• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

2.1.3. Indikator Keluarga Sadar Gizi

Indikator Keluarga Sadar Gizi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Menurut Depkes (2007), ada lima indikator KADARZI yang meliputi: Menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir

sampai umur enam bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A pada balita) sesuai anjuran.

1. Menimbang berat badan secara teratur

Tujuan dari penimbangan secara teratur yaitu untuk mengetahui perubahan berat badan dalam menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan, dengan mengetahui perubahan berat badan yang terjadi keluarga dapat mengenali masalah kesehatan dan gizi anggota keluarganya serta mampu mengatasi masalahnya baik oleh sendiri atau dengan bantuan petugas.

Cara memantau berat badan anak:

a. Anak dapat ditimbang di rumah atau di posyandu atau di tempat lain, b. Berat badan anak dimasukkan ke dalam KMS,

c. Bila grafik berat badan KMS Naik (sesuai garis pertumbuhnnya), berarti anak sehat, bila tidak naik berarti ada penurunan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan dan perlu ditindak lanjuti oleh keluarga atau meminta bantuan petugas kesehatan.

Berat badan balita dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan pada KMS selama enam bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan ditimbang empat kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dari empat kali dianggap belum baik. Bila bayi 4-5 bulan ditimbang tiga kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari tiga kali dinilai belum baik. Bila bayi berusia 2-3 bulan ditimbang dua kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum baik, dan pada

bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang (Depkes RI, 2008).

Menurut penelitian Sihotang (2009) menunjukkan bahwa dari 66 keluarga responden yang diteliti kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator penimbangan yang dikategorikan baik hanya sekitar 40,90% dan kategori tidak baik sebesar 59,10%. Ada beberapa alasan keluarga tidak menimbangkan balitanya antara lain: anak sudah mendapat imunisasi lengkap sehingga ibu merasa tidak perlu membawa anaknya ke posyandu dan alasan bekerja bagi keluarga petani juga sangat mempengaruhi responden mengikuti penimbangan. Kemungkinan hal tersebut di atas dipengaruhi oleh kurang pengetahuan masyarakat tentang manfaat penimbangan.

2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif)

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam- garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak (Winarno 1995 dalam Syafli 2011). Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama, sebab memenuhi syarat-syarat kesehatan. ASI mengandung semua nutrient untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

ASI eksklusif merupakan ASI yang diberikan kepada bayi, sejak lahir sampai bayi berusia enam bulan tanpa minuman dan makanan lain selain ASI. Pentingnya memberikan ASI secara eksklusif pada bayi baru lahir sampai usia enam bulan dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 24 bulan telah memiliki bukti yang kuat.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan perkembangan sosial dan kognitif yang lebih baik dari bayi yang diberi susu formula (Michael S. Kramer, et al, 2003 dalam BAPPENAS, 2011). Begitu juga hasil penelitian Karolina,dkk (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara memberikan ASI Eksklusif dengan status gizi balita.

Pemberian ASI juga memberi manfaat yang besar bagi ibu yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali ke ukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan (Zahraini, 2009).

Saat pemberian ASI, ibu sangat memerlukan dorangan secara aktif dan dukungan emosional dari praktisi pelayanan kesehatan dan anggota keluarga agar berhasil memberikan ASI pada bayinya. Pemberian ASI merupakan praktik yang unik dan bukan hanya memberikan asupan nutrient dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan kesehatan melalui unsur imunulogik pada ASI (Gibney, dkk., 2009).

Morbiditas bayi akibat infeksi saluran pernafasan dan pencernaan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih jarang dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Karena ASI mengandung macam-macam substansi anti- infeksi yang melindungi bayi terhadap infeksi, terutama apabila kebersihan lingkungan yang tidak baik. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan

spesifik dan nonspesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0-6 bulan hanya memperoleh ASI saja tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada tahun 2015 jumlah bayi 0-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan pendamping yang lain yaitu sebesar 80% (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian yag dilakukan oleh Sihotang (2009) bahwa dari 66 responden yang diteliti diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator pemberian ASI eksklusif yang dikategorikan baik hanya 3,03%, hal ini menunjukkan hampir seluruh responden tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

Cara menyusui secara eksklusif: 1. Mulai memberikan ASI segera setelah lahir,

2. Jangan diberikan makanan/minuman lain sampai bayi berumur enam bulan, 3. Berikan ASI melalui payudara kiri dan kanan bergantian setiap kali menyususi, 4. Ibu menyusui perlu minum dan makan lebih banyak dengan menu seimbang.

3. Makan Beraneka Ragam

Makan beraneka ragam berarti pangan yang dikonsumsi memenuhi tiga guna makanan yang diperlukan oleh tubuh yaitu sebagai sumber tenaga (karbohidrat dan

lemak), sumber zat pembangun (protein) dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral).

