• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN

GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN

SIGARANG-GARANG KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PUTRI YOHANI MASNUN

090805059

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG KABUPATEN

KARO SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi FMIPA USU

PUTRI YOHANI MASNUN 090805059

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Di Hutan

Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Putri Yohani Masnun

Nomor Induk Mahasiswa : 090805059

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juni 2014

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

NIP. 19690919 199903 1 002 NIP. 19621214 199103 2 001

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG KABUPATEN

KARO SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2014

(5)

PENGHARGAAN

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat, karunia dan kemurahan-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi penelitian ini dalam waktu yang telah ditetapkan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak T. Alief Aththorick, S.Si, M.Si selaku Dosen pembimbing II dan Kepala Laboratorium Sistematika Tumbuhan yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, waktu dan perhatian yang besar terutama saat penulis memulai penulisan hingga penyusunan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Dosen Penguji sekaligus Ketua Departemen Biologi dan Bapak Drs. Arlen Hanel Jhon M.Si selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan kritik, saran dan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Salomo Hutahaean M.Si selaku Penasehat Akademik, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Sekretaris Departemen dan seluruh dosen Departemen Biologi FMIPA USU yang telah mengajarkan dan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama melaksanakan perkuliahan. Terima kasih kepada Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan dan para Pembantu Dekan FMIPA USU. Terima kasih juga kepada Bang Endra Raswin, Ibu Roslina Ginting dan Ibu Mizarwati, S.Si yang telah banyak membantu di bidang administrasi.

Ungkapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua (Ayahanda Suwiyono dan Ibunda Sriwahyuni) dan saudara tercinta (Muhammad Hakiki dan Putri Adelina) atas do’a, dukungan, perhatian, cinta dan kasih sayang yang tak terhingga yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada orang yang berarti dalam hidup penulis (Yudi Ardiansyah, S.T dan Ahmad Halim, S.Pd) atas segala bantuan, semangat, dukungan, motivasi dan kebersamaan selama ini.

(6)

adik-adik 2011 (Yentiti, Maya, Rina, Taufik, Natan, Desy, Budik, Putri), teman-teman di IPKB dan HIMABIO yang telah mendukung, membantu dan memerikan motivasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara di UKMI AL-FALAK (Kak Nana, Kak Aisyah, Kak Sri, Kak Heny, Kak Arni, Ayu, Fitri, Fika, Titin, Putri) untuk semua kebersamaan dan ukhuwah selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam melengkapi kekurangan serta penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2014

(7)

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG KABUPATEN

KARO SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara telah dilaksanakan. Areal pengamatan ditentukan secara purposive sampling dengan jumlah 20 plot berukuran 1 x 1 m di delapan lokasi yang berbeda. Didapatkan 58 jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam 35 famili. Lokasi 1 (1.600-1.700 mdpl) didominasi oleh Dissochaeta sp. dengan INP 18,568%, lokasi 2 (1.700-1.800 mdpl) didominasi oleh Diplazium pallidum dengan INP 31,127%, lokasi 3 (1.800-1.900 mdpl) didominasi oleh Hybanthus attenuatus dengan INP 43,648%, lokasi 4 (1.900-2.000 mdpl) didominasi oleh Asplenium pellucidum dengan INP 65,278%, lokasi 5 (2.000-2.100 mdpl) didominasi oleh Gahnia japanica dengan INP 80,219%, lokasi 6 (2.100-2.200 mdpl), lokasi 7 ( 2.200-2.300 mdpl) dan lokasi 8 (2.300-2.400 mdpl) didominasi oleh Histiopteris incisa dengan INP berturut-turut 49,537%, 83,462% dan 92,575%. Indeks keanekaragaman tumbuhan bawah tertinggi terdapat pada lokasi 1 sebesar 2,953 dan indeks keseragaman tumbuhan bawah tertinggi terdapat pada lokasi 6 sebesar 0,919. Indeks similaritas tumbuhan bawah tertinggi sebesar 84,810% ditemukan antara lokasi 7 dan 8.

(8)

VEGETATION ANALYSIS OF GROUND COVER PLANTS IN THE LANE CLIMBING SIGARANG-GARANG OF SINABUNG MOUNTAIN

FOREST KARO REGENCY NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Vegetation Analysis Of Ground Cover Plants In The Lane Climbing Sigarang-garang Of Sinabung Mountain Forest Karo Regency North Sumatera had been studied. For this study site was settled by purposive sampling with 20 plot of 1 x 1 m size for each location. There are 58 species of ground cover plants are recorded in the study site belonging to 35 families. From the study site the first location (1.600-1.700 asl) was dominated by Dissochaeta sp. with important value index 18,568%, the second (1.700-1.800 asl) was dominated by Diplazium pallidum with important value index 31,127%, the third (1.800-1.900 asl) was dominated by Hybanthus attenuatus with important value index 43,648%, the fourth (1.900-2.000 asl) was dominated by Asplenium pellucidum with important value index 65,278%, the fifth (2.000-2.100 asl) was dominated by Gahnia japanica with important value index 80,219%, the sixth (2.100-2.200 asl), the seventh (2.200-2.300 asl) and the eighth ((2.200-2.300-2.400 asl) were dominated by Histiopteris incisa with important values index 49,537%, 83,462% and 92,575%, respectively. The highest diversity index of ground cover plants was 2,953 in the first location and the highest equibility index of ground cover plants was 84,810% between the seveth and the eighth loacation.

(9)

DAFTAR ISI

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Hutan Pegunungan 4

2.2 Vegetasi Bawah 7

2.2.1 Semak 8

2.2.2 Tumbuhan Herba 9

2.2.3 Paku-pakuan 10

2.3 Peranan Tumbuhan Bawah 10

2.4 Faktor Fisik Hutan Pegunungan 11

BAB 3 BAHAN DAN METODE 12

3.5 Pelaksanaan Penelitian 13

3.5.1 Di Lapangan 13

3.5.2 Di Laboratorium 14

3.6 Analisis Data 15

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

4.1 Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah 18

4.2 Komposisi Tumbuhan Bawah 22

4.3 Jenis Tumbuhan Bawah dengan Nilai KR, FR dan INP 27

4.4 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 30

(10)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 34

5.1 Kesimpulan 34

5.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

(11)

DAFTAR TABEL

halaman

4.1.1 Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung 18

4.1.2 Jumlah Jenis Tertinggi Tumbuhan Bawah 20

4.1.3 Perbandingan Data Jalur Pendakian Lau Kawar dan

Sigarang-garang 21

4.2.1 Komposisi Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung 22

4.3.1 Jenis Tumbuhan Bawah dengan 5 Nilai KR, FR dan INP

tertinggi pada masing-masing lokasi 27

4.4.1 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

1 Peta Lokasi Penelitian 39

2 Plot Penelitian 40

3 Jalur Pengamatan di Gunung Sinabung 41

4 Data Faktor-Fisik Kimia 42

5 Hasil Identifikasi Herbarium Medanense (MEDA) 44

6 Contoh Perhitungan K, KR, F, FR, INP, H’, E dan IS 46

7 Jenis Tumbuhan Bawah dengan Nilai K, KR, F, FR dan

INP pada Lokasi Penelitian 49

(13)

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG KABUPATEN

KARO SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-Garang Kabupaten Karo Sumatera Utara telah dilaksanakan. Areal pengamatan ditentukan secara purposive sampling dengan jumlah 20 plot berukuran 1 x 1 m di delapan lokasi yang berbeda. Didapatkan 58 jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam 35 famili. Lokasi 1 (1.600-1.700 mdpl) didominasi oleh Dissochaeta sp. dengan INP 18,568%, lokasi 2 (1.700-1.800 mdpl) didominasi oleh Diplazium pallidum dengan INP 31,127%, lokasi 3 (1.800-1.900 mdpl) didominasi oleh Hybanthus attenuatus dengan INP 43,648%, lokasi 4 (1.900-2.000 mdpl) didominasi oleh Asplenium pellucidum dengan INP 65,278%, lokasi 5 (2.000-2.100 mdpl) didominasi oleh Gahnia japanica dengan INP 80,219%, lokasi 6 (2.100-2.200 mdpl), lokasi 7 ( 2.200-2.300 mdpl) dan lokasi 8 (2.300-2.400 mdpl) didominasi oleh Histiopteris incisa dengan INP berturut-turut 49,537%, 83,462% dan 92,575%. Indeks keanekaragaman tumbuhan bawah tertinggi terdapat pada lokasi 1 sebesar 2,953 dan indeks keseragaman tumbuhan bawah tertinggi terdapat pada lokasi 6 sebesar 0,919. Indeks similaritas tumbuhan bawah tertinggi sebesar 84,810% ditemukan antara lokasi 7 dan 8.

