. Walaupun demikian, pada lokasi ini penyebaran vegetasinya cenderung menyebar tumbuh pada jarak yang jauh sehingga wilayah yang tertutup oleh tajuk juga semakin luas.

(a)

(b)

Gambar 7. Diagram Vertikal (a) dan Horizontal (b) Profil Vegetasi di Lokasi III (1900-2000 mdpl)

Keterangan :

(49)

Lokasi III menunjukkan pola penyebaran yang lebih acak dibanding dengan lokasi I dan lokasi II. Gambar 7 memperlihatkan tersebarnya pohon dan pole dengan jarak tumbuh yang berjauhan, sehingga rumpang (gaps) yang terbentuk juga besar. Rumpang (gaps) yang relatif besar pada lokasi ini disebabkan karena mulai berkurang nya jumlah jenis dan jumlah individu pada lokasi ini. Selain itu perumpangan juga dapat terbentuk karena adanya pohon-pohon yang tumbang atau yang mati (Marthews, 2008). Lokasi ini merupakan lokasi yang paling dekat dengan puncak Gunung Sinabung sehingga dampak erupsi yang diterima juga lebih besar, yang dapat diamati dengan banyaknya pohon-pohon yang mati. Besarnya intensitas cahaya yang masuk menyebabkan suhu menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi I dan lokasi II (Tabel. 7).

4.3Analisis Vegetasi

Analisis Vegetasi yang dilakukan pada tiga ketinggian tempat yang berbeda menunjukkan hasil yang bervariasi pada setiap tegakan dan ketinggian tersebut. Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 berikut menyajikan hasil analisis vegetasi pada setiap tegakan dan ketinggian tempat yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai tersebut menunjukkan bagaimana karakter, fekunditas dan fertilitas vegetasi tersebut dalam lingkungannya.

Hasil penghitungan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif menghasilkan Indeks Nilai Penting (INP) yang menggambarkan dominansi jenis tertentu dalam komunitasnya. Besarnya nilai INP dapat menjadi acuan bioindikator lingkungan. Semakin tinggi INP suatu jenis, semakin dapat tumbuhan tersebut bertahan dalam habitat nya serta melanjutkan siklus hidupnya dengan baik.

(50)

yang terjadi (Indriyanto, 2006). Nilai KR terendah pada pohon dijumpai pada beberapa jenis tumbuhan diantaranya adalah Pyrenaria serrata dan Eurya trichocarpa (lampiran. 3). Kedua jenis tersebut termasuk famili Theaceae yang terdapat pada beberapa tempat di hutan gunung sinabung, famili ini umumnya dijumpai pada ketinggian diatas 1800 mdpl dalam bentuk pohon, pole ataupun sapling.

Tabel 3. Nilai KR (%), FR (%) dan DR (%) Tertinggi Sepuluh Jenis Pohon dan Pole pada Ketinggian 1700-1800 mdpl (Lokasi I)

Pohon

Hutan pegunungan bagian bawah mempunyai fisiognomi yang menyerupai hutan hujan, hanya pohon-pohonnya yang tumbuh lebih kecil. Begitu pula komposisinya juga agak berbeda. Pada ekosistem ini biasanya kaya akan jenis Orchidaceae dan Pteridophyta. Disamping itu pada umumnya dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan antara lain dari famili: Anonaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Leguminoceae, Meliaceae, Sapindaceae dan Sapotaceae (Irwan, 1992).

(51)

Eugenia operculata dengan nilai yang sama yaitu sebesar 12,07%, sedangkan pada pole ditemukan pada jenis Eugenia operculata dan Brassaiopsis glomerulata yang juga menunjukkan nilai yang sama yaitu sebesar 20,34%. Nilai KR terendah pada pohon dijumpai pada sembilan jenis pohon diantaranya adalah Villebrunea rubescens dan Knema sp (Lampiran 3).

