• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2. Industri Kecil

Baik secara lisan maupun tertulis, banyak pihak menggunakan istilah yang berbeda untuk membahas industri kecil. Di samping penggunaan istilah industri kecil (small industry), ada sejumlah penggunaan istilah lain yang bermakna sama, misalnya: usaha kecil (small business),perusahaan kecil (small firm), usaha skala kecil (small scale

business), dan lain-lain. Ada yang menganggap bahwa industri kecil adalah sub sector.

Anggapan ini sebaiknya diabaikan karena semua istilah mempunyai kadar yang sama.

2.1 Pengertian Industri Kecil

Ada beberapa lembaga pemerintah Indonesia yang membuat patokan atau standar yang menggolongkan suatu industri dapat dikategorikan sebagai industri kecil. Ukuran yang digunakan mengacu pada jumlah pekerja, permodalan maupun pemilikan.

Pengertian industri kecil menurut lembaga atau departemen : a. Badan Pusat Statistik (BPS)

BPS mendefenisikan industri kecil sebagai industri yang mempunyai tenaga kerja 5-19 orang yang terdiri dari pekerja kasar yang dibayar, pekerja pemilik dan pekerja keluarga yang tidak dibayar. Perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja lebih kecil dari 5 orang diklasifikasikan sebagai industri rumah tangga atau kerajinan rakyat.

b. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deppereindag)

Depperindag mendefenisikan industri kecil sebagai industri kecil yang memiliki nilai investasi seluruhnya sampai dengan Rp. 200 juta diluar tanah dan bangunan. Hal ini

sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 254/MPP/Kep/1997 tanggal 28 Juli 1997.

c. Undang-undang No. 9 tahun 1999 tentang Usaha Kecil

Di dalam UU No. 9 / 1999 ditetapkan bahwa usaha kecil adalah suatu unit usaha yang memiliki nilai asset neto (tidak termasuk tanah dan bangunan) yang melebihi Rp 200 juta, atau penjualan per tahun tidak lebih besar dari Rp 1 miliar.

d. Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari :

(1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan

(2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)

e. Menurut UU No 20 Tahun 2008 ini, yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut :

(1) kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

(2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Sementara itu, yang disebut dengan Usaha Menengah adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut :

(1) kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

(2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

2.2 Peranan Industri Kecil

Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, maka kebijakan pembangunan ekonomi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat dipandang sebagai keseluruhan usaha pembangunan yang seimbang di berbagai daerah. Laju perumbuhan ekonomi suatu Negara ataupun suatu daerah tercermin dalam paningkatan pendapatan perkapita dan penyerapan tenaga kerja. Pencapaian tujuan pembangunan regional tidak terlepas dari perencanaan pembangunan sesuai potensi sumber daya yang tersedia di wilayah itu sendiri.

Agar pembanguan regional dapat memberikan manfaat bagi masyarakat maka lingkungan pembangunan pedesaan merupakan suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk pedesaan menguasai lingkungan social disrtai peningkatan taraaf hidup masyarakatnya.

Di Indonesia industri kecil merupakan tulang punggung pembangunan dan merupakan salah satu prasyarat tercapainya suatu stabilitas politik karena kemampuannya memperkecil jumlah pengangguran baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan. Macetnya perkembangan industri kecil sebaiknya akan menimbulkansituasi politik yang rawan karena banyaknya pengangguran di Idonesi (Kenneth James, 1993).

Peran industri kecil dalam proses pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak dapat di abaikan begitu saja karena selama ini usaha kecil telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan domestic. Sector perdagangan, transportasi dan usaha kecil telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan domestic. Sector perdagangan, transportasi dan usaha kecil ternyata berperan penting sebagai penghasil devisa. Oleh karena itu pengeembangan usah kecil dirasa cukuppenting sampai 25 tahun mendatang, diproyeksikan kemampuan penyerapan tenaga kerja dari berbagai sector seperti pertanian, jasa industri sangat terbatas. Dalam kondisi seperti ini industri kecil diharapkan memainkan peranan khususnya dalam penyerapan tega kerja.