Makanan beraneka ragam adalah mengkonsumsi makanan 2-3 kali sehari yang terdiri dari empat macam kelompok bahan makanan yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan. Pangan sumber tenaga terdiri dari makanan pokok yaitu padi-padian (beras, jagung dan gandum), pangan sumber zat pembangun terdiri dari lauk pauk yaitu yang berasal dari bahan nabati (kacang-kacangan, tempe, dan tahu) dan pangan yang berasal dari sumber hewani (telur, ayam, daging, dan susu serta hasil olahannya), pangan sumber zat pengatur berasal dari sayuran seperti sawi, kangkung, bayam, daun singkong, dan buah-buahan seperti apel, papaya, jeruk, jambu dll (Khosman dan Anwar, 2008).

Makanan yang beraneka ragam dapat memberikan manfaaat yang besar terhadap kesehatan. Hal itu karena zat gizi tertentu, yang tidak terkandung dalam suatu jenis bahan makanan, akan di lengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan lain, demikian juga sebaliknya. Masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi, sehingga akan memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khosman dan Anwar, 2008). Selain itu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan juga dapat menurunkan risiko untuk terkena masalah gizi dan penyakit infeksi, sebagaimana hasil penelitian Sugimah (2009) yang menyatakan bahwa makan beraneka ragam memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi balita.

Saat ini penerapan makan beraneka ragam dimasyarakat belum begitu baik, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Sihotang (2009) bahwa dari 66 keluarga

responden, diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator keanekaragaman makanan sebahagian besar dikategorikan tidak baik yaitu 90,90% dan yang dikategorikan baik hanya 9,10%.

4. Menggunakan Garam Beryodium

Garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai dengan Keppres No.69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium (Sari, dkk 2008). Fungsi Iodium dalam tubuh manusia yaitu untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh tubuh yang bermanfaat dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Gabriel, 2008).

Gejala kekurangan iodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid membesar (gondok), pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan dalam pertumbuhan atau yang sering dikenal sebagai kretinisme. Kekurangan iodium pada anak-anak dapat menyebabkan kemampuan belajar yang rendah (Almatsier, 2009).

Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga mengandung yodium atau tidak secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melihat ada tidaknya label garam beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jika berlabel yodium dan bila ditest dengan yodina berwarna ungu, tidak baik jika tidak berlabel dan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah (Depkes RI, 2007 dalam Sihotang, 2009).

Menurut BPS-UNICEF dalam Sihotang (2009) yodium merupakan salah satu mineral esensial hingga keadaan kekurangan akan menggangu kesehatan dan pertumbuhan, walaupun garam yang dibeli mengandung yodium yang cukup. Penanganan dan cara penyimpanan oleh rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan yodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang. Hasil penelitian Sihotang (2009) terhadap garam yang digunakan oleh 66 keluarga responden dengan menggunakan test yodina dapat diketahui bahwa seluruh responden menggunakan garam beryodium. Namun pengetahuan responden tentang cara menggunakan garam beryodium masih kurang. Masih banyak responden yang menggunakan garam pada awal/saat proses pemasakan, menyimpan garam beryodium dengan meletakan pada wadah terbuka atau tetap pada plastik kemasan dengan kondisi terbuka.

Menurut Zahraini (2009), yodium dalam garam dapat dipertahankan kualitasnya dengan penyimpanan dan penggunaan yang baik dan benar, seperti berikut:

a. Disimpan pada wadah yang tertutup rapat dan tidak terkena sinar matahari.

b. Apabila garam disimpan dalam kemasan plastik pada kelembaban nisbi 70-80% maka dapat bertahan selama enam bulan, tetapi kandungan yodiumnya akan hilang sebanyak 7% tergantung dari ketinggian suatu daerah dari permukaan laut.

c. Garam disimpan di tempat yang kering dan jauh dari sumber panas seperti kompor, karena garam bersifat higroskopis (mudah menyerap air).

d. Sebaiknya garam ditambahkan setelah selesai memasak karena yodium akan merosot drastis hingga 0 ppm ketika bercampur dengan cabai, merica, ketumbar

dan terasi. Selain itu juga agar kerusakan yodium sebanyak 20% selama proses memasak bila dikurangi.

5. Memberikan Suplemen Gizi (Kapsul Vitamin A Pada Balita)

Suplemen adalah kombinasi dua atau lebih vitamin dan zat mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Suplemen dapat berupa gabungan dari berbagai macam vitamin atau zat lain seperti asam amino. Jenis suplemen tunggal bisa terdiri dari kalsium, zinc, vitamin, asam folat, dan lain-lain. Suplemen tidak diperlukan selama pengolahan makanan menerapkan pola gizi seimbang. Asupan gizi paling bagus adalah dari makanan (Yokozu, 2009 dalam Damanik, 2011).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Sumber vitamin A yang berasal dari bahan pangan adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), mentega, sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, bayam, kacang panjang, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, dan jeruk (Almatsier, 2009).

Kurang Vitamin A (KVA) pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, meningkatkan resiko kesakitan dan meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier, 2009).

Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A pada bayi dan balita diperlukan penambahan kapsul vitamin A yang diberikan pada bulan Februari dan Agustus yaitu dengan pemberian vitamin A dosis tinggi 100.000 SI (kapsul biru) untuk balita umur

6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul merah) untuk balita umur 12-59 bulan yang dapat diperoleh di posyandu maupun di puskesmas (Depkes RI, 2007).

Dokumen terkait