• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS EKSISTENSI TEORI KURVA PHILLIPS DALAM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS EKSISTENSI TEORI KURVA PHILLIPS DALAM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA PERIODE"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA PERIODE 2004-2015

TESIS

Oleh

ELMARTHIN PRAMASASTRAWAN ZAI 157018005 / MIE

MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

(2)

PERIODE 2004-2015

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELMARTHIN PRAMASASTRAWAN ZAI 157018005 / MIE

MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

Perekonomian Sumatera Utara Periode 2004-2015 Nama Mahasiswa : Elmarthin Pramasastrawan Zai

Nomor Pokok : 157018005

Program Studi : Magister Ilmu Ekonomi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, SE., M.Si) (Dr. Rujiman, MA)

(Ketua) (Anggota)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Irsad, SE, M.Soc.Sc, Ph.D) (Prof. Dr. Ramli, SE, MS)

Tanggal Lulus: 18 Oktober 2017

(4)

Tanggal: 18 Oktober 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Murni Daulay, SE, M.Si Anggota : 1. Dr. Rujiman, MA

2. Irsad, SE, M.Soc.Sc, Ph.D 3. Prof. Dr. HB Tarmizi, SU 4. Prof. Dr. Ramli, SE, MS

(5)

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Analisis Eksistensi Teori Kurva Phillips dalam Perekonomian Sumatera Utara Periode 2004- 2015” disusun sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan karya peneliti sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang peneliti lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini telah peneliti cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya peneliti sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, peneliti bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang peneliti sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 18 Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,

Elmarthin P. Zai NIM: 157018005

(6)

DALAM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA PERIODE 2004-2015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis berlaku atau tidaknya Teori Kurva Phillips dalam hubungan inflasi dan pengangguran di Sumatera Utara.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi panel, dengan menggunakan software Eviews 7. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Provinsi Sumatera Utara dan empat kota inflasi di Sumatera Utara yaitu Kota Medan, Kota Pematangsiantar, Kota Padangsidimpuan dan Kota Sibolga, dengan periode penelitian dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2015. Hasil regresi data menunjukkan bahwa variabel inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka pengangguran. Hal ini berarti jika terjadi kenaikan inflasi maka akan berdampak pada kenaikan angka pengangguran di Sumatera Utara. Sehingga dapat dikatakan teori Kurva Phillips tidak berlaku untuk menggambarkan hubungan antara inflasi dan pengangguran di Sumatera Utara.

Kata Kunci : Inflasi, Pengangguran, Kurva Phillips, Sumatera Utara.

(7)

ABSTRACT

The objective of the research was to analyze whether Phillips Curve Theory is valid or not concerning inflation and unemployment in North Sumatera. The research used panel regression analysis, using E-views 7 software program. The population was North Sumatera Province and four inflation towns – Medan, Pematangsiantar, Padangsidimpuan, and Sibolga in the research period of 2004-2015. The result of the research showed that the variable of inflation had positive and significant influence on unemployment rate. It indicated that the increase in inflation would cause the increase in the employment rate in North Sumatera so that it could be assumed that Phillips Curve theory could not describe the correlation between inflation and unemployment in North Sumatera.

Keywords: Inflation, Unemployment, Phillips Curve, North Sumatera

(8)

Penulis mengucapkan yang utama dari segalanya, sembah sujud serta Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izin dan berkat-Nya yang melimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi sekaligus dapat menyelesaikan tesis ini.

Saya persembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat saya kasihi dan saya sayangi yaitu kedua orang tua saya. Sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan tesis ini kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan baik moril maupun materil dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tidak dapat saya balaskan hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata-kata dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat Bapak dan Ibu bahagia karena saya menyadari selama ini belum bisa berbuat yang lebih. Untuk Bapak dan Ibu yang selalu membuatku termotivasi dan memberikan kasih sayang, selalu mendoakanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik, sekali lagi terima kasih Bapak dan Ibu, jerih dan susah payahmu akan kukenang selama- lamanya. Terimakasih juga untuk ke dua adikku tersayang, Analisman Zai dan Idam Suryani Zai yang selalu mendukung dan memberi semangat di saat duka dan suka selama ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

(9)

2. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara sekaligus juga sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini.

3. Bapak Irsad, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini.

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE., M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini.

5. Bapak Dr. Rujiman, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. HB Tarmizi, SU sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar, membimbing, memberi arahan hingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini.

8. Pemerintah Kabupaten Nias Barat yang telah memberikan kesempatan tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

(10)

terima kasih atas canda tawa dan solidaritasnya yang luar biasa sehingga membuat hari-hari selalu ceria dan bahagia bahkan terasa berarti bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, membalas jasa budi kalian dikemudian hari dan memberikan kemudahan dalam segala hal, Amin.

10. Teman-teman mahasiswa tugas belajar T.A. 2015 yang seangkatan dari Kabupaten Nias Barat yaitu saudara Serius Gulo dan saudara Eksaudi Bakti Hia.

11. Serta kepada seluruh saudara dan teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini, saya ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua, Amin.

Medan, 18 Oktober 2017 Penulis,

Elmarthin P. Zai

(11)

1. Data Pribadi

Nama : ELMARTHIN PRAMASASTRAWAN ZAI

Tempat/Tanggal Lahir : Sisobaholi, 10 Maret 1985 Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Fadoro, Mandrehe, Kab. Nias Barat

Status : Belum Kawin

Agama : Kristen

Kebangsaan/Suku : Indonesia/Nias

Motto : Hidup adalah pelajaran tentang kerendahan hati

2. Nama Orang Tua A. Ayah

Nama : Yasozisokhi Zai

Alamat : Desa Fadoro, Mandrehe, Kab. Nias Barat Pekerjaan : Pensiunan PNS

B. Ibu

Nama : Meria Gulo

Alamat : Desa Fadoro, Mandrehe, Kab. Nias Barat Pekerjaan : Guru/PNS

3. Jenjang Pendidikan

a. SD : SD Negeri 071096 Mandrehe tahun 1991-1997 b. SMP : SMP Negeri 1 Gunungsitoli tahun 1997-2000 c. SMA : SMA Negeri 3 Gunungsitoli tahun 2000-2003 d. Sarjana (S-1) : Universitas Janabadra tahun 2004-2009