Oleh karena itu industri kecil sangat penting untuk didukung mengingat alasan-alasan berikut, pertama masalah fleksibilitas dan adaptabilitasnya didalam memperoleh bahan mentah dan peraltan. Kedua, relevansinya dengan proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi kegiatan pada sector-sektor ekonomi yang lain. Ketiga, potensinya terhadap penciptaan dan perluasan kesempatan kerja bagi pengangguran, keempat peranannya dalam jangka panjang sebagai basis bagi mencapai kemandirian pembanguna ekonomi, karena usaha berskala kecil umumnya diusahakan oleh pengusaha dalam negeri.

2.3 Kekuatan dan Kelemahan Industri Kecil

Industri kecil dalam perekonomian sendiri memiliki beberapa kekuatan. Kekuatan tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Sangat padat karya, dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat banyak, mengikuti laju pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang rata rata

per tahun masih sangat tinggi, sehingga upah nominal tenaga kerja, khususnya dari kelompok berpendidikan rendah di Indonesia masih sangat relative mural dibandingkan dengan Negara-negara lain di Asia dengan jumlah penduduk dan angkatan kerja yang lebih sedikit.

b. Banyak industri kecil membuat produk-produk yang bernuansa kultur seperti kerajinan dari bamboo dan rotan atau ukir-ukiran dari kayu yang pada dasarnya merupakan keahlian tersendiri dari masyarakat di masing-masing daerah. Hanya saja kelemahan pengusaha-pengusaha kecil tersebut selama ini tidak membuat hak cipta terhadap produk-produk mereka, dan tidak melakukan banyak inovasi baik dalam proses pembuatan maupun desain, sehingga produk-produk mereka akan mudah ditiru oleh orang asing dengan kualitas dan desain yang lebih baik dan memiliki hak cipta.

c. Pengusaha-pengusaha kecil dan rumah tangga lebih banyak menggantungkan diri pada uang sendiri, atau pinjaman dari sumber informal, untuk modal kerja dan investasi mereka; walaupun banyak juga yang memakai fasilitas kredit khusus dari pemerintah. Memang nilai investasi tetap di industri kecil dan rumah tangga rata-rata jauh lebih rendah dari pada industri besar menengah yang bukan hanya skala usahanya yang besar tetapi proses produksinya lebih kompleks dan padat modal.

d. Secara umum kegiatan industri kecil daan rumah tangga di Indonesia masih sangat agricultured based, karena memang banyak komoditas-komoditas pertanian yang dapat diolah dalam skala kecil. Karena sektor pertanian paling tidak secara potensial merupakan sector terbesar di Indonesia, maka sebenarnya

pengembangan industri kecil di Indonesia mempunyai suatu prospek yang sangat baik termasuk yang berorientasi ekspor. Selain itu karena banyak industri kecil bergerak dibidang agroindustri, maka pada umumnya kelompok industri lebih banyak menggunakan bahan baku dan bahan penolong local, atau tingkat ketergantungan tehadap impor jauh lebih rendah dibandingkan intensitas impor industri besar dan menengah.

Kelemahan industri kecil terutama dalam hal kemampuan untuk bersaing masih sangat lemah, tidak hanya di pasar domestik terhadap produk-produk dari industri besar atau impor tetapi juga di pasar ekspor. Tidak hanya daya saing globalnya, tetapi juga diversikasi produk dari industri kecil di Indonesia juga rendah. Kelemahan ini juga disebabkan oleh banyak masalah-masalah yang dihadapi kelompok industri tersebut yang menjadi kendala serius bagi perkembangan serta pertumbuhannya.

