• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA

B. Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S

2. Indonesia Periode 1966-1998

Kabar yang kami peroleh selalu saja terlambat sekitar dua sampai tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan. Misalnya pada awal bulan April 1966, kami mendengar berita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan Maret lalu, tiga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor dan memintanya menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret. Aku masih tak paham apa yang terjadi di tanah air. Bagaimana bisa rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno itu terinterupsi hingga seorang pimpinan besar revolusi harus diselamatkan ke Istana Bogor? Dan bagaimana bisa tiga orang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa ini betul-betul menentukan segalanya. Aku menjadi gerah dengan sirkus politik ini.63 Dalam kutipan novel Pulang di atas disinggung suatu kejadian yang akan mengubah perjalanan Indonesia. Pada tanggal sebelas bulan Maret tahun 1966, enam bulan setelah terjadi pemberontakan PKI, sebuah peristiwa bersejarah yang menandai perubahan kepemimpinan di Indonesia terjadi. Surat Perintah Sebelas Maret atau terkenal dengan singkatan Supersemar menjadi bukti sebagai pemindahtangangan tampuk kepemimpinan di Indonesia.

Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 Bung Karno memperoleh laporan, bahwa Istana telah di kepung oleh para demonstran, disertai pasukan yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu

62

Leila, op. cit., h. 37.

63

tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud.64 Soekarno menerima kunjungan tersebut, kunjungan tersebut menghasilkan naskah sebuah perintah untuk memberi wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk memulihkan keamanan, melaksanakan kebijakan Presiden Soekarno, serta menjaga keamanan pribadi Presiden Soekarno sendiri.65

Surat Perintah 11 Maret itu diserahkan kepada Pak Harto malam hari di Kostrad oleh ketiga jenderal. Langkah pertama Pak Harto setelah menerima Supersemar itu adalah memerintahkan konsep surat keputusan pembubaran PKI.66 PKI dinyatakan terlarang mulai 12 Maret 1966, sehari setelah Soeharto menerima Supersemar. Sehari sebelumnya, PKI masih menjadi partai sah dan terbesar di Indonesia, dan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Tapi, pada tanggal itu, ratusan ribu warga negara Indonesia sudah dibunuh dengan tuduhan mendukung PKI.67 MPRS kemudian memutuskan untuk mengambil langkah yang tegas terhadap PKI. Bahkan MPRS juga mengambil keputusan untuk melarang penyebaran Marxisme.68

b. Eks Tahanan Politik Indonesia

Penangkapan para korban yang diduga terlibat yang disebut dalam kelompok Gerakan 30 September 1965 (G30S), dimulai sejak bulan Oktober 1965, di Sumatera Selatan, Para Korban ada yang hilang di tengah perjalanan, di penahanan sementara sebelum dikirim ke penahanan akhir yaitu Kamp Penahanan Pulau Kemarau-Palembang pada sekitar bulan Februari 1966 sampai pada tahun 1979.

KORAMIL (PUTERPRA), penjara-penjara atau tempat yang dikuasai oleh aparat militer yang didapat dengan pemaksaan. Ditempat-tempat penahanan inilah para korban mulai diperiksa oleh aparat yang terdiri dari unsur tentara, polisi dan

64

Sulastomo, op. cit., h. 223.

65

Kurniawan, dkk., op. cit., h. 156.

66

Sulastomo, op. cit., h. 224.

67

Kurniawan, dkk., op. cit., h. 157.

68

Jaksa. Selama pemeriksaan inilah para korban mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan, perkosaan, bahkan sampai kepada pembunuhan. Selama dalam penahanan ini selain mengalami kekerasan, para korban juga sangat sedikit atau bahkan tidak diberi akses kepada keluarga, dan tidak diberi makanan yang layak bahkan terdapat korban-korban yang sama sekali tidak diberi makanan. Beberapa saksi menerangkan méreka melihat tahanan-tahanan lain me- ninggal karena kekuarangan makanan. Sebagian kecil tahanan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses pengadilan yang dianggap oleh para korban sebagai pengadilan yang tidak jujur dan fair. Hukuman penjara yang didapat sangat maksimal bahkan beberapa orang mendapat huku- man mati. Sebagian tahanan, pada tahun-tahun berikutnya dipindahkan ketempat-tempat kamp pengasingan seperti pulau Buru dan Nusakambangan.69 Seperti yang diperlihatkan oleh Leila dalam novel Pulang-nya.

Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa lelaki yang jelas tengah terlibat dalam debat.

“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?”

“Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?” “Sudah pada Bersih Lingkungan?”

“Kan itu larangan bagi tapol untuk bekerja jadi PNS. Atau jadi

guru atau wartawan. Cuma datang ke pesta, memang kenapa?”70

Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin kupahami. Bukan Cuma soal sejarah yang penuh darah dan persoalan nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari negara yang bersedia menerima mereka. ada sesuatu yang membuat Ayah selalu peka terhadap penolakan. Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu obsesif bercerita tentang Ekalaya.71

Dalam kutipan novel di atas mengingatkan kita tentang Intruksi Menteri Dalam Negeri No.32/1981 dan Pedoman Pelaksanaannya yang menjadi dasar pencantuman kode-kode khusus dalam Kartu Tanda Penduduk ex-tapol, yang terkenal dengan ET. Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan

69

Roichatul Aswadiah dan Muhammad Nurkhoiron, e-book Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, (Jakarta: KOMNASHAM RI, tanpa tahun) h. 27.

70

Leila, op. cit., h. 161.

71

Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI, para Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI mendapat perlakuan yang sangat diskriminatif. karena peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Seperti yang diungkapkan Leila S. Chudori melalui kutipan novel Pulang:

Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari. Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah keluarga...segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya sendiri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya

„tantangan‟, yang kami hadapai datang bertubi-tubi. Karena itu, setelah keberhasilan malam pembukaan ini membutuhkan antagonis.72

Peraturan yang ditetapkan kepada para eks-tapol, mereka terkena tekanan

mental yang luar biasa dengan adanya momok „bersih lingkungan‟, mereka

sampai harus membuat surat keterangan tidak terlibat G30S/PKI. Mereka membuat surat keterangan tersebut agar dapat mengurangi beban mental, agar mereka lebih diterima oleh masyarakat pada masa itu. Bahkan untuk sekolah, menjadi PNS, atau bekerja di instansi-instansi pemerintah pada masa tersebut wajib di screening secara mendetail oleh intelejen demi terlaksananya „bersih diri‟ dan „bersih lingkungan‟.

Dengan adanya Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI. Pada masa Orde Baru, banyak dari istri dan anak-anak yang terlantar, atau yang dijauhi oleh sanak-saudaranya sendiri. Adik dan kakak atau mertua, yang segan mendekati mereka, karena takut kalau dicap “tidak bersih lingkungan”. Dapat

dilihat pada kutipan novel di bawah ini, bagaimana Leila S. Chudori menggambarkan dengan jelas dan tegas ketegangan yang terjadi pada masa tersebut:

“Kasian loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET. Terus,

Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di media sekarang menggunakan nama samaran. Lha tapi kami semua tahuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samaran Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas

72

Muuuur. Bikin nama samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo, anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama samaran juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan nama samaran. Ya bapak, ya anak, semuanya samar-menyamar.” Dia terkikik begitu lama dan panjang hingga aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni dalam Bharatayudha. (h. 125)

Perlakuan para diplomat KBRI pun selalu tak ramah terhadap para eks tahanan politik. Dikarenkana adanya instruksi tersebut pada masa Orde Baru tentang kebijakan “Bersih Diri” dan “Bersih Lingkungan”.

c. Rezim Presiden Soeharto

Masa-masa di sekitar tahun 1970-an adalah saat upaya perubahan struktur politik dimulai. Orde Baru yang telah menghadapi masa kritis transisi Orde Lama ke Orde Baru sudah tentu perlu landasan politik yang lebih kukuh, tidak semata-mata untuk mempertahankan Orde Baru, tetapi juga untuk memberikan landasan politik yang lebih sehat.73 Sesuai dengan tekad untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen, acuan berpikir sudah tentu harus ke sana. Dan kenyataan ini harus dihadapi dengan kebesaran jiwa, mendahulukan kepantingan bangsa dan negara daripada kepentingan golongan atau pribadi.

Meskipun kekuatan Orde Baru memang berada di mana-mana, tetapi hasil yang dicapai oleh Golongan Karya memang pantas menjadi tolok ukur yang utama. Transisi Orde Lama ke Orde Baru, adalah memang wajar diwarnai pergeseran peranan politik parpol ke Golkar. Dan mampukah Golkar memenangkan Pemilu? Pertanyaan seperti ini wajar, mengingat peranan PNI dan NU yang mungkin masih besar. Tetapi, pada akhirnya memang Pemilu terselenggarakan juga pada tahun 1971. Golkar ternyata dapat memenangkan Pemilu dan sebaliknya PNI mengalami kemundiran yang luar biasa, NU relatif stabil.74

Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Kementerian Pertanian

73

Sulastomo, op. cit., h. 273.

74

itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan sesekali mendistribusikannya dalam newsletter untuk teman-teman sesama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar dari rekan-rekan yang bekerja di media di Jakarta tentnag perkembangan terbaru, misalnya pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa intelektual seperti sosiolog Arief Budiman mengkritik proyek ini. perkembangan politik yang semakin mengerikan adalah bagaimana partai politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagaimana anggota parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka belaka. Itu kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada kawan-kawan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gratis itu ternyata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk sudah cukup banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk seperti koran, dengan bantuan desain Risjaf.75 Perjalanan bangsa terus berlangsung, Presiden Soeharto selalu berhasil mengemudikan kapal bernama Indonesia melalui badai demi badai yang memang harus dihadapi dan dimenangkan. Namun, tidak demikian yang terjadi ketika

badai topan baru bernama “krisis moneter global” menimpa kawasan Asia pada

1997. Kapal besar yang dikemudikan Pak Harto oleng terkena imbasnya, setelah badai krisis moneter itu juga meremukkan perekonomian Thailand.

Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jenderal semakin kuat dan semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama dengan gaya para jenderal di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang Jenderal masih mencengkeram takhtanya dengan kuat.76

d. Tragedi dan Reformasi Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Setiap tahun selalu ada yang memperingatinya. Namun dengan berlalunya waktu, tidak banyak yang mengetahui atau ingat gambaran besarnya, di mana benang merah yang mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain, dan apa yang ada di balik suatu peristiwa atau rentetan peristiwa. Kerusuhan Mei 1998 telah menyebabkan tragedi besar, dalam, dan berkepanjangan bagi banyak komunitas dan keluarga, tapi juga telah mengangkat ke permukaan segi-segi positif dari rasa kemanusiaan yang masih inheren dalam masyarakat Indonesia.

75

Leila, op. cit., h. 86

76

Di Jakarta, mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Namun dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini menghadapi bahaya fisik serius, karena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk “mengamankan”

mereka. Kendati demikian, aksi-aksi ini tidak berhenti begitu saja. Tiap hari ada saja sejumlah pendemo yang ditangkapi lalu ditahan.77

Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar bebas mahasiswa—yang sudah berlangsung sejak 1 Mei—pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot (kalau tak salah ini singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra-kampus yang terdiri dari belasan perguruan tinggi) maupun mahasiswa, aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat—maaf saya sudah mulai

tertular menggunakan istilah Alam—yang mendengung juga sudah

menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus mana pun yang saya kunjungi sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat.78

Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang mengahdiri aksi berkabung ini. Aku melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution.79

Di Jakarta, Mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyerukan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Gejolak politik ini terkait juga dengan situasi perekonomian yang semakin buruk akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan Asia seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina, di samping Indonesia. Nilai tukar rupiah terus melorot, kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, dan

77

Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT Kompas Media, 2014), h. 21

78

Leila, op. cit., h. 410

79

lain.80 Suasana pada saat kerusuhan terjadi digambarkan oleh Leila sebagai berikut:

“Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar, toko-toko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau sudah begini, baisanya warga pemukiman akan saling koordinasi mencari cara pencegahan agar jangan sampai terjadi apa-apa dengan rumah dan

keluarga mereka.”

Aku tercengang.

“Massa memasuki pemukiman? Lalu apa yang akan mereka lakukan?”

“Apa saja. menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan orang -orang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak sebagai bagian dari gerombolan. Tapi mudah-mudahan itu tak terjadi,” kata Alam mencoba menenangkan aku, meski aku merasa dia menenangkan dirinya

sendiri. “Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. begitu bergerombol, tinggal teriak „maling‟ atau „komunis‟, tanpa

tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan

kena hajar.”81

Masyarakat jadi anarkis, mereka menjarah, membakari toko-toko dan pusat perbelanjaan yang rata-rata milik etnis Tionghoa. Gadis-gadis dan wanita Tionghoa diperkosa. Situasi semakin parah dan tidak terkendali, menimbulkan kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban, dan rasa putus asa yang merebak di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pegangan.82 Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus dan sekitarnya. Di tengah suhu politik yang memanas itu Pak Harto berangkat menghadiri KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Di Tanah Air, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi. Pada 12 Mei 1998 suasana kian chaos akibat ditembaknya empat Mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi di bawah Jembatan Semanggi:

Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya merekam orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi

80

Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118.

81

Leila, op. cit., h. 424.

82

Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT Kompas Media, 2014), h. 22.

juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu

yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan saksi.83

Pada kutipan novel di bawah dipaparkan bahwa ribuan mahasiswa sudah menunggu kepulangan Soeharto dari KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Ribuan mahasiswa menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk meminta Soeharto turun dari kursi presiden.

Jakarta, 16 Mei 1998

Ketika terdengar kabar Presdien Soeharto sudah mendarat di Jakarta kemarin, Alam dan kawan-kawannya tampak keranjingan. Bukan karena kehadirannya akan menyelesaikan persoalan, tetapi karena “saatnya Indonesia membuat perhitungan dengannya”.

Gaya Gilang dan Alam seperti dua jenderal yang siap mengangkat

senjata meski „senjata‟ mereka Cuma sikat gigi yang dibawa kemana -mana. Tetapi memang banyak harapan yang agak mengawang. Menurut Gilang, sejak kemarin dia mendengar banyak tokoh yang bertemu di beberapa tempat secara terpisah. Salah satunya dia mendengar dari berbagai sumber bahwa Nurcholis Madjid—yang dipanggil dengan nama Cak Nur oleh Gilang, dan aku lupa bertanya apa arti „cak‟—bertemu dengan beberapa tokoh atas undangan salah seorang petinggi militer di Markas Besar ABRI. Katanya, Nurcholis membaut semacam coret-coretan konsep yang perlu disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya ada beberapa poin, tapi yang paling menarik dan membuat Gilang dan Alam seperti menang perang adalah Presiden diminta untuk tidak bersedia dipilih lagi dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan dalam waktu secepatnya. 84

Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad

Bagdja, dan Ma‟aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang,

83

Leila, op. cit., h. 414.

84

karena diajak Nurcholish sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya dibutuhkan.85

Kerusuhan Mei 1998 terjadi dalam bentuk kerusuhan massal yang meliputi berbagai tindakan pembunuhan, penganiayaan, parusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan orang secara paksa dan pemerkosaan. Kerusuhan diyakini terkait erat dengan proses pergeseran elit politik saat itu yang kemudian diikuti mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai momentum kemenangan gerakan reformasi.

Ponselku berbunyi, mita. Dia menyuruhku menyusul mereka semua ke gudng DPR. Semua mahasiswa sedang menuju ke sana dan menduduki gedung parlemen itu. Sementara aku meminta supir taksi untuk melarikan kendaraan selekas mungkin, aku bertanya-tanya mengapa lama sekali Alam berpuasa bicara hanya karena Nara menelepon aku. Tiba di gedung DPR, di sana sudah penuh dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh yang sama seperti di kampus Trisakti beberapa hari lalu. Mereka berorasi dengan isi yang sama: reformasi dan Presiden Soeharto turun. Aku berjalan dengan perasaan enteng. Aneh sekali, suasana di DPR siang itu terasa agak festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini.86

e. Etnis Tionghoa Indonesia di Tengah Tragedi Mei 1998

Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di depan mataku pada saat aku mulai mencintai tempat ini, juga orang-orangnya? Menyerang dan menghajar rumah-rumah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa? Tahun berapakah ini? 1998? Apakah kita mundur dua abad sembari mengadopsi kedunguan rasialisme? Atau setelah 33 tahun, tak ada yang berubah? Aku harus mengoreksi ucapanku pada Ayah.87

Dalam novel Pulang, Leila menuliskan bagaimana nasib etnis tionghoa pada saat kerusuhan mei 1998 terjadi. Beberapa sumber sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa Indonesia kerap kali menjadi korban saat tragedi berdarah di negeri ini berlangsung. Sejak mulai krisis moneter pada 1997, itu adalah awal

85

Liputan 6, 21 mei 1998: Soeharto Lengser, Sebelumnya Terjadi Apa di Istana?, 21 Mei 2014 at 09.24 WIB.

86

Leila, op. cit., h. 437

87

mula dari kerusuhan Mei 1998. Para pejabat menyatakan bahwa krisis ekonomi melanda Indonesia karena orang-orang Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri, dan Tionghoa-Tionghoa yang masih berada di Tanah Air, menimbun barang-barang sembako sehingga rakyat sengsara dan kelaparan.88

Mita terdengar menahan sabar dengan kebodohanku, “Keturunan

Tionghoa selalu jadi sasaran pertama, Madame Sorbonne. Rumah-rumah diserang, dijarah. Aku belum tahu info selanjutnya. Diskusi dengan Alam

saja, aku harus menemani ibuku, dia masih linglung.”89

Tersebar berita bahwa sejumlah kawasan bisnis dan pemukiman yang banyak dihuni warga etnis Tionghoa menjadi kerusuhan hebat. Pembakaran, penjarahan, penganiayaan terjadi tanpa ada aparat keamanan yang datang menolong, meskipun warga mengatakan berkali-kali menelepon dan memanggil mereka.90 Semua dideskripsikan dengan jelas oleh Leila:

...Sepanjang jalan yang kusaksikan adalah mal-mal kecil maupun besar yang hangus tinggal tulang belulang, trotoar, dan pagar yang luluh lantak, tanda dan rambu jalanan yang lepas atau meleleh terbakar, gedung-gedung yang biasanya terlihat megah tinggal kerangka hitam yang sia-sia. ATM hancur lebur. Supermarket, bank-bank, dan pertokoan apalagi. Denyut ekonomi dan bisnis negara ini betul-betul disembelih. Kesimpulannya, hingga pagi hari ini, Jakarta di pagi hari betul-betul seperti neraka yang sudah lelah menyiksa.91

Sedangkan Laporan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TPGF) membuka latar lebih luas. Benar para pelaku kerusuhan Mei menjadikan etnis Tionghoa

Dokumen terkait