Tabel. 4 Nilai KR (%), FR (%), DR (%) Tertinggi Sepuluh Jenis Pohon dan dan pada pole berkisar antara 1,69%-40%. Nilai KR tertinggi dijumpai pada jenis Micromeles corymbifera (Rosaceae) baik pada pohon dan pole dengan nilai yang

(52)

Tabel. 5 Nilai KR (%), FR (%), DR (%) Tertinggi Pohon dan Pole pada Ketinggian 1900-2000 mdpl (Lokasi III)

Pohon

No Nama Jenis KR FR DR INP

1 Micromeles corymbifera 79,63 70,83 82,23 232,69 2 Gordonia imbricata 9,26 8,33 7,32 24,91

Nilai kerapatan suatu jenis menunjukkan jumlah individu jenis dalam luasan tertentu, oleh karena itu nilai KR tidak dapat menggambarkan distribusi jenis tersebut dalam areal penelitian. Gambaran mengenai distribusi tumbuhan dapat diketahui dengan menghitung nilai Frekuensi Relatif (FR) nya. Nilai FR merupakan perbandingan antara jumlah plot ditemukannya jenis tertentu dengan jumlah total plot penelitian secara keseluruhan. Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan dengan konstansi. Konstansi atau frekuensi kehadiran organisme dapat dikelompokkan atas empat kelompok yaitu jenis yang aksidental (frekuensi 0-25%), jenis assesori (frekuensi 25-50%), jenis konstan (frekuensi 50-75%), dan jenis absolut (frekuensi di atas 75%) (Suin,2002).

(53)

Jenis yang memiliki nilai FR tertinggi pada lokasi II pada pohon ditemukan pada jenis Lithocarpus sp.1 (11,76%) dan pada pole ditemukan pada jenis Eugenia operculata (20,41%), sedangkan pada lokasi III ditemukan pada jenis yang sama baik pada tegakan pohon dan pole yaitu pada jenis Mycromeles corymbifera dengan nilai berturut-turut 70,83% (17 plot dari 20 plot) dan 34,62% (9 plot dari 20 plot). Besarnya nilai ini menyatakan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki adaptasi yang baik pada kondisi lingkungannya. Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan dalam arti luas. Beberapa jenis dari tumbuhan di hutan hujan tropis teradaptasi dengan kondisi dibawah kanopi, pertengahan dan diatas kanopi yang intensitas cahayanya berbeda-beda (Balakrishnan et al., 1994).

Dilihat dari nilai Dominasi Relatif (DR) nya pada tingkatan pohon, di lokasi I ditemukan pada jenis Lithocarpus sp.1 (13,27%) sedangkan pada tingkatan pole dietemukan pada jenis Aglaia sp. (26,5%). Tingginya nilai DR Aglai sp pada tingkatan menyatakan banyaknya jumlah individu jenis ini di lokasi I. Keberhasilan untuk tumbuh tidak terlepas dari daya penyebaran dan perkecambahan bijinya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jenis Aglaia sp merupakan jenis yang mampu menghasilkan buah yang banyak dan dapat menjadi pakan alami hewan-hewan pemakan buah seperti burung, tupai dan kera sehingga hewan-hewan-hewan-hewan tersebut juga sangat membantu dalam penyebaran bijinya. Monk et al, (2000), menyatakan pohon-pohon yang tumbuh di bawah ketinggian optimum, umumnya mengandalkan pasokan bijinya dari pohon-pohon di ketinggian atasnya.

Tabel 4 menunjukkan pada tingkatan pohon, nilai DR tertinggi di lokasi II dijumpai pada jenis Lithocarpus sp.1 (21,36%) disusul oleh jenis Actinodaphne sp (20,42%), hal yang sangat wajar bila jenis tersebut mendominasi dilokasi ini mengingat lokasi ini masih berada pada hutan pegunungan bawah yang dikenal dengan zona Laurofagaceum (Steenis, 2006). Tingginya nilai tersebut menyatakan bahwa jenis ini dapat berkembang dengan baik pada lokasi ini.

