• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikasi Pemberian Antibiotik

Dalam dokumen Shulcha Fithriya (Halaman 31-64)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2. Indikasi Pemberian Antibiotik

Penggunaan antibiotik berdasarkan indikasinya dapat digolongkan menjadi antibiotik untuk terapi definitif, terapi empiris, dan terapi profilaksis. Terapi secara definitif hanya digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri. Untuk mengetahui bahwa infeksi tersebut disebabkan karena bakteri, dokter dapat memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi dan tes lainnya. Berdasarkan laporan, antibiotik dengan spektrum sempit, toksisitas rendah, harga terjangkau, dan efektivitas tertinggi harus diresepkan pada terapi definitif (Febiana, 2012).

Adapun penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya (Permenkes RI, 2011). Pengobatan dipilih berdasarkan jenis patogen yang sering dijumpai sebagai penyebab dan sifat resistensinya. Dalam menentukan penyebab infeksi pada anak, faktor umur sangat mempengaruhi manifestasi klinis. Bakteri patogen yang bertanggung jawab tehadap penyakit cenderung berubah sejalan dengan bertambahnya umur (Hadinegoro, 2002). Sedangkan antibiotik profilaksis sering diberikan pada bayi dan anak untuk mencegah infeksi. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis adalah mencegah infeksi terhadap patogen tertentu dan mencegah infeksi pada organ tubuh tertentu dan ketiga, untuk pasien yang rentan terhadap infeksi (Hadinegoro, 2002).

Menurut Setiabudy (2007), penggunaan terapeutik antibiotik di klinik bertujuan membasmi mikroba penyebab infeksi. Penyakit infeksi dengan gejala klinik ringan, tidak perlu segera mendapatkan antibiotik. Menunda pemberian antibiotik malahan memberikan kesempatan terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh. Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak merupakan indikator yang kuat untuk pemberian antibiotik.

Pemberian antibiotik untuk demam tidak bijaksana karena:

a. pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien (berupa efek samping), dan masyarakat sekitarnya (berupa masalah resistensi),

b. demam dapat disebabkan oleh penyakit infeksi virus, yang cukup tinggi angka kejadiannya dan tidak dapat dipercepat penyembuhannya dengan pemberian antibiotik yang lazim, dan

c. demam dapat juga terjadi pada penyakit noninfeksi, yang dengan sendirinya bukan indikasi pemberian antibiotik (Setiabudy, 2007). 3. Peresepan antibiotik

Anak memiliki resiko mendapatkan efek merugikan lebih tinggi akibat infeksi bakteri karena tiga faktor. Pertama, karena sistem imunitas anak yang belum berfungsi secara sempurna, kedua, akibat pola tingkah laku anak yang lebih banyak beresiko terpapar bakteri, dan ketiga, karena beberapa antibiotik yang cocok digunakan pada dewasa belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotik pada anak berbeda dengan dewasa, serta tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau efek sampingnya (Febiana, 2012).

Penggunaan antibiotik pada dewasa maupun anak tidak bisa secara sembarangan melainkan harus berdasarkan resep dokter. Dokter menulis resep antibiotik sesuai ketentuan yang berlaku, dan tugas farmasis/apoteker adalah mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya. Dokter juga harus menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang regimen dosis pemberian antibiotik, dan instruksi tesebut juga ditulis di rekam pemberian antibiotik (RPA). Perawat yang memberikan antibiotik kepada pasien (sediaan parenteral/nonparenteral/oral) harus mencatat jam pemberian dan memberi

paraf pada RPA, sesuai jam pemberian antibiotik yang sudah disepakati (Permenkes RI, 2011).

Menurut Hadinegoro (2002), antibiotik untuk penyakit infeksi pada anak dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Golongan penisilin sangat luas dipergunakan dalam bidang pediatri untuk berbagai derajat infeksi. Salah satu derivat penisilin adalah amoksisilin. Amoksisilin oral adalah antibiotik pilihan awal bila organisme penyebab belum diketahui karena biasanya efektif terhadap bakteri yang paling lazim ditemukan (Kliegmen, 2011).

b. Golongan sefalosporin mempunyai afinitas spectrum luas, baik terhadap bakteri kokus gram positif maupun basil enteric negatif, maupun bakteri anaerob. Seperti halnya penisilin, sefalosporin aman untuk anak dan toksisitas tidak tergantung dari dosis, namun perlu diwaspadai bahwa sefalosporin bersifat nefrotoksik (terutama apabila diberikan bersama aminoglikosid) dan menyebabkan kelainan perdarahan.

c. Golongan aminoglikosid merupakan antibiotik spektrum luas untuk basil enterik dan beberapa organisme gram positif, bersifat bakterisid, dan mudah diabsorpsi

d. Golongan antibiotik lain termasuk kloramfenikol, makrolid (eritromisin dengan derivatnya), kotrimoksazol, metronidazol, dan lain-lain.

