Penyedia Barang Dan Jasa Serta Jasa Profesi” Periode
D. Indikator ( Red Flag ) Transaksi Keuangan
Mencurigakan Dengan
Indikasi Tindak Pidana
Korupsi Periode Tahun 2011
-2015
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang merupakan bagian atas Rezim Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di Indonesia memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi yang dicurigai berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana maupun yang terkait dengan pendanaan terorisme kepada unit intelijen keuangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai upaya untuk mendeteksi kegiatan pencucian uang lebih dini. Sebagaimana tercantum dalam rekomendasi FATF no. 34 serta immediate outcome 4 pada Methodology for Assessing Technical Compliance with the FATF Recommendations and the Effectiveness of AML/CFT Systems, dimana pihak pelapor seperti lembaga keuangan, penyedia barang dan jasa dan profesi diharapkan untuk menerapkan upaya pencegahan pencucian uang maupun pendanaan terorisme sesuai dengan risikonya dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Sejalan dengan kewajiban PJK tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki kewenangan sesuai Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 Pasal 41 ayat 1 huruf b yaitu menetapkan Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Riset Tipologi Semester I Tahun 2016 dengan judul “Indikator (red flag) Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan Indikasi Tindak Pidana Korupsi periode
data 2011- 2015” dilakukan oleh tim riset melalui pengumpulan putusan tersebut dan diperoleh 30 (tiga puluh) nomor registrasi putusan perkara pencucian uang hasil tindak pidana korupsi yang menjadi basis data pada penelitian ini, serta data tambahan berupa hasil kuesioner serta wawancara kepada pihak penyedia jasa keuangan dalam rangka untuk mengetahui indikator (red flag) Transaksi Keuangan Mencurigakan berdasarkan Data Putusan Pengadilan atas perkara Tindak Pidana Pencucian Uang.
Melalui riset ini, beberapa redlfag transaksi keuangan yang sering terjadi dan terkait dengan tindak pidana korupsi diantaranya adalah:
a. Pemindahan dana kepada pihak yang tidak mempunyai hubungan bisnis yang jelas.
b. Pengguna jasa (pengusaha) me- nyetorkan dana dalam jumlah yang besar dimana rekening tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain (pejabat) dengan melakukan penarikan ATM di lokasi yang berbeda-beda dalam frekwensi yang tinggi.
c. Pengguna jasa (pengusaha)
menyetorkan dana dalam jumlah yang besar ke rekening pihak lain dimana rekening tersebut dan kartu ATM dimanfaatkan oleh pejabat dengan melakukan penarikan ATM di lokasi yang berbeda-beda dalam frekwensi yang tinggi.
d. Pembayaran untuk pelunasan
pembelian aset dilakukan oleh pihak lain yang tidak memiliki hubungan yang jelas dengan Pengguna Jasa e. Pencairan kredit modal kerja kepada
Pengguna Jasa (rekanan pemerintah) dimana pengajuannya tanpa adanya jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Surat Kontrak Kerja, karena adanya
intervensi dari Pejabat Pemerintah Pemberi Kerja
f. Penutupan polis asuransi oleh Pengguna Jasa (pejabat) dengan nominal besar dimana pembayaran pencairan polis asuransi tersebut ditransfer ke rekening Pengguna Jasa di bank yang berbeda-beda.
g. Pengguna jasa melakukan transaksi setor tunai via mesin setor tunai/ Cash Deposit Machine (CDM) dengan frekuensi tinggi dan jumlah yang signifikan yang dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan.
E. Indikator Transaksi
Keuangan Mencurigakan
Pada Kasus-Kasus Tindak
Pidana Narkotika
Hasil Penilaian Risiko Nasional Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2015 menunjukkan bahwa tindak pidana asal yang paling berisiko menjadi sumber dana tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana narkotika. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya risiko tindak pidana narkotika terhadap tindak pidana pencucian uang adalah karena tindak pidana narkotika menghasilkan dana atau harta kekayaan yang sangat besar, sehingga para pelaku pada umumnya akan berusaha untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, tindak pidana narkotika memiliki potensi yang besar menimbulkan transaksi keuangan mencurigakan pada lembaga Penyedia Jasa Keuangan.