(54)

ataupun terbuka. Besarnya nilai DR ditentukan oleh besarnya diameter pohon dan banyaknya jumlah individu dari jenis tersebut dilokasi ini. Semakin besar diameter suatu pohon menunujukkan bahwa semakin cepat pembentukan biomassanya sehingga dengan kata lain nilai DR dapat dijadikan sebagai parameter untuk menentukan biomassa pada suatu tegakan. Besarnya nilai DR tergantung dari Luas Bidang Dasar (LBD) suatu pohon, sehingga semakin tinggi LBD nya maka semakin besar nilai DR nya. Nilai Dominasi Relatif menunjukkan proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh jenis tumbuhan dengan luas total habitat serta menunjukkan jenis tumbuhan yang dominan didalam komunitas (Indriyanto, 2006).

Dominansi jenis menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam suatu komunitas di areal hutan. Dominansi jenis ini ditunjukkan dengan Nilai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi. Tingginya nilai INP pun menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lebih baik dibanding jenis lainnya (Rahmasari, 2011).

Indeks Nilai Penting merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya sehingga nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi pohon pada lokasi I ditemukan pada jenis Aglaia sp sebesar 36,7% diikuti dengan Lithocarpus bancana sebesar 33,05% dan disusul oleh Neocinnamomum sp sbesar 29,96%. Indeks Nilai Penting terendah di lokasi ini ditemukan pada jenis Anneslea sp (Theaceae) dan Pyrenaria serrata (Theaceae) dengan nilai yang sama yaitu sebesar 2,63%. Rendahnya nilai ini menyatakan lingkungan tidak mendukung pertumbuhan jenis tersebut pada lokasi ini. Famili Theaceae banyak ditemukan di hutan hujan terutama hutan pegunungan diatas 1000 m dengan suhu yang relatif rendah dan pada umumnya famili ini dijumpai pada hutan pegunungan atas. Hutan pegunungan Jawa bagian barat sampai Gunung Merapi dapat ditemukan jenis ini pada ketinggian mencapai 2200 mdpl (Steenis, 2010).

(55)

merupakan tumbuhan Dominan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tingginya nilai INP menunjukkan produktivitas yang besar dari jenis-jenis tersebut (Odum, 1971).

Jenis pohon dominan pada lokasi II adalah Lithocarpus sp.1 dengan nilai INP sebesar 45,19% diikuti oleh Actinodaphne sp, Eugenia operculata, dan Lithocarpus sp.2 dengan nilai berturut-turut 40,57%, 36,13% dan 33,10%. Jenis pohon-pohon ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan lokasi 1. Hasil pengukuran faktor fisik lingkungan menunjukkan sedikit perbedaan lokasi ini dengan lokasi I. Suhu udara pada lokasi ini berkisar 200C dengan intensitas cahaya sebesar 440x2000 luks dan kelembaban berkisar 81%. Kesamaan faktor fisik ini memungkinkan tumbuhan jenis yang sama untuk dapat hidup dilokasi ini.

Nilai penting tertinggi pada tingkatan pole pada lokasi II sebesar 65,34% yang dijumpai pada jenis Eugenia operculata. Selain jenis tersebut, jenis dominan lainnya adalah Brassaiopsis glomerulata yang memiliki INP sebesar 53,95 dan Actinodaphne sp dengan INP sebesar 33,77. Besarnya nilai INP pohon Lithocarpus sp.1 pada lokasi II ini tidak menjamin tingginya nilai INP pada tingkatan pole (anakan) nya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurang berhasilnya jenis tersebut dalam perkecambahan bijinya. Biji Fagaceae umumnya berkulit keras dan mempunyai dormansi yang lama sehingga pada saat penelitian anakannya sangat sulit didapatkan pada lantai hutan.

