dengan bentuk lurus dan memiliki diameter sekitar 14 inchi (35 cm) yang lebih disukai
dengan alasan kemudahan dalam proses pengulitan (debarking) yang biasanya
menggunakan ring-type debarker. Ditambahkan juga bahwa saat ini industri OSB
menggunakan hardwood berkerapatan rendah, masih dalam kondisi segar (green logs),
dan berukuran panjang sekitar 36 inchi (90 cm) dengan alasan kemudahan untuk diproses
dengan menggunakan new knife-ring flaker dan mesin disc untuk mendapatkan flakes
berkualitas tinggi (Maloney 1993).
Ukuran geometri pembuatan strand bisa mengikuti saran Marra (1992) dengan
dimensi panjang 0.5-3 inchi (1.27-7.62 cm), lebar 0.25-1 inchi (0.64-2.54 cm), dan tebal
0.010-0.025 inchi (0.02-0.06 cm).
Kayu yang digunakan sebagai bahan baku adalah yang memiliki berat jenis (BJ)
0.37-0.81 berdasarkan bahan baku yang digunakan pada industri-industri produsen OSB
di berbagai negara. Di Canada digunakan campuran kayu eastern white pine (BJ 0.37)
dan spruce (BJ 0.37-0.43), campuran kayu aspen (BJ 0.40-0.41) dan jackpine (BJ 0.45),
dan campuran kayu balsam poplar (BJ 0.37) dan white birch (BJ 0.71) (Lowood 1997;
Simpson & TenWolde 1999). Di Chili digunakan jenis kayu radiata pine (BJ 0.48)
(Lowood 1997; Miller 1999) dan di Australia serta Asia digunakan kayu karet (BJ
0.55-0.70) dan ekaliptus (BJ 0.39-0.81) (Lowood 1997; Mandang & Pandit 2002).
Penelitian mengenai bahan baku kayu ini sebenarnya masih terus berkembang
karena masih ada kemungkinan-kemungkinan bahan berlignoselulosa lainnya dapat
digunakan untuk bahan baku OSB. Seperti yang dilaporkan Hon & Bangi (1996), mereka
menggunakan kayu juvenil yang diberi perlakuan anhidrida asetat, bambu oleh Lee et al.
(1997), lesser known species (kayu terap dan weru) oleh Ridwan (1997), fast growing
species di Cina (kayu metasequoia) oleh Juwan & Yukun (1998), di Jepang (kayu sugi)
oleh Suzuki (2005), dan limbah kayu bekas bangunan oleh Shibusawa et al. (2005).
Kayu Berdiameter Kecil
Pada penelitian ini digunakan tiga jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species)
yang berasal dari pohon berdiameter kecil terdiri atas akasia, ekaliptus dan gmelina.
Didefinisikan Wolfe & Moseley (2000), pohon berdiameter kecil memiliki diameter
setinggi dada di bawah 9 inchi atau kurang dari 23 cm. Digunakannya ketiga jenis kayu
7
tersebut dengan harapan dapat mewakili kayu-kayu dari hutan tanaman di Indonesia.
Akasia (Acacia mangium Willd.) mewakili jenis kayu yang sudah dikomersilkan di hutan
tanaman industri. Ekaliptus (Eucalyptus sp.) mewakili jenis kayu yang dibudidayakan
Perum Perhutani, dan gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dapat mewakili kayu yang
tumbuh di hutan rakyat. Berikut diberikan gambaran singkat karakteristik ketiga jenis
kayu tersebut.
Akasia (Acaciamangium Willd.)
Ciri umum kayu ini terasnya berwarna coklat pucat sampai coklat tua,
kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna
kuning pucat sampai kuning jerami. Corak polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial. Tekstur halus sampai agak kasar dan merata,
dengan arah serat biasanya lurus kadang-kadang berpadu. Kekerasannya agak keras
sampai keras dengan berat jenis (BJ) rata-rata 0.61 (0.43-0.66), kelas awet III dan kelas
kuat (II-III) (Mandang & Pandit 2002).