4. Pekerjaan

PNS Pemkab Nias Barat tahun 2012-

sekarang

(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 11

2.1.1. Teori Inflasi ... 11

2.1.1.1. Definisi Inflasi …………... 11

2.1.1.2. Indikator Inflasi ………... 12 2.1.1.3. Jenis Inflasi ………... 14

2.1.1.4. Dampak Inflasi ………... 19

2.1.1.5. Kebijakan Pengendalian Inflasi ……... 20

2.1.2. Teori Pengangguran ... 23

2.1.2.1. Definisi Pengangguran …………... 23

2.1.2.2. Cara Mengukur Tingkat Pengangguran ... 24

2.1.2.3. Jenis Pengangguran ………... 25

2.1.2.4. Dampak Pengangguran ………... 31

2.1.3. Kurva Phillips ………..…... 33

2.1.3.1. Definisi Kurva Phillips …………... 33

2.1.3.2. Pergeseran dalam Kurva Phillips ... 35

2.2. Penelitian Terdahulu ... 40

(13)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3. Definisi Operasional ... 45

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 45

3.5. Model Analisis Data ... 46

3.6. Teknik Analisis Data ... 47

3.6.1. Regresi Ordinary Least Squares ... 47

3.6.2. Regresi Panel ... 48

3.6.3. Uji Statistik ... 50

3.6.3.1. Uji Signifikan Parsial (Uji-t) ... 51

3.6.3.2. Uji Signifikan Simultan (Uji-F) ... 51

3.6.3.3. Uji Koefisien Determinasi (Uji R2) ... 52

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Perekonomian di Indonesia ... 53

4.2. Gambaran Perekonomian Provinsi Sumatera Utara ... 58

4.2.1. Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara ... 58

4.2.2. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Provinsi Sumatera Utara ... 60

4.3. Gambaran Perekonomian pada empat Kota Inflasi di Sumatera Utara ... 61

4.3.1. Gambaran Perekonomian Kota Medan ... 61

4.3.1.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Medan ... 63

4.3.1.2. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Kota Medan ... 66

4.3.2. Gambaran Perekonomian Kota Padangsidimpuan ... 67 4.3.2.1. Perkembangan Tingkat Inflasi

(14)

di Kota Padangsidimpuan ... 70

4.3.3. Gambaran Perekonomian Kota Pematangsiantar ... 71

4.3.3.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Pematangsiantar ... 72

4.3.3.2. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Kota Pematangsiantar ... 73

4.3.4. Gambaran Perekonomian Kota Sibolga ... 75

4.3.4.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Sibolga ... 76

4.3.4.2. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Kota Sibolga ... 77

4.4. Hasil Uji Kesesuaian Model ... 79

4.4.1. Hasil Uji Chow ... 80

4.4.2. Hasil Uji Hausman ... 80

4.5. Hasil Uji Statistik ... 81

4.5.1. Hasil Estimasi Tingkat Pengangguran di Sumatera Utara ... 82

4.5.2.Uji Signifikan Parsial (Uji-t) ... 84

4.5.3. Hasil Uji Signifikan Simultan (Uji-F) ... 85

4.5.4. Hasil Uji Koefisien Determinasi (Uji R2) ... 85

4.6. Pembahasan Hasil Penelitian ... 86

4.6.1.Fenomena di Kota Medan ... 86

4.6.2. Fenomena di Kota Padangsidimpuan ... 91

4.6.3. Fenomena di Kota Pematangsiantar ... 93

4.6.4. Fenomena di Kota Sibolga ... 96

4.6.5. Fenomena di Sumatera Utara ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 104

5.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(15)

Nomor Judul Hal.

2.1 Penelitian Terdahulu ... 40

4.1 Hasil Uji Chow ... 80

4.2 Hasil Uji Hausman ... 81

4.3 Hasil Regresi Tingkat Pengangguran di Sumatera Utara ... 82

4.9 Hasil Uji-F Persamaan Kedua ... 66

(16)

Nomor Judul Hal.

1.1 Laju Inflasi dan Pengangguran di Provinsi

Sumatera Utara tahun 2010-2015 (%) ... 3

2.1 Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation) ... 16

2.2 Inflasi Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation) ... 17

2.3 Kekakuan Upah Riil ... 26

2.4 Kurva Phillips ... 34

2.5 Kurva Phillips Jangka Panjang (LPC) ... 36

2.6 Kurva Phillips Berdasarkan Analisis Kurva AD – AS ... 37

2.7 Kerangka Konseptual ... 43

4.1 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2010-2016 (%) ... 53

4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia tahun 2010-2016 (%) ... 55

4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi Indonesia tahun 2010-2016 (%) ... 56

4.4 Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%) ... 59

4.5 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%) ... 60

4.6 Perkembangan PDRB Kota Medan Atas Harga Dasar Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha tahun 2010-2014 (%) ... 62

4.7 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Medan tahun 2004-2015 (%) ... 64

4.8 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Kota Medan tahun 2004-2015 (%) ... 67

(17)

Nomor Judul Hal.

4.9 Perkembangan Tingkat Inflasi

Kota Padangsidimpuan tahun 2004 - 2015 (%) ... 69 4.10 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka

Kota Padangsidimpuan tahun 2004 - 2015 (%) ... 70 4.11 Perkembangan Tingkat Inflasi

Kota Pematangsiantar tahun 2004 - 2015 (%) ... 73 4.12 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka

Kota Pematangsiantar tahun 2004 - 2015 (%) ... 74 4.13 Perkembangan Tingkat Inflasi

Kota Sibolga tahun 2004 - 2015 (%) ... 76 4.14 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka

Kota Sibolga tahun 2004 - 2015 (%) ... 78

(18)

Nomor Judul Hal.

1 Data Perkembangan Tingkat Inflasi di Provinsi Sumatera Utara dan Empat Kota Inflasi

di Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%) ... 109

2 Data Perkembangan Angka Pengangguran Terbuka di Provinsi Sumatera Utara dan Empat Kota Inflasi di Sumatera Utara tahun 2004-2015 (%) ... 110

3 Hasil Uji Chow ... 111

4 Hasil Uji Hausman ... 112

5 Hasil Regresi Tingkat Pengangguran di Sumatera Utara ... 113

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik melalui suatu proses pembangunan ekonomi (Amir, 2008).

Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan pemberantasan kemiskinan absolut (Todaro, 2000). Oleh karenanya, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata dari tingkat pertumbuhan pendapatan atau pendapatan perkapita, namun harus pula melihat bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan tersebut.

Pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian.

Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat

(20)

merupakan agregat pembangunan dari 33 kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara yang tidak terlepas dari usaha keras secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Potensi wilayah dan kekayaan alam dapat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti sumber daya manusia dan sumber modal untuk memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi oleh penentu kebijakan baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat daerah kabupaten dan kota. Akibatnya kondisi perekonomian masyarakat secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan masih ditemui kekurangan.

Dalam perekonomian suatu daerah, inflasi dan pengangguran merupakan salah satu indikator makroekonomi yang terus mendapat perhatian besar pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan kedua indikator tersebut saling berpengaruh. Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dapat menimbulkan dampak yang luas baik terhadap perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat luas.

Sedangkan pengangguran termasuk masalah yang belum dapat terselesaikan hingga saat ini, dikarenakan sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia dan rendahnya keterampilan dan kemampuan yang dimiliki individu untuk mendapatkan pekerjaan.

Menurut A.W. Phillips (1958) dalam bukunya yang berjudul “The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957” menunjukkan adanya korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi. Phillips menunjukkan bahwa tingkat pengangguran rendah cenderung memiliki inflasi yang tinggi, sedangkan pengangguran yang

(21)

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Inflasi 7,43 6,37 6,2 6,53 6,23 6,71

Pengangguran 5,32 4,02 3,80 4,12 3,91 4,29

tinggi cenderung memiliki angka inflasi yang rendah (Mankiw, 2012). Untuk mengetahui kondisi inflasi dan pengangguran di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 sampai dengan 2015 dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1 Laju Inflasi dan Pengangguran di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2015 (%)

Gambar 1.1 menunjukkan pergerakan laju inflasi dan pengangguran tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 di Provinsi Sumatera Utara. Secara umum, berdasarkan teori Phillips dikatakan bahwa jika tingkat inflasi naik, maka tingkat pengangguran rendah. Namun pada gambar 1.1 dapat dilihat pergerakan inflasi tampak mengalami kenaikan dan penurunan yang seiring dengan kenaikan dan penurunan tingkat pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

Secara umum, kurva phillips menyatakan bahwa jika inflasi mengalami kenaikan maka angka pengangguran akan menurun. Sebaliknya, jika inflasi mengalami penurunan maka angka pengangguran akan menurun. Tetapi dari

(22)

gambar 1.1 kita dapat melihat bahwa diduga teori kurva phillips tersebut tidak berlaku untuk menggambarkan hubungan inflasi dan pengangguran di Provinsi Sumatera Utara. Fenomena yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara justru memperlihatkan hubungan yang positif antara inflasi dan pengangguran, dimana jika terjadi kenaikan inflasi maka angka pengangguran juga akan mengalami kenaikan. Demikian sebaliknya, jika tingkat inflasi dapat ditekan turun, maka hal ini juga akan berdampak pada penurunan angka pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini dapat di lihat dari data yang tercantum dalam gambar 1.1. Pada tahun 2011, tingkat inflasi di Provinsi Sumatera Utara mencapai 6.37% dengan angka pengangguran terbuka sebesar 4.02%. Kemudian, pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mampu menekan angka inflasi hingga mencapai angka 6.20%. Penurunan inflasi ini juga berpengaruh pada penurunan angka pengangguran di Provinsi Sumatera Utara pada tahun tersebut dan mencapai angka 3.80%. Tetapi, ketika terjadi kenaikan inflasi lagi pada tahun 2013, mencapai 6.53%, angka pengangguran juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga mencapai angka 4.12%. Hal yang sama masih terjadi di tahun 2015, dimana ketika inflasi mengalami kenaikan hingga mencapai 6.71%, angka pengangguran juga mengalami kenaikan hingga berada di kisaran angka 4.29%.

Hubungan antara inflasi dan pengangguran yang dikenal sebagai kedua indikator makro ekonomi memiliki hubungan negatif yang digambarkan oleh Kurva Phillips. Sejak saat itu, Kurva Phillips menjadi salah satu landasan pemerintah dalam menentukan kebijakan pemerintah dan digunakan sebagai alat analisis dalam menentukan target inflasi agar tidak mengorbankan tingkat

(23)

pengangguran yang lebih besar pada suatu negara. Seiring dengan teori Kurva Phillips, maka otoritas moneter dapat mempertahankan tingkat pengangguran yang lebih rendah secara permanen dengan menerima beberapa derajat inflasi.

Kebijakan moneter dan fiskal yang dikelola secara aktif dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat tenaga kerja secara maksimum sepanjang waktu.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solikin (2004) yang mengkaji “Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia:

Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas”. Dari kajian yang dilakukannya disimpulkan bahwa fenomena Kurva Phillips eksis dalam perekonomian Indonesia, dimana keberadaan dan perilaku kurva tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan struktur fundamental perekonomian (regime dependent). Secara khusus, pola pembentukan ekspektasi dan linieritas dalam Kurva Phillips mengalami perbedaan (perubahan) yang signifikan antara periode pra dan pasca krisis ekonomi.

Masih sejalan dengan pernyataan Solikin, Maichal pada tahun 2012 menganalisis mengenai Kurva Phillips di Indonesia dengan menggunakan Generalized Method of Moments (GMM). Hasil penaksiran dengan menggunakan metode GMM pada hybrid model dari new Keynesian Phillips Curve menunjukkan bahwa fenomena Kurva Phillips eksis di perekonomian Indonesia.

Eksistensi dari fenomena kurva phillips di Indonesia cenderung disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi inflasi dan inflasi aktual dari variabel- variabel guncangan seperti perubahan nilai tukar atau harga minyak mentah dunia.

Namun, banyak studi yang kini menunjukkan bahwa hubungan antara inflasi dengan pengangguran tidak lagi berbanding terbalik. Seperti dalam penelitian

(24)

yang dilakukan oleh Amri (2008) yang berjudul “Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia”, menemukan bahwa penggambaran Kurva Phillips yang menghubungkan inflasi dengan tingkat penggangguran untuk kasus Indonesia tidak tepat digunakan sebagai kebijakan untuk menekan tingkat pengangguran. Hasil analisis statistik pengujian pengaruh inflasi terhadap pengangguran selama periode 1980 – 2005 seperti terlihat hasil analisis statistik di bawah ini juga membuktikan secara meyakinkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara inflasi dengan tingkat pengangguran.