Tabel 2.1. Daftar antibiotik yang tidak boleh diberikan pada anak

Nama Obat Kelompok Usia Alasan

Siprofloksasin Kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan

(cartillage disgenesis)

Norfloksasin Kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan

(cartillege disgenesis)

Tetrasiklin Kurang dari 4 tahun atau pada dosis tinggi

Diskolorisasi gigi, gangguan pertumbuhan tulang

Kotrimoksazol Kurang dari 2 bulan Tidak ada data efektifitas dan keamanan

Kloramfenikol Neonatus Menyebabkan Grey baby syndrome

Tiamfenikol Neonatus Menyebabkan Grey baby

syndrome

Linkomisin HCl Neonatus Tidak ada data efektifitas dan keamanan

Piperasilin-Tazobaktam

Neonatus Tidak ada data efektifitas dan keamanan

Azitromisin Neonatus Tidak ada data

keamanan Tigesiklin Anak kurang dari 18

tahun

Tidak ada data keamanan

Spiramisin Neonatus dan bayi Tidak ada data keamanan

(Permenkes, 2011).

4. Dosis pemberian antibiotik

Pertimbangan risiko (efek samping, harga) dan manfaat (khasiat) selalu harus dipikirkan dalam menentukan obat antiinfeksi yang akan dipakai. Sayangnya, untuk anak tidak semua obat mempunyai data

mengenai efek toleransi dan efikasi. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengobatan : 1) tercapainya aktifitas anti bakteri pada tempat infeksi sehingga cukup waktu untuk menghambat pertumbuhan bakteri. 2) dosis obat harus cukup tinggi dan efektif terhadap mikroorganisme, namun konsentrasi di dalam plasma dan jaringan tubuh harus tetap lebih rendah dari dosis toksik (Hadinegoro, 2002).

Anak memiliki sifat yang berbeda dengan orang dewasa. Semua keadaan itu menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan badan anak/berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik tersebut tidak dapat diterapkan karena anak bukan dewasa kecil. Anak berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh (Darmansjah, 2008). Perhitungan dosis antibiotik bagi anak berdasarkan per kilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi (Permenkes, 2011).

Menurut Hermansyah (2013), Obat bentuk sirup (likuida) merupakan salah satu obat yang familiar di masyarakat dan jenis obat primadona bagi pasien anak-anak dan balita. Beragam jenis obat dikemas dalam sediaan sirup, semisal sirup obat batuk, sirup obat demam bahkan sirup yang mengandung antibiotik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengkonsumsi obat sirup:

a. Memperhatikan tentang cara pakai obat. Selain diminum dengan sendok, beberapa sediaan likuida juga diberikan dalam bentuk tetes (drop) khususnya bagi balita. Ada pula bentuk sediaan sirup kering

misalnya antibiotik amoksisilin yang harus dicampur terlebih dahulu dengan air sebelum dikonsumsi. Sirup kering yang berisi antibiotik, tidak boleh disimpan lebih dari 7 hari setelah tercampur dengan air. b. Mencermati aturan pakai. Aturan pakai obat akan berpengaruh pada

efektifitas dan keamanan terapi. Obat yang diberi aturan pakai sehari tiga kali maka obat tersebut pada dasarnya diminta untuk dikonsumsi tiap 8 jam agar menghasilkan efek terapi yang sesuai.

c. Sebelum digunakan harus dikocok terlebih dahulu agar obat tercampur dengan merata.

d. Memperhatikan lama pemakaian. Obat sirup tertentu misalnya antibiotik harus dikonsumsi sampai tuntas.

e. Mentaati takaran pemakaian. Jika aturan pakai obat sirup adalah dalam takaran sendok teh maka berarti harus mengkonsumsi sejumlah 5 mL, jika dalam takaran sendok makan maka jumlah yang harus dikonsumsi adalah 15 mL. Sendok makan bukanlah alat takar yang sesuai untuk hal itu sehingga gunakan alat takar yang ada dalam produk obat (Hermansyah, 2013).

Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Falagas dkk (2010) di Attica, Yunani untuk mengukur reliabilitas sendok teh dan sendok makan dalam menakar dosis obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas volume dari 71 sendok teh dan 49 sendok makan yang digunakan berbeda-beda hasilnya. Ini menunjukkan bahwa sendok teh dan sendok makan bukan alat pengukur dosis yang reliabel, dan tidak disarankan untuk menggunakannya.