(14)

VEGETATION ANALYSIS OF GROUND COVER PLANTS IN THE LANE CLIMBING SIGARANG-GARANG OF SINABUNG MOUNTAIN

FOREST KARO REGENCY NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Vegetation Analysis Of Ground Cover Plants In The Lane Climbing Sigarang-garang Of Sinabung Mountain Forest Karo Regency North Sumatera had been studied. For this study site was settled by purposive sampling with 20 plot of 1 x 1 m size for each location. There are 58 species of ground cover plants are recorded in the study site belonging to 35 families. From the study site the first location (1.600-1.700 asl) was dominated by Dissochaeta sp. with important value index 18,568%, the second (1.700-1.800 asl) was dominated by Diplazium pallidum with important value index 31,127%, the third (1.800-1.900 asl) was dominated by Hybanthus attenuatus with important value index 43,648%, the fourth (1.900-2.000 asl) was dominated by Asplenium pellucidum with important value index 65,278%, the fifth (2.000-2.100 asl) was dominated by Gahnia japanica with important value index 80,219%, the sixth (2.100-2.200 asl), the seventh (2.200-2.300 asl) and the eighth ((2.200-2.300-2.400 asl) were dominated by Histiopteris incisa with important values index 49,537%, 83,462% and 92,575%, respectively. The highest diversity index of ground cover plants was 2,953 in the first location and the highest equibility index of ground cover plants was 84,810% between the seveth and the eighth loacation.

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung Sinabung merupakan salah satu gunung tertinggi di Sumatera Utara

dengan ketinggian 2.451 m di atas permukaan laut. Hutan Gunung Sinabung

dikenal secara lokal, nasional, maupun internasional sebagai kawasan ekowisata

yang banyak dikunjungi oleh pencinta alam. Gunung ini terletak di tanah Karo

dan masih memiliki vegetasi yang bagus. Masyarakat sekitar memanfaatkan

keindahan alam gunung ini sebagai tempat wisata dan tanah di kaki gunung

sebagai lahai lahan pertanian.

Kawasan hutan Gunung Sinabung masuk dalam kawasan hutan Sibayak II.

Kawasan ini merupakan suatu bahan studi yang menarik. Menurut Laporan

Eksplorasi Flora Nusantara yang dikemukakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI, 2003) kawasan hutan Sibayak II yang berada di sekitar hutan

Gunung Sinabung berbatasan dengan tanah-tanah perkebunan milik masyarakat

dengan kondisi yang masih bagus. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya

pohon-pohon berukuran besar. Lebih lanjut LIPI mengemukakan kawasan hutan

tersebut masih cukup baik dengan variasi flora yang cukup tinggi.

Menurut Aththorick et al. (2006), kawasan hutan gunung Sinabung

merupakan salah satu hutan pegunungan tropis di Indonesia yang memiliki

keanekaragaman pohon yang tinggi termasuk tumbuhan bawah. Jenis-jenis dari

suku Araceae dan paku-pakuan sangat banyak dijumpai. Namun demikian,

adanya jalan masuk menuju puncak yang sering dilalui orang dapat menjadi

ancaman bagi kelestarian dan berkurangnya keragaman vegetasi penutup lantai

hutan gunung Sinabung khususnya di jalur pendakian Sigarang-garang.

Gunung Sinabung berjarak 86 km dari kota Medan, Sumatera Utara. Di

Indonesia, gunung api tipe B seperti gunung Sinabung tidak mendapat perhatian

(16)

status gunung Sinabung dinaikkan menjadi gunungapi tipe A. Menurut

Widhiastuti (2012), letusan gunung Sinabung tahun 2010 telah mengakibatkan

berbagai kerusakan fisik dan perubahan vegetasi di kawasan hutan Gunung

Sinabung, terutama pada zona pegunungan atas hingga puncak.

Berbagai penelitian mengenai keanekaragaman tumbuhan bawah di hutan

pegunungan sudah banyak dilakukan, diantaranya penelitian Pitra (2008) di hutan

Gunung Sinabung dengan luas plot 0,006 ha ditemukan 141 jenis tumbuhan

bawah. Siregar (2005) juga melakukan penelitian serupa dengan luas area

pengamatan 0,18 ha ditemukan 224 jenis tumbuhan bawah, dan pada penelitian

Sari (2005) ditemukan 44 jenis tumbuhan paku dengan luas plot 0,25 ha. Selain

itu, pada penelitian Abdiyani tahun 2007 di Dataran Tinggi Dieng dengan luas

plot 0,01 ha ditemukan 79 jenis tumbuhan bawah, dengan 58 jenis berpotensi

sebagai tumbuhan obat.

Setelah letusan tahun 2010, vegetasi di hutan Gunung Sinabung

mengalami kerusakan dan terjadi suksesi sekunder. Salah satu vegetasi yang

terganggu yaitu tumbuhan penutup lantai hutan, sehingga tumbuhan tersebut

rusak. Sampai saat ini belum ada informasi maupun data mengenai tumbuhan

penutup lantai hutan di jalur pendakian Sigarang-garang, karena penelitian

sebelumnya hanya pada jalur pendakian Lau Kawar, untuk itu perlu dilakukan

penelitian tentang analisis vegetasi tumbuhan penutup lantai hutan gunung

Sinabung jalur pendakian Sigarang-garang Kabupaten Karo Sumatera Utara.

1.2 Permasalahan

Gunung Sinabung kaya akan tumbuhan bawah sebagai penutup lantai

hutan, namun berpotensi mengalami kerusakan baik disebabkan oleh kondisi alam

maupun ulah manusia. Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian untuk

mendapatkan informasi dan data bagaimanakah struktur dan komposisi tumbuhan

(17)

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman

tumbuhan bawah sebagai penutup lantai hutan yang terdapat di kawasan gunung

Sinabung kabupaten Karo jalur pendakian Sigarang-garang.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi

dasar keanekaragaman tumbuhan bawah yang terdapat di kawasan gunung

Sinabung kabupaten Karo Sumatera Utara sebagai plasma nutfah yang dapat

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Pegunungan

Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000

meter di atas permukaan air laut. Daerah pegunungan ini sangat dipengaruhi oleh

perubahan iklim. Struktur dan komposisi vegetasi hutan pegunungan

berbeda-beda menurut ketinggiannya. Di Sumatera terdapat banyak gunung, beberapa di

antaranya terbentuk dari penjulangan batu endapan seperti halnya kebanyakan

pegunungan bukit barisan, sedangkan gunung lainnya seperti Gunung Kerinci,

Sinabung, Merapi dan Singgalang adalah hasil dari letusan gunung berapi.

Sifat-sifat lingkungan fisik berubah sepanjang lereng gunung, dan perubahan fauna dan

flora dapat diikuti melalui perubahan tersebut (Damanik et al., 1987).

Indriyanto (2006) menyatakan bahwa menurut ketinggian tempat dari

permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah

sebagai berikut:

1). Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.

2). Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 1.000-3.300 m dari permukaan laut.

3). Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 3.300 -4.100 m dari permukaan laut.

Hutan pada pegunungan sangat dipengaruhi oleh perubahan ketinggian,

pada ketinggian yang berbeda-beda mempunyai iklim yang berbeda-beda pula.

Suhu secara perlahan menurun sejalan dengan ketinggian yang meningkat, hingga

pada gunung yang tinggi. Semakin naik ketinggian maka kondisi lingkungan

semakin ekstrim, pH tanah semakin menurun sehingga proses pembusukan bahan

(19)

tumbuhan. Karena intensitas cahaya matahari yang tinggi tumbuhan menjadi

kerdil, daun tebal dan sempit (Ewusie, 1990).

Hutan pegunungan memiliki zona-zona vegetasi dengan jenis, struktur dan

penampilan yang berbeda. Semakin tinggi suatu tempat, iklim menjadi sejuk dan

lebih lembab. Untuk setiap kenaikan ketinggian sebesar 1000 meter, suhu akan

turun kira-kira 5°C. Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran dan bentuk

tumbuhan di gunung adalah kelembaban, curah hujan dan pengaruh angin. Curah

hujan biasanya lebih tinggi di sisi gunung yang berhadapan dengan arah tiupan

angin di lereng-lereng gunung sampai ketinggian 1.500 mdpl daripada di dataran

rendah di sekitarnya (Mackinnon, et al., 2000).

Seiring dengan naiknya ketinggian suatu permukaan, jenis vegetasi yang

ditemukan juga akan berubah. Komposisi botanik hutan pegunungan bagian atas

lebih menyerupai hutan di daerah iklim sedang. Pada habitat yang berbatu-batu

ditumbuhi vegetasi berbentuk semak-semak rendah atau pohon-pohon konifer

(tumbuhan berdaun jarum) atau jenis vegetasi berbunga. Biasanya vegetasi yang

tumbuh pada ekosistem ini tidak merupakan satu kesatuan, terpencar-pencar oleh

hamparan rumput atau semak (Rifai, 1993).

