• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3.6. Teknik Analisis Data

3.6.3. Uji Statistik

3.6.3.3. Uji Koefisien Determinasi (Uji R 2 )

Uji kecocokan dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2).

Semakin tinggi nilai koefisien determinasi tersebut, maka semakin tepat model tersebut dalam menerangkan variasi variabel-variabel tak bebas. Sebaliknya, semakin kecil nilai koefisien determinasi tersebut, maka semakin lemah kemampuan model tersebut dalam menerangkan variasi variabel tak bebas.

Koefisien determinasi adalah ukuran variasi total pada peubah tak bebas yang dapat dijelaskan oleh hubungannya dengan peubah bebas. Koefisien determinasi juga disebut sebagai R2. Batas nilai r antara -1 dan 1, tanda minus terjadi kalau xiyi memberikan nilai minus. Nilai terkecil (minimum) r2 adalah nol (0) terjadi kalau ei2 = yi2, yaitu kalau garis regresi =Y dan explained variation nol.

𝑆𝑆𝑅

𝑇𝑆𝑆 Untuk menghitung koefisien determinasi digunakan rumus sebagai berikut:

R2 =

Sum of Square Error (SSE) menunjukkan jumlah total kuadrat peubah tak bebas yang tidak dijelaskan oleh garis regresi kuadrat terkecil, sedangkan Sum of Square Regression (SSR) merupakan jumlah total kuadrat yang dapat dijelaskan oleh garis regresi sedangkan Total Sum of Square (TSS) merupakan jumlah SSE dan SSR.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Perekonomian di Indonesia

Kondisi perekonomian Indonesia dapat dilihat melalui tiga aspek penting yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan tingkat inflasi.

Ketiga aspek ini cenderung saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir pertumbuhan ekonomi RI selama tahun 2015 mencapai 4,79 %. Adapun untuk kuartal IV-2015, ekonomi tumbuh 5,04 % lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang hanya 4,73 %.

Gambar 4.1 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2010-2016 (%)

Mengawali tahun 2016, Indonesia harus mampu membangun optimisme untuk menghadapi setiap situasi ekonomi, baik global maupun domestik. Namun, kondisi ini harus tetap diwaspadai karena mengingat kondisi ekonomi global yang lebih rentan dengan krisis karena mudah berubah-ubah. Berkaca dari tahun lalu, pengaruh terbesar bagi ekonomi Indonesia di 2016 antara lain, yaitu: pertama,

perlambatan ekonomi Tiongkok. Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, perlambatan ekonomi di Tiongkok berarti memberi pengaruh pada kegiatan ekspor. Perlu dicatat, ekonomi dunia juga mendapat pengaruh yang sama atas perlambatan ini. Melihat hal ini, tentunya pola ekspor Indonesia pun harus mulai diubah, dari barang mentah menjadi barang jadi/ barang konsumsi.

Kedua, masih rendahnya harga minyak. Secara otomatis, minyak menjadi referensi harga bagi komoditas lain, dimana nilai minyak yang rendah berimbas pada harga komoditas yang rendah. Indonesia sendiri mulai berusaha untuk mengurangi ketergantungan kepada komoditas pada 2015 lalu. Di dalam negeri, penurunan harga minyak ini mengganggu ide pengembangan energi terbarukan karena harganya menjadi lebih murah untuk dikonsumsi.

Ketiga, kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, yang juga pasti berpengaruh pada kondisi ekonomi dalam negeri, khususnya sektor keuangan. Hal ini tentunya harus kita antisipasi sehingga sektor keuangan Indonesia tetap dalam kondisi stabil. Pemerintah berkomitmen untuk melakukan koordinasi agar dapat menjaga fundamental ekonomi baik makro, moneter, maupun fiskal. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana mengoptimalkan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) karena ini menjadi salah satu faktor penyokong pertumbuhan tahun 2016.

Untuk data tingkat pengangguran di Indonesia, tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang atau 5,5 %. Namun jumlah pengangguran tersebut menurun bila dibandingkan dengan Februari 2015, yang mencapai 7,45 juta orang (5,81 %).