5. Efek samping pemberian antibiotik

Menurut Setiabudy (2007), efek samping antibiotik dapat dikelompokkan menurut reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.

a) Reaksi alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi misalnya eksantema kulit, anafilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioedema, dan lain-lain (Setiabudy, 2007). Alergi yang sering terjadi atau reaksi yang tidak diharapkan terhadap terapi antibiotik pada anak misalnya diare, mual/muntah, ruam kulit/urtikaria) (Betz & Linda, 2009).

b) Reaksi idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat jika mendapat primakuin. Ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD (Setiabudy, 2007).

c) Reaksi toksik

Antibiotik pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Yang mungkin dapat dianggap relatif tidak toksik sampai kini ialah golongan penisilin. Misalnya adalah golongan

aminoglikosida yang pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap N. VIII, golongan tetrasiklin mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil (Setiabudy, 2007).

Antibiotik berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar. Efek toksik antibiotik dapat mempengaruhi bagian-bagian tubuh tertentu. Kloramfenikol menimbulkan efek toksik pada sumsum tulang belakang sehingga pembentukan sel-sel darah merah terganggu, sedangkan streptomisin dapat merusak organ keseimbangan dan pendengaran sehingga menyebabkan pusing, bising telinga, dan kemudian menjadi tuli. Pemberian penisilin sebagai obat kepada seseorang yang tidak tahan/ peka dapat menimbulkan gatal-gatal, bintik-bintik merah pada kulit, bahkan menyebabkan pingsan (Hadinegoro, 2002).

d) Perubahan biologik dan metabolik

Pada tubuh hospes baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antimikroba, terutama yang berspektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh

dapat terjadi di saluran cerna, napas dan kelamin, dan pada kulit (Setiabudy, 2007).

Pengobatan menggunakan antibiotik oral berspektrum luas kemungkinan dapat menimbulkan suprainfeksi. Karena luasnya kerja antibiotik ini, flora bakteri usus dapat mati dan kesetimbangan normal bakteri terganggu. Tetrasiklin digunakan untuk membunuh bakteri usus yang rentan terhadapnya, tetapi jika cara penggunaanya tidak benar, kemungkinan akan meyebabkan bakteri lain atau jamur tumbuh lebih bebas dan terjadi infeksi yang lebih berat (Sumardjo, 2008).

Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi ialah: 1) adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien; 2) penggunaan antibiotik terlalu lama; 3) luasnya spektrum aktivitas antimikroba obat, baik tunggal maupun kombinasi (Setiabudy, 2007). 6. Resistensi antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Permenkes, 2011):

a. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. b. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

c. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri. d. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat

dinding sel bakteri.

e. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

Resistensi antibiotik dapat terjadi karena beberapa faktor di bawah ini: a) Penggunaan antibiotik yang sering.

b) Penggunaan antibiotik yang irasional, terutama di rumah sakit. c) Penggunaan antibiotik baru yang berlebihan.

d) Penggunaan antibiotik untuk jangka lama yang akan memberikan kesempatan bertumbuhnya kuman yang lebih resisten (first step mutant).

e) Penggunaaan antibiotik untuk ternak: kurang lebih separuh dari produksi antibiotik di dunia digunakan untuk suplemen pakan ternak. Kadar antibiotik yang rendah pada ternak memudahkan tumbuhnya kuman-kuman resistensi seperti VRE (vancomycin–resistant enterococci), Campylobacter, dan Salmonella spp.

f) Lain-lain: beberapa faktor lain yang berperanan terhadap berkembangnya resistensi ialah kemudahan transportasi moderen, perilaku seksual, sanitasi buruk, dan kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat (Setiabudy, 2007).

Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2 cara, yaitu:

a. Mekanisme selection pressure. Jika bakteri resisten tersebut berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri yang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri yang resisten maka upaya penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit. Strategi pencegahan peningkatan bakteri untuk selection pressure

adalah melalui penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics).

b. Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang lain. Strategi pencegahan peningkatan bakteri dapat di atasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal precaution) (Permenkes, 2011).

B. Pengetahuan 1. Definisi

Menurut McKenzie dkk (2013), salah satu bentuk penatalayanan antibiotik di komunitas adalah mengadakan program pendidikan terkait antibiotik kepada masyarakat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang tepat. Penelitian Widayati dkk (2012) di Yogyakarta menunjukkan bahwa 31% masyarakat memiliki pengetahuan yang buruk, 35% memiliki pengetahuan sedang dan 34% memiliki pengetahuan yang baik terkait antibiotik.