Menurut Polunin (1997), suatu komunitas hutan dengan keanekaragaman

spesies yang tinggi memiliki struktur yang kompleks, dan ekosistem hutan hujan

tropis cenderung paling kompleks di antara yang ada. Tegakan biasanya terdiri

atas suatu masa pohon, tumbuhan merambat (liana), dan tumbuhan dalam bentuk

lain mencapai ketinggian berkisar dari beberapa sentimeter sampai 60 meter.

Apabila dalam hutan terdapat pohon tumbang, maka tajuk pohon akan

terbuka dan sinar matahari akan menembus sampai ke lantai hutan. Dengan

demikian, tumbuhan yang sebelumnya tidak mampu tumbuh akan tumbuh dengan

baik dan memenuhi lantai hutan yang terkena sinar matahari itu. Beberapa saat

kemudian benih pohon yang tumbang telah berkecambah dan tumbuh menjadi

anakan pohon dan menjadi pohon besar, sehingga tajuknya akan menaungi lagi

daerah tersebut. Sebagai akibat dan konsekuensinya adalah tumbuhan di lantai

hutan menjadi mati dan berkurang jumlahnya karena tidak mendapat sinar

matahari lagi. Pohon yang telah tumbuh menjadi besar akhirnya kembali

(20)

Arus angin ke arah gunung pada siang hari disebabkan oleh panasnya

udara di dataran rendah dan akan menyebabkan pengembangan udara dan naik.

Dengan pengembangan dan naiknya udara sebagai akibat tekanan yang lebih

rendah, maka suhu akan turun. Inilah sebab utama dengan bertambahnya

ketingian, suhu udara makin turun. Laju pemanasan di pegunungan tidak serupa

laju pemanasan di dataran rendah. Pantulan panas dari permukaan bumi lebih kuat

digunung oleh karena tekanan udara yang rendah. Laju penurunan suhu pada

umumnya sekitar 0,6° C setiap penambahan ketinggian sebesar 100 meter, tetapi

hal ini berbeda-beda tergantung kepada tempat, musim, waktu, kandungan uap air

dalam udara dan lain sebagainya (Damanik et al, 1992).

Hutan sekunder muda mudah dikenali dari hutan primer oleh adanya

komposisi spesies dan struktur, namun dalam praktiknya sulit dibedakan antara

hutan sekunder tua dan hutan primer sejati. Terdapat beberapa alasan, bukti-bukti

adanya penebangan pohon segera lenyap pada iklim lembab panas, dan usia

pohon tropis jarang dapat ditentukan dapat ditentukan secara langsung dengan

menghitung cincin-cincin pertumbuhannya. Hutan sekunder terkadang

menunjukkan bukti adanya penghunian oleh manusia, namun derajat

gangguannya dapat bervariasi dari tebang habis sampai pengambilan secara

efektif pohon-pohon hanya satu saja atau beberapa spesies (Polunin, 1997).

Keragaman yang besar dalam ketinggian pohon tercermin pada perlapisan

tajuknya yang menjadi tiga atau ada kalanya dua lapis, selain dari lapisan semak

dan terna. Keadaan ini khas bagi struktur hutan hujan tropika dan berbeda sekali

dengan hutan iklim sedang. Walaupun belukar teduhan hutan hujan itu terdiri dari

semak, tumbuhan terna, kecambah dan pohon muda, tetapi hutan yang tak

terganggu itu sendiri masih dapat ditembus secara wajar. Pada tempat yang tidak

ada jatuhan pohon atau jatuhan cabangnya, tidaklah sukar bagi seseorang untuk

berjalan di dalam hutan hujan dewasa itu. Keadaan ini disebabkan oleh flora

teduhannya yang berupa terna tersebar secara jarang, dengan kerapatan terna

teduhan yang jauh lebih rendah daripada hutan iklim sedang, dan tanahnya

tertutup tipis dengan guguran daun. Celah yang terbentuk oleh tajuk pepohonan

membuat tanah hutan agak remang-remang, dengan bercak cahaya matahari

(21)

Sejauh ini penelitian tumbuhan di hutan pegunungan telah banyak

dilakukan terutama penelitian di bidang ekologi dan taksonomi. Banyaknya

penelitian yang dilakukan dikarenakan topik ini menarik untuk diteliti. Di

Sumatera sendiri penelitian sejenis telah dilakukan hampir di seluruh dataran

tinggi dan pegunungan, termasuk Gunung Sinabung.

2.2 Vegetasi Bawah

Di bagian-bagian hutan yang lapisan pohon-pohonnya tidak begitu lebat sehingga

cukup cahaya yang dapat menembus ke lantai hutan, mungkin di dalam hutan

dapat berkembang vegetasi tanah berwarna hijau yang cukup, yang seperti

pohon-pohon dominan, tidak bergantung pada bantuan dari luar. Vegetasi yang rendah

demikian itu dalam keadaan lembab cenderung bersifat seperti terna, dengan

paku-pakuan dan paku lumut (Selaginella sp.) yang kadang-kadang menyolok,

sedang pada gigir-gigir yang kering dapat sebagian besar terdiri atas tumbuhan

berkayu (Polunin 1994).

Tumbuhan lapis bawah merupakan tumbuhan yang menutupi lantai hutan

yang berupa tumbuhan setrata semak, herba, dan beberapa jenis tumbuhan

penutup tanah yang lain. Tumbuhan semak adalah tumbuhan yang tidak seberapa

besar, batang berkayu, dan bercabang-cabang dekat permukaan tanah atau

terkadang berada di dalam tanah. Tumbuhan herba adalah tumbuhan yang tidak

seberapa besar dan berbatang basah yang tumbuh pada permukaan tanah

(Tjitrosoepomo, 1994).

Tumbuhan bawah adalah komunitas tumbuhan penyusun stratifikasi

bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba,

semak atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, binneal

atau perennial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak, menjalar atau

memanjat. Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya dari anggota suku-suku

Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, paku-pakuan dan lain-lain. Vegetasi

ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai

hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick, 2005).

Faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itupun hanya

(22)

dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi

secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon (Indriyanto, 2006). Pada

umumnya tumbuhan lantai hutan hidup mengelompok ataupun menyebar pada

habitat yang lembab dan memiliki ketersediaan air yang cukup. Beberapa spesies

rumput-rumputan pada musim kemarau akan membentuk umbi yang tersimpan di

dalam tanah, dan akan membentuk tunas pada musim hujan ketika kebutuhan

akan air untuk melakukan pertumbuhan tercukupi (Wijayanti, 2011).

Menurut Damanik et al. (1984), kelimpahan dari vegetasi bawah di hutan

pegunungan berbeda seiring bertambahnya ketinggian. Hal ini dipengaruhi oleh

perubahan struktur pohon pembentuk tajuk yang semakin ke atas akan semakin

pendek, tajuk rata, batang dan cabang berlekuk, daun tebal dan kecil. Selain itu

dengan bertambahnya ketinggian, terjadi perubahan suhu yang drastis pula. Arus

angin yang menuju ke arah pegunungan menyebabkan terjadinya pengembunan

sehingga suhu di pegunungan akan turun.

2.2.1 Semak

Semak merupakan salah satu jenis vegetasi yang termasuk ke dalam kelompok

tumbuhan bawah. Menurut Haris (1979) dalam Pitra (2008), semak merupakan

tumbuhan berkayu yang memiliki beberapa cabang yang muncul dekat dengan

permukaan tanah. Semak memiliki tingkatan dalam ketinggian, luas penyebaran,

kekokohan dan karakter bunga, semua bagian yang terpengaruh atau mungkin

mempengaruhi teknik pengguran daun. Pertumbuhan yang lambat dari tumbuhan

yang selalu hijau membutuhkan sedikit atau tidak ada pengguguran untuk

membentuk tunas di permukaan atas. Banyak semak yang selalu hijau tidak

membutuhkan pengguguran/pemangkasan. Semak yang pertumbuhannya cepat

ada yang selalu hijau dan ada yang berganti daun membutuhkan

perontokan/pemangkasan yang cukup atau bersinambung untuk pertumbuhan.

Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau.

Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis

sangat tinggi. Jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis

(23)

Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan semak

sebanyak 240 spesies (Indriyanto, 2006).

Semak biasanya lebih kecil dari pohon, tetapi memiliki penampakan

bentuk yang khas dari susunan cabang-cabangnya. Kebanyakan semak memiliki

tunas yang banyak di pangkal dan di sepanjang dahan-dahannya. Tunas baru yang

muncul dari pangkal akan menggantikan dahan yang sudah tua dan mati, dan juga

berperan dalam menjaga semak yang masih muda. Semak yang sudah dewasa

biasanya menghasilkan sedikit atau tidak ada tunas baru pada pangkalnya yang

akan menggantikan batang jika pucuknya terpotong atau terbuka terhadap cahaya

matahari (Haris, 1979).