Ekaliptus (Eucalyptussp.)
Ciri umum kayu ini terasnya berwarna merah muda atau coklat merah, gubal
merah muda pucat. Corak polos, tekstur agak kasar sampai kasar, dengan arah serat
berpadu sampai sangat berpadu, adakalanya bergelombang. Kekerasannya agak keras
sampai keras dengan berat jenis (BJ) rata-rata 0.57 (0.39-0.81), kelas awet IV (V-II) dan
kelas kuat (II-IV) (Mandang & Pandit 2002).
Gmelina (Gmelinaarborea Roxb.)
Ciri umum kayu ini terasnya berwarna putih atau putih kekuning-kuningan, gubal
putih, kadang-kadang kehijauan, tidak tegas batas teras dan gubal. Corak polos, tekstur
agak kasar sampai kasar, dengan arah serat lurus sampai berpadu. Kekerasannya agak
lunak dengan berat jenis (BJ) rata-rata terendah 0.42 dan tertinggi 0.61 dari lima jenis,
kelas awet IV -V dan kelas kuat III (II-IV) (Mandang & Pandit 2002).
Sifat Pengerjaan Kayu
Sifat pengerjaan yang dimaksud di sini adalah mudah/ tidaknya kayu dikerjakan
disc flaker untuk dikonversi menjadi strands. Pembuatan strand secara ideal dengan
menggunakan strander. Namun demikian disc flaker-pun dapat dimanfaatkan untuk
membuat strand dengan rekayasa, di antaranya bahan baku kayu bulat harus dikonversi
terlebih dahulu menjadi kayu gergajian.
Disc flaker memiliki beberapa set pisau pada permukaan piringannya (Tsoumis
1991; Marra 1992). Kayu yang diumpankan berbentuk balok dengan lebar tidak
melampaui panjang pisau. Saat piringannya berputar, masing-masing pisau menyapu
melintang balok sehingga mengambil permukaan balok. (Marra 1992)
Pada penelitian ini kayu bulat dikuliti (debarking), dan dikonversi menjadi papan
tangensial dengan tebal 2 cm. Selanjutnya papan ini dipotong menjadi balok-balok
dengan jarak 7 cm sesuai ukuran maksimum mesin disc flaker. Balok-balok inilah yang
akhirnya dikonversi menjadi strand dengan memasukkannya ke dalam disc flaker.
Diharapkan dihasilkan strands dengan dimensi panjang sekitar 70 mm, lebar 20 mm, dan
tebal 0.5 mm. Pada Gambar 2 dijelaskan teknik pembuatan strand dengan disc flaker.
Gambar 2 Teknik pembuatan strand dengan disc flaker
(Nuryawan & Massijaya 2006).
Dari strands yang dihasilkan diambil sampel dari masing-masing jenis kayu untuk
diukur dan diketahui dimensinya secara pasti, kemudian dihitung :
70 mm
70 mm
70 mm
Disc flakerlog
Papan
Tangensial
Balok-balok yang siap dimasukkan ke disc flaker
Dihasilkan
strands
dengan
dimensi
panjang +
70 mm
dipotong
9
p = panjang strand
l = lebar strand
Aspect ratio = rasio panjang dan lebar strand
Slenderness ratio = rasio panjang dan tebal strand
Bahan Baku Perekat
Penggunaan perekat dalam pembuatan produk panel-panel kayu sangat penting.
Demikian juga dalam pembuatan OSB, peranan perekat tidak bisa diabaikan. Tipe dan
jumlah resin perekat yang dipakai berpengaruh terhadap kualitas OSB yang diproduksi.