Masih sejalan dengan penelitian sebelumnya, Sopianti et al (2011) dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Inflasi dan Upah Minimum terhadap Jumlah Pengangguran di Bali” juga menemukan hubungan yang positif antara inflasi dan pengangguran di Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan upah minimum secara simultan berpengaruh signifikan terhadap jumlah pengangguran di Bali. Variabel tingkat inflasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah pengangguran di Bali, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan upah minimum secara parsial tidak berpengaruh terhadap jumlah pengangguran di Bali.

Sukarsih et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Studi Empiris Kurva Phillips New Keynesian di Indonesia” juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan yang positif antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran sehingga menunjukkan berlakunya NKPC (New Keynesian Phillips Curce) dalam kasus inflasi di Indonesia. Sehingga dalam upaya mengendalikan tingkat inflasi, penting adanya pengendalian tingkat pengangguran. Pengendalian tingkat

(25)

pengangguran dapat dilakukan dengan upaya peningkatan lapangan-lapangan pekerjaan baru. Peningkatan lapangan-lapangan pekerjaan baru antara lain dengan mendorong peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.

Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN (2014) yang menganalisis tentang “Keberadaan Tradeoff Inflasi dan Pengangguran (Kurva Phillips) di Indonesia”. Dari hasil analisisnya ditemukan bahwa Kurva Phillips yang menggambarkan tradeoff antara inflasi dan pengangguran tidak berlaku di Indonesia karena inflasi di Indonesia tidak disebabkan oleh permintaan agregat melainkan kenaikan harga, misalnya akibat kenaikan BBM. Kecenderungan yag sesuai dengan kurva Phillips didapatkan dari hubungan antara pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. Antara pengangguran dengan inflasi tidak dapat diprioritaskan mana yang akan ditangani terlebih dahulu, semuanya tergantung pada kondisi perekonomian.

Penanggulangan pengangguran merupakan komitmen nasional serta dibutuhkan kebijakan makro dan mikro dalam penanganannya.

Hubungan yang positif juga ditemukan dalam menggambarkan hubungan antara inflasi dan pengangguran di Kota Palopo. Ilham (2015) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Hubungan Kausalitas Pengangguran, Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Kota Palopo” dengan menggunakan metode Spearman Correlation, menemukan adanya hubungan yang positif antara antara inflasi dan pengangguran di Kota Palopo dari tahun 2007-2013. Maravian et al (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat inflasi tidak memiliki hubungan terhadap jumlah pengangguran. Mengadaptasi dari Kurva Phillips, menunjukkan bahwa analisis Kurva Phillips yang menggambarkan hubungan

(26)

tingkat inflasi dengan pengangguran tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan inflasi di Indonesia disebabkan oleh kenaikan harga barang, bukan kenaikan permintaan akibat kenaikan upah yang tinggi.

Pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Astuti (2016) dalam penelitian yang mengkaji tentang “Analisis Kurva Phillips dan Hukum Okun di Indonesia tahun 1986-2016”. Dengan menggunakan metode Analisis Korelasi, ia menemukan bahwa bahwa terdapat hubungan yang negatif tetapi tidak signifikan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia pada tahun 1986 – 2016. Hal ini terjadi karena inflasi yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan karena naiknya jumlah permintaan agregat (demand-pull inflation) yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat pengangguran, tetapi kenaikan inflasi di Indonesia pada umumnya disebabkan karena naiknya biaya produksi seperti harga BBM, tarif listrik ataupun biaya produksi lainnya (cost-push inflation).

Pendapat mengenai adanya trade off jangka panjang antara inflasi dengan pengangguran merupakan suatu kesalahpahaman mengenai kebijakan moneter.

Kenyataannya, isu mengenai tingkat pengangguran maupun tingkat inflasi di berbagai negara ataupun daerah di dunia ditanggapi berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan prioritas negara ataupun daerah tersebut. Tentunya, terdapat berbagai perbedaan karakteristik negara atau daerah sesuai dengan tingkat pendapatan negara atau daerah tersebut sehingga mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan. Negara-negara maju maupun daerah yang mempunyai pendapatan regional yang stabil cenderung memiliki sistem kebijakan moneter yang kuat, sehingga tingkat pengangguran juga cenderung konsisten.

(27)

Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten dan kota merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia. Namun disayangkan, pendapatan regional daerah ini belum kokoh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang stabil sehingga masalah inflasi dan pengangguran menjadi salah satu masalah terbesar yang masih terus diperhatikan. Karena inflasi dan pengangguran memiliki hubungan erat seperti yang dijelaskan dalam Kurva Phillips, maka perlu kebijakan yang sesuai dalam mengatasi masalah inflasi di Sumatera Utara agar dalam menekan angka inflasi tidak berdampak pada melonjaknya angka pengangguran di Sumatera Utara.

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka sangat menarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Eksistensi Teori Kurva Phillips dalam Perekonomian Sumatera Utara Periode 2004-2015”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah apakah Teori Kurva Phillips berlaku atau tidak terhadap inflasi dan pengangguran dalam mempengaruhi perekonomian Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis berlaku atau tidaknya Teori Kurva Phillips terhadap inflasi dan pengangguran dalam mempengaruhi perekonomian Sumatera Utara.

(28)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terutama:

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten/ kota dalam mengambil kebijakan di daerah yang berkaitan dengan inflasi dan pengangguran di daerah Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan referensi yang dapat mendukung bagi peneliti maupun pihak lain yang tertarik dalam bidang penelitian yang sama, serta menambah wawasan mengenai inflasi dan pengangguran bagi masyarakat umum.

(29)

. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Dalam landasan teori, akan dibahas lebih lanjut mengenai teori-teori yang yang berkaitan dengan penelitian. Adapun teori yang akan diuraikan yaitu mengenai inflasi dan pengangguran serta hubungan antara inflasi dan pengangguran .