Masalah-masalah tersebut termasuk keterbatasan dana, baik untuk modalm kerja maupun investasi, kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan penyediaan bahan baku dan input-input lainnya, keterbatasan sumber daya manusia dengan kualitas baik, pengetahuan/wawasan yang minim mengenai bisnis, tidak adanya akses ke informasi, keterbatasan teknologi, dan lainnya. Tingkat keseriusan dari setiap masalah-masalah tersebut bervariasi, tidak hanya antara subsektor, tetapi juga antara sesama pengusaha di subsektor yang sama (Tambunan, 1999 : 118).

2.4. Tantangan, Kendala, Dan Peluang Usaha

Melihat sangat banyaknya usaha kecil dan menengah di Indonesia, hal ini sudah pasti menyerap banyak tenaga kerja dan terjadinya pemerataan pendapatan. Kondisi ini menjadikan pemerintah wajib memberikan dukungan kepada usaha kecil dan menengah. Hal ini dimungkinkan, karena tantangan, kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah cukup tinggi, tetapi peluangnya sangat prospektif. Adapun kendala, tantangan, dan peluang usaha yang dimaksud adalah seperti berikut:

1. Tantangan yang dihadapi usaha kecil dan menengah

a) GATT/WTO b) AFTA tahun 2003 c) APEC tahun 2020

d) Blok-blok perdagangan dan investasi lain

2. Kendala yang dihadapi usaha kecil dan menengah

a) Kualitas sumber daya manusia rendah

b) Tingkat produktivitas & kualitas produk dan jasa rendah c) Kurangnya teknologi dan informasi

d) Faktor produksi, sarana & prasarana belum memadai e) Aspek pendanaan & pelayanan jasa pembiayaan

f) Iklim usaha yang belum mendukung (peraturan perundangan persaingan sehat)

g) Koordinasi pembinaan belum berjalan

3. Peluang usaha kecil dan menengah

b) Pembangunan yang makin berkeadilan dan transparan c) Ketersediaan SDM yang berkualitas (eks PHK) d) Sumber daya lama yang beraneka ragam e) Terpuruknya usaha-usaha pengusaha besar f) Apresiasi US dolar yang sangat tinggi.

Adanya tantangan dan kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah, yang diimbangi dengan peluang usaha yang terbuka dengan lebar, tentunya tidak akan dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Hal ini tentu saja harus dicarikan jalan keluar dengan sebaik-baiknya. Apalagi pemerintah menyadari usaha kecil dan menegah masih dapat menyerap tenaga kerja di tengah situasi perekonomian yang sedang terpuruk.

Melihat kondisi ini, tentunya bagi pengusaha kecil dan menengah harus dijadikan tonggak awal bagi pengembangan dan kesempatan usaha yang seluas-luasnya, terutama untuk menggantikan posisi pengusaha besar yang sedang terpuruk. Pemerintah tentunya akan membantu pengusaha kecil dan menengah untuk mengembangkan usaha, tanpa melihat besar atau kecilnya skala usaha yang dilakukan.

2.5 Pengembangan Industri Kecil

Faisal Basri (1995 : 153) menjelaskan bahwa untuk pengembangan industri kecil di masa yang datang ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu:

a. dalam konteks kebijakan, peran penting pemerintah hendaknya menjamin terintegrasinya kepentingan industri kecil dalam kebijakan makro ekonomi dan tidak diskriminatif. Pengembangan industri kecil tidak hanya berdasarkan atas azas

pemerataan tetapi lebih terkait dengan kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.

b. Di tingkat kelembagaan, mekanisme kerjasama antara lembaga pemerintahan, swasta maupun swadaya harus dikembangkan berdasarkan pembagian kerja fungsional. c. Prioritas pengembangan industri kecil haruslah dalam konteks pertumbuhan ekonomi

dan kesempatan kerja. Ini berarti pengembangan infrastuktur haruslah diorientasikan kepada pola distribusi sumber daya yang merata terhadap pelaku ekonomi yang ada.

Inti dari pengembangan industri kecil sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya terletak pada upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan adanya sumber daya manusia yang bermutu, maka industri kecil akandapat tumbuh dan berkembang menjadi industri kecil yang tangguh.

