• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENELAAHAN PUSTAKA

F. Inflamasi

Penyebab utama terjadi perbedaan permeasi molekul secara transdermal antar satu spesies dengan spesies yang lain adalah karena adanya variasi ketebalan kulit (sub cutan). Jumlah asam lemak bebas (free fatty acid), trigliserida, dan densitas folikel rambut merupakan faktor penting penyebab terjadinya perbedaan barrier kulit antar spesies (Godin, Touitou, 2007). Hewan pengerat merupakan hewan uji yang paling sering dipakai karena ukurannya yang kecil dan mudah ditangani, tidak mahal, dan banyak data yang dapat diacu. Namun, kulit hewan pengerat menunjukkan permeasi yang lebih tinggi dibandingkan manusia. Diantara hewan pengerat, kulit tikus memiliki kesamaan struktur yang paling mendekati kulit manusia. Perbandingan ketebalan kulit antara tikus, mencit, dan manusia dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. perbandingan ketebalan SC, epidermis, keseluruhan kulit antara tikus, mencit, dan manusia (Zendzian, 2000).

F.Inflamasi 1. Definisi

Istilah Inflamasi diturunkan dari kata Latin inflammare yang berarti terbakar (Ravikiran, Elumalai, Eswaraiah, dan Naresh, 2012). Menurut Bowman dan Rand (1980) inflamasi merupakan mekanisme pertahanan dari mikro sirkulasi

17

lokal pada luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, stimulasi agen kimia, panas, reaksi antigen-antibosi, dan efek adanya mikrobia. Fungsi utama dari reaksi biologis karena adanya gangguan keseimbangan heomeostasis ini adalah untuk menghancurkan maupun mengisolasi sumber gangguan, menghilangkan jaringan yang telah rusak, dan mengembalikan homeostasis jaringan (Ashley, Weil, Nelson, 2012).

2. Klasifikasi Inflamasi

Inflamasi diklasifikasikan menjadi dua , yaitu akut dan kronis. Inflamasi akut merupakan respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung cepat, sedangkan inflamasi kronis merupakan tingkat lanjutan dari inflamasi akut yang terjadi selama dua minggu atau lebih (McCane, 2008).

Sedangkan menurut Ravikiran, dkk. (2012) inflamasi dikategorisasikan menjadi tiga fase yaitu fase akut, sub-akut, dan kronik. Pada fase akut muncul eksudat inflamasi yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler yang kemudian akan berkembang menjadi edema lokal. Fase tersebut diikuti dengan adanya migrasi leukosit dan fagosit dari darah menuju jaringan vaskuler, fase ini disebut fase sub-akut. Selanjutnya pada fase kronik akan terjadi degradasi jaringan yang diikuti dengan fibrosis. Manifestasi inflamasi akut dapat dilihat pada gambar 6.

18

Gambar 6. Manifestasi lokal inflamasi akut (Kumar, dkk., 2004) 3. Mekanisme inflamasi

Menurut Tjay dan Rahardja (2002) inflamasi diawali dengan rusaknya membrane sel secara mekanis, fisik, maupun kimia dan menyebabkan teaktivasinya enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid pada membran sel menjadi asam arakidonat. Peran asam arakhidonat dalam proses inflamasi dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Perubahan asam arakhidonat dan perannya dalam inflamasi, serta target aksi obat-obat antiinflamasi (Kumar, dkk., 2004)

19

Kejadian vaskuler melibatkan beberapa mediator dan sel inflamasi, dengan diawali dilatasi artiola-artiola kecil yang menyebabkan meningkatnya aliran darah menuju daerah yang mengalami gangguan. Vasodilatasi terjadi karena terlepasnya mediator inflamasi seperti prostaglandin E1 dan I2 serta histamin akibat dari interaksi antara jaringan dengan mikroorganisme. Kemudian diikuti dengan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler yang menyebabkan eksudasi cairan. Asam arakidonat merupakan senyawa yang berperan dalam pelepasan mediator inflamasi dan merupakan substrat utama pada jalur sikooksigenase maupun lipooksigenase. Jalur siklooksigenase (COX) terbagi menjadi COX-1 dan COX-2 yang mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan. Sedangkan jalur lipooksigenase akan mengawali sintesis leukotriene, lipoksin, dan komponen lain (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2007)