2.2.2 Tumbuhan Herba

Menurut Polunin (1994), vegetasi herba dalam hutan hujan tropika kurang

beraneka ragam dibandingkan dengan vegetasi pohon pada kondisi yang relatif

terbuka, sehingga besar kemungkinannya membentuk satu suku saja. Ini berbeda

dengan herba di lereng-lereng yang lebih terjal dengan penetrasi cahaya yang

lebih banyak menyebabkan keanekaragaman herba lebih melimpah, tetapi tetap

saja jauh lebih kecil daripada jenis pohon-pohonnya.

Pada suatu komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya yang sampai pada

lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan karena terhalang oleh

lapisan tajuk yang ada pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang

tumbuh dekat permukaan tanah kurang mendapat cahaya matahari. Jika penetrasi

cahaya tidak cukup maka herba tidak dapat berkembang dengan baik, sehingga

tumbuhan ini lebih subur di tempat bukaan hutan atau tempat terbuka lain yang

tanahnya lebih banyak mendapat cahaya. Dengan demikian vegetasi herba pada

hutan hujan dataran rendah ditemukan pada hutan yang terbuka, dekat

aliran-aliran air, dan tempat-tempat yang terbuka tetapi sempit (seperti jalan-jalan

setapak, sungai-sungai) dengan penyinaran yang cukup baik, sedangkan pada

bagian dalam hutan hujan vegetasi herba yang berwarna hijau ditemukan jauh

(24)

2.2.3 Paku-pakuan

Tumbuhan paku merupakan suatu divisi yang warganya telah jelas mempunyai

kormus, artinya tubuhnya dengan nyata dapat dibedakan dalam tiga bagian

pokoknya, yaitu akar, batang dan daun. Namun demikian, pada tumbuhan paku

belum dihasilkan biji. Warga tumbuhan paku amat heterogen, baik ditinjau dari

segi habitus maupun cara hidupnya, lebih-lebih bila diperhitungkan pula

paku-paku yang telah punah. Ada jenis-jenis paku-paku yang sangat kecil dengan daun yang

kecil-kecil pula dengan struktur yang masih sangat sederhana, ada pula yang besar

dengan daun yang mencapai ukuran panjang sampai 2 m atau lebih dengan

struktur yang rumit (Tjitrosoepomo, 1994).

Menurut Arini & Kinho (2012), tumbuhan paku merupakan salah satu

golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia.

bagi manusia, tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan antara lain sebagai

tanaman hias, sayuran dan bahan obat-obatan. Namun secara tidak langsung,

kehadiran tumbuhan paku turut memberikan manfaat dalam memelihara

ekosistem hutan antara lain dalam pembentukan tanah, pengamanan tanah

terhadap erosi, serta membantu proses pelapukan serasah hutan.

2.3 Peranan Tumbuhan Bawah

Kehadiran tumbuhan bawah dalam suatu kawasan hutan mempunyai peranan

yang sangat penting. Menurut Arief (2001), tumbuhan bawah, serasah dan

tumbuhan lainnya sangat menentukan permeabilitas tanah dalam menyerap air

yang jatuh dari tajuk pohon serta akan mencegah laju aliran air permukaan

sehingga terserap oleh tanah. Mackinnon et al. (2000) menambahkan di lain pihak

warna mencolok atau keperak-perakan pada tumbuhan bawah dalam hutan akan

memantulkan cahaya merah kembali kepada jaringan-jaringan yang mengandung

klorofil, merupakan suatu adaptasi untuk meningkatkan jumlah cahaya yang

berguna untuk fotosintesis di dalam hutan yang sangat gelap.

Tumbuhan bawah selain memberi manfaat terhadap ekosistem juga

mempunyai manfaat bagi manusia, terutama bila kepentingan terhadap tumbuhan

bersifat subjektif antara lain, bahan obat tradisional, bahan makan dan sayuran,

(25)

Yakub, 1995). Jelas bahwa tumbuhan bawah mempunyai banyak manfaat dan

perlu untuk dilestarikan.

2.4 Faktor Fisik Hutan Pegunungan

Vegetasi pada banyak tempat umumnya sangat dipengaruhi oleh iklim di

habitatnya. Secara sederhana faktor iklim, yaitu suhu dan kelembaban adalah

faktor utama yang mengontrol distribusi vegetasi. Tumbuh-tumbuhan memiliki

variasi kelembaban yang sangat beragam dalam siklus hidupnya, dan

pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah. Cahaya juga merupakan

salah satu pembatas yang menentukan penyebaran tumbuhan, yang sangat penting

untuk fotosintesis. Tumbuhan secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok

yaitu spesies yang toleran dan spesies yang tidak toleran terhadap naungan.

Spesies yang toleran terhadap naungan mempunyai laju fotosintesis yang rendah

sedangkan spesies yang tidak toleran terhadap naungan mempunyai laju

fotosintesis yang tinggi sehingga pertumbuhannya juga cepat (Suin, 2003).

Perbedaan fisik dan biologi antara hutan dataran rendah yang lembab dan

panas dengan habitat pegunungan yang terbuka menentukan jenis-jenis yang

terdapat di sana (Mckinnon et al., 2000). Damanik et al. (1987) menambahkan

bahwa curah hujan di atas lereng gunung sampai ketinggian 2.000 meter

umumnya lebih banyak daripada dataran rendah di sekitarnya. Curah hujan

biasanya lebih tinggi di sisi gunung yang berhadapan dengan arah tiupan angin

dan di lereng-lereng gunung sampai ketinggian 1.500 meter daripada di dataran

rendah lainnya.

Menurut Suin (2003), struktur dan nutrien yang dikandung tanah sangat

penting, terutama untuk tumbuhan. Struktur dan nutrien yang dikandung tanah

mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan dapat mempengaruhi susunan

vegetasi alam. Keadaan pH tanah juga merupakan faktor yang tidak kalah penting

dalam menentukan penyebaran tumbuhan. Beberapa tumbuhan membutuhkan pH

(26)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di

kawasan hutan Gunung Sinabung, Desa Sigarang-garang, Kecamatan Simpang

Empat, Kabupaten Karo, Jalur pendakian Sigarang-garang. Lokasi penelitian

ditetapkan dengan metode Purposive Sampling. Metode ini merupakan metode

penentuan lokasi penelitian secara acak yang dianggap representatif.

3.2 Deskripsi Area 3.2.1 Letak dan Luas

Secara administratif hutan Gunung Sinabung terletak di desa Kuta Gugung,

Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dengan luas areal 13.844 ha, dan

secara geografis hutan gunung Sinabung terletak pada 03o 11”- 03o 12” LU dan

98o 22”- 98° 24” BT. Dari Berastagi berjarak ± 27 km atau 86 km dari kota Medan

(peta lokasi pada Lampiran 1).

Hutan gunung Sinabung berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Kawasan Ekosistem Leuser & Kabupaten Langkat

- Sebelah Selatan : Kecamatan Munte

- Sebelah Barat : Kawasan Ekosistem Leuser & Kecamatan Payung

- Sebelah Timur : Kecamatan Simpang Empat & Kabanjahe

3.3 Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi

(27)

3.4 Iklim

3.4.1 Curah Hujan

Berdasarkan informasi dari Badan Statistik Daerah Kabupaten Karo tahun

2012, curah hujan di Kabupaten Karo tertinggi pada bulan November sebesar 265

mm dan terendah pada bulan Februari sebesar 63 mm, sedangkan jumlah hari

hujan tertinggi pada bulan November sebanyak 22 hari dan terendah pada bulan

Juli sebanyak 6 hari dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 15,8°C sampai

dengan 23,9°C dan kelembaban udara rata-rata setinggi 87,38%.

3.4.2 Tipe Iklim

Berdasarkan Schmidt-Ferguson, tipe iklim di kawasan hutan gunung

Sinabung adalah tipe A dengan rata-rata curah hujan bulanan selama sepuluh

tahun berkisar antara 139,6 s/d 335,0 mm.

3.4.3 Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di sekitar areal penelitian, tumbuhan penutup

lantai hutan yang umum ditemukan yaitu dari famili, Araceae, Zingiberaceae,

Melastomataceae, Cyperaceae, Passifloraceae, danberbagai jenis paku-pakuan.

3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5.1 Di Lapangan

Penelitian dilakukan di sepanjang jalur pendakian Sigarang-garang gunung

Sinabung yang ditetapkan secara Purposive Sampling. Pengamatan di lapangan

dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat dengan bentuk garis berpetak,

mulai dari ketinggian 1.600 m dari permukaan laut di kaki gunung sampai 2.400

m dpl di puncak gunung sehingga didapat 8 lokasi (plot penelitian pada Lampiran

2 dan jalur pengamatan pada Lampiran 3). Selanjutnya lokasi-lokasi pengamatan

akan dibagi sesuai dengan zona hutan pegunungan sebagai berikut:

(28)

- 2.200 – 2.300 m dpl : lokasi 7

- 2.300 – 2.400 m dpl : lokasi 8

Pada masing-masing lokasi penelitian di buat plot berukuran 1 x 1 m

sebanyak 20 plot dengan interval 10 m sehingga diperoleh total plot pengamatan

sebanyak 160 plot. Kemudian dicatat jenis beserta ciri-ciri dan jumlahnya pada

setiap lokasi pengamatan.