Ditinjau berdasarkan taraf pendidikannya, persentase lulusan sekolah dasar ke bawah yang menganggur menurun, yakni dari 3,61 % menjadi 3,44 %. Tingkat pengangguran tertinggi adalah lulusan sekolah menengah kejuruan dengan persentase 9,84 %, meningkat dibandingkan kondisi pada bulan Februari 2015 sebesar 9,05 %. Persentase penduduk berpendidikan sekolah menengah pertama yang menganggur juga menurun, yakni dari 7,14 % menjadi 5,76 %. Begitu juga dengan persentase penduduk berpendidikan sekolah menengah atas menurun dari 8,17 % menjadi 6,95 %. Adapun persentase penduduk berpendidikan diploma I, II, dan III yang menganggur juga menurun. Sedangkan berdasarkan wilayah tingkat pengangguran tertinggi terjadi di Kepulauan Riau dengan 9,03 % dan terendah terjadi di Bali dengan 2,12 %. Berikut ini grafik tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2010-2016.

Gambar 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia tahun 2010-2016 (%)

Dari sisi perkembangan tingkat inflasi, Badan Pusat Satistik mencatat inflasi sepanjang 2015 sebesar 3,35 % (year on year), merupakan inflasi tahunan terendah sejak 2010, dan mengindikasikan perbaikan stabilitas harga barang dan jasa, meskipun turut dipengaruhi dari perlambatan ekonomi. Laju inflasi tahunan sejak 2010 hingga 2014, masing-masing adalah 6,96 %; 3,69 %; 4,3 %; 8,38 % dan 8,36 %. Berikut disajikan dalam bentuk grafik.

Gambar 4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi Indonesia tahun 2010-2016 (%)

Karakteristik inflasi yang tidak stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih besar dibandingkan dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia.

Akibat dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi, seperi biaya pinjaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan

negara-negara berkembang lainnya. Kurangnya kuantitas dan kualitas infrastruktur di Indonesia juga mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi. Hal ini menghambat konektivitas antar daerah/pulau dan karenanya meningkatkan biaya trasnportasi

untuk jasa dan produk. Hal ini membuat biaya logistik tinggi dan iklim investasi negara ini menjadi kurang menarik.

Harga-harga bahan pangan yang tidak stabil di Indonesia karena rentan terhadap kondisi cuaca juga menyebabkan tekanan inflasi. Harga-harga makanan yang tinggi menyebabkan kemiskinan yang serius. Panen yang gagal dikombinasikan dengan reaksi pemerintah yang lambat untuk mengganti produk lokal dengan produk impor turut menambah tekanan inflasi. Koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah melalui Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi melalui TPI dan TPID ke depannya akan terus diperkokoh agar sasaran inflasi dapat dicapai secara konsisten pada periode mendatang.

Inflasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan adanya perubahan biaya produksi misalnya naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan. Dengan alasan inilah, maka tidaklah tepat bila perubahan tingkat pengangguran di Indonesia dihubungkan dengan inflasi. Karena itu, perubahan tingkat pengangguran lebih tepat bila dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi merupakan akibat dari adanya peningkatan kapasitas produksi yang merupakan turunan dari peningkatan investasi.

Jadi jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi berhubungan erat dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja, begitu pula dengan investasi. Dengan meningkatnya investasi pasti permintaan tenaga kerja akan bertambah, sehingga dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan adanya peningkatan investasi berpengaruh terhadap penurunan tingkat pengangguran dengan asumsi investasi tidak bersifat padat modal.

4.2. Gambaran Perekonomian Provinsi Sumatera Utara

Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional, dalam 3 (tiga) tahun terakhir laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara mengalami perlambatan.