Penelitian pembuatan OSB skala laboratorium di Indonesia beberapa kali telah
dilakukan dengan menggunakan beraneka ragam bahan baku kayu namun penggunaan
perekat masih terbatas pada phenol formaldehyda (PF) berbentuk liquid/ cair. Di
antaranya yang bisa dicatat adalah yang dilakukan Puspariani (1996), Yusfiandrita
(1998), Sutrisno (1999), dan Tasdiq (2000) menggunakan PF cair (resin content 40 -
44%) dengan jumlah 6% dari berat kering oven strand. Sementara Ridwan (1997)
memvariasikan level PF cair dari 4%, 5%, 6%, 7%, sampai 8%.
Marra (1992) menjelaskan resin phenol merupakan hasil reaksi phenol dengan
formaldehyda. Resin phenol untuk aplikasi kayu utamanya menggunakan pelarut air atau
dispersi yang mungkin merupakan pelarut terbaik dan termurah. Resin PF cair pada
umumnya mengandung 40% resin solid, lebih disukai karena siap pakai tanpa
pencampuran dan telah digunakan secara luas untuk beberapa aplikasi. Kelemahan resin
phenol cair ini adalah ketika ingin ditambahkan kandungan resin pada garis rekat maka
akan meningkatkan resiko terjadinya blister selama pengempaan temperatur tinggi.
Kelemahan yang lain adalah masa simpannya yang pendek, hanya 1 hingga 3 bulan saja.
Pizzi (1994) menambahkan PF memiliki warna yang gelap biasanya coklat sampai hitam,
harga lebih mahal dibanding perekat tipe interior karena teknologi pembuatannya lebih
kompleks. Waktu kempa juga lebih lama dibandingkan resin yang bersifat termoplastik.
Pada penelitian ini digunakan juga resin PF berbentuk bubuk (powder) dengan
resin solid content 98.28%. Dijelaskan Marra (1992) bahwa resin PF bubuk sebenarnya
merupakan resin cair yang airnya dipindahkan. Resin bubuk lebih mahal per berat solid,
namun lebih murah untuk diangkut karena tidak ada berat air di dalamnya. Karena airnya
tidak ada maka resin bubuk memiliki masa simpan yang lebih lama hingga setahun atau
bahkan lebih jika disimpan di tempat sejuk dan dalam kondisi kering.
Diungkapkan bahwa resin PF berbentuk bubuk lebih efisien dibandingkan yang
berbentuk cair karena pertimbangan sifat fisik bubuk dan distribusi zat lilin. Hal ini
karena fungsi lilin sebagai pembawa bubuk di samping PF bubuk sendiri lebih toleran
terhadap kadar air dan lebih cepat memadat (curing) (Davis 1992).
Pengaplikasian resin bubuk dapat menggunakan dua cara. Pertama, dengan
mencampurkan PF bubuk dengan air sehingga sifat-sifatnya sama dengan PF cair. Kedua,
dengan menggunakan PF bubuk langsung pada permukaan kayu yang akan direkat
dengan memanfaatkan kandungan air alami yang ada pada kayu yang akan diaplikasikan.
Karena itu dapat diaplikasikan pada kayu dengan kadar air tinggi (Marra 1992).
Ditambahkan Hse (1975a) dalam Koch (1985), bahwa resin bubuk mudah
diaplikasikan pada flake species tertentu (misal kayu aspen), dengan peralatan yang
sederhana. Distribusinya merata karena resin cenderung melekat pada seluruh permukaan
flakes dan meminimalisasi aplikasi yang berlebihan.
Maloney (1993) menyatakan perekat PF bubuk dapat diaplikasikan pada kadar
1.5-5%, sementara Walter (1993) dalam Tasdiq (2000) menyatakan bahwa perekat PF
bubuk diberikan sebanyak 2.5-3%. Diperkuat Bowyer et al. (2003) bahwa jumlah resin
solid yang diaplikasikan untuk OSB berkisar 2-5% berdasarkan berat kering strand.