Selanjutnya dilakukan pengukuran faktor fisik, yang meliputi pengukuran

suhu udara dengan termometer, intensitas cahaya dengan luxmeter, kelembaban

udara dengan higrometer, ketinggian tempat dengan altimeter, kelembaban tanah

dan pH tanah dengan soiltester.

Tumbuhan yang dijumpai di setiap lokasi pengamatan, dikoleksi dan diberi

label gantung. Dicatat semua ciri morfologi yang terlihat. Semua spesimen

dibungkus dengan koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik, lalu diberi

alkohol 70%. Kemudian kantong plastik tersebut ditutup dengan lakban dan

dibawa ke laboratorium Taksonomi Tumbuhan FMIPA USU untuk diidentifikasi.

3.5.2 Di Laboratorium

a. Pembuatan Spesimen Herbarium

Koleksi dari lapangan dibuka kembali kemudian kertas koran diganti

dengan yang baru. Koleksi disusun sedemikian rupa dalam lipatan kertas koran

untuk dikeringkan dalam oven pengering dengan suhu 600C selama 24 jam

sampai spesimen kering, dijahit atau dimounting pada kertas karton berwarna

putih dengan ukuran 30 x 40 cm dan diberi label gantung.

b. Identifikasi Tumbuhan

Spesimen yang telah kering diidentifikasi. Buku acuan dalam

pengidentifikasian tumbuhan menggunakan buku acuan sebagai berikut :

1). Plant Classification (Benson , 1957).

2). Collection of Illustrated Tropical Plant (Corner dan Watanabe 1969).

3). Panduan Lapangan Zingiberaceae di Hutan Sibayak Sumatera Utara (Siregar &

Pasaribu 2009).

(29)

5). Weeds of Rice in Indonesia (Soerjani, Kostermans dan Tjitrosoepomo, 1987).

6). Fern of Malayan in Colour (Piggot 1988).

7). The Genera of Araceae (Mayo, Bogner dan Boyce, 1997).

3.6 Analisis Data

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Indeks Nilai Penting (INP),

Indeks Keanekaragaman, Indeks Similaritas, dan Indeks Keseragaman. Dengan

rumus dalam Indriyanto (2006) sebagai berikut :

a. Kerapatan

Jumlah individu suatu jenis

Kerapatan Mutlak (KM) =

Luas plot contoh/plot pengamatan

Kerapatan mutlak suatu jenis

Kerapatan Relatif (KR) = x 100%

Jumlah kerapatan mutlak suatu jenis

b. Frekuensi

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

Frekuensi Mutlak (FM) =

Jumlah seluruh plot pengamatan

Frekuensi suatu jenis

Frekuensi Relatif (FR) = x 100%

(30)

c. Indeks Nilai Penting

INP = KR + FR

d. Indeks Keanekaragaman dari Shannon-Wiener

H’ = -∑pi ln pi

ni pi =

N

Dengan :

ni = Jumlah individu suatu jenis

N = Jumlah total individu seluruh jenis

e. Indeks Keseragaman

H’

E =

H maks Dengan :

E = indeks keseragaman

H’ = indeks keragaman

H maks = indeks keragaman maksimum, sebesar Ln S

S = jumlah genus/spesies

f. Indeks Similaritas

Menurut Suin (2002), ntuk menghitung indeks kesamaan dapat digunakan

rumus perhitungan sebagai berikut:

2C

IS = x 100%

(31)

Dengan :

A = jumlah individu tiap jenis yang terdapat pada lokasi A B = jumlah individu tiap jenis yang terdapat pada lokasi B

C = jumlah individu terkecil dari jenis yang sama pada kedua lokasi yang dibandingkan

Dimana:

Kesamaan < 25% : sangat tidak mirip Kesamaan 25-50% : tidak mirip

Kesamaan 50-75% : mirip

(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Hutan Gunung Sinabung jalur

pendakian Sigarang-garang diperoleh jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari dua

divisi yaitu Pteridophyta sebanyak 11 jenis dalam 10 famili dan Spermatophyta

sebanyak 47 jenis dalam 25 famili (Lampiran 5). Jenis-jenis tumbuhan bawah

yang ditemukan tersebut tercantum pada Tabel 4.1.1.

Tabel 4.1.1 Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang

No Divisi Famili Jenis

1. Pteridophyta Aspidiaceae Cyclopeltis crenata

2. Aspleniaceae Asplenium pellucidum

3. Athyriaceae Diplazium pallidum

4. Blechnaceae Blechnum vestitum

5. Davalliaceae Davallia trichomanoides

6. Gleicheniaceae Dicranopteris pubigera

7. Hypolepidaceae Histiopteris incisa

8. Polypodiaceae Goniophlebium persicifolium

9. Polypodium feei

10. Pteridaceae Pteris mortensioides

11. Lycopodiaceae Lycopodium cernuum

12. Spermatophyta Araceae Aglaodorum sp.

13. Aglaonema sp.

22. Cyperaceae Cyperus pilosus

(33)

24. Orchidaceae Apostacia wallichii

25. Pandanaceae Pandanus sp.

26. Poaceae Brachiaria sp.

27. Eragrotis tenella

28. Leptochloa chinensis

29. Paspalum conjugatum

30. Sacciolepis interupta

31. Sacciolepis sp.

32. Zingiberaceae Etlingera sp.

33. Globba aurantiaca

34. Globba sp.

35. Hedychium cylindricum

36. Amaranthaceae Cyathula prostata

37. Asteraceae Dichrocephala laifolia

38. Begoniaceae Begonia daweishanensis

39. Campanulaceae Lobelia montana

40. Commelinaceae Commelina obliqua

41. Forrestia marginata

42. Gesneriaceae Didymocarpus crinita

43. Melastomataceae Dissochaeta sp.

44. Melastoma malabathricum

45. Moraceae Ficus repens

46. Myrsinaceae Embelia boorneensis

47. Passifloraceae Passiflora edulis

48. Piperaceae Piper methysticum

49. Ranunculaceae Naravelia laurifolia

50. Rubiaceae Mycetia malayana

51. Scisandraceae Katsura sp.

52. Scrophulariaceae Limnophila erecta

53. Smilacaceae Smilax setosa

54. Theaceae Eurya nitida

55. Urticaceae Elatostema acuminatum

56. Elatostema sp.

57. Violaceae Hybanthus attenuatus

58. Viola pilosa

Dari Tabel 4.1.1 terlihat bahwa suku yang paling banyak ditemukan adalah

Araceae sebanyak 10 jenis, diikuti Poaceae 6 jenis, Zingiberaceae 4 jenis dan

suku-suku lainnya hanya terdapat 1 atau 2 jenis. Sembilan suku dari tumbuhan

(34)

Tabel 4.1.2 Jumlah jenis tertinggi dari sembilan suku tumbuhan bawah

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jenis paku-pakuan yang banyak

dijumpai adalah dari suku Polypodiaceae, yaitu 2 jenis. Hal ini disebabkan jenis

paku-pakuan dari suku ini paling banyak jumlahnya dibandingkan jenis dari suku

yang lain. Selain itu, perkembangbiakan tumbuhan paku yang menggunakan spora

memungkinkan individu baru tumbuh di berbagai tempat. Loveless (1989) dalam

Asbar (2004) menjelaskan bahwa tumbuhan paku dapat tumbuh pada habitat yang

berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya, tumbuhan paku ditemukan tersebar luas

mulai daerah tropis hingga dekat kutub utara dan selatan. Mulai dari hutan primer,

hutan sekunder, alam terbuka, dataran rendah hingga dataran tinggi, lingkungan

yang lembab, basah, rindang, kebun tanaman, hingga pinggir jalan tumbuhan paku

dapat dijumpai.

Suku Araceae memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu sebanyak 10 jenis,

karena suku ini dapat berkembangbiak baik secara generatif maupun vegetatif

yang mendukung pertumbuhan dan persebarannya. Selain itu, faktor lingkungan

yang lembab dan teduh merupakan tipe habitat yang cocok untuk pertumbuhan

suku Araceae. Hal ini sesuai dengan Khoirul et al. (2013), bahwa jenis-jenis suku

Araceae mampu tumbuh pada lingkungan dengan kelembaban yang rendah

hingga tinggi. Sebaran tumbuhan dari famili Araceae juga terkait dengan

kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban,

intensitas cahaya dan pH tanah.