PPATK telah menerbitkan pedoman identifikasi transaksi keuangan men- curigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan melalui Surat Edaran Kepala PPATK No: SE- 03/1.02/PPATK/05/15 tentang Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi
Penyedia Jasa Keuangan. Surat Edaran tersebut memuat 140 (seratus empat puluh) indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. Dalam Surat Edaran Kepala PPATK tersebut disebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan dihimbau untuk menyusun, menetapkan dan melakukan pemutakhiran atas parameter Transaksi Keuangan Mencurigakan. Salah satu cara untuk melengkapi dan menyempurnakan parameter atau indikator tersebut adalah dengan mengidentifikasi indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terdapat pada Putusan Pengadilan, Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP).
Tim riset PPATK melakukan riset ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi indikator transaksi keuangan mencurigakan pada Putusan Pengadilan dan HA/HP. Putusan Pengadilan dan HA/HP yang menjadi basis data adalah Putusan Pengadilan dan HA/HP terkait tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika dengan periode data tahun 2011-2015. Melalui proses pengumpulan data diperoleh basis data putusan sejumlah 16 (enam belas) nomor registrasi putusan yang dikelompokkan menjadi 11 (sebelas) putusan (karena terdapat beberapa putusan yang saling berkaitan) serta basis data HA/ HP sejumlah 19 (sembilan belas) laporan. Pengumpulan data juga dilakukan melalui kuesioner dan wawancara kepada para penyidik narkotika. Data yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara tersebut digunakan sebagai bahan tambahan dalam menganalisis hasil identifikasi indikator transaksi keuangan mencurigakan pada Putusan Pengadilan dan HA/HP. Selain identifikasi indikator transaksi keuangan mencurigakan, penelitian ini juga melakukan analisis terhadap karakteristik
unsur kasus pada putusan dan HA/HP yang menjadi basis data. Unsur kasus yang dimaksud meliputi: karakteristik profil, pihak pelapor, jenis transaksi, jenis aset, wilayah dan yurisdiksi asing terkait.
Dalam riset ini, tim riset PPATK menemukan bahwa terdapat 19 (sembilan belas) indikator transaksi keuangan mencurigakan yang terdapat pada Putusan Pengadilan dan/atau HA/HP terkait tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika. Di antara indikator- indikator tersebut terdapat 10 (sepuluh) indikator yang belum terdapat dalam Surat Edaran Kepala PPATK No: SE-03/1.02/ PPATK/05/15, yaitu sebagai berikut:
a. Transaksi dana masuk didominasi oleh transaksi setor tunai via mesin setor tunai dalam frekuensi yang tinggi dengan total dana yang besar.
b. Pengguna Jasa sering melakukan transaksi dengan para pihak yang sudah menjadi tersangka/terdakwa/ terpidana tindak pidana narkotika. c. Keterangan transaksi memuat kode
atau istilah tertentu.
d. Pengguna Jasa sering melakukan dengan penyidik narkotika atau pegawai Lapas/Rutan (termasuk keluarga) tanpa underlying transaksi yang jelas.
e. Pengguna Jasa sering melakukan transaksi dengan pihak yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait dugaan tindak pidana narkotika.
f. Rekening perorangan menerima dana masuk dari ribuan pengirim yang berbeda-beda.
g. Transaksi tarik tunai dengan frekuensi tinggi di wilayah lintas batas negara (cross border) yang rawan peredaran narkotika.
h. Pengguna Jasa menerima dana hanya dari beberapa pihak saja dengan total nominal yang sangat besar, kemudian ditransfer ke banyak pihak dengan nominal yang kecil.
i. Terdapat transaksi yang masih aktif pada rekening dengan identitas yang sudah tidak berlaku lagi.
j. Pengguna Jasa sering melakukan transaksi dengan pihak yang terkena sanksi dari OFAC (Office of Foreign Asset Control).
Berdasarkan analisis terhadap unsur kasus pada Putusan Pengadilan dan HA/ HP yang menjadi basis data, diketahui bahwa profil utama yang menjadi pelaku/ terduga pelaku pencucian uang dari hasil tindak pidana narkotika adalah laki-laki, dengan profesi sebagai pedagang, berusia antara 25-44 tahun. Adapun Penyedia Jasa Keuangan yang paling sering menjadi sarana transaksi pencucian uang dari hasil tindak pidana narkotika adalah bank, khususnya transaksi berupa transfer dana via ATM. Berdasarkan jenis asetnya diketahui bahwa kendaraan bermotor merupakan jenis aset yang paling sering diintegrasikan sebagai hasil pencucian uang dari tindak pidana narkotika. Dilihat dari sisi tempat kejadiannya (locus), provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang paling dominan terkait. Sementara yurisdiksi asing yang paling sering terkait dengan pencucian uang hasil tindak pidana narkotika yang terjadi di Indonesia adalah Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan indikator transaksi keuangan mencurigakan yang teridentifikasi dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan atau pemutakhiran dokumen indikator transaksi keuangan mencurigakan pada Penyedia Jasa Keuangan. Pemahaman
konsep dan penerapan undang-undang pencucian uang juga perlu ditingkatkan mengingat perkara pencucian uang hasil tindak pidana narkotika masih sangat sedikit dibandingkan dengan tindak pidana narkotika itu sendiri. Selain itu, penerapan Single Identity Number (Nomor Identitas Tunggal) perlu dilakukan segera untuk menghindari penggunaan identitas palsu mengingat hal ini sering dijadikan sebagai modus pembukaan rekening dalam rangka transaksi jual beli narkotika.