Penelitian ini menggunakan tiga jenis perekat (resin), meliputiPF cair, PF bubuk,
dan IC. Pengaplikasian ketiga perekat ini ada yang dilakukan secara konvensional seperti
penelitian-penelitian terdahulu, yaitu satu jenis papan untuk satu jenis perekat (seperti
yang dilakukan oleh McElrath 1992 dan SBA 2005) namun tidak menggunakan
campuran (alloy) dua jenis resin (Hse 1981 dalam Koch 1985).
Pada penelitian ini diproduksi juga OSB hybrid, yaitu bagian permukaan dan
belakangnya direkat dengan PF bubuk atau PF cair, sementara pada bagian intinya
(core) menggunakan IC. Dasar pemikiran dilaksanakannya penelitian ini adalah perekat
IC dibandingkan resin dapat matang (curing) pada suhu yang lebih rendah (Marra 1992;
Lowood 1997; Bowyer et al. 2003) sehingga memungkinkan aplikasi perekat IC ada pada
bagian inti, sedangkan pada bagian permukaan atau belakang panel OSB diaplikasikan
resin PF (cair atau bubuk).
11
Dalam penelitian ini ketebalan sasaran OSB sebesar 9 mm, dibuat tiga lapis yang
saling bersilangan tegak lurus dengan perbandingan berat yang sama. Suhu pengempaan
panas sebesar 160
0C dengan pertimbangan resin phenol akan thermoset (mengeras) pada
suhu 150
0C (Hickson 1981 dalam Koch 1985). Namun agar optimum alirannya,
dibutuhkan 10-20
0C suhu yang lebih tinggi (Hse 1981 dalam Koch 1985). Dan suhu pada
bagian core/ inti dari suatu panel harus mencapai 121-149
0C (Maloney 1993).
Marra (1992) menjelaskan mengenai perekat IC yang berdasar reaktivitas tinggi
dari radikal isocyanat –N=C=O. Dilengkapi bahwa reaksi terpenting dari grup isocyanat
adalah reaksi adisi alkohol, air, atau amina, yaitu : (Wikimedia Foundation Inc. 2006)
Formasi Urethan:
R-NCO + R’-OH → R-NHC (O) O-R
Formasi Urea:
R-NCO + R’-NH
2→ R-NHC (O) NH-R’
Reaksi dengan air:
R-NCO + H
2O →[R-NHCOOH]
[R-NHCOOH]→ R-NH
2+ CO
2Marra (1992) menjelaskan bahwa keuntungan menggunakan perekat IC
dibandingkan resin adalah 1) dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit saja untuk
memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, 2) dapat menggunakan suhu yang lebih
rendah, 3) memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat, 4) lebih toleran pada
partikel berkadar air tinggi, 5) energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan, 6)
stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil, dan 7) tidak ada emisi
formaldehyda. Kelemahan IC ini hanyalah harganya yang relatif mahal dibandingkan
perekat sintetis lainnya.
Ketiga jenis perekat ini berikatan dengan strands penyusun OSB secara umum
dapat digambarkan seperti empat teori fenomena perekatan yang dikemukakan Pizzi
(1994), yaitu : (a) teori interlocking/ aksi bersikunci, (b) teori difusi, (c) teori electronic
(d) teori adhesi spesifik/adsorpsi dan ditambahkan pula satu teori lagi yaitu teori ikatan
kimia kovalen.
Teknik Pembentukan Lembaran OSB
Ada dua tipe penyusunan strands pada lembaran, yaitu mechanical alignment dan
electrical alignment. Orientasi mekanis dapat dilakukan dengan menjatuhkan strands di
antara plat-plat tipis sejajar atau dengan membawanya ke dalam kantong-kantong sempit
untuk kemudian dijatuhkan pada plat. Pada orientasi strands secara elektrik, strands
dijatuhkan di antara plat bermuatan listrik, dan strands karena polar mengatur dirinya
dengan medan listrik (Koch 1985; Bowyer et al. 2003)
Pengorientasian arah ini bisa dilakukan secara manual atau bantuan alat sederhana
seperti yang dilakukan Nishimura et al. (2004) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3
berikut.