Tahun 2013, perekonomian Sumatera Utara tumbuh sebesar 6,07 % , tahun 2014 mencapai 5,23 % dan tahun 2015 mencapai 5,10 %. Perlambatan ini dikarenakan oleh pertumbuhan negatif pada beberapa sektor ekonomi. Namun, ada 6 sektor lapangan usaha yang mengalami peningkatan antara lain jasa keuangan 7,71 %;

penyediaan akomodasi dan makan minum 6,95 %; pengadaan air dan pengelolaan sampah limbah dan daur ulang 6,44 %; industri pengolahan 3,52 %;

pertambangan dan penggalian 6,40 %; dan pertanian, kehutanan dan perikanan 5,60 %.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil merupakan target utama dari setiap kebijakan pemerintah. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil maka tingkat kesejahteraan masyarakat akan dapat terpenuhi. Dua indikator makro ekonomi kesejahteraan masyarakat yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi adalah inflasi dan pengangguran. Kedua indikator ini tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan dan dapat mempengaruhi satu dengan yang lain.

4.2.1. Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara

Inflasi telah menjadi masalah besar dalam perekonomian, banyak faktor yang mempengaruhi laju inflasi, sehingga laju inflasi tidak seluruhnya berada dalam kendali bank sentral. Inflasi merupakan resultan interaksi antara permintaan dan penawaran agregat perekonomian. Sementara itu, kebijakan

moneter pada dasarnya lebih efektif untuk mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan agregat.

Gambar 4.4 Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%)

Dari gambar 4.4 diatas dapat dilihat grafik perkembangan inflasi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2015. Inflasi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara mengalami fluktuasi yang cenderung stabil, kecuali pada tahun 2005. Jenis inflasi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara termasuk jenis inflasi merayap (creeping inflation) dengan rata-rata kenaikan inflasi sebesar 7,70 % selama 12 tahun terakhir.

Kelompok transportasi dan komunikasi menjadi penyumbang inflasi tertinggi di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2005. Kenaikan pada kelompok ini disebabkan oleh penyesuaian tarif dasar listrik dan kenaikan harga BBM sehingga mengakibatkan kenaikan yang cukup tajam yakni tercatat sebesar 60,59

%. Sub kelompok transportasi mengalami kenaikan lonjakan harga yang mengakibatkan inflasi sebesar 93,96 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa inflasi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara tergolong kelompok Cost Push Inflation

karena gejolak kenaikan inflasi yang terjadi cenderung disebabkan adanya kenaikan biaya-biaya produksi seperti kenaikan tarif dasar listrik dan harga BBM.

4.2.2. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Provinsi Sumatera Utara Tingkat pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan utama yang dihadapi setiap masyarakat. Angka pengangguran yang tinggi akan mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat sehingga akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan suatu daerah. Kemiskinan ini tentunya akan menjadi faktor penghambat dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Secara umum, ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Salah satunya terindikasi dari penurunan tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015. Berikut datanya digambarkan dalam bentuk grafik.

Gambar 4.5 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%)

Dari gambar 4.5 dapat dilihat grafik penurunan tingkat pengangguran teerbuka di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015.

Pada tahun 2005, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Sumatera Utara tercatat sebesar 10,98 % dan pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 11,51

%. Peningkatan angka pengangguran terbuka ini dikarenakan menurunnya persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja di sektor padat karya seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 49,64 % penduduk usia 15 tahun keatas bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan pada tahun 2006, dari yang sebelumnya berjumlah 52,68 % pada tahun 2005.

Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2014 dan 2015. Angka pengangguran terbuka yang semula mencapai angka 6,23 % di tahun 2014 justru mengalami kenaikan pada tahun 2015 menjadi 6,71%. Penurunan ini juga merupakan dampak dari menurunnya persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian yang padat karya. Tercatat bahwa pada tahun 2014, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian adalah sebanyak 42,52 % dan kemudian mengalami penurunan pada tahun 2015 menjadi 41,3 %.

4.3. Gambaran Perekonomian pada Empat Kota Inflasi di Sumatera Utara 4.3.1. Gambaran Perekonomian Kota Medan

Kota Medan merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara dan menjadi kota terbesar nomor 3 (tiga ) di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Selain sebagai kota terbesar nomor tiga, maka Medan menjadi kota terbesar di luar Pulau

rata-rata;

Jawa dengan kondisi geografis yang sangat menguntungkan karena cukup berdekatan dengan Selat Malaka sebagai jalur perairan untuk perdagangan internasional dari dulu sampai sekarang.