F. Indikator (Red Flag)
Transaksi Keuangan
Mencurigakan Di Bidang
Pasar Modal (Periode Data:
2011-2015)
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) di bidang pasar modal adalah salah satu pihak pelapor di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jika dibandingkan dengan industri lainnya, jumlah pelaporan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) oleh perusahaan efek relatif sedikit. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pelaku industri tidak mengerti mengenai ketentuan LTKM dan sulit menentukan transaksi keuangan yang mencurigakan. PPATK sebagai unit intelijen keuangan yang bertugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme telah menerbitkan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 ten- tang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No: PER-04/1.02/PPATK/03/2014. Peraturan tersebut telah ditindaklanjuti melalui
peraturan pelaksanaan berupa Surat Edaran Kepala PPATK No: SE-03/1.02/ PPATK/05/15 tentang Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Dengan ditetapkannya SE tersebut pada Mei 2015, seharusnya para pelaku industri di bidang pasar modal dapat lebih mengerti transaksi keuangan seperti apakah yang mencurigakan dan patut dilaporkan ke PPATK. Namun, mengingat baru ditetapkannya SE tersebut, sementara kewajiban pelaporan PJK di bidang pasar modal ke PPATK sudah dimulai sejak tahun 2003, tentunya perusahaan efek sebelumnya telah menggunakan indikator yang dikembangkan sendiri.
Dengan demikian, riset ini bertujuan untuk mengetahui indikator transaksi keuangan mencurigakan apa sajakah yang sebelumnya digunakan di PJK di bidang pasar modal. Riset ini juga dilakukan tim bertujuan untuk mengetahui relevansi SE dengan LTKM yang telah dilaporkan PJK di bidang pasar modal dan indikator transaksi yang sebelumnya telah digunakan di perusahaannya. Dengan penelusuran data kuesioner dan wawancara, riset ini juga diharapkan dapat memperoleh indikator yang perlu diketahui PJK di bidang pasar modal di masa yang akan datang dalam menentukan transaksi keuangan yang mencurigakan. Tak hanya indikator transaksi keuangan mencurigakan, riset ini juga menampilkan statistik (deskripsi dan tren) dari profil terlapor LTKM, wilayah pelaporan LTKM dan indikasi tindak pidana dari LTKM yang dilaporkan PJK di bidang pasar modal yang dapat digunakan untuk penentuan kebijakan berbasis risiko di masa yang akan datang.
Riset dilakukan oleh tim riset PPATK dengan menganalisis data 2.399 LTKM dari 87 perusahaan efek, pengiriman kuesioner
ke 35 perusahaan efek dan wawancara ke 20 perusahaan efek. Metode analisis yang digunakan adalah analisis statistika deskriptif dan analisis konten. Dari 35 kuesioner yang dikirimkan, 25 kuesioner kembali, sehingga response rate adalah 71%. Berdasarkan hasil analisis data LTKM, tim riset mengidentifikasi 87 alasan mengapa suatu LTKM dilaporkan ke PPATK. Empat alasan di antaranya sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pasal 1 ngka 5 (Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan) dan 83 sisanya adalah alasan lain yang merupakan penjelasan atau berbeda dari Pasal 1 angka 5 tersebut. Dari 87 alasan tersebut, terdapat kurang lebih 20 alasan yang kurang lebih sama atau mirip dengan indikator sesuai dengan SE-03/1.02/PPATK/05/15 (selanjutnya disebut SE-03). Sementara itu, indikator yang tidak termasuk dalam SE-03 tersebut ada 63 indikator.