Gambar 3 Alat sederhana (former device) untuk mengorientasikan strand pada
pembuatan OSB skala laboratorium (Nishimura et al. 2004).
Pengorientasian arah ini bisa jadi merupakan faktor kunci dalam pembuatan OSB
karena akan menentukan kualitas OSB yang dihasilkan. Puspariani (1996) membuat 3
model OSB berdasarkan orientasi arah strands-nya, yaitu model 1 : arah seluruh strands
acak, model 2 : arah strands pada lapisan inti acak, dan model 3 : arah strands pada
lapisan inti tegak lurus terhadap arah strands pada lapisan muka. Salah satu kesimpulan
hasil penelitiannya adalah arah strands pada lapisan muka dan lapisan inti berpengaruh
terhadap nilai keteguhan patah (MOR) dan keteguhan lentur (MOE) tetapi tidak
berpengaruh terhadap kadar air, pengembangan tebal, dan keteguhan rekat internalnya.
Pengorientasian arah yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan alat bantu
former device model Nishimura et al. (2004) yang telah disempurnakan, terbuat dari
papan dan kawat dengan tujuan efisiensi waktu. Selama ini pengorientasian arah
13
dilakukan manual yaitu sebagaimana penyusunan batu bata dalam konstruksi bangunan
(Puspariani 1996; Ridwan 1997; Yusfiandrita 1998; Sutrisno 1999; Tasdiq 2000).
Gambaran Umum Pembuatan OSB
Proses pembuatan OSB pada dasarnya hampir sama dengan tahapan pada
produksi papan partikel, hanya saja ada pengorientasian arah saat pembentukan lembaran
dan pelapisan bahan anti air (plinkut) pada sisi-sisi tebalnya. Selengkapnya seperti yang
dipaparkan Lowood (1997), Youngquist (1999) dan CWC (2006) sebagai berikut :
Pengupasan kulit kayu (debarker) dan pembuatan strand
Telah diketahui bahwa kulit kayu akan menghambat proses perekatan. Karena itu
tahapan debarker mutlak dilakukan. Untuk pembuatan strand ukuran geometrinya bisa
mengikuti seperti OSB yang diproduksi di Edson OSB Division of Pelican Sawmills Ltd.
Canada, yang memiliki lebar 0.5 inchi (1.2 cm), panjang 4.5-6 inchi (11–15 cm), dan
tebal 0.027 inchi (0.07 cm) (Lowood 1997). Namun demikian hal tersebut tidak mutlak
tergantung kualitas OSB yang akan dihasilkan. Youngquist (1999) menyarankan agar
dapat menghasilkan OSB dengan kekuatan lengkung (bending) dan kekakuan yang lebih
besar, maka strands kayu yang dibuat harus memiliki aspect ratio (perbandingan panjang
dan lebar strand) paling sedikit tiga.
Nishimura, et al. (2004) dalam penelitiannya menyelidiki lima macam strand
(Gambar 4) dengan menyelidiki dimensi strand-nya (Tabel 2).
