• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji efek antiinflamasi ekstrak etanol daun trengguli (Cassia fistula L.) pada edema punggung mencit terinduki karagenin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji efek antiinflamasi ekstrak etanol daun trengguli (Cassia fistula L.) pada edema punggung mencit terinduki karagenin."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

1

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN TRENGGULI (Cassia fistula L.) PADA EDEMA PUNGGUNG MENCIT

TERINDUKSI KARAGENIN

KATHRIN DIAN CINTIKA, SITARINA WIDYARINI, C.J. SOEGIHARJO FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

INTISARI

Inflamasi merupakan respon normal pertahanan tubuh terhadap trauma fisik, zat kimia berbahaya atau agen mikrobiologi, dengan respon berupa rubor,

kalor, dolor dan tumor. Tanaman Cassia fistula L. atau trengguli diketahui memiliki banyak efek farmakologis, salah satunya adalah sebagai antiinflamasi baik pada inflamasi akut maupun kronis. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menguji efek antiinflamasi sediaan topikal, mengukur persen penghambatan inflamasi (%PI) serta EC50 ekstrak etanol daun trengguli sebagai agen

antiinflamasi pada kulit punggung mencit betina galur Swiss yang terinduksi karagenin. Metode yang digunakan adalah inflammation-associated oedema

dengan mengukur tebal lipat kulit punggung mencit.

Penelitian ini termasuk dalam ekperimental murni rancangan acak lengkap pola searah yang dilakukan pada mencit berumur 6-8 minggu dengan berat badan 20-25 gram. Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif karagenin 3%, kelompok kontrol positif Hydrocortisone®, kontrol basis Biocream®, dan kelompok perlakuan krim ekstrak daun trengguli 1,67; 2,5%; 3,75% b/b. Krim ekstrak etanol daun trengguli dioleskan setelah punggung hewan uji diinduksi 0,2 ml karagenin 3%, kemudian tiap jam dilakukan pengukuran tebal lipatan kulit punggung hewan uji selama 6 jam pengamatan. Data tebal lipatan kulit dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk dilanjutkan dengan analisis

Kruskall-Wallis dan Post hoc Mann-Whitney.

Persen penghambatan inflamasi (%PI) ekstrak etanol daun trengguli dengan konsentrasi 1,67; 2,5; dan 3,75 secara berurutan adalah 51,87; 61,58; dan 75,94%. Konsentrasi 3,75% menunjukkan efek antiinflamasi topikal terbesar. Berdasarkan uji regresi linear antara log konsentrasi ekstrak daun trengguli dan %PI diperoleh EC50 sebesar 1,59% b/b. Dengan demikian hasil penelitian

menunjukkan bahwa ektrak etanol daun trengguli memiliki efek antiinflamasi topikal terhadap edema kulit punggung mencit terinduksi karagenin.

Kata kunci : inflamasi, daun Cassia fistula L., karagenin, inflammation-associated oedema

(2)

2

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN TRENGGULI (Cassia fistula L.) PADA EDEMA PUNGGUNG MENCIT

TERINDUKSI KARAGENIN

KATHRIN DIAN CINTIKA, SITARINA WIDYARINI, C.J. SOEGIHARJO FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

ABSTRACT

Inflammation is a normal response of the body's defense system against physical trauma, hazardous chemicals or microbiological agent, with a response in the form of rubor, calor, dolor and tumor. Cassia fistula L. or trengguli is known to have many pharmacological effects, one of which is as anti-inflammatory in both acute and chronic inflammation. The aim of this study is to examine the anti-inflammatory effects topical preparations, measuring the percent inhibition of inflammation (% PI), and the EC50 of Cassia fistula leaves ethanol extract as an

anti-inflammatory agent in the back skin of female Swiss strain mice induced by carageenan. The method used is inflammation-associated oedema by measuring back skinfold thickness of mice.

This study was included in a purely experimental study one way randomized design that is performed on 6-8 weeks, 20-25 grams mice. Test animals were divided into 6 groups, the negative control group carageenan 3%, the positive control group Hydrocortisone®, the base control group Biocream® and treatment group the extract of Cassia fistula leaf cream 1.67; 2.5; 3.75% w/w. Ethanol extract of Cassia fistula leaf applied after back of test animals was induced by 0,2 ml of 3% carageenan, then every hour middorsal skin folds thickness was measured over 6 hour observation. Skin folds thickness data were analyzed using the Shapiro-Wilk test continued with Kruskal-Wallis analysis and Post hoc Mann-Whitney.