(56)

yang tinggi tidak terlepas dari proses pembungaannya. Salah satu respon tumbuhan terhadap cahaya adalah memunculkan bunga yang disebut dengan peristiwa fotoperiodisme. Hutan-hutan di Indonesia pada lereng timur nya mendapat cahaya lebih banyak dibandingkan lereng barat (Steenis, 2010). Pada lokasi penelitian jenis ini merupakan jenis yang dapat memunculkan bunga pada intensitas cahaya tinggi sehingga dapat berkembang baik di lokasi III. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000) dalam Arrijani (2008), indeks nilai penting merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. INP seluruh jenis selanjutnya menjadi dasar untuk mengitung indeks diversitas (H’).

Semua lokasi penelitian menunjukkan struktur dan komposisi yang berbeda-beda baik pada tingkatan pohon maupun pole. Perubahan struktur dan komposisi tidak hanya dapat dilihat untuk kelestarian pohon saja (Muhdi, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan struktur dan komposisi juga merubah keberadaan hewan-hewan yang terdapat pada lingkungan seperti keberadaan jenis unggas (Archaux, 2007 dalam Muhdi, 2009). Selanjutnya Slik et al (2008) menjelaskan bahwa perubahan struktur dan komposisi juga

mempengaruhi kadar CO2 di atmosfer.

4.4Indeks Keaneka ragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Untuk mengetahui keanekaragaman dan keseragaman pada lokasi I, II dan III telah dilakukan analisa data dan didapat hasilnya sebagai berikut:

Tabel 6. Indeks Keaneka ragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Pohon dan Pole Pada Setiap Lokasi Penelitian

(57)

ini menunjukkan jumlah jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang ada pada lokasi I dan lokasi II baik dalam kategori pohon ataupun pole termasuk dalam kategori sedang, sedangkan nilai H’ pada pohon di lokasi III termasuk dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan karena dominannya satu jenis tumbuhan saja pada lokasi ini. Menurut Mason (1986), jika nilai Indeks Keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekagaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.

Menurunnya nilai keanekaragaman tersebut dikarenakan terjadinya perubahan faktor fisik lingkungan yang juga merubah struktur dan komposisi vegetasi (Mackinon, 2000). Semakin keatas, hanya jenis yang mampu beradaptasi pada faktor fisik kimia lingkungan sajalah yang dapat tumbuh. Lokasi ini merupakan lokasi yang mendukung untuk pertumbuhan banyak jenis. Lokasi ini berada pada zona hutan pegunungan bawah atau sub montana dengan suhu udara rata-rata 190C, suhu tanah rata-rata 150C, pH tanah rata-rata 4,4 Intensitas cahaya 52x2000 luks dan kelembababan 91%. Secara umum nilai rata-rata pengukuran faktor fisik lingkungan pada setiap ketinggian disajikan dalam tabel 6 berikut. Tabel. 7 Data Faktor Fisik Lingkungan di Setiap Lokasi Penelitian

Lokasi udara Suhu

Gambar

Tabel 1
Gambar 1
Tabel 1. Kekayaan Jenis Pohon dan Pole di Setiap Lokasi Penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah jenis di hutan Gunung Sinabung jalur
+7

Referensi

Dokumen terkait

JENIS TUMBUHAN BAWAH DENGAN NILAI K, KR, F, FR, DAN INP PADA HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG- GARANG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA.

1 SN 1 Anacardiaceae Semecarpus vernicifera Hay-et KAWA.. Seneng Sri Astuti : Struktur Dan Komposisi Vegetasi Pohon Dan Pole Di Sekitar Jalur Wisata Taman Wisata Alam

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi kepada peneliti selanjutnya mengenai struktur dan komposisi vegetasi pohon serta potensi karbon tersimpan di Kawasan

Jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis. lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem

Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara telah dilaksanakan. Areal pengamatan ditentukan

Tabel Pengamatan Vegetasi Pohon di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.. No No Koleksi Famili Spesies