Kekayaan tumbuhan bawah di hutan gunung Sinabung jalur pendakian

Sigarang-garang tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan jalur pendakian Lau

(35)

Kawar ditemukan 141 jenis dalam 54 suku. Hal ini disebabkan perbedaan faktor

lingkungan yang terdapat pada kedua jalur pendakian tersebut, dimana pada jalur

pendakian Sigarang-garang suhu udara berkisar 15-18°C, kelembaban udara

60-75%, dan pH tanah 5,2-6,5 sedangkan pada jalur pendakian Lau Kawar suhu

udara berkisar 15-20°C, kelembaban udara 81-92,33%, dan pH tanah 6,13-6,7

(Lampiran 4). Selain itu kondisi lingkungan di antara lokasi 1 hingga lokasi 4

cukup teduh dan kelembaban tanah yang tidak begitu tinggi yaitu antara 63-68%,

sementara antara lokasi 5 hingga lokasi 8 lokasi lebih terbuka dengan kelembaban

tanah 40-57%. Keadaan iklim mikro yang berbeda-beda ini membentuk suatu

mikrohabitat yang berbeda pula. Perbandingan data pada jalur pendakian Lau

Kawar dan Sigarang-garang dapat dilihat pada Tabel 4.1.3

Tabel 4.1.3 Perbandingan Data Jalur Pendakian Lau Kawar dan Sigarang-garang

No. Pembanding Lau Kawar (Pitra,

2008)

Sigarang-garang (Masnun, 2014)

1. Ketinggian 1.400-2.250 mdpl 1.600-2.400 mdpl

2. Jumlah suku 54 suku 25 suku

3. Jumlah jenis 141 jenis 58 jenis

4. Jumlah individu 7131 individu 2317 individu

5. Suhu udara 15-20°C 15-18°C

6. pH tanah 6,13-6,7 5,2-6,5

7. Kelembaban 81-92,33% 60-75%

8. Suhu tanah 16-19°C 16-20°C

Dari tabel dapat dilihat bahwa banyaknya jenis tumbuhan bawah yang

ditemukan di antara jalur pendakian Lau Kawar dan Sigarang-garang sangat

berbeda, dikarenakan perbedaan ketinggian lokasi dan faktor lingkungan pada

kedua jalur. Selain itu, pada jalur Sigarang-garang lebih banyak aktivitas

penduduk dibandingkan pada jalur Lau Kawar. Daniel et al. (1992) menyatakan

bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim,

mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga dipengaruhi oleh

(36)

4.2 Komposisi Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh jenis-jenis vegetasi tumbuhan

bawah, dengan jumlah individu pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada

Tabel 4.2.1.

(37)

40. Eragrotis tenella - 50 - - - -

Lokasi 1 pada ketinggian: 1.600-1.700 mdpl Lokasi 2 pada ketinggian: 1.700-1.800 mdpl Lokasi 3 pada ketinggian: 1.800-1.900 mdpl Lokasi 4 pada ketinggian: 1.900-2.000 mdpl Lokasi 5 pada ketinggian: 2.000-2.100 mdpl Lokasi 6 pada ketinggian: 2.100-2.200 mdpl Lokasi 7 pada ketinggian: 2.200-2.300 mdpl Lokasi 8 pada ketinggian: 2.300-2.400 mdpl

Dari Tabel 4.2.1 diketahui perbedaan jumlah jenis dan jumlah individu

tumbuhan bawah. Jumlah jenis tertinggi terdapat pada lokasi 1 sebanyak 25 jenis

dan jumlah jenis terendah terdapat pada lokasi 5 sebanyak 5 jenis. Hal ini

dikarenakan pada masing-masing lokasi memiliki faktor fisik dan lingkungan

yang berbeda sehingga tumbuhan bawah yang ditemukan juga berbeda-beda.

Jenis yang paling mendominasi pada lokasi 1 adalah Dissochaeta sp.

sebanyak 23 individu (Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Hal ini dikarenakan jenis ini

termasuk famili Melastomataceae yang bersifat kosmopolitan. Famili ini memiliki

biji yang banyak dengan bentuk yang sangat kecil, hal tersebut memudahkan jenis

ini untuk menyebar ke tempat lain. Simberloff & Marcell (2011) menyatakan

bahwa pada habitat aslinya tumbuhan ini hidup pada tempat yang mengalami

longsor, di pinggiran sungai, di antara pohon-pohon, hutan sekunder, padang

(38)

menghasilkan buah yang berair dengan biji yang kecil, mudah berkecambah dan

mudah dibawa oleh burung sehingga efisien dalam persebarannya.

Lokasi 2 didominasi oleh Diplazium pallidum sebanyak 74 jenis individu

(Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Diplazium pallidum yang termasuk tumbuhan

paku-pakuan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, ditambah organ

reproduksinya berupa spora yang mendukung pola persebarannya. Soerianegara &

Indrawan (1988) dalam Efendi et al. (2013) menjelaskan bahwa

tumbuh-tumbuhan yang mempunyai adaptasi tinggilah yang bisa hidup bahkan

mendominasi di suatu daerah. Selain itu dipengaruhi pula oleh pertumbuhan dari

bibit atau kecambah dari suatu jenis.

Lokasi 3 didominasi oleh Hybanthus attenuatus sebanyak 90 jumlah

individu (Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Jenis ini mudah menyebar dan bertahan

hidup dikarenakan sifat bijinya yang sangat keras dan beberapa jenis famili

Violaceae memiliki biji yang bersayap. Hal ini memudahkan dalam hal

perkembangbiakan dan persebarannya. Menurut Verma (2011), famili Violaceae

merupakan tumbuhan yang luas penyebarannya (kosmopolitan). Famili ini

memiliki biji dengan lapisan yang keras dan mengkilap, dan beberapa jenis

memiliki biji bersayap sehingga dapat mempermudah penyebarannya.

Lokasi 4 didominasi oleh Asplenium pellucidum sebanyak 69 jenis

individu (Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Di lokasi ini banyak terdapat tempat yang

agak terbuka (gap) sehingga angin dan cahaya matahari lebih leluasa masuk. Hal

ini tentu mendukung pertumbuhan dan persebaran jenis ini. Sesuai dengan

Karmilasanti & Supartini (2011), tumbuhan obat berhabitus bukan pohon (liana,

herba, perdu, paku, palma dan epifit) banyak dijumpai di pinggir sungai atau

daerah-daerah yang agak terbuka (gap) yaitu daerah dimana sinar matahari dapat

menembus lantai hutan.

Lokasi 5 didominasi oleh Gahnia japanica sebanyak 95 jenis individu

(Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Gahnia japanica merupakan jenis dari famili

Cyperaceae yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, berkembangbiak

dengan biji dan akar rimpang sebagai organ reproduksinya. Hal ini sesuai dengan

Suryaningsih et al (2011) yang menyatakan bahwa famili Cyperaceae mempunyai

(39)

dapat berkembang biak dengan biji dan umbi. Umbi terbentuk setelah tiga minggu

dari pertumbuhan awal, selanjutnya membentuk rimpang dan umbi.

Lokasi 6,7 dan 8 didominasi oleh Histiopteris incisa secara berturut-turut

sebanyak 81, 193 dan 175 jenis individu (Tabel 4.2.1 dan Lampiran 7). Jenis ini

merupakan tumbuhan yang sering dijumpai di daerah pegunungan dengan kondisi

lingkungan yang terbuka dan terpapar angin kencang. Kondisi tersebut sesuai

dengan organ perkembangbiakan paku berupa spora yang ringan dan mudah

terbawa angin. Sastrapradja et al. (1980) dalam Efendi et al. (2013) menjelaskan

bahwa umumnya di daerah pegunungan jumlah jenis paku lebih banyak dari pada

di dataran rendah, hal ini dikarenakan oleh kelembaban yang tinggi, banyaknya

aliran air, dan adanya kabut, serta banyaknya curah hujan.

Histiopteris incisa merupakan tumbuhan paku yang memperbanyak diri

dengan spora. Spora merupakan organ reproduksi bagi golongan tumbuhan

tingkat rendah yang mudah diterbangkan oleh angin. Menurut Ewusie (1990),

tumbuhan paku merupakan kormophyta berspora yang dapat hidup di mana saja

(kosmopolitan). Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi

terutama di daerah hutan hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di

daerah pegunungan.

Berdasarkan data yang didapat, semakin tinggi lokasi semakin sedikit

jumlah jenis yang ditemukan sementara kerapatan jenis semakin bertambah. Hal

ini dikarenakan semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara dan tanah akan

semakin menurun. Kondisi ini akan menekan pertumbuhan tumbuhan yang tidak

memiliki toleransi terhadap suhu rendah, dan hanya tumbuhan yang memiliki

toleransi terhadap kondisi tersebut seperti paku-pakuan yang mampu bertahan

hidup. Menurut McKinnon et al. (2000), di tempat yang lebih tinggi sinar

matahari lebih sedikit kehilangan energi karena melalui lapisan udara yang tipis.

Penyinaran pada permukaan tanah sangat intensif sehingga suhu di dekat tanah

jauh lebih tinggi daripada suhu udara di sekelilingnya. Panas tanah ini cepat

hilang karena radiasi di waktu malam, dan kisaran suhu harian dapat mencapai

15-20°C di tempat-tempat yang tinggi.