2.1.1. Teori Inflasi 2.1.1.1.Definisi Inflasi

Inflasi merupakan proses kenaikan harga-harga umum secara terus menerus. Kejadian inflasi akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyrakat.

Hal ini terjadi dikarenakan dalam inflasi akan terjadi penurunan tingkat pendapatan. (Wijayanto, 2007). Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi, yaitu :

1. Kenaikan Harga 2. Bersifat Umum

3. Berlangsung Terus-Menerus

Kenaikan harga suatu komoditi belum dapat menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi apabila kenaikan harga tersebut tidak mengakibatkan harga-harga secara umum naik. Misalnya, apabila pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pada umumnya harga-harga komoditas lain akan ikut naik karena BBM merupakan komoditi strategis, di mana sebagian besar kegiatan ekonomi memerlukan BBM, sehingga kenaikan harga BBM akan merambat pada kenaikan komoditas lainnya. Naiknya harga BBM ini dapat menimbulkan terjadinya inflasi.

(30)

Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan mengakibatkan inflasi apabila kenaikan harga tersebut terjadi hanya sesaat. Karena perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam jangka waktu satu bulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus.

2.1.1.2.Indikator Inflasi

Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur laju inflasi selama satu periode tahun tertentu (Rahardja, 2008). Diantaranya adalah :

1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Dalam IHK, setiap jenis barang ditentukan suatu timbangan atau bobot tetap yang proporsional terhadap kepentingan relatif dalam anggaran pengeluaran konsumen. Masing- masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang paling besar.

Angka inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :

(IHK tahun t) – (IHK tahun t-1)

Inflasi tahun t = x 100%

IHK tahun t-1

Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena

(31)

menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.

2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)

Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu, IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index).

IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi. Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan berdasarkan IHK, yaitu:

(IHPB tahun t) – (IHPB tahun t-1)

Inflasi tahun t = x 100%

IHPB tahun t-1

3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)

Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju inflasi yang sangat terbatas. Sebab dilihat dari metode perhitungannya, kedua indikator tersebut hanya melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan, jenis barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah perekonomian dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok wilayah.

Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator),

(32)

disingkat IHI. Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai berikut:

Harga tahun t

IHI tahun t = x 100%

Harga tahun t-1

Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan angka indeks:

(IHI tahun t) – (IHI tahun t-1)

Inflasi tahun t = x 100%

IHI tahun t-1

2.1.1.3.Jenis Inflasi

Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau dalam suatu negara untuk waktu yang berbeda. Inflasi menurut Samuelson (2001), menyatakan bahwa berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. Merayap (Creeping Inflation)

Laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.

b. Inflasi menengah (Galloping Inflation)

Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang arrinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.

(33)

c. Inflasi Tinggi (Hyper Inflation)

Inflasi yang paling parah dengan ditandai dengan kenaikan harga sampai lima atau enam kali dan nilai uang merosot dengan tajam. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja.

Sebelum kebijakan diambil untuk mengatasi inflasi, perlu terlebih dahulu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi. Menurut teori kuantitas sebab utama timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah uang beredar. Dilihat dari faktor penyebab timbulnya, inflasi dapat dibedakan dalam dua spesifikasi yang dijabarkan sebagai berikut (Sukirno, 2006):

a. Inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation)

Inflasi ini merupakan inflasi yang disebabkan oleh besarnya permintaan masyarakat akan barang-barang. Permintaan total yang berlebihan biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.

Jadi, inflasi ini biasanya terdapat pada masa perekonomian sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya daya beli sangat tinggi. Daya beli yang tinggi akan mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia. Permintaan agregat meningkat lebih cepat (misalnya karena bertambahnya pengeluaran pemerintah

(34)

yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah) dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, akibatnya terjadi inflasi.

*Sumber : Sukirno (2006)

Gambar 2.1

Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)

Gambar 2.1 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat kenaikan permintaan.

Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva permintaan agregat dari AD0 menjadi AD1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga ini menimbulkan terjadinya inflasi . Akibat kenaikan harga ini menyebabkan produk nasional bertambah dari 0Y0 dan 0Y1.

b. Inflasi karena kenaikan biaya-biaya produksi (cost push inflation) Inflasi ini terjadi karena adanya perubahan tingkat penawaran. Kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya

(35)

ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai perekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.

Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produk tersebut, aksi spekulasi (penimbunan) dan lainnya sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.

*Sumber : Sukirno (2006)

Gambar 2.2 Inflasi Dorongan Biaya

(Cost-Push Inflation)

Gambar 2.2 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva penawaran agregat

(36)

dari AS0 menjadi AS1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga ini menyebabkan produk nasional berkurang dari 0Y0 menjadi 0Y1.

Berdasarkan asalnya, maka inflasi dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri atau disebut juga imported inflation (Nopirin, 2004).

1. Inflasi yang berasal dalam negeri (domestic inflation)

Domestic Inflation yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab dari inflasi jenis ini misalnya dari defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan mengeluarkan kebijakan moneter menambah jumlah uang yang beredar berupa pencetakan uang baru, gagal panen dari bahan makanan pokok, dan sebagainya.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

Imported Inflation yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan ekomomi terbuka kecil, sehingga sangat dipengaruhi oleh perekonomian global termasuk tingkat inflasi. Imported inflation juga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia.

Kenaikan harga barang-barang impor yang masuk ke Indonesia akan mengakibatkan: (1) kenaikan indeks harga konsumen karena sebagian dari kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi berasal dari barang-barang import, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan.

(37)

2.1.1.4.Dampak Inflasi

Tidak dapat dipungkiri, sampai pada tingkat tertentu inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan mendorong produsen untuk meningkatkan outputnya. Namun apabila tingkat inflasi sudah melampaui angka yang sewajarnya (≥ 10% per tahun), maka ada beberapa masalah sosial yang muncul.

Menurut Nopirin (2009), inflasi dapat memberikan beberapa dampak sebagai berikut :

1. Kesenjangan Distribusi Pendapatan

Dalam keadaan inflasi nilai harta tetap seperti tanah, rumah, bangunan, pertokoan dan sebagainya akan mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut seringkali lebih cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya pendapatan riil penduduk berpenghasilan rendah merosot, dengan demikian maka inflasi memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan antara anggota masyarakat.

2. Pendapatan Riil Merosot

Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990.

Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari hal tersebut biasanya dalam masa inflasi kenaikan harga cenderung selalu mendahului kenaikan pendapatan. Dengan

(38)

demikian inflasi cenderung menimbulkan kemerosotan pendapatan riil sebagian besar tenaga kerja. Ini berarti kemakmuran masyarakat merosot.

3. Nilai Riil Tabungan Merosot

Bagi masyarakat yang menyimpan sebagian kekayaannya dalam bentuk deposito dan tabungan di Bank, dalam masa inflasi nilai riil tabungan tersebut akan merosot, tidak hanya itu masyarakat yang memegang uang tunai pun akan dirugikan karena penurunan nilai riilnya. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun.

Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang.

Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.

2.1.1.5.Kebijakan Pengendalian Inflasi

Upaya-upaya untuk mengendalikan inflasi dapat berupa penerapan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter (Nopirin, 2009):

1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan maksud untuk mengatasi masalah yang sering dihadapi. Bentuk kebijakan fiskal untuk jangka pendek dapat berupa :

a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran pemerintah

b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan sistem pajak dan jumlah pajak yang ditetapkan

(39)

Untuk jangka panjang, kebijakan fiskal dapat berupa :

a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem pajak yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional.

b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus membuat perundang-undangan terhadap sistem yang ada. Misalnya membuat undang- undang, peraturan-peraturan baru di bidang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral dalam mengatur dan mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan bank sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif. Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :

a. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu membeli dan menjual obligasi pemerintah misalnya sertifikat Bank Indonesia (SBI).

b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam menetapkan tingkat bunga.

c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requirement) yaitu kebijakan dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga keuangan lainnya.

Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara selektif dan moral suasion yaitu, membujuk/menghimbau secara moral masyarakat pengguna jasa bank. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu kebijakan fiskal oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Oleh sebab itu, kedua lembaga ini haruslah saling

(40)

menyesuaikan kebijakan ekonominya dalam mengatasi inflasi atau masalah ekonomi lainnya, sehingga setiap kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik, efisien, dan efektif. Misalnya, untuk menekan laju inflasi langkah yang diambil adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Fiskal, yaitu kebijakan yang dilakukan pemerintah (kementrian ekonomi dan keuangan) untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan memperkecil pengeluaran (G) dan menaikkan pajak (T). Kebijakan ini akan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pembelian terhadap barang konsumsi dan investasi turun.

2. Kebijakan Moneter, yaitu kebijakan yang dilakukan bank sentral dengan sasaran dapat mengurangi penawaran uang (supply of money) atau jumlah uang beredar. Kebijakan tersebut misalnya dengan menaikkan suku bunga dan memperbesar cadangan wajib. Kebijakan ini akan menimbulkan penurunan investasi dan menurunkan konsumsi dalam perekonomian masyarakat.

Untuk mengatasi inflasi, disamping beberapa kebijakan di atas terdapat juga pandangan Klasik dan Keynes yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inflasi, yaitu :

1. Kelompok Ekonomi Klasik

Kelompok klasik ini memberikan formula dengan sebutan cold turkey.

Strategi mengatasi inflasi ini pada dasarnya adalah melakukan pengurangan volume uang yang beredar secara drastis atau cepat. Karena dengan pengurangan volume uang yang beredar ini, tingkat harga, upah akan menyesuaikan diri secara otomatis sesuai dengan pandangan kaum klasik tentang mekanisme hume (Species Flow). Setiap ketidakseimbangan hanya bersifat sementara, akhirnya akan menuju

(41)

keseimbangan. Dengan pengeluaran uang yang berbeda, tingkat harga dan upah mau tidak mau akan menyesuaikan diri terhadap perekonomian.

2. Kelompok Ekonomi Keynesian

Formula yang dikeluarkan oleh kelompok ini disebut dengan gradualism.

Pendapat mereka tentang pengurangan volume uang yang beredar secara drastis akan memberikan dampak yang negatif terhadap tenaga kerja (akan meningkatkan jumlah pengangguran), karena adanya pengurangan aktivitas perusahaan akibat pengurangan jumlah uang yang beredar. Strategi gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka waktu beberapa tahun akan meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian.

2.1.2. Teori Pengangguran 2.1.2.1.Definisi Pengangguran

Dalam definisi ekonomi, pengangguran tidak identik dengan tidak (mau) bekerja. Secara umum, pengangguran didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan tapi secara aktif sedang mencari pekerjaan (Nanga, 2001).

Pengangguran pada prinsipnya mengandung arti hilangnya output dan kesengsaraan bagi orang yang tidak bekerja, dan merupakan suatu bentuk pemborosan sumber daya ekonomi, disamping memperkecil output pengangguran juga memacu pengeluaran pemerintah menjadi semakin lebih tinggi untuk keperluan kompensasi pengangguran dan kesejahteraan. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara maju dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan tunjangan bagi penganggur.

(42)

2.1.2.2.Cara Mengukur Tingkat Pengangguran

Perhitungan secara statistik baku mengenai jumlah pekerja maupun tingkat pengangguran banyak sekali digunakan dalam memperkirakan baik tidaknya suatu perekonomian secara makro sangat penting untuk mengetahui jumlah total dari pekerja dan pengangguran di hitung, yaitu untuk mengawasi jumlah keduanya sebagai bahan untuk membuat suatu kebijakan publik.

Untuk dapat menentukan tingkat (persentase) pengangguran yang terdapat dalam perekonomian, terlebih dahulu perlu untuk menentukan angkatan kerja pada periode tersebut. Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah atau di universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran sukarela – yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan (Nanga, 2001). Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:

L = PL – (IR + MP + PP + PS) dimana :

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)

PL = penduduk dalam lingkungan umur 15 – 64 tahun IR = ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja MP = mahasiswa dan pelajar

PP = pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi

PS = orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari pekerjaan.

Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang sebagai tenaga kerja potensial, mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga

(43)

kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan.

tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan mereka sendiri, memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja yang sebenarnya terdapat dalam perekonomian (L), yang digolongkan sebagai angkatan kerja atau labour force, adalah jumlah tenaga kerja yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas. Perbandingan di antara angkatan kerja yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun dinamakan tingkat partisipasi tenaga kerja (labour participation rate), yang dapat dihitung melalui formula sebagai berikut:

L

Tingkat partisipasi angkatan kerja = x 100%

PL

Setelah sebuah negara mendapat informasi mengenai dua data yang diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat pengangguran dapat ditentukan dengan menggunakan formula berikut:

U

Tingkat pengangguran (%) = x 100%

L dimana :

U = jumlah pengangguran

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja) 2.1.2.3.Jenis Pengangguran

Menurut Sukirno (2006), pengangguran dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain:

a. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya. Dalam kenyataannya para pekerja

(44)

mempunyai preferensi dan kemampuan yang berbeda sehingga penganggur membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan.

b. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur dalam perekonomian.

Sumber: Mankiw (2003)

Gambar 2.3 Kekakuan Upah Riil

Akibat adanya upah riil yang kaku tersebut maka timbul kelebihan penawaran tenaga kerja melebihi permintaan tenaga kerja, sehingga terjadi pengangguran struktural.

c. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Dalam beberapa waktu sebagian pekerja kehilangan pekerjaannya dan sebagian lagi yang mmenganggur diterima bekerja.

Marius (2004) menyatakan bahwa pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau bekerja secara tidak optimal.

(45)

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Pengangguran terbuka

Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang cukup panjang mereka tidak melakukan suatu pekerjaan.. Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja, atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan suatu industri.

2. Pengangguran tersembunyi

Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian atau jasa. Setiap kegiatan ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung pada banyak faktor, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah besar kecilnya perusahaan, jenis kegiatan perusahaan, mesin yang digunakan (apakah intensif buruh atau intensif modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Di banyak negara berkembang seringkali didapatkan jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi adalah lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan supaya ia dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang digunakan digolongkan sebagai pengangguran tersembunyi.

3. Pengangguran Musiman

Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan.

Pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan

(46)

mereka dan terpaksa menganggur. Pada musim kemarau pula para petani tidak dapat mengerjakan tanahnya. Di samping itu pada umumnya para petani tidak begitu aktif di antara waktu sesudah menanam dan sesudah menuai. Apabila dalam masa tersebut para penyadap karet, nelayan dan petani tidak melakukan pekerjaan lain maka mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan sebagai pengangguran bermusim.

4. Setengah menganggur

Pada negara-negara berkembang, berpindahnya penduduk atau migrasi dari

desa ke kota sangat pesat. Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh pekerjaan dengan mudah, sebagiannya terpaksa

menjadi penganggur sepenuh waktu, di samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari jam kerja normal. Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga empat jam dalam satu hari.

Pekerja-pekerja yang mempunyai 25 masa kerja seperti yang dijelaskan ini digolongkan sebagai setengah menganggur (underemployed). Dan jenis penganggurannya dinamakan underemployment..

Kemudian, Marius (2004), menyatakan bahwa bila ditinjau dari sebab-sebabnya, pengangguran dapat digolongkan menjadi 7, yaitu:

a. Pengangguran Friksional (Transisional)

Pengangguran ini bersifat sementara, biasanya terjadi karena adanya kesenjangan waktu, informasi maupun karena kondisi geografis antara pencari kerja dan kesempatan (lowongan kerja). Mereka yang tergolong dalam kategori

(47)

pengangguran sementara pada umumnya rela menganggur (voluntary unemployment) untuk mendapat pekerjaan.

b. Pengangguran Struktural

Pengangguran ini sifatnya mendasar, dimana pengangguran ini disebabkan adanya perubahan atau perkembangan teknologi dalam kegiatan ekonomi, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan lapangan kerja. Pengangguran struktural dilihat dari sifatnya lebih sulit diatasi dibandingkan pengangguran friksional, selain membutuhkan pendanaan yang besar untuk meningkatkan kualitas dan keterampulan tenaga kerja, juga dibutuhkan waktu yang lama. Pengangguran struktural juga disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan.

Kekakuan upah disebabkan gagalnya upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya.

c. Pengangguran Siklus atau Konjungtural

Pengangguran ini disebabkan adanya fluktuasi/siklus dalam perkembangan bisnis atau dikarenakan oleh kemerosotan perekonomian suatu negara. Kemerosotan ekonomi bisa berasal dari dalam negeri dan bisa pula dari luar negeri, seperti: konsumsi, investasi, dan ekspor. Semuanya mendorong permintaan agregat lebih rendah dibandingkan penawaran agregat, dan ini menimbulkan resesi. Contoh: di suatu perusahaan ketika sedang maju butuh tenaga kerja baru untuk perluasan usaha. Sebaliknya ketika usahanya merugi terus maka akan terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pemecatan.

(48)

d. Pengangguran Musiman (Seasonal)

Pengangguran ini dipengaruhi oleh perubahan musim, biasanya bersifat sementara dan terjadi dalam jangka pendek secara berulang-ulang. Contohnya di sektor pertanian, di luar musim tanam atau musim panen akan terjadi pengangguran.

e. Pengangguran Teknologi

Pengangguran ini terjadi karena adanya penggunaan alat–alat teknologi yang semakin berkembang dan dijadikan sebagai pengganti manusia dalam memproduksi suatu barang atau jasa.

f. Pengangguran Politis

Pengangguran ini terjadi karena adanya peraturan kebijakan pemerintah yang secara langsung atau tidak yang mengakibatkan pengangguran.

g. Pengangguran Deflatoir

Pengangguran deflatoir ini disebabkan tidak cukup tersedianya lapangan pekerjaan dalam perekonomian secara keseluruhan, atau karena jumlah tenaga kerja melebihi kesempatan kerja, maka timbulah pengangguran Dalam membicarakan mengenai pengangguran yang selalu diperhatikan bukanlah mengenai jumlah pengangguran, tetapi mengenai tingkat pengangguran yang dinyatakan sebagai persentasi dari angkatan kerja. Untuk melihat keterjangkauan pekerjaan (kesempatan kerja), maka digunakan rumus Tingkat Pengangguran Terbuka.

Dalam Sistem Informasi Rujukan Statistik Badan Pusat Statistik (SIRUSA BPS), definisi dari Tingkat Pengangguran Terbuka ialah persentase penduduk yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari

(49)

pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja dari sejumlah angkatan kerja yang ada.