Beberapa poin hasil riset ini menujukan bahwa dari sampel kuesioner yang kembali, seluruhnya telah memiliki pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan sebelum terbitnya SE- 03/1.02/PPATK/05/15. Dari analisis jawaban kuesioner, responden menyebut 205 indikator yang telah digunakan di perusahaannya yang menurutnya sesuai dengan indikator dalam SE-03. Ditemukan ternyata 177 indikator atau 86% telah sesuai dengan SE-03. Sedangkan untuk indikator yang tidak termasuk dalam SE-03, responden menyebutkan sekitar 49 indikator. Pada saat wawancara, 20 responden menyebutkan 21 indikator transaksi keuangan mencurigakan yang digunakan di perusahaannya. Indikator yang disebutkan dalam wawancara umumnya tidak termasuk dalam SE-03. Indikator transaksi keuangan mencurigakan yang diperoleh dari kuesioner dan
wawancara rata-rata berhubungan dengan pola transaksi, sementara indikator yang umumnya muncul dalam LTKM lebih terkait kepada profil. Indikator yang menurut responden akan berkembang di masa yang akan datang ada sekitar 15 indikator. Indikator tersebut antara lain penggunaan nominee, transaksi yang dilakukan di pasar negosiasi, transaksi atas efek yang tidak likuid, dan transaksi dengan indikasi informasi orang dalam. Profil terlapor LTKM umumnya adalah pria, dan pekerjaan utama pihak terlapor umumnya adalah ibu rumah tangga, pegawai swasta, pengusaha/ wiraswasta, PNS termasuk pensiunan, dan pekerjaan lain-lain. Wilayah pelaporan LTKM umumnya adalah DKI Jakarta, karena umumnya kantor pusat perusahaan efek berada di Jakarta.
Indikasi tindak pidana yang umum ditemukan dalam LTKM adalah tindak pidana di bidang pasar modal, korupsi, dan penggelapan. Tren LTKM meningkat dari tahun 2011 ke 2012, meningkat dari 2012 ke 2013, lalu menurun dari 2013 hingga 2015. Tren jenis kelamin terlapor laki-laki pada umumnya dari tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan. Tren pekerjaan utama pihak terlapor pada umumnya mengikuti tren LTKM, namun tren yang agak berbeda terlihat pada PNS, Pegawai BI/BUMN/BUMD (termasuk pensiunan), pelajar/mahasiswa, TNI/POLRI (termasuk pensiunan), pejabat lembaga legislatif dan pemerintah, profesional dan konsultan, pengajar dan dosen, dan pegawai bank, di mana profil-profil tersebut justru mengalami peningkatan dari tahun 2014 ke 2015.
Indikasi tindak pidana di bidang pasar modal memiliki tren yang menurun dari tahun 2011 ke 2012, lalu naik lagi antara tahun 2012 ke 2013, dan menurun dari tahun 2013 hingga 2015. Tindak pidana
korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan menunjukkan tren yang fluktuatif dari 2011 ke 2015. Penyuapan menampakkan tren turun antara 2011 hingga 2015. Penggelapan tampak secara umum memiliki tren naik dari tahun 2011 hingga 2013, namun tidak mengalami kenaikan atau penurunan antara tahun 2013 hingga 2015.
G. Indikator Transaksi
Keuangan Mencurigakan
Berdasarkan Putusan
Pengadilan Atas Perkara
Tindak Pidana Pencucian
Uang
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang merupakan bagian dari rezim anti pencucian uang di Indonesia memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi yang dicurigai berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana maupun yang terkait dengan pendanaan terorisme kepada unit intelijen keuangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai upaya untuk mendeteksi kegiatan pencucian uang lebih dini. Sebagaimana tercantum dalam rekomendasi 20 FATF serta immediate outcome 4 pada Methodology for Assessing Technical Compliance with the FATF Recommendations and the Effectiveness of AML/CFT Systems, dimana pihak pelapor seperti lembaga keuangan, penyedia barang dan jasa dan profesi diharapkan untuk menerapkan upaya pencegahan pencucian uang maupun pendanaan terorisme sesuai dengan risikonya dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Sejalan dengan kewajiban PJK tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki kewenangan sesuai Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 41 ayat 1 huruf b yaitu menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan, sebagaimana tercantum pula dalam rekomendasi 34 FATF.