Percent inhibition of inflammation (%PI) ethanol extract of C. fistula

leaves from the concentration 1.67; 2.5; and 3.75%w/w respectively was 51.87; 61.58; and 75.94%. The 3.75% concentration showed the greatest topical anti-inflammatory effect. Based on linear regression between log concentration of Cassia fistula leaf extract and %PI obtained EC50 1.59% w/w. The results above

showed that ethanol extract of Cassia fistula leaves has topical anti-inflammatory effect of mice back skin oedema induced by carrageenan.

Keyword: inflammation, Cassia fistula L. leaves, carrageenan, inflammation-associated oedema

(3)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN TRENGGULI (Cassia fistula L.) PADA EDEMA PUNGGUNG MENCIT

TERINDUKSI KARAGENIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

oleh :

Kathrin Dian Cintika NIM : 128114053

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2015

(4)

i

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN TRENGGULI (Cassia fistula L.) PADA EDEMA PUNGGUNG MENCIT

TERINDUKSI KARAGENIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

oleh :

Kathrin Dian Cintika NIM : 128114053

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2015

(5)

ii

(6)

iii

(7)

iv

PERSEMBAHAN

(8)

v

(9)

vi

(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak

Etanol Daun Trengguli (Cassia fistula L.) pada Edema Punggung Mencit Terinduksi Karagenin”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini banyak melibatkan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu drh. Sitarina Widyarini, MP., PhD., selaku pembimbing utama atas bimbingan, waktu, kesabaran, motivasi, dukungan, dan pengarahan serta masukan bagi penulis selama proses penelitian dan penyusunan skripsi berlangsung.

2. Prof.Dr.C.J.Soegihardjo, Apt. selaku pembimbing kedua atas segala dukungan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penelitian. 3. Bapak Yohanes Dwiatmaka S.Si., M.Si dan Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D.,

Apt, selaku dosen penguji skripsi atas bantuan dan masukan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

(11)

viii

5. Pak Heru, Pak Kayat, dan Pak Andri serta semua staf laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian berlangsung.

6. Orang tua dan Diovanno Aldwin Hartono serta semua keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan semangat, motivasi, dan doa untuk penulis. 7. I Made Mudiarcana yang selalu mendukung, memotivasi, menyemangati, dan

mendoakan yang terbaik untuk penulis.

8. Teman-teman satu kelompok penelitian, Rury, Monika, Farra, Dui, dan Shinta atas bantuan, kebersamaan, kerja sama, dan suka duka selama penelitian berlangsung.

9. Sahabat-sahabat “Duo Boo” Agnes dan Dikka yang telah menemani selama bangku perkuliahan dengan canda, tawa, senang, dan sedih bersama.

10.Teman-teman angkatan 2012 terutama FSM-B dan FKK-A atas kebersamaannya selama ini.

11.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa laporan akhir skripsi yang disusun oleh penulis masih belum sempurna dan terdapat kerurangan serta kelemahan. Untuk itu, penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam laporan akhir skripsi ini. Kritik dan sran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.

(12)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...………..………… ii

HALAMAN PENGESAHAN ………...……. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………...……. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ……...… vi

PRAKATA ………..……. vii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………...…... xvi

INTISARI ………. xvii

ABSTRACT ………..…….. xviii

BAB I. PENGANTAR ………...………… 1

A. Latar Belakang ………...………… 1

1. Rumusan masalah ………...…………. 3

2. Keaslian penelitian ………... 3

3. Manfaat penelitian ………... 5

B. Tujuan Penelitian ………... 5

1. Tujuan umum ………..… 5

(13)

x

BAB III. PENELAAHAN PUSTAKA ………..…… 6

A. Tanaman Cassia fistula L. ……….. 6

1. Klasifikasi tanaman ………..……… 6

2. Penyebaran tanaman ….………....……… 7

3. Morfologi C. fistula ……….. 7

4. Kandungan kimia C. fistula………...…….……….. 7

5. Kegunaan C. fistula ………...……….…….. 9

B. Pembuatan Simplisia ………..… 9

1. Sortasi basah ………..………. 10

2. Pencucian ………...………… 10

3. Perajangan ……….……. 10

4. Pengeringan ………..…….. 11

5. Sortasi kering ………...…….. 11

6. Pengemasan dan penyimpanan ……….………. 11

C. Metode Penyarian ………..….……….. 12

D. Kulit ……….…………. 12

E. Perbandingan Kulit Manusia dan Hewan Uji ………... 15

F. Inflamasi ……….... 16

1. Definisi ……… 16

2. Klasifikasi inflamasi ……… 17

3. Mekanisme inflamasi ………..… 18

4. Tanda dan gejala inflamasi ……….………. 20

(14)

xi

H. Antiinflamasi ………... 22

I. Metode Pengujian Antiinflamasi ………... 23

1. Metