D. Analisis Potensi dan Kualitas Indikator Pertumbuhan PDRB
3. Indikator Kemiskinan
Pembangunan daerah dilaksanakan untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi lebih berarti jika diikuti oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Kegiatan perekonomian yang bermuara pada orientasi pemerataan akan mengurangi masalah kemiskinan.
Ukuran kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di Indonesia dan dinyatakan sebagai “inability of the individual to meet basic needs” (Tjondronegoro, Soejono dan Hardjono, 1993). Konsep tersebut sejalan dengan Amartya Sen (Meier, 1989) yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah “the failure to have certain minimum capabilities”. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu mencukupi kebutuhan minimum tersebut dapat dianggap sebagai miskin
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar
kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang harus dipenuhi
Analisis Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012-2016 39
digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Uppal (1985) menyebutkan garis pembatas tersebut sebagai garis kemiskinan
(poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold).
Garis kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo kalori per
kapita per hari dan kebutuhan minimum non-makanan yang mendasar, seperti perumahan,
pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang dan jasa lainnya. Biaya untuk membayar 2.100 kilo kalori per kapita per hari disebut sebagai Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan biaya untuk membayar kebutuhan minimum non makanan mendasar disebut sebagai Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari Garis Kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin. Persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan merupakan indikator kemiskinan yang sering digunakan dan biasa disebut
Head Count Index (HCI).
Kajian tentang kemiskinan tidak cukup hanya mempelajari jumlah dan persentase penduduk miskin saja yang diukur dari metode HCI. Salah satu kelemahan metode HCI adalah tidak memperhitungkan kedalaman kemiskinan serta ketimpangan sebaran pada kelompok miskin (distribution among the poor). Dua indikator berikut ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji dalam melihat perubahan tingkat hidup penduduk miskin. Indikator tersebut adalah Indeks Kedalaman Kemiskinan (poverty gap index atau
P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (poverty severity index atau P2).
Penurunan angka pada P1 mengindikasikan adanya perbaikan secara rata-rata pada
kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin dan garis kemiskinan. Hal ini juga berarti bahwa rata-rata dari penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan, yang mengidentifikasikan berkurangnya kedalaman dari insiden kemiskinan. Sedangkan
penurunan dari P2 mengidentifikasikan berkurangnya (membaiknya) ketimpangan di antara
penduduk miskin.
Pada tahun 1994 Foster, Greer, dan Thorbecke (FGT) memperkenalkan suatu rumusan yang mengandung tiga jenis indikator kemiskinan. Rumusan FGT inilah yang kemudian digunakan sebagai indikator kedalaman dan keparahan kemiskinan, dengan formula sebagai berikut :
   
 
 
Q 1 j jZ
Y
Z
N
/
1
P
………(3.20) Keterangan: P = Indeks kemiskinan (  = 0,1,2) N = Jumlah penduduk Z = Garis kemiskinan40 Analisis Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012-2016
Q = Banyaknya penduduk miskin
Pengeluaran penduduk miskin perkapita dapat langsung dihitung dari hasil SUSENAS yang menggambarkan perbedaan antara pengeluaran si miskin (proxy pendapatan) dengan garis kemiskinan. Perbedaan tersebut dinyatakan dengan :
dj= Z - Yj ………...(3.21)
bila persamaan ini dimasukkan ke dalam rumus FGT di atas, maka akan diperoleh :
   
 
 
Q 1 j jZ
d
N
/
1
P
………...(3.22)Keterangan: dj/Z disebut rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio).
Gambar 3.4
Plot Pengeluaran Per kapita dan Garis Kemiskinan
Gambar 3.4 adalah plotting pengeluaran per kapita (Yj) dengan garis kemiskinan (Z).
Jarak antara pengeluaran perkapita penduduk miskin terhadap batas kemiskinan
ditunjukkan oleh setiap titik dj yang terdistribusikan di bawah garis kemiskinan. Golongan
penduduk sekitar garis miskin relatif lebih mudah ditanggulangi, tetapi rentan terhadap perubahan harga. Jika harga naik menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke atas, maka
mereka yang berada di atas garis kemiskinan akan mudah jatuh ke dalam kategori penduduk miskin. Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke bawah, maka mereka akan masuk ke dalam kategori penduduk tidak miskin. Golongan penduduk seperti inilah yang dikenal sebagai the near non-poor yang sensitif terhadap perubahan harga.
Dari rumusan FGT diperoleh tiga macam indeks, yaitu :
i. Jika  = 0 maka P0 = Q/N rasio ini tidak lain adalah Head Count Index, dan bila
dikalikan dengan 100 menjadi persentase penduduk miskin. Jika 20 persen dari total penduduk diklasifikasikan sebagai miskin, maka P0 = 0,2.
dj dj
Yj dj
Analisis Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012-2016 41
ii. Jika  = 1 maka P1 menunjukkan ukuran Indeks Kedalaman Kemiskinan (poverty
gap index). P1 merupakan persentase rata-rata kesenjangan antar pengeluaran penduduk miskin di bawah garis kemiskinan terhadap jumlah seluruh penduduk (baik yang di bawah atau di atas garis kemiskinan). Misal P1 = 0,15 ini berarti bahwa kesenjangan antara total pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan terhadap seluruh rumahtangga (baik rumahtangga miskin atau tidak miskin) adalah sebesar 15 persen. Karena nilai P1 belum menggambarkan
kesenjangan riil yang dihadapi oleh penduduk miskin, maka nilai P1 harus dikoreksi
dengan jumlah penduduk yang berada di atas GK dengan rumus:
……….(3.23)
Rasio P1/P2 merupakan persentase rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan, atau dengan kata lain rasio tersebut merupakan rata-rata kesenjangan taraf hidup yang diukur dengan pengeluaran.
iii. Jika  = 2 maka P2 menunjukkan ukuran Indeks Keparahan Kemiskinan (poverty
severity index atau distribution sensitive index) yang menggambarkan ketimpangan antar penduduk miskin. Tidak seperti dua ukuran terdahulu, ukuran ini sensitif terhadap penyebaran pengeluaran (proxy pendapatan) yang terjadi di antara penduduk miskin, dan juga dapat dipakai untuk mengetahui intensitas kemiskinan (severity). Ukuran ini dianggap yang paling memenuhi aksioma-aksioma untuk ukuran kemiskinan yang diinginkan oleh berbagai literatur, termasuk Amartya Sen (1976) dengan ‘transfer axiom’-nya, yaitu jika terjadi transfer pengeluaran dari penduduk miskin kepada penduduk yang lebih miskin berarti secara rata-rata telah terjadi suatu penurunan kemiskinan (BPS, 1992).
4. Indikator Ketimpangan (Disparitas)