Dalam rangka menghadapi Mutual Evaluation Tahun 2017, PPATK berupaya untuk mendukung rekomendasi FATF nomor 20 dan 34 serta Immediate Outcome 4 tersebut, dengan melakukan Riset Tipologi Semester I Tahun 2016 dengan judul “Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Berdasarkan Data Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2005 -2015” yang dilakukan menggunakan basis data dari putusan pengadilan atas perkara tindak pidana pencucian uang selama periode tahun 2005 hingga tahun 2015 sesuai dengan register putusan pada Riset Tipologi Semester I Tahun 2014, Riset Tipologi Semester I Tahun 2015, Riset Tipologi Semester I Tahun 2016 serta data tambahan berupa hasil kuesioner serta wawancara kepada pihak pelapor dalam rangka mengetahui Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Berdasarkan Data Putusan Pengadilan Atas Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan data register putusan pengadilan tersebut yang terdiri atas sejumlah 137 putusan yang terbukti TPPU. Berdasarkan penelitian ini tim riset dapat mengidentifikasi sebanyak 36 (tiga puluh enam) indikator transaksi keuangan mencurigakan yang terdapat pada Putusan Pengadilan dan/atau LTKM dan HA terkait tindak pidana pencucian uang. Di antara indikator-indikator tersebut terdapat 13 (tiga belas) indikator yang belum tercantum dalam Surat Edaran Kepala PPATK No: SE- 03/1.02/PPATK/05/15. Adapun beberapa indikator tersebut diantaranya yaitu:
setor tunai via mesin setor tunai/ Cash Deposit Machine (CDM) dengan frekuensi tinggi dan jumlah yang signifikan yang dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan;
b. Pengguna jasa menggagunkan/ menjaminkan sertifikat tanah dan bangunan sebagai jaminan untuk pengajuan kredit dimana setelahnya pengguna jasa tidak pernah membayar cicilan atas kredit tersebut;
c. Pengguna jasa menerima dana dalam jumlah besar dari rekening pihak pertama kemudian ditransfer ke rekening atasnama pihak pertama tersebut di bank lain dengan nilai yang sama dalam waktu berdekatan;
d. Transaksi pengguna jasa dominan melalui setoran tunai yang dananya bersumber dari penarikan cek dari rekening kas daerah;
e. Pengguna jasa menerima dana dalam jumlah besar dari beberapa rekening tertentu diikuti dengan transaksi dana keluar dengan frekuensi tinggi yang dominan melalui ATM maupun internet banking ke banyak rekening hingga batas nominal tertentu dilakukan secara berulang;
f. Pengguna jasa melakukan transaksi dengan para pihak yang sudah menjadi t e r p i d a n a / t e r d a k w a / t e r s a n g k a dengan frekuensi tinggi dan nilai yang signifikan;
g. Pengguna jasa melakukan transaksi dengan pihak yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang dengan dugaan tindak pidana tertentu dengan frekuensi tinggi dan nilai yang signifikan;
h. Pengguna Jasa melakukan penarikan dana tunai melalui kartu kredit (gesek tunai) hingga batas saldo maksimal;
i. Transaksi merchant melalui mesin EDC
dominan dilakukan secara offline dan dilakukan bukan di lokasi merchant berada lalu dana masuk atas transaksi pada rekening merchant tersebut ditarik tunai dalam waktu yang berdekatan;
j. Terdapat transaksi pemindahbukuan ke rekening pengguna jasa di luar hari operasional bank dengan nilai yang signifikan tanpa keterangan yang jelas; k. Penarikan tunai dalam jumlah besar
dan frekuensi tinggi yang dilakukan di beberapa lokasi cabang dalam jangka waktu yang berdekatan;
l. Transaksi masuk dari beberapa rekening dengan frekuensi tinggi dengan kode tertentu yang tidak sesuai dengan profil pengguna jasa
m. Rekening pengguna jasa individu
dominan menerima transaksi masuk (kredit) dari rekening perusahaan tempat pengguna jasa bekerja dengan nilai yang signifikan serta transaksi dari banyak pihak dengan keterangan transaksi yang tidak sesuai dengan profil individu.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tim riset menemukan bahwa profil pekerjaan yang paling dominan terkait dengan tindak pidana pencucian uang adalah pegawai swasta/karyawan, sedangkan pihak pelapor yang paling dominan adalah bank. Adapun pola transaksi yang paling dominan terkait dengan tindak pidana pencucian uang pada putusan pengadilan adalah pemindahbukuan, wilayah yang paling dominan terjadi tindak pidana pencucian uang pada data putusan pengadilan adalah DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan indikator transaksi keuangan mencurigakan yang teridentifikasi
dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan atau pemutakhiran indikator transaksi keuangan mencurigakan bagi Pihak Pelapor.