2.1.2.4.Dampak Pengangguran

Setiap negara selalu akan berusaha agar tingkat kemakmuran masyarakat dapat dimaksimalkan dan perekonomian selalu mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat. Tingkat pengangguran yang relatif tinggi tidak akan memungkinkan masyarakat mencapai tujuan tersebut. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari berbagai dampak buruk yang bersifat ekonomi yang ditimbulkan dari masalah pengangguran (Samuelson, 1992). Dampak buruk pengangguran meliputi:

a. Dampak Pengangguran Terhadap Perekonomian

Pengangguran yang relatif tinggi akan sangat berdampak pada perekonomian suatu negara, antara lain:

1. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Pengangguran menyebabkan penadapatan nasional yang sebenarnya adalah lebih rendah dari pendapatan nasional potensial. Keadaan ini berarti tingkat kemakmuran masyarakat yang dicapai adalah lebih rendah dari tingkat yang mungkin akan dicapainya.

2. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak pemerintah berkurang.

Pengangguran yang diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang rendah, pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh pemerintah akan menjadi semakin sedikit.

(50)

3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran menimbulkan dua akibat buruk kepada sektor swasta. Pertama, pengangguran tenaga kerja biasanya akan diikuti pula dengan kelebihan kapasitas mesin-mesin perusahaan. Keadaan ini jelas tidak akan mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di masa yang akan datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi. Kedua hal tersebut jelas tidak akan menggalakkan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.

b. Dampak Pengangguran Terhadap Mayarakat

Pengangguran akan membawa beberapa akibat buruk terhadap individu dan masyarakat, sebagai berikut:

1. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan pendapatan.

Di negara-negara maju, para penganggur memperoleh tunjangan dari badan asuransi pengangguran, dan oleh sebab itu, mereka masih punya pendapatan untuk membiayai kehidupannya dan keluarganya. Mereka tidak perlu bergantung kepada tabungan mereka atau bantuan orang lain. Di negara- negara sedang berkembang belum terdapat program asuransi pengangguran, dan karenanya kehidupan pengangguran harus dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman keluarga dan teman-teman. Keadaan ini potensial bias mengakibatkan pertengkaran dan kehidupan keluarga menjadi tidak harmonis.

2. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan hanya dapat dipertahankan apabila

(51)

keterampilan tersebut digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerja menjadi semakin merosot.

3. Pengangguran dapat pula menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik.

Kegiatan ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa.

Golongan yang berkuasa akan semakin tidak populer di mata masyarakat, dan adakalanya hal itu disertai pula dengan tindakan demonstrasi dan huru hara.

Kegiatan-kegiatan criminal seperti pencurian dan perampokan dan lain sebagainya akan semakin meningkat.

2.1.3. Kurva Phillips

Dalam artikel yang berjudul “The Relationship Between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”, A.W. Phillips memperlihatkan hubungan negatif antara tingkat kenaikan upah dengan tingkat pengangguran di Inggris. Pada tahun-tahun yang memiliki tingkat pengangguran yang rendah cenderung memiliki tingkat inflasi yang tinggi, dan pada tahun-tahun yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi cenderung memiliki tingkat inflasi yang rendah. Hasil pengamatan ini dituangkan dalam bentuk grafik yang kemudian dikenal sebagai Kurva Phillips (Mankiw, 2012).

2.1.3.1. Definisi Kurva Phillips

Kurva Phillips yaitu sebuah kurva yang menggambarkan trade off antara inflasi dan pengangguran. Kurva Phillips merupakan kurva yang diturunkan dari kurva penawaran agregat jangka pendek: ketika para pembuat

(52)

kebijakan menggerakkan perekonomian sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek, pengangguran dan inflasi bergerak dalam arah berlawanan (Mankiw, 2003). Kurva Phillips adalah salah satu cara yang berguna untuk menunjukkan penawaran agregat, karena inflasi dan pengangguran merupakan ukuran kinerja perekonomian yang penting.

*Sumber : Mankiw (2003)

Gambar 2.4 Kurva Phillips

Berdaasarkan gambar 2.3 tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran memiliki hubungan negatif, dengan asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Kenaikan permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik dan akan diikuti oleh kenaikan harga. Tingginya inflasi sebagai cerminan kenaikan harga maka produsen akan meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (untuk meningkatkan output, tenaga kerja merupakan satu-satunya yang dapat meningkatkan output) untuk memenuhi permintaan tersebut. Dengan adanya peningkatan permintaan tenaga kerja, maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) pengangguran akan mengalami penurunan.

Gambar

Gambar 1.1 Laju Inflasi dan Pengangguran  di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2015 (%)
Gambar 2.2  Inflasi Dorongan Biaya
Gambar 2.3  Kekakuan Upah Riil
Gambar 2.4  Kurva Phillips
+7

Referensi

Dokumen terkait

terlalu menyimpang dari data riil, untuk ini direkomendasikan agar menggunakan data riil dengan probability 0,05-0,01 persen, (b) Perbaiki pola pendekatan yang dilakukan selama ini

Pada hasil p values menunjukkan nilai 0.000 di mana hasil tersebut telah memenuhi persyaratan yaitu p values <0.050 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis

Secara ekonomi, usaha ternak kambing layak diusahakan di daerah penelitian dengan nilai R/C sebesar 1.43, yaitu lebih besar dari 1 (R/C >1).Nilai BEP volume adalah

Pelatihan pengajaran terhadap praktikan diawali dengan pengajaran model selama beberapa hari oleh guru pamong. Dalam pengajaran model ini praktikan menyaksikan

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian mengenai hubungan antara dukungan keluarga emosional dengan perilaku miras pada remaja, yang menunjukkan hasil bahwa 79,4% remaja

CD Elektronik tanaman hias berbasiskan komputer ini dibuat dengan menggunakan Macromedia Flash MX, sehingga dalam pembelajaran akan lebih baik karena tampilan sajiannya yang menarik.

Dengan ini menyatakan bahwa kami adalah penulis/inventor dari karsa Cipta yang berjudul PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA TERHADAP KESIAPSIAGAAN BENCANA DI SMAN 5

Berdasarkan pada tabel tersebut dapat diketahui juga, nilai rata – rata siswa pada tes awal adalah sebesar 23,71 dan presentase ketuntasan belajar sebesar 0%. Hasil tes sangat