Jenis yang ditemukan hampir di semua lokasi adalah Histiopteris incisa

(40)

lokasi 4,5,6,7 dan 8. Kedua jenis ini memiliki kisaran toleransi terhadap faktor

lingkungan yang cukup luas sehingga dapat dijumpai hampir di setiap ketinggian.

Histiopteris incisa merupakan tumbuhan paku yang memiliki kemampuan

penyebaran yang cukup tinggi dikarenakan organ perkembangbiakannya berupa

spora mudah diterbangkan oleh angin. Melastoma malabathricum memiliki sifat

khusus karena tumbuhan ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang

memiliki pH rendah.

Pada lokasi 1, 2 dan 3 banyak sekali tumbuhan bawah yang hanya

ditemukan pada lokasi itu saja, sedangkan pada lokasi lain tidak ditemukan. Jenis

yang hanya ditemukan di lokasi 1 dan tidak ditemukan di lokasi lain yaitu

Aglaonema sp., Anadendrum sp., Homalomena rubra, Rhapidophora sp.,

Schismatoglottis sp., Scindapsus officinalis, Dichrocephala latifolia,

Didymocarpus crinita, Embelia boorneensis, Mycetia malayana, Elatostema sp.,

Globba aurantiaca dan Globba sp., pada lokasi 2 antara lain Homalomena

navilandii, Commelina obliqua, Forrestia marginata, Apostachia wallichii, Piper

methysticum, Eragrotis tenella, Leptochloa chinensis, Paspalum conjugatum,

Katsura sp., Viola pilosa, dan Etlingera sp., sedangkan pada lokasi 3 yaitu

Begonia daweishanensis, Cyperus pilosus, Ficus repens, Brachiaria sp.,

Sacciolepis sp., dan Hybanthus attenuatus. Hal ini disebabkan lokasi tersebut

memiliki kondisi fisik yang sesuai dengan tumbuhan bawah yang menyukai

tempat lembab, ternaungi dan kondisi pH yang tidak terlalu asam.

Histiopteris incisa secara berurut ditemukan pada lokasi 2 hingga 8,

kecuali lokasi 5. Hal ini disebabkan pada lokasi 5 terdapat banyak sekali jenis

pandan berupa pohon yang memiliki tajuk yang lebar. Selain itu, serasah dari

pandan yang jatuh menutupi tanah menghalangi banyak tumbuhan bawah untuk

tumbuh. Begitu juga dengan Eurya nitida yang ditemukan pada lokasi 4 namun

tidak ditemukan di lokasi 5, dan baru ditemukan kembali pada lokasi 6 hingga 8.

4.3 Jenis Tumbuhan Bawah dengan 5 Nilai KR, FR dan INP Tertinggi pada Masing-masing Lokasi

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh 5 nilai KR, FR dan INP tertinggi

(41)

Tabel 4.3.1 Jenis Tumbuhan Bawah dengan 5 Nilai KR, FR dan INP

3 Aspleniaceae Asplenium pellucidum 15 8,197 8,000 16,197

4 Araceae Rhapidophora sp. 12 6,557 6,000 12,557

5 Urticaceae Elatostema acuminatum 8 4,372 8,000 12,372

Lokasi 2

No Famili Spesies

Jmlh.

Ind. KR (%) FR (%) INP (%)

1 Athyriaceae Diplazium pallidum 74 14,800 16,327 31,127

2 Poaceae Eragrotis tenella 50 10,000 4,082 14,082

3 Poaceae Sacciolepis interupta 34 6,800 6,122 12,922

4 Araceae Schismatoglottis botoensis 40 8,000 4,082 12,082

5 Cyperaceae Cyperus pilosus 33 6,600 4,082 10,682

Lokasi 3

No Famili Spesies

Jmlh.

Ind. KR (%) FR (%) INP (%)

1 Athyriaceae Diplazium pallidum 60 17,751 27,660 45,411

2 Violaceae Hybanthus attenuatus 90 26,627 17,021 43,648

3 Davalliaceae Davallia trichomanoides 66 19,527 12,766 32,293

4 Zingiberaceae Hedychium cylindricum 29 8,580 6,383 14,963

5 Passifloraceae Passiflora edulis 13 3,846 8,511 12,357

Lokasi 4

No Famili Spesies

Jmlh.

Ind. KR (%) FR (%) INP (%)

1 Aspleniaceae Asplenium pellucidum 69 31,944 33,333 65,278

2 Athyriaceae Diplazium pallidum 47 21,759 16,667 38,426

2 Melastomataceae Melastoma malabathricum 59 30,412 40,625 71,037

3 Blechnaceae Blechnum vestitum 19 9,794 18,750 28,544

2 Hypolepidaceae Histiopteris incisa 81 31,890 17,647 49,537

3 Melastomataceae Melastoma malabathricum 39 15,354 21,569 36,923

4 Blechnaceae Blechnum vestitum 29 11,417 15,686 27,104

(42)

Lokasi 7

No Famili Spesies

Jmlh.

Ind. KR (%) FR (%) INP (%)

1 Hypolepidaceae Histiopteris incisa 193 54,674 28,788 83,462

2 Theaceae Eurya nitida 64 18,130 25,758 43,888

3 Melastomataceae Melastoma malabathricum 36 10,198 18,182 28,380

4 Cyperaceae Gahnia japanica 22 6,232 16,667 22,899

1 Hypolepidaceae Histiopteris incisa 175 62,724 29,851 92,575

2 Melastomataceae Melastoma malabathricum 47 16,846 20,896 37,741

3 Theaceae Eurya nitida 29 10,394 22,388 32,782

4 Polypodiaceae Polypodium feei 16 5,735 13,433 19,168

5 Cyperaceae Gahnia japanica 5 1,792 7,463 9,255

Dari Tabel 4.3.1 diketahui bahwa jenis yang memiliki nilai KR tertinggi

adalah Histiopteris incisa yaitu 62,724% pada lokasi 8, jenis yang memiliki nilai

FR tertinggi adalah Melastoma malabathricum yaitu 40,625% pada lokasi 5, dan

jenis yang memiliki INP tertinggi terdapat pada Histiopteris incisa dengan

92,575% pada lokasi 8. Hal ini disebabkan Histiopteris incisa termasuk ke dalam

kelompok tumbuhan paku-pakuan yang memiliki spora yang ringan sebagai alat

perkembangbiakan sehingga wilayah persebarannya sangat luas karena mudah

terbawa angin.

Jenis-jenis dengan nilai indeks penting yang tinggi dan hampir ditemukan

di setiap lokasi yaitu Histiopteris incisa, Diplazium pallidum, Gahnia japanica

dan Melastoma malabathricum. Histiopteris incisa sangat mendominasi lokasi 6,7

dan 8, meskipun pada lokasi 3 dan 4 juga ditemukan namun tidak mendominasi.

Diplazium pallidum ditemukan pada lokasi 1,2,3 dan 4 namun jenis ini hanya

mendominasi lokasi 2,3 dan 4. Gahnia japanica hanya mendominasi lokasi 5

meskipun ditemukan pada lokasi 5,6,7 dan 8. Melastoma malabathricum

mendomiasi lokasi 5,6,7 dan 8 dan hanya sedikit ditemukan pada lokasi 4.

Jenis-jenis tersebut memiliki kemampuan persebaran yang luas dikarenakan

kemampuan toleransinya yang besar terhadap kondisi lingkungan dan organ

perkembangbiakannya yang mudah dibawa angin.

Semakin naik ketinggian, vegetasi yang mendominasi mengalami

perubahan yang drastis. Pada ketinggian 1.600-2.000 mdpl jenis tumbuhan bawah

(43)

Araceae dan Zngiberaceae banyak dijumpai pada ketinggian tersebut. Pada

ketinggian 2.000-2.400 mdpl jenis yang ditemukan lebih sedikit dan berbeda dari

ketinggian 1.600-2.000 mdpl, namun jumlah individunya sangat banyak dan

vegetasinya lebih rapat. Suku yang mendominasi pada ketinggian tersebut adalah

Hypolepidaceae dan Blechnaceae dari kelompok paku-pakuan, Melastomataceae,

Cyperaceae dan Theaceae. Perbedaan vegetasi ini disebabkan kondisi faktor

lingkungan yang semakin ke atas semakin ekstrem sehingga hanya vegetasi yang

memiliki toleransi yang besar saja yamg mampu hidup di sekitar puncak. Menurut

Krebs (1985), hutan pegunungan sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban

tanah, udara serta angin, dimana dengan naiknya ketinggian temperatur menurun,

curah hujan meningkat dan kecepatan angin juga meningkat yang sangat

mempengaruhi kelembaban udara. Selanjutnya keadaan hutan tersebut juga

dipengaruhi oleh batuan yang menyusun lapisan tanah dimana kebanyakan lapisan

tanah pegunungan merupakan turunan dari batuan vulkanik yang sangat asam dan

kurang akan fosfor dan nitrogen.