Hingga saat ini sebenarnya sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk membantu industri kecil.. Mulai dari menciptakan banyak credit schemes dari perbankan, keharusan BUMN menyisihkan sebagian dari profitnya untuk membantu industri kecil, menciptakan sentra-sentra, hingga gerakan nasional kemitraan usaha. Tetapi sayangnya fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini kinerja industri kecil negara-negara lain seperti Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. program-program pemerintah selama ini ternyata tidak terlalu efektif (Tambunan, 1999 : 221).

Menurut Tambunan salah satu penyebabnya adalah bahwa selama ini pemerintah belum memiliki visi yang jelas mengenai peranan industri kecil di dalam perekonomian Indonesia, dan hal ini sangat mempengaruhi kebijaksanaan pengembangan industri kecil selama ini. Industri kecil dianggap penting hanya sebagai salah satu instrument politik untuk menanggulangi masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi

pendapatan. Industri kecil tidak hanya dilihat sebagai suatu kelompok unit usaha yang seharusnya terintegrasi sepenuhnya didalam dunia usaha nasional secara nyata. Industri kecil harus dilihat sebagai unit usaha yang terintegrasi sepenuhnya dengan industri menengah dan besar d idalam industri nasional. Peranan pemerintah juga harus berubah. Peranan pemerintah dalam mendukung industri kecil dan menengah hanyalah sebagai fasilisator, stimulator, regulator, dan stabilisator. Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah, khususnya pemerintah daerah setempat, bukan memberikan segala macam fasilitas-fasilitas kemudahan seperti credit schemes dengan suku bunga murah, melainkan menghilangkan segala market distortions, termasuk pemerintah harus hand-off dari segala macam pengaturan-pengaturan tata niaga yang kenyataanya selama ini hanya memperbesar distorsi pasar yang lebih merugikan industri kecil itu sendiri.

2.6 Strategi Pemberdayaan Industri Kecil

Strategi pemberdayaan yang telah diupayakan selama ini untuk pemberdayaan industri kecil dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek utama berikut :

1. Aspek manajerial, yang meliputi: peningkatan produktifitas, omset, tingkat utilitas, atau tingkat hunian; peningkatan kemampuan pemasaran; dan pengembangan sumber daya manusia.

2. Aspek permodalan, yang meliputi: bantuan modal (penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyaalurkan kredit bagi usaha kecil minimum 20% dari portofolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, dan KKU).

3. Pengembangan program kemitraan dengan usaha besar, baik lewat Bapak-Anak angkat, PIR, keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-hulu (backward linkage), modal ventura, maupun subkontrak.

4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan, apakah berbentuk PIK (Pemukiman Industri Kecil), LIK (Lingkungan Industri Kecil), atau SUIK ( Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).

5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok Usaha Bersama) dan KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).

Harus diakui telah banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan pengembangan usaha kecil. Namun, upaya pembinaan usaha kecil sering tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi mengenai usaha kecil pada gilirannya menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sector oriented, di mana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Akibatnya, dua hal terjadi: (1) ketidakefektifan arah pembinaan serta (2) ketiadaan indicator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi Pembina berupaya mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Karena egoisme sektoral atau departemen, dalam praktek sering dijumpai ‘persaingan’ antar organisasi Pembina. Pengusaha kecilpun sering mengeluh karena hanya selalu menjadi ‘objek’ binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung.

Assauri (1993) mengusulkan untuk mengembangkan interorganizational process dalam pembinaan usaha kecil. Dalam praktiknya, struktur jaringan dlam kerangka organisasi pembinaan usaha kecil dpat dilakukan dalam bentuk incubator bisnis dan PKPK (Pusat Konsultasi Pengusaha kecil). PKPK adalah ide Departemen Koperasi dan PPK, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah pengembangan pengusaha kecil menjadi tangguh dan atau menjadi pengusaha menengah melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan koordinasi antarinstansi. Saat ini, tercatat sudah ada 16 PKPK di Indonesia, yang tersebar di 13 propinsi, dan konon diperluas hingga 21 perguruan tinggi pada 18 propinsi. Kegiatan semacam ini merupakan suatu terobosan yang tepat mengingat potensi pengusaha kecil di Indonesia sangat memungkinkan untuk dikembangkan.