Kondisi perekonomian Kota Medan dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap tahunnya. Melalui penghitungan PDRB dengan tahun dasar 2010, diketahui laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2014 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai 6,05 %, sedangkan tahun 2013 sebesar 5,36 %. Hal ini disebabkan mayoritas lapangan usaha mengalami peningkatan pertumbuhan, yakni lapangan usaha Jasa Kesehatan dan lainnya, lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, lapangan usaha Informasi dan Komunikasi; lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran;

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, dan lapangan usaha Konstruksi.

Gambar 4.6 Perkembangan PDRB Kota Medan Atas

Harga Dasar Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha tahun 2010-2014 (%)

Dari grafik dalam gambar 4.6 diatas dapat dilihat perkembangan PDRB Kota Medan atas harga dasar konstan 2000. Lapangan usaha yang menunjukkan perkembangan positif dan menyumbangkan hasil lebih besar terhadap PDRB Kota Medan adalah sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yaitu sebesar 10 % dan dari sektor administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial lainnya dengan jumlah yang sama yaitu 10 %. Kemudian diikuti oleh sektor jasa perusahaan dan sektor informasi dan komunikasi, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, serta sektor konstruksi yaitu sebesar 8 %. Adapun sektor usaha yang mengalami penurunan selama tahun 2010-2014 adalah sektor pertambangan dan penggalian (-3 %) dan sektor pengadaan listrik dan gas (-1 %).

4.3.1.1.Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Medan

Dari 33 Kota dan Kabupaten di Sumatera Utara, maka roda penggerak ekonomi di luar sektor primer, adalah perekonomian kota Medan, sehingga Kota Medan sering menyumbangkan inflasi yang cukup tinggi untuk Sumatera Utara. Aktivitas ekonomi untuk sektor sekunder seperti konstruksi serta pelistrikan cukup besar kontribusi yang dihasilkan dalam membentuk produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Medan.

Selain itu sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa lembaga keuangan menjadi kontribusi berikutnya yang sangat besar menyumbang PDRB kota Medan. Denyut nadi aktivitas ekonomi akan selalu diamati dan kemudian harus dapat dikendalikan, sehingga laju inflasi yang terjadi dalam proses aktivitas tersebut tidak menjadi tinggi, dan sangat fluktuatif. Kondisi ini dapat merugikan semua orang karena inflasi yang tinggi justru akan membuat pendapatan riil dari masyarakat menurun, keuntungan riil dari perusahaan juga

dapat menurun dan pada akhirnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan pengusaha mengalami penurunan juga.

Dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015, inflasi di Kota Medan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan inflasi untuk Sumatera Utara dan Nasional. Namun untuk tahun 2010 inflasi kota Medan relatif lebih tinggi dari nasional. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan dan dampak kenaikan dari harga minyak internasional. Sedangkan bila dibandingkan dengan tiga kota lain yang ada di Sumatera Utara, maka inflasi di kota Medan relatif lebih rendah, karena kota Sibolga, Padang Sidempuan dan Pematang Siantar cukup jauh dari kota Medan. Sementara itu, pusat distribusi barang-barang konsumsi berada di Medan, sehingga biaya angkut relatif lebih mahal untuk sampai ke kota-kota tersebut, dengan kata lain semakin jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan distribusi, maka biaya pembelian barang akan menjadi mahal, karena ada biaya transportasi.

Gambar 4.7 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Medan tahun 2004-2015 (%)

Dinamika dari perkembangan besarnya laju inflasi yang terjadi di kota Medan dalam kurun waktu antara tahun 2004-2015 relatif sangat fluktuatif, secara rata-rata dalam kurun waktu 12 tahun terakhir mencapai angka 7,66 %. Pada periode penelitian ini, justru yang paling tinggi inflasi terjadi pada tahun 2005 yakni mencapai 22,91 %, dimana pada tahun tersebut adalah tahun awal pemerintahan kabinet SBY yang membuat kebijakan untuk menaikkan harga BBM sampai 100 %, akibatnya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari meningkat tajam, sekaligus semua barang dan jasa yang ada di pasar mengalami kenaikan yang cukup besar.