Tabel 2 Dimensi strand (hasil pengukuran 100 strand) penelitian Nishimura et al. (2004)
Bentuk geometri strand Panjang (mm) Lebar (mm) Tebal (mm) Aspect Ratio Slenderness Ratio Type 1 Rata-rata Standar dev. 109.93 16.53 65.51 15.84 0.67 0.16 1.77 0.49 173.00 50.95 Type 2 Rata-rata Standar dev. 99.60 7.87 38.75 10.76 0.61 0.17 2.75 0.70 177.11 50.96 Type 3 Rata-rata Standar dev. 99.68 7.79 23.56 8.60 0.61 0.17 4.70 1.46 175.42 52.30 Type 4 Rata-rata Standar dev. 83.23 13.90 34.67 12.35 0.63 0.17 2.68 0.93 141.47 45.45 Type 5 Rata-rata Standar dev. 71.10 15.79 12.54 4.01 0.62 0.23 6.25 2.45 129.40 52.27Hubungan bentuk geometri strand dan kekuatan bending penelitian Nishimura et
al. (2004) disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6 berikut :
Gambar 5 Hubungan MOE dan OSB yang terbuat dari masing-masing type strand
15
Gambar 6 Hubungan MOR dan OSB yang terbuat dari masing-masing type strand
hasil penelitian Nishimura et al. (2004).
Pengeringan
Teal (1996) melaporkan penggunaan conveyor dalam pengeringan strands OSB
terbukti menguntungkan dalam hal mengurangi emisi, memperbaiki pengawasan proses,
serta memperbaiki kualitas strands dan produk akhir. Ayrilmis et al. (2005)
merekomendasikan pengeringan strands hingga kadar airnya 2-3%.
Blending
Blending merupakan proses pencampuran strands dengan binder (perekat dan
lilin). Davis (1992) mengungkapkan resin PF yang berbentuk powder lebih efisien
dibandingkan yang berbentuk cair karena pertimbangan sifat fisik bubuk dan distribusi
zat lilin. Sementara McElrath (1992) melaporkan bahwa binder IC berpotensi
memaksimalkan sifat fisik penampilan panel OSB, mengefisienkan proses, dan
menguntungkan dalam hal lebih cepat padat (curing) dan terikat (bonding) yang
kemudian berimplikasi biaya produksi (energi) lebih rendah. Selain itu penampilan fisik
papan bersih dan tidak ada emisi formaldehyde.
SBA (2005) merekomendasikan penambahan wax (lilin) kurang dari 1.5% berat
untuk memperbaiki ketahanan OSB.
Pembentukan lembaran
Pembentukan lembaran merupakan proses yang kritis dalam produksi OSB karena
ada pengorientasian arah strand. Dilengkapi bahwa orientasi strand lapisan inti yang
tegak lurus terhadap lapisan permukaan menghasilkan kekuatan lebih baik dibanding
yang sejajar atau acak (Mc Natt et al.1992 dalam Yusfiandrita 1998).
Pengempaan panas
Ayrilmis et al. (2005) menggunakan tekanan 3.5 - 4 MPa dan suhu 210-215
0C
untuk target ketebalan 10 mm menghabiskan total waktu pengempaan 295 detik, yang
dirinci sebagai berikut : posisi kontrol 5 detik hingga mencapai ketebalan 20 mm, 20
detik untuk menekan hingga ketebalan 10 mm, dan 255 detik pengempaan dipertahankan
pada ketebalan 10 mm, dan 15 detik terakhir untuk membuka kempa hingga 14 mm.
Finishing, pengepakan, dan pengangkutan
OSB dikondisikan, dipotong menjadi ukuran pakai yang berbeda-beda tergantung
tujuannya, dan diberi lapisan plinkut (dilapisi bahan kedap air pada sisi-sisi tebalnya).
Setelah disertifikasi, OSB siap dipak dan dipasarkan (SBA 2006)
Kualitas dan Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Produksi OSB
Bowyer et al. (2003) menyatakan ada lima hal primer yang perlu diperhatikan
ketika memilih panel struktural untuk penggunaan yang spesifik, yaitu :
Keawetan garis rekat diperlukan untuk menghindari delaminasi.
Standar Asosiasi Kayu Lapis Amerika (APA) mensyaratkan keawetan garis rekat
khusus eksterior atau exposure 1. Ini berarti tidak hanya garis rekatnya saja yang harus
awet tetapi vinir yang digunakan harus memenuhi kualitas tertentu. Karena OSB tidak
menggunakan vinir, maka sifat-sifat papanlah yang dipersyaratkan dan ditentukan oleh
pengguna akhir (Bowyer et al. 2003).