Tabel 1 : Lembaga-lembaga Pendukung Pengembangan Usaha Kecil (UK)

Lembaga Pendukung Peran Yang Dilakukan Program atau Intervensi 1. Pemerintah

1.1 Deperin Perumusan Kebijakan pengembangan, implementasi program, dan penyediaan fasilitas

Pendidikan dan pelatihan

Penelitian dan pengembangan teknoproduksi.

Pelayanan teknis melalui UPT

Pelayanan informasi dan konsultasi

Perantara UK dengan bapak angkat

1.2 Depdikbud Peningkatan SDM melalui semua jalur: formal, informal, dan nonformal

Konsep link dan match antara dunia

Orientasi pendidikan sangat bias

Program magang

 Pelatihan melalui

pendidikan masyarakat

Pembinaan melalui kursus-kursus informal

Perhatian terfokus pada usaha menengah-besar-formal, belum ada program yang berorientasi pada UK

1.3 Depnaker Pembinaan dan penempatan tenaga kerja

Perumusan kebijakan

ketenagakerjaan

Pelatihan melalui BLK

Pengembangan pusat informasi

Penetapan KUM dan

monitoring-nya

Pengembangan usaha kecil dan usaha mandiri lebih ditujukan

Lembaga Pendukung Peran Yang Dilakukan Program atau Intervensi ketimbang pengembangan usaha 1.4 Depsos Pembinaan UK sebagai bagian upaya

pengentasan kemiskinan

Pelatihan-pelatihan 1.5 Depkeu Merancang kebijakan ekonomi yang

kondusif bagi pengembangan UK

Mekanisme control terhadap implementasi kebijakan yang telah diambil masih sangat minim

Kontrolpelayanan finansial bagi usaha kecil

Pembentukan dan pembinaan UK, antgara lain melalui alokasi 1-5% dana keuntungan BUMN

Penyederhanaan produser pelayanan finansial.

1.6 Bappenas Perencanaan dan pengawasan pembangunan dengan titik berat pada pengentasan kemiskinan

Mekanisme kontrol terhadap lembaga pelaksana IDT sangat lemah

Pemetaan desa miskin

Inpres desa tertinggal (IDT) dengan orientasi penggunaan dana untuk kegiatan produktif

1.7 Depkop dn PPK Merumuskan kebijakan

pengembangan UK

Berfungsi sebagai koordinator dalam gerakan pengembangan ekonomi rakyat

Pningkatan SDM

Pelayanan konsultsi bekerja sama dengan perguruan tinggi

Mengembangkan koperasi sebagai salah satu wadah kegiatan ekonomi rakyat

1.8 Pemda bersama Bappeda dan Dinas Tata kota

Pengaturan perizinan usaha

Pengaturan tata kota

Penyediaan fasilitas tempat usaha (sentra atau pusat perdagangan)

Lokalisasi UK seringkali sangat merugikan karena memisahkan UK dari sestem sosial yang ada.

2. LSM Lembaga pelayanan alternative bagi usaha kecil yang berfungsi sebagai lembaga perantara untuk menjembatani keterbatasan pemerintah dan swasta dalam menjangkau usaha kecil

Sangat berpotensi menjadi partner UK karena kedekatan hubungannya dengan UK

Koordinasi antar LSM maupun lembaga pendukung lainnya sangat minim

Lingkup kerja terbatas serta ada ketergantungan finansial dan teknisi ahli yang akan mengancam keberlanjutan lembaga