Namun pada tahun berikutnya mengalami penyesuaian, dan angka inflasi kembali menuju pada angka yang lebih moderat dan sesuai dengan yang ditargetkan secara nasional. Namun pada tahun 2008, kembali mengalami kenaikan karena ada kenaikan harga BBM yang dipicu secara eksternal yakni adanya kenaikan harga minyak mentah internasional menjadi lebih tinggi. Kondisi ini memukul berat perekonomian Indonesia, termasuk perekonomian lokal kota Medan. Jika dilihat dari rata-rata angka inflasi Medan, tetap berada dibawah inflasi nasional yang berkisar 7,70 %. Jenis inflasi yang terjadi di Kota Medan termasuk jenis inflasi merayap (creeping inflation) dengan rata-rata kenaikan inflasi sebesar 7,66 % selama 12 tahun terakhir.

Jika diperbandingkan dalam teori ekonomi, maka kinerja ekonomi kota Medan masih kurang bagus, karena angka inflasinya berada diatas angka pertumbuhan ekonomi, seharusnya laju inflasi harus lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi, sehingga ekonomi secara riil dalam kondisi yang relatif baik.

4.3.1.2.Perkembangan Tingkat Pengangguran di Kota Medan

Selain inflasi, angka pengangguran juga turut memberikan pengaruh terhadap proses pembangunan ekonomi di Kota Medan. Tingkat pengangguran yang tinggi dapat menghambat proses pembangunan karena mempengaruhi daya beli masyarakat akibat berkurangnya sumber pendapatan keluarga. Tingkat pengangguran terbuka di Kota Medan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015 cenderung mengalami fluktuasi.

Pada tahun 2008, angka pengangguran terbuka di Kota Medan adalah sebesar 13,08 % dan mengalami kenaikan pada tahun 2009 menjadi 14,27 %.

Kenaikan angka pengangguran ini diakibatkan semakin berkurangnya lowongan pekerjaan pada tahun tersebut. Pada tahun 2008, jumlah lowongan pekerjaan yang terdaftar, baik untuk laki-laki maupun perempuan, adalah sebanyak 9554 sedangkan pada tahun 2009 angkanya mengalami penurunan menjadi 6106.

Demikian pula di tahun 2012 dan 2013. Jumlah lowongan pekerjaan yang terdaftar di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan pada tahun 2012 adalah sebanyak 988, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 605.

Penurunan jumlah lowongan pekerjaan ini mengakibatkan angka pengangguran terbuka di Kota Medan mengalami kenaikan. Tercatat bahwa pada tahun 2013, angka pengangguran terbuka di Kota Medan adalah sebesar 10,01 % dari semula 9,03 % pada tahun 2012. Berbeda dengan tahun sebelumnya, angka pengangguran terbuka di Kota Medan untuk tahun 2014 justru mengalami penurunan menjadi 9,48 %. Hal ini terjadi seiring dengan semakin bertambahnya jumlah lowongan pekerjaan pada tahun tersebut yaitu sebesar 1293. Berikut akan

disajikan perkembangan angka pengangguran terbuka di Kota Medan dari tahun 2004-2015 dalam bentuk grafik.

Gambar 4.8 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Kota Medan tahun 2004-2015 (%)

4.3.2. Gambaran Perekonomian Kota Padangsidimpuan

Kota Padangsidimpuan terletak pada garis 108'00''-1028'00'' Lintang Utara dan garis bujur 99013'00''-99020'00'' Bujur Timur dan berada pada ketinggian 260 sampai dengan 1.100 meter diatas permukaan laut. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Angkola Timur), sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Batang Angkola dan Kec. Angkola Selatan), sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Angkola Barat/Kecamatan Angkola Selatan) dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Angkola Timur).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran kinerja makro kegiatan ekonomi di suatu wilayah. PDRB suatu wilayah menggambarkan struktur ekonomi daerah, peranan sektor-sektor ekonomi dan pergeserannya yang

didasarkan pada PDRB atas dasar harga berlaku. Disamping itu, PDRB menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi baik secara total maupun per sektor dengan membandingkan PDRB tahun berjalan terhadap tahun sebelumnya menggunakan atas dasar harga konstan tahun 2000.