Pengetahuan atau knowledge adalah kemampuan menghafal, meniru dan mengungkapkan kembali (Bloom dkk, 1956 dalam Purnamasari, 2012). Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010). 2. Tingkatan pengetahuan

Menurut Bloom dkk (1956, dalam Purnamasari 2012), kawasan pengetahuan dibagi menjadi beberapa kemampuan yaitu:

a. Pengetahuan, mengenal materi yang telah dipelajari. b. Pemahaman yaitu memahami makna materi.

c. Penerapan, kemampuan penerapan atau menggunakan materi yang sudah dipelajari pada situasi baru yang menyangkut aturan dan prinsip.

d. Analisa, kemampuan menggunakan materi ke dalam komponen penyebab sebab akibat.

e. Sintesa, kemampuan dalam memadukan konsep.

f. Evaluasi, kemampuan memberikan perkembangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu.

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Menurut Notoatmodjo (2010), secara garis besar pengetahuan dibagi dalam 6 tingkat, yakni:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Agepti, dan sebagainya. Untuk mengetahui

atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan misalnya: apa tanda-tanda anak kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC, bagaimana cara melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk), dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar mengetahui 3M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya, tempat-tempat penampungan air tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya seseorang yang telah paham tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau di mana saja, orang yang telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di mana saja, dan seterusnya.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara

komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dan dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat ikut

keluarga berencana bagi keluarga, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan dan informasi. Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu akan menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam. Sedangkan kemudahan memperoleh informasi dapat membantu seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak dkk, 2007).

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003), beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan dan sosial budaya. Keyakinan biasanya diperoleh secara turun temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga juga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

Menurut Alumran dkk (2013), pengetahuan orang tua dalam pemberian antibiotik didasari oleh faktor demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan latar belakang geografi) serta pengalaman. Dalam penelitian ini, pengetahuan mengenai pemberian antibiotik pada anak dihubungkan dengan lima karakteristik orang tua yaitu status orang tua, usia, pendidikan, status ekonomi, dan pengalaman.

1. Status orang tua

Orang tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya (Kartono, 1982 dalam Yusmaniar, 2011). Sedangkan dalam bahasa Arab, orang tua dikenal dengan sebutan Al-Walidain (dua orang ibu-bapak) seperti yang disebutkan dalam surat Lukman ayat 14 yang berbunyi:

                      

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu“.

Tujuan dasar menjadi orang tua adalah meningkatkan daya tahan fisik dan kesehatan anak, mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang penting agar dapat menjadi orang dewasa yang mandiri, dan membantu mengembangkan kemampuan perilaku untuk memaksimalkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan. Orang tua baru cenderung memiliki peran sebagai orang tua dengan pengalaman yang sedikit dan

pengetahuan yang masih kurang memadai dalam merawat anak (Wong dkk, 2008).

Penelitian Panagakou dkk (2012) menunjukkan bahwa faktor resiko paling kuat terkait pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang tepat tentang antibiotik adalah menjadi seorang ayah. Di Yunani, seorang ayah tidak berpartisipasi sebanyak ibu dalam pengasuhan anak–anak mereka. Oleh karena itu, seorang ayah cenderung kurang mencari informasi terkait masalah kesehatan anaknya.

2. Usia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), umur atau usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Sedangkan menurut Depkes RI (2009), umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.

Usia yang paling memuaskan untuk membesarkan anak adalah antara 18 sampai 35 tahun. Selama waktu ini, orang tua dianggap berada pada kondisi kesehatan yang optimum, dengan perkiraan usia harapan hidup yang memungkinkan waktu yang cukup dan memadai untuk membangun sebuah keluarga (Wong, 2008).

Kategori usia menurut Depkes (2009): a. Masa balita : 0 - 5 tahun b. Masa kanak-kanak : 5 – 11 tahun

c. Masa remaja awal : 12 – 16 tahun d. Masa remaja akhir : 17 – 25 tahun e. Masa dewasa awal : 26 – 35 tahun f. Masa dewasa akhir : 36 – 45 tahun g. Masa lansia awal : 46 – 55 tahun h. Masa lansia akhir : 56 – 65 tahun i. Masa manula : > 65 tahun

Dengan bertambahnya usia seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa (Mubarak dkk, 2007).

Pengaruh usia terhadap pengetahuan dapat dilihat dari hasil penelitian Quizhpe dkk (2013) di Ekuador tentang perbedaan pengetahuan dan penggunaan antibiotik diantara ibu berusia remaja (<19 tahun) dan ibu berusia dewasa. Ibu berusia dewasa menunjukkan 83,5% memiliki kepatuhan yang benar; 28,5% mengetahui tentang resiko penggunaan antibiotik; dan 29,3% pernah mendengar tentang resistensi antibiotik. Sedangkan untuk ibu berusia remaja menunjukkan hasil berturut-turut 75,4%; 15,0 % dan 19,8%. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa usia seorang ibu mempengaruhi pengetahuan dalam penggunan antibiotik pada anak.

3. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah

Dalam dokumen Shulcha Fithriya (Halaman 31-64)

Dokumen terkait