Syarat kekuatan untuk panel penggunaan struktural
Karena OSB tersusun atas lapisan-lapisan, dimungkinkan untuk dapat
memanipulasi proporsi dan jenis resin, kadar air, parameter proses, dan geometri strand
untuk menghasilkan OSB yang memiliki kekuatan superior. Sementara yang tegak lurus
bisa mencapai di atas 29 MPa (4200 psi). Kerapatan OSB yang digunakan sebagai pelapis
17
biasanya 640 - 670 kg/ m
3dengan menggunakan bahan baku kayu yang biasanya
memiliki kerapatan 370 - 480 kg/ m
3(Bowyer et al. 2003).
Diperlukan kualitas permukaan yang baik jika untuk ditampakkan
Sekunder produk merupakan pengembangan nilai tambah (value added) OSB.
Salah satunya OSB dapat digunakan sebagai bagian dalam furnitur (furniture corestock).
Jika diperlukan untuk ditampakkan, Lowood (1997) menambahkan bahwa salah satu
karakteristik OSB adalah tidak mengandung rongga kosong, mata kayu, dan delaminasi.
Syarat khusus seperti ketahanan terhadap lapuk ataupun api
Lapuk biasanya berhubungan dengan cuaca dan air. Berhubungan dengan
ketahanan terhadap api, Lowood (1997) menyatakan bahwa OSB memiliki penyebaran
nyala api dan daya tahan bakar yang sama atau bahkan lebih sempurna dibandingkan
kayu lapis pada ukuran ketebalan yang sama, dan sepadan dengan kayu biasa pada
tingkat kerapatan yang sama.
Perbedaan harga pasar
Lowood (1997) menyatakan salah satu karakteristik OSB adalah memiliki harga
nilai tinggi, yang berarti memiliki nilai perbandingan yang tinggi antara kekuatan
terhadap berat, mudah penanganan, dan pemasangannya dapat menggunakan peralatan
pertukangan sederhana, serta biaya/ ongkos yang lebih rendah dan bersaing dengan jenis
panel yang struktural lain.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak Desember 2006 sampai dengan Juli 2007 di Laboratorium Biokomposit, Laboratorium Keteknikan Kayu, dan Laboratorium Kayu Solid-Departemen Hasil Hutan-Fakultas Kehutanan-IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 3 jenis kayu cepat tumbuh yang berasal dari pohon yang masih berdiameter kecil, terdapat di sekitar kampus IPB Darmaga. Spesifikasi ketiga jenis kayu tersebut, yang meliputi jumlah, kadar air (KA) segar dan kering udara, serta berat jenis (BJ) ditunjukkan pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3 Spesifikasi bahan baku kayu penelitian
Jumlah & Nama Kayu Rata-rata Diameter (cm) KA basah (segar) (%) KA kering udara (%) BJ 2 batang akasia
(Acacia mangium Willd.)
2 batang ekaliptus (Eucalyptus sp.)
2 batang gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
18.35 16.60 17.45 90.74 86.10 81.10 15.03 16.14 14.58 0.41+ 0.09 0.57 + 0.14 0.45 + 0.06
Setelah dikonversi menjadi strands, performanya sebagai bahan baku OSB ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil pemotretan fotomikroskop untuk mengetaui gambaran permukaan strands disajikan pada Gambar 8.