4.4 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Tumbuhan Bawah Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mengetahui struktur komunitas

dalam suatu habitat, yang menunjukkan jumlah jenis dari jumlah total individu

seluruh jenis yang ada. Indriyanto (2006), menyatakan bahwa suatu komunitas

dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas itu disusun

oleh banyak jenis. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki

keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit jenis

dan jika hanya ada sedikit saja jenis yang dominan. Keanekaragaman jenis yang

tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi

karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi.

Nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman pada

(44)

Tabel 4.4.1 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Tumbuhan Bawah

Lokasi Ketinggian (mdpl) H' (Indeks

Keanekaragaman)

Dari tabel diketahui bahwa indeks keanekaragaman tumbuhan bawah

berkisar antara 1,156 sampai 2,953. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi

terdapat pada lokasi 1 dengan ketinggian 1.600-1.700 mdpl yaitu 2,953 dan nilai

indeks keanekaragaman terendah terdapat pada lokasi 8 dengan ketinggian

2.300-2.400 mdpl yaitu 1,156. Dari nilai indeks keanekaragaman tersebut dapat

diketahui bahwa tumbuhan bawah di hutan gunung Sinabung jalur pendakian

Sigarang-garang memiliki keanekaragaman jenis yang melimpah. Fachrul (2007)

menyatakan jika nilai H’<1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada

suatu transek adalah sedikit atau rendah. Jika H’ 1≤H’≤3 keanekaragaman adalah

sedang melimpah dan jika nilai H’>3 maka keanekaragaman spesies adalah

melimpah tinggi.

Dari tabel juga diketahui bahwa nilai indeks keseragaman tumbuhan

bawah berkisar 0,645 sampai 0,919. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat

pada lokasi 6 yaitu sebesar 0,919. Hal ini disebabkan pada lokasi 6 hanya sedikit

jenis yang ditemukan sementara jumlah individu yang ditemukan cukup banyak,

sehingga vegetasi pada lokasi tersebut memiliki indeks keseragaman yang paling

tinggi. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa nilai indeks kesearagaman dari

lokasi 1 hingga lokasi 8 adalah tinggi. Menurut Krebs (1985), keseragaman

dikatakan rendah apabila E bernilai 0-0,5 dan keseragaman dikatakan tinggi

apabila E bernilai 0,5-1.

4.5 Indeks Similaritas

(45)

Tabel 4.5.1 Indeks Similaritas Tumbuhan Bawah (%)

Dari tabel terlihat bahwa indeks similaritas tumbuhan bawah berkisar

antara 0 % hingga 84,810%. Lokasi 5 dengan 6 dikategorikan tidak mirip dengan

IS 33,036%, antara lokasi 6 dengan 7 dan 6 dengan 8 dikategorikan mirip dengan

nilai IS 67,320% dan 57,786%, antara lokasi 7 dengan 8 dikategorikan sangat

mirip dengan nilai IS 84,810%, sedangkan lokasi lainnya dikategorikan sangat

tidak mirip karena nilai IS yang tidak mencapai 25% . Hal ini sesuai dengan

kriteria menurut Suin (2002), jika IS <25% dikatakan sangat tidak mirip, IS

25-50% maka suatu komunitas dikatakan tidak mirip, IS 50-75% menunjukkan suatu

komunitas mirip dan jika IS >75% maka vegetasi suatu komunitas sangat mirip.

`Nilai indeks similaritas yang paling tinggi adalah antara lokasi 7 dan 8

yaitu 84,810%. Hal ini dikarenakan lokasi 7 dan 8 memiliki kondisi lingkungan

yang sama, dengan lokasi yang terbuka tanpa naungan dan terpapar angin yang

kencang, sehingga vegetasi yang terdapat pada kedua lokasi menunjukkan tingkat

kemiripan yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Krebs

(1985), semakin besar indeks similaritas maka jenis yang sama pada lokasi yang

berbeda semakin banyak.

Nilai indeks similaritas terendah terdapat di antara lokasi 1 dan 5, 6, 7

serta lokasi 8, antara lokasi 2 dan 5, 6, 7 serta lokasi 8, serta antara lokasi 3 dan 5

yaitu 0 %. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah jenis pada lokasi tersebut

memiliki tingkat kemiripan yang sangat kecil, bahkan boleh dikatakan tidak

memiliki kesamaan. Menurut Soerianegara & Indrawan (1988) dalam Ramadhani

(2011), indeks similaritas berkisar antara 0-100. Jadi, makin dekat 100 dua

tegakan yang dibandingkan adalah bersamaan, dan makin dekat 0 makin

(46)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Diperoleh 58 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 35 suku. Suku yang

memiliki jenis tertinggi adalah Araceae dengan 10 jenis.

b. Jumlah jenis tertinggi terdapat pada lokasi 1 (1.600-1.700 mdpl) yaitu 25 jenis

dengan jumlah individu 183/20m2, sedangkan jumlah jenis terendah terdapat

pada lokasi 5 (2.000-2.100 mdpl) yaitu 5 jenis dengan jumlah individu

194/20m2.

c. Nilai KR tertinggi adalah Histiopteris incisa yaitu 62,724% pada lokasi 8, nilai

FR tertinggi adalah Melastoma malabathricum yaitu 40,625% pada lokasi 5,

dan nilai INP tertinggi terdapat pada Histiopteris incisa dengan nilai 92,575%

pada lokasi 8.

d. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada lokasi 1 (ketinggian

1.700-1.800 mdpl) yaitu 2,839 dan nilai indeks keanekaragaman terendah

terdapat pada lokasi 8 (ketinggian 2.300-2.400 mdpl) yaitu 1,156.

e. Berdasarkan nilai indeks similaritas diketahui bahwa komunitas antara lokasi 7

dengan 8 (84,810%) tergolong sangat mirip, komunitas antara lokasi 6 dengan

7 (67,320%) dan lokasi 6 dengan 8 (57,786%) tergolong mirip, sementara

lokasi yang lainnya tergolong tidak mirip.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keanekaragaman

tumbuhan bawah secara keseluruhan dengan melakukan penelitian pada area yang

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. hlm. 203-204

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 52-58

Arini, D. I. D. & J. Kinho. 2012. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara. Info BPK Manado. 1 (2): 18-19

Asbar. 2004. Jenis Paku-pakuan (Pteridophyta) di Sekitar Air Terjun Tirta Rimba Hutan Wana Osena Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak diterbitkan)

Aththorick, T. A. 2005. Kemiripan Komunitas Tumbuhan Bawah pada Beberapa Tipe Ekosistem Perkebunan di Kabupaten Labuhan Batu. Jurnal Komunikasi Penelitian. 17 (5): 1

Aththorick T. A., R. Widhiastuti & A. Evanius. 2006. Studi Keanekaragaman Pohon Pada Tiga Zona Ketinggian Hutan Pegunungan Gunung Sinabung Kabupaten Karo. Jurnal Komunikasi Penelitian. 18 (3): 1-2

Bakri. 2009. Analisis Vegetasi Dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Pohon Di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Skripsi Sarjana Biologi (tidak dipublikasi) FMIPA USU. hlm. 5

Benson, L. 1957. Plant Classification. D. C. Health and Company. Boston

BPPS. 2012. Statistik Daerah Kabupaten Karo. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo.

Corner & Watanabe. 1969. Collection of Illustrated Tropical Plant. Volume I-VII. Kyoto

Damanik, J.S., J. Anwar., N. Hisyam., A. Whitten. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Gambar

Tabel 4.1.1 Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang
Tabel 4.1.2 Jumlah jenis tertinggi dari sembilan suku tumbuhan bawah
Tabel 4.1.3 Perbandingan Data Jalur Pendakian Lau Kawar dan Sigarang-garang
Tabel 4.2.1 Jumlah Famili, Jenis dan Individu Tumbuhan Bawah di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang Pada Masing-masing Lokasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat perbedaan kualitas hidup pasien skizofrenia sebelum dan sesudah dilakukan intervensi ketepatan minum obat di ruang rawat inap RS Jiwa Grhasia Pemda DIY

DOS merupakan kumpulan dari beberapa perintah dalam komputer yang berperan untuk mendukung dan menyatukan kerja perangkat keras dengan perangkat lumak dalam satu sistem

According Bitar (2003), a firm needs three generic dynamics capability to generate multiple capabilities or competences in turbulent environment, such as: absorptive capacity,

Database sudah digunakan pada sistem ini untuk. penyimpanan

Hendro Gunawan, MA

Modul interaktif ini bersifat edutainment dengan tampilan yang penuh warna disertai audio untuk pembacaan materi dan mahasiswa dapat berinteraktif dengan menjawab soal yang

Penulisan ini membahas tentang pembuatan program wallpaper yang dapat berubah secara otomatis menggunakan bahasa pemrograman Java 2 Micro Editon dan TextPad sebagai text editornya

Karena fasilitas yang ditawarkannya kini berbagai pihak banyak yang mengembangkan system ini, Dimana sistem seperti ini dapat menguntungkan pihak konsumen untuk