Pengembangan berbagai kelompok swadaya masyarakat

Pelatihan teknis produksi dan pengolahan atau administrasi

Penelitian dan konsultasi

Intervensi efektif hanya dalam wilayah kerjanya

Masih belum menjangkau kelompok usaha kecil yang betul-betul marjinal

3. Lembaga swasta dan perorangan

Peningkatan SDM melalui pendidikan dan pelatihan

Pengembangan SDM

Perantara dalam pasar kerja 4. Lembaga Penelitian di

Perguruan Tinggi

Penelitian dan pengembangan teknologi produksi serta sumber daya manusia

Pengembangan skema

pelayanan finansial di pedesaan

Pelatihan dan teknis menajemen untuk pedagang kecil

Konsultasi dan pembinaan

2.7 Pola Kemitran Bisnis

Pola kemitraan di Indonesia hingga detik ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: pola keterkaitan langsung dan keterkaitan tidk langsung. Berikut adalah pola keterkaitan langsung. Pertama, pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), dimana Bapak Angkat sebagai inti, sedangkan petani sebagai plasma. Kedua, pola dagang, di mana bapak angkat bertindak sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh mitra usahanya. Ketiga, pola vendor, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat tidak memiliki hubungan kaitan ke depan maupun ke belakang dengan produk yang dihasilkan oleh bapak angkatnya. Keempat, pola subkontrak, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat merupakan bagian proses produksi usaha yang dilakukan oleh bapak angkat, lalu terdapat interaksi antara anak dan bapak angkat dalam bentuk keterkaitan teknis, keuangan dan atau informasi.

Pola keterkaitan tidak langsung merupakan pola pembinaan murni. Dalam pola ini, tidak ada hubungan bisnis langsung antara ‘Pak Bina’ dengan mitra usaha. Bisa dipahami apabila pola ini lebih tepat dilakukan oleh perguruan tinggi sebagai bagian salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: pengabdian kepada masyarakat. Selama ini, pola pembinaan lewat program ini meliputi pelatihan pengusaha kecil, pelatihan calon konsultan pengusaha kecil, bimbingan usaha, konsultasi bisnis, monitoring usaha, temu usaha, dan lokakarya atau seminar usaha kecil.

Berbeda dengan Taiwan, program kemitraan dan jaringan subkontrak agaknya belum memasyarakat di Indonesia. Penelitian usaha kecil di enam propinsi menemukan bahwa program kemitraan masih kurang dengan jumlah pengusaha kecil yang ada. Hal ini terbukti karena sebagian besar pengusaha kecil (89%) belum mempunyai bapak

angkat. Padahal, para pengrajin yang sudah menjalin program kemitraan merasakan manfaat yang besar dalam bidang permodalan, pemasaran dan yang paling utama adalah manajemen. Demikian pula, apabila kita simak seberapa jauh jaringan subkontrak telah berjalan, ternyata hampir senada dengan program kemitraan (Kuncoro, 2000). Rekor tertinggi dalam jaringan subkontrak ditemui di Sumatera Utara karena sekitar 34% industri kain dan pakaian jadi telah memiliki perusahaan subkontrak.

Dalam praktiknya, yang muncul ke permukaan adalah saling curiga antara si besar dan si kecil. Si kecil curiga, jangan-jangan kemitraan malah membuka peluang untuk di caplok oleh si besar. Hal ini berdasarkan fakta adanya bapak angkat yang ‘memakan’ anak angkatnya sendiri. Si besar pun curiga, jangan-jangan bantuan permodalannya tidak digunakan untuk mengembangkan bisnis, tetapi malah digunakan untuk tujuan konsumtif.

Pengamatan di lapangan menunjukkan masih tersendatnya implementasi program kemitraan. Penyebabnya barangkali karena banyaknya usaha besar (termasuk BUMN) belum merasakan kehadiran usaha kecil sebagai bagian dari langka manajemen strategiknya. Mereka membantu dan membina kemitraan semata-mata karena anjuran pejabat Anu dan ‘ketakutan’ dengan isu kesenjangan sosial.

Program kemitraan BUMN terbagi dua, yaitu program kemitraan dan program bina lingkungan. Ketentuan pelaksana program adalah sebagai bentuk tanggung jawab

Dokumen terkait