• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Sejarah Industri Tahu

2. Industri Kecil Tahu Inat Turjaman

Industri tahu ini adalah usaha turun temurun yang berada di Bandung. Industri ini memproduksi tahu kuning. Semenjak tahun 1979 usaha ini dipegang oleh Bapak Inat Turjaman. Kemudian pada tahun 1990 Pak Inat dan istrinya Ibu Elli memindahkan usahanya ke Jakarta tepatnya di Jalan Haji Kamang Bawah RT 01 RW 10 Kelurahan Pondok Labu Jakarta Selatan, alasannya karena usaha

40

Observasi pada Industri Kecil Tahu HRM. Jakarta: 21 Februari 2016.

41

52

tahu kuning di Bandung sudah terlalu banyak saingan sehingga penjualanan tahunya menjadi kurang lancar. Ternyata prediksi beliau untuk memindahkan usaha ke Jakarta sangat tepat. Karena tahu kuning yang dibuat Pak Inat cukup diminati masyarakat.42

Awal mulanya tahu ini dipasarkan hanya ke pasar-pasar tradisional seperti pasar pondok labu, pasar cengkareng, pasar kebayoran dan dipasarkan juga oleh pedagang keliling ke kampung-kampung. Lama-kelamaan usaha tahu kuning bandung ini dipasarkan ke pasar swalayan seperti Aneka Buana (AB) yang tempatnya tidak jauh dengan tempat produksi tahu Pak inat masih berada diwilayah Pondok Labu.

Karena permintaan pasar yang terus meningkat mengharuskan Pak Inat untuk menambah kapasitas produksi. Untuk memenuhi permintaan pasar, Pak Inat merekrut tenaga kerja mencapai 30 orang. Dari tahun 1990-1996 produksi beliau stabil. Dalam setiap pembuatan tahu kuning Pak Inat selalu menghabiskan 1 ton kedelai/minggu. Tahu kuning yang dihasilkan berasal dari kedelai yang dikirim setiap minggunya dari Pancoran.

Tahu kuning ini cukup diminati oleh masyarakat, sehingga selama 6 tahun sejak tahun 1990 – 1996 berjalan Pak Inat sudah banyak mendapatkan pelanggan. Ini semua tidak lepas dari komitmen antara suami dan istri tersebut yaitu tetap menjaga kualitas tahu. Hanya bahan alami yang dipakai untuk membuat tahu kuning bandung, ungkapnya:

42

53

“Kami cuma pakai kunyit dan garam aja untuk membuat tahu kuning ini,

tidak pakai formalin atau bahan apapun.”43

Pada saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997, usaha tahu bandung Pak Inat sempat mengalami kesulitan yang cukup menyesakkan. Karena krisis ini, orang-orang banyak yang terkena PHK yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan berdampak menurunnya daya beli masyarakat. Inipun berdampak pada produksi tahu kuning Pak Inat dimana omsetnya menurun drastis, karena penurunan permintaan pasar akibat daya beli masyarakat yang berkurang. Sebelum krisis, Pak Inat dapat menghabiskan 4 kwintal kedelai/hari, namun setelah krisis hanya menghabiskan ± 20 kg kedelai/harinya atau sekitar 750 tahu yang dibuatnya sesuai pesanan.

Karena permintaan tidak sebanyak dulu sehingga Pak Inat akhirnya harus mengurangi jumlah tenaga kerjanya dan lahan industrinya pun akhirnya diperkecil.

Pak Inat yang dibantu istrinya pun tidak berhenti disitu mereka tetap berjuang mempertahankan usaha tahu kuning bandung warisan keluarga dengan dibantu 6 orang pekerja yang tersisa hingga sekarang.44 Karena situasi yang sulit ini, menaikkan harga itu tidak mungkin karena akan menyebabkan penjualan semakin berkurang. Untuk menyiasati masalah tersebut Pak Inat hanya memperkecil ukuran tahu saja tanpa menaikkan harganya dan mengurangi kualitasnya.

43

Wawancara Pribadi dengan Bapak Inat Turjaman. Jakarta: 24 April 2016 Pukul 15.00 WIB

44

54

Tabel 3.11 Daftar Pekerja Industri Tahu Inat Turjaman

No. Nama Umur Jabatan

1. Imas Nurmala 43 tahun Menyetak dan Membungkus Tahu

2. Idan Solihin 45 tahun Merendam dan Menggiling Kacang Kedelai

3. Imih 57 tahun Menyetak dan Membungkus

Tahu

4. Darmilah 44 tahun Mengunyit

5. Cucu 46 tahun Menyetak dan Membukus Tahu

6. Mang Encep 60 tahun Mencari Kayu

Sumber: Wawancara Pribadi, 2016.

Ke-6 pekerja Pak Inat memulai pekerjaan dari pukul 06.00 pagi hingga 14.00 siang sesuai dengan banyaknya pesanan.45 Langganan yang masih setia dengan produk hasil industri Pak Inat adalah Swalayan Aneka Buana (AB) Pondok Labu yang biasa memesan 400-an tahu/hari, di Ciganjur memesan 150 tahu/hari, Swalayan Aneka Buana (AB) Cirendeu sekitar 100-an tahu/hari, dan para pedagang-pedagang keliling kampung lainnya sekitar 100-an tahu/hari.

Upah yang diberikan ke para pekerjanya pun bervariasi seperti untuk bagian menggiling kacang kedelai, merendam kacang kedelai, merebus kacang kedelai dan mencari kayu di beri upah lebih besar sekitar Rp 60.000 – Rp

45

55

70.000/hari, dan pekerja lainnya seperti mengunyit tahu, menyetak tahu dan membungkus tahu kisaran Rp 40.000 – Rp 50.000/hari. Para pekerja diberikan makan sehari tiga kali yaitu pagi siang sore yang telah disiapkan oleh Ibu Elli. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh Pak Inat adalah dibebaskan dari pembayaran kontrakan, sehingga para pekerja tidak perlu membayar kontrakan.

Dengan begitu masih berdirinya industri tahu Pak Inat hingga sekarang dan mempertahan keenam pekerja yang sejak dahulu bekerja dengannya, setidaknya dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya.

Kemudian berbicara mengenai lahan, industri Pak Inat sangat bersebalahan dengan rumah utama yang ditinggali oleh Pak Inat dan keluarga.46 Semula luas lahan industri ini ± 400 meter², akan tetapi sejak krisis tahun 1997-an Pak Inat harus memperkecil lah1997-an industrinya d1997-an sekar1997-ang y1997-ang tersisa hanya 100 meter2 saja. Lahan bekas industrinya tersebut dijadikan kontrakan 2 pintu sebagai tempat tinggal para pekerjanya dan tempat pembuatan tahu.

Ruangan tempat pembuatan tahu yang diantaranya merebus kacang, mengunyit, mencetak dan membungkus menjadi satu dengan tempat menyimpan kayu-kayu. Kemudian jarak antara lantai hingga plafon bangunan sangat pendek sekitar 2 meter saja sehingga saat peneliti masuk kedalam industri kecil tahu tersebut sangat pengap sekali. jendela hanya ada 3 dan berukuran kecil.

46

56

Sehingga serikulasi udara sangat kurang, selain itu kayu-kayu untuk bahan bakar pun berserakan diluar industri sehingga mempersempit lahan.47

Dokumen terkait