Gambar 7 Performa strands ketiga jenis kayu bahan baku OSB. (i) Strands kayu akasia (skala dalam cm)
(ii) Strands kayu ekaliptus (skala dalam cm)
(ii) Strands kayu gmelina (skala dalam cm)
Bahan baku perekat yang digunakan, terdiri atas :
- Phenol Formaldehyda (PF) cair dari PT. Duta Pertiwi Nusantara-Pontianak, dengan resin solid content (RSC) 44.54%
- Perekat isocyanat (IC) dari PT. Polychemi Asia Pasifik-Jakarta, RSC 99.36%
- PF bubuk dari PT. Indopherin Jaya-Jakarta, RSC 98.28%
Bahan untuk analisis kelayakan teknis adalah data sekunder hasil pengujian papan partikel dan papan serat yang ada di pasaran. Papan partikel terbuat dari kayu karet dan papan serat terbuat dari kayu gmelina, keduanya direkat dengan perekat Urea Formaldehyda (UF). Data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis kedua papan tersebut selengkapnya disajikan pada Lampiran 10.
Alat utama yang digunakan meliputi gergaji, disc flaker, saringan, oven, timbangan, kaliper, mikrometer sekrup, fotomikroskop, former device, hot press, dan UTM (Universal Testing Machine) merk Instron dengan kapasitas 5 ton.
Metodologi Penelitian
Target OSB yang dibuat mengikuti ukuran komersial dan telah sesuai standar Jepang (JIS A 5908 : 2003), yaitu memiliki kerapatan target 0.75 g/cm3 dengan ketebalan 9 mm. Sedangkan dimensi panjang dan lebar dibuat 30 cm x 30 cm mengikuti kemampuan kempa panas yang tersedia di laboratorium.
OSB dibuat tiga lapis, dengan model lapisan permukaan dan belakangnya tegak lurus dengan lapisan tengah. Teknik pembentukan lembaran dengan menyusun strands menggunakan alat bantu former device yang disempurnakan, terbuat dari papan dan kawat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
22
Penjelasan mengenai skema pembuatan OSB, diterangkan sebagai berikut: 1. Persiapan bahan baku
Strands yang sudah dihasilkan dan dipilih dikeringkan di bawah sinar matahari untuk kemudian dioven atau dimasukkan ke dalam kiln drying hingga kadar airnya 2-3% untuk aplikasi perekat PF cair, dan 8-9% untuk aplikasi perekat PF bubuk dan isocyanat. Diharapkan dengan kadar air strands seperti tersebut dapat terjadi kadar air mat (furnish) yang sama sekitar 10-11%, sesuai dengan yang dinyatakan Maloney (1993).
2. Blending
Karena variabel penelitian ini adalah jenis kayu dan perekat, maka penambahan wax (lilin) dibuat sama untuk semua papan, yaitu 1 % berdasarkan berat kering oven strands. Perekat yang digunakan sebanyak 7% berat kering oven strands (Nuryawan et al. 2007). Blending dilaksanakan dalam rotary blender dengan bantuan spray gun untuk menyemprotkan perekat PF cair dan isocyanat. Sementara Perekat PF bubuk diaplikasikan dalam kantong plastik.
3. Pembentukan lembaran
Pembentukan lembaran dilakukan dengan menggunakan bantuan alat former device untuk pengorientasian strands secara sederhana. Jarak former device dengan lembaran dibuat 20 mm. Perbandingan berat strands lapisan muka : inti : belakang adalah 1 : 1 : 1.
4. Pengempaan panas
Pengempaan panas menggunakan tekanan 25 kg/cm2 dan suhu 1600 C dengan total waktu pengempaan 15 menit, yang dirinci : 5 menit untuk posisi kontrol hingga mencapai ketebalan 20 mm dan 10 menit untuk mengempa, dipertahankan pada ketebalan 9 mm.
5. Finishing dan persiapan pengujian
OSB yang sudah jadi dikondisikan selama 2 minggu pada suhu kamar. Kemudian dipotong menjadi contoh uji-contoh uji berdasarkan JIS A 5908 : 2003, dengan pola skema diagram seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10 dengan keterangan gambar disajikan pada Tabel 4.
(i) akasia perbesaran 10x
(iii) ekaliptus perbesaran 10x