PDRB Kota Padangsidimpuan atas dasar harga berlaku tahun 2012 sebesar 2,56 trilyun rupiah, meningkat 11,19 % dibanding tahun sebelumnya.

Berdasarkan atas dasar harga konstan 2000 PDRB Kota Padangsidimpuan tahun 2012 sebesar 1.052,89 milyar rupiah atau mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23 % dibanding tahun sebelumnya. Sektor perdagangan merupakan sektor yang memberi peranan atau kontribusi yang terbesar terhadap PDRB tahun 2013 yaitu sebesar 23,77 %; peranan sektor tersebut mengalami sedikit penurunan apabila dibanding tahun 2011 yang sebesar 24,13 %; jasa-jasa sebesar 20,24 %;

sektor ketiga yang berperan dalam pembentukan PDRB tahun 2012 adalah sektor keuangan yaitu sebesar 15,12 %.

4.3.2.1.Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Padangsidimpuan

Perkembangan tingkat inflasi di Provinsi Sumatera Utara kurang lebih juga berdampak kepada laju inflasi di Kota Padangsidimpuan. Salah satu contohnya, kenaikan harga BBM pada awal pemerintah Presiden SBY di tahun 2004-2005 memberikan dampak pada meningkatnya laju inflasi di Provinsi Sumatera Utara dan tak terkecuali Kota Padangsidimpuan. Tercatat terjadi kenaikan inflasi yang sangat tinggi selama rentang waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 di Kota Padangsidimpuan.

Gambar 4.9 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Padangsidimpuan tahun 2004 - 2015 (%)

Pada tahun 2005, tingkat inflasi di Kota Padangsidimpuan adalah sebesar 18,4 % dan angka ini merupakan angka tertinggi selama dua belas tahun terakhir (2004-2015). Kemudian untuk dua tahun berikutnya, laju inflasi mulai mengalami penurunan hingga mencapai 5,87 % pada tahun 2007. Tingkat inflasi kembali mengalami kenaikan yang sangat tinggi pada tahun 2008 hingga mencapai 12,3 % sebagai dampak terjadinya kenaikan harga barang dan jasa di Kota Padangsidimpuan yang juga merupakan imbas dari krisis global.

Barulah setelah tahun 2009, tingkat inflasi di Kota Salak ini mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan laju yang cenderung stabil dan tingkat inflasinya berada di bawah angka 10 %. Jenis inflasi yang terjadi di Kota Padangsidimpuan termasuk jenis inflasi merayap (creeping inflation) dengan rata-rata kenaikan inflasi sebesar 7,50 % selama 12 tahun terakhir.

4.3.2.2.Perkembangan Tingkat Pengangguran di Kota Padangsidimpuan Angka pengangguran terbuka di Kota Padangsidimpuan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015 mengalami tren penurunan. Berikut perkembangannya secara grafik akan disajikan dalam gambar 4.10.

Gambar 4.10 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Kota Padangsidimpuan tahun 2004 - 2015 (%)

Dampak dari tingkat inflasi yang tinggi di Kota Padangsidimpuan adalah meningkatnya angka pengangguran terbuka pada tahun 2005. Tercatat bahwa pada tahun 2005 merupakan tahun terburuk dengan angka pengangguran tertinggi sepanjang dua belas tahun terakhir yaitu mencapai angka 16,79 %.

Kemudian lima tahun berikutnya, secara berturut-turut angka pengangguran terbuka di kota ini mengalami penurunan hingga di tahun 2011 dan 2012 mengalami kenaikan kembali. Kenaikan yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 dapat dikatakan stabil karena tidak mengalami kenaikan yang sangat tinggi seperti yang terjadi pada tahun 2005.

4.3.3.Gambaran Perekonomian Kota Pematangsiantar

Kota Pematangsiantar adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Kota Medan. Karena letak Kota Pematangsiantar yang strategis, ia dilintasi oleh Jalan

Kota Pematangsiantar adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Kota Medan. Karena letak Kota Pematangsiantar yang strategis, ia dilintasi oleh Jalan

Dokumen terkait