Pada jalur siklooksigenase, asam arakhidonat akan diubah menjadi prostaglandin G2 (PGG2) kemudian menjadi prostaglandin H2 (PGH2), dan menghasilkan beberapa metabolit. Metabolit umum yang dihasilkan yaitu PGD2, PGE2 dan PGF2α yang berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas yang berpotensi dalam pembentukan edema. COX-1 bertanggung jawab dalam produksi prostaglandin dan terlibat dalam inflamasi dan fungsi homeostasis. Sebaliknya, COX-2 menstimulasi produksi prostaglandin yang terlibat dalam reaksi inflamasi (Kumar, dkk., 2004).

Selanjutnya pada jalur lipooksigenase 5-lipooksigenase merupaakn enzim yang predominan dalam neutrophil. Produk utama, 5-HETE yang merupakan kemotaksis bagi neutrophil diubah menjai leukotriene. LTB4 (leukotriene B4)

20

merupakan agen kemotaksis kuat dan aktivator respon fungsional neutrofil, seperti agregasi dan adesi leukosit menuju endotelium, dan pelepasan enzim lisosomal. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi intens, bronkospasme, dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Lipoksin merupakan tambahan hasil pengubahan asam arakhidonat. Lipoksin terdiri atas LXA4 dan LXB4 yang memiliki efek vasodilatasi, penghambatan kemotaksis neutrofil, dan menstimulasi adhesi monosit (Kumar, dkk., 2004)

4. Tanda dan gejala inflamasi

Terdapat lima tanda dan gejala inflamasi yaitu, tumor atau pembengkakan jaringan, calor atau peningkatan suhu jaringan, rubor atau kemerahan seperti warna darah dari jaringan bervaskuler, dolor atau rasa nyeri, dan function laesa

atau hilangnya fungsi jaringan (Stankov, 2012). a. Tumor

Bengkak atau edema terjadi karena adanya cairan yang meninggalkan pembuluh darah dan masuk ke daerah interstitial. Penyebab utama terjadinya edema ada dua, yaitu akibat peningkatan permeabilitas dari dinding pembuluh darah dan peningkatan tekanan hidrostatik (Waugh and Grant, 2001).

b. Calor

Pada daerah terjadinya radang akan terjadi peningkatan suhu karena terjadi dilatasi kapiler dan peningkatan jumlah darah yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena kontak pemicu inflamasi (Price and Wilson, 1992).

21

c. Rubor

Pada inflamasi aliran darah meningkat akibat terjadinya dilatasi kapiler, peningkatan ini menyebabkan terjadinya kemerahan dan peningkatan suhu. (Waugh and Grant, 2001). Kapiler yang sebelumnya kosong atau merenggang akan dengan cepat terisi darah, keadaan ini dikenal sebagai hyperemia atau

kongesti yang meyebabkan warma merah lokal akibat peradangan (Price and Wilson, 1992).

d. Dolor

Rasa nyeri pada reaksi peradangan disebabkan oleh perubahan pH lokal maupun konsentrasi ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung nosiseptor. Selain itu rasa nyeri juga disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan lokal akibat munculnya edema (Price and Wilson, 1995).

e. Function laesa

Penurunan fungsi organ pada lokasi peradangan disebabkan oleh terbentuknya metabolit-mehtabolit yang merugikan dan adanya peningkatan suhu (Sander, 2003). Selain itu adanya pembengkakan yang hebat juga dapat mengakibatkan kurangnya gerakan jaringan (Harijadi, 2009).

Dokumen terkait