• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri Gula Rafinas

Dalam dokumen Kinerja Industri Gula di Indonesia (Halaman 93-98)

2. Industri Pendukung

2.2. Industri Gula Rafinas

Sebelum tahun 2000, pemenuhan gula rafinasi adalah melalui impor karena harga gula saat itu sedang murah. Namun dengan ekspektasi harga gula dunia yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri yang menurun, kemudian terdorong juga untuk membangun pabrik gula rafinasi. Bahan baku yang digunakan pabrik gula rafinasi tersebut adalah raw sugar yang diimpor. Pada tahun 2004, baru terdapat tiga pelaku usaha gula rafinasi. Dengan tiga pelaku usaha tersebut di tahun 2003-2005 mampu men-supply kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan, minuman dan farmasi sekitar 300.000 ton –1.500.000 ton per tahun. Kemudian di tahun 2006-2008 pelaku usaha di industri gula rafinasi ini bertambah menjadi 7 pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat menjadi sekitar 1,2 juta – 1,5 juta ton per tahun. Baru kemudian di tahun 2009 total pelaku usaha dalam industri gula rafinasi ini menjadi delapan sehingga pada tahun 2009 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun8. Berikut pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi.

106 b. PT. Jawamanis, Jl. Raya Anyer – Cilegon-Banten

c. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten

d. PT. Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap - Jawa Tengah e. PT. Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap – Jawa Tengah f. PT. Sugar Labinta

g. PT. Makassar Tene

h. PT Duta Sugar International.

Pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor raw sugar untuk kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Seiring peningkatan jumlah pabrik gula rafinasi dalam negeri maka meningkat juga jumlah raw sugar yang diimpor setiap tahunnya. Peningkatan impor raw sugar yang paling besar terjadi pada tahun 2006 dan 2007 sehingga di tahun-tahun tersebut pabrik gula rafinasi terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan industri-industri dalam negeri yang membutuhkan gula rafinasi.

Tabel 32. Jumlah Impor Raw sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi

Tahun Perusahaan Rekomendasi Izin Impor Jumlah (ton)

2003 5 394.700 398.070 350.582 2004 5 923.000 757.750 478.250 2005 5 1.226.000 999.100 808.200 2006 6 1.081.000 1.056.250 952.387 2007 6 1.492.450 1.447.700 1.255.522 2008 7 1.661.230 1.404.730 1.213.470 2009 8 1.670.000 1.670.000 1.670.000

Sumber: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (2010)

Di tahun 2009, seluruh raw sugar yang direkomendasi diserap oleh pabrik gula rafinasi. Berikut ini pada gambar 9 terdapat perkembangan industri rafinasi dari sisi realisasi produksi masing-masing perusahaan. Pelaku-pelaku lama dalam industri gula rafinasi merupakan penghasil utama gula rafinasi di Indonesia. Jika dilihat berdasarkan pangsa produksinya di tahun 2009, PT Permata DSU dan PT Sentra Usahatama Jaya meminpin pasar dengan pangsa 20% dan pemain utama lainnya yaitu PT Jawamanis Rafinasi dan PT Angels Products yang masing- masing pangsa produksinya 15% dan 16%.

107 3. Strategi

Gula dapat secara langsung dikonsumsi dalam campuran minuman atau membuat aneka makanan. Sebagian besar di Indonesia gula masih dijual dalam bentuk komoditas. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan nilai tambah komoditas gula menjadi produk gula yang memiliki merek. Sebagai contoh Sugar Group mengeluarkan produk gula kemasan bermerek Gulaku. Sugar Group mendapatkan nilai tambah lebih tinggi daripada produsen gula lainnya dengan memproduksi gula kemasan yang kualitasnya tentu saja lebih baik daripada komoditas gula tanpa kemasan.

Menurut Pakpahan (2005), petani sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk melakukan hal serupa dengan Sugar Group karena setiap tahunnya tidak kurang dari 600.000 ton gula menjadi milik petani. Kalau saja 25 persen dari jumlah tersebut dijual dalam bentuk kemasan tentu akan memberi manfaat yang besar. Namun, potensi tersebut mengalami kendala pada mutu gula petani yang dihasilkan oleh PG BUMN. Mutu gula yang dihasilkan tidak konsisten dari satu musim giling ke musim giling berikutnya, terkadang putih di musim ini tetapi kuning di musim berikutnya.

Sejak diberlakukannnya Inpres Tahun 1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), kedudukan PTPN di atas para petani. Pada waktu itu nilai tawar (bargaining position) petani sangat rendah karena petani hanya berperan pasif dan mau tidak mau harus mengikuti sistem yang telah ada meskipun itu merugikan. Monopoli BULOG juga membuat petani tidak bisa mandiri, bahkan PTPN pun juga demikian. Pada tahun 1998 Inpres tersebut dicabut dan BULOG tidak lagi memonopoli perdagangan gula di Indonesia. Karena petani secara langsung dihadapkan kepada mekanisme pasar, banyak oknum-oknum yang mencari keuntungan dari kebingungan petani menghadapi sistem baru ini.

Setelah tahun 2000, para petani tebu secara keseluruhan sepakat untuk menjual gulanya secara bersama-sama agar seluruh petani menikmati harga gula yang sama dan untuk menghilangkan celah bagi oknum untuk memainkan harga gula. Pada tahun 2001 APTRI mencetuskan sistem Dana Talangan dan Jaminan Harga Minimal. Dana talangan membantu petani mendapatkan dana lebih awal

108 untuk mengolah lahannya. Sedangkan Jaminan Harga Minimal menjamin petani untuk mendapatkan jaminan harga agar tidak rugi ketika harga turun.

Produsen gula atau PG-PG di Indonesia sebagian besar tidak melakukan promosi untuk meningkatkan konsumsi akan gula. Hal ini dikarenakan, tanpa promosi pun permintaan gula yang ada belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh produsen dalam negeri. Promosi dilakukan ketika akan dilakukan pelelangan baik gula PG maupun petani. Adanya website Perusahaan Gula juga membantu mempromosikan gula yang dihasilkandari pengolahan tebu. Gula yang dihasilkan oleh PG baik itu milik petani atau PG dapat dijual dengan dua sistem, yaitu sistem lelang dan sistem jual bebas. Sedangkan dalam sistem jual bebas terdapat lima saluran distribusi dimana lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya antara lain, Petani tebu, pengumpul/tengkulak/ bakul/mediator, padagang besar/grosir/agen, pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga maupun konsumen industri.

6.2.5 Peran Pemerintah

Peran pemerintah terhadap pengembangan agribisnis gula sangat besar dibuktikan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan agribisnis gula di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Sejalan dengan kebijakan-kebijakan di atas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri pemerintah menggulirkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002-2007.

Di samping itu untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan internasional, pemerintah juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa subsidi bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasarana pengairan sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Dalam rangka untuk

109 meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan dayasaing produksi dalam negeri, tim tarif nasional melakukan harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk produk-produk dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan kebijakan pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen untuk mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula. 6.2.6. Peran Kesempatan

Peran kesempatan adalah faktor yang ada di luar kendali para stakeholder industri. Dalam konteks industri gula Indonesia, terdapat kesempatan yang dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk industri gula Indonesia bersaing dengan gula impor secara kompetitif pada pasar domestik atau memenuhi kebutuhan dalam negeri. kesempatan tersebut adalah kondisi pasa yang makin mengarah kepada pasar dunia yang kompetitif dan proyeksi krisis energi yang dalam jangka panjang tidak dapat dihindari menjadi kesempatan industri gula di Indonesia berkembang. Pasar gula dunia akan semakin kompetitif sebagai akibat distorsi pasar gula dunia akan semakin menurun pada masa mendatang. Selain itu, krisis energi (kenaikan harga BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat diabaikan karena BBM merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jika sebagian besar negara produsen gula menggunakan tebu sebagai bahan bakar, maka tebu yang akan digiling menjadi gula akan berkurang dan harga gula dalam jangka panjang akan semakin meningkat, khususnya untuk gula kristal putih.

Harga gula dunia dilihat dari tahun 2008 hingga 2010 mengalami kenaikan dua kali lipat. Pada tahun 2008, harga gula dunia yang mengacu pada harga pasar london mencapai rata-rata per bulannya adalah US$ 300an per ton dengan fluktuasi terendah pada US$ 314 per ton dan tertinggi adalah US$397,15 per ton. Kemudian pada tahun 2009, harga gula dunia di pasar london mulai merangkak naik ke angka US$ 400an per ton pada bulan april dan pada penutup tahun yaitu bulan desember, harga gula dunia di pasar london mencapai US$ 656,79 per ton. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan harga yang lebih dari dua kali lipat pada penghujung tahun 2008 ke penghujung tahun 2009.

110 Pada tahun 2010, harga dunia melonjak pada awal tahun di bulan januari di angka US$ 733,43per ton dan pada sepanjang tahun tersebut harga dunia mengalami fluktuasi yang begitu tajam karena bergerak pada selang US$ 400an per ton hingga US$ 700an per ton. Pada bulan desember tahun 2010, harga gula dunia ditutup pada angka US$ 769,33 per ton. Dilihat dari data tersebut bahwa pasar gula dunia semakin menggeliat dan dapat memacu kesempatan industri gula Indonesia untuk tumbuh karena harga yang semakin naik akan menarik para stakeholder untuk sama-sama ikut andil dalam pasar gula tersebut nantinya. 6.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System

Tahapan setelah menganalisis komponen-komponen pada Porter’s diamond system adalah menganalisis keterkaitan antar komponen utama pada

Porter’s diamond system. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth interviews yang dilakukan dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian dari Cahyani (2008) adalah sebagai berikut:

1) Persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya

Dalam dokumen Kinerja Industri Gula di Indonesia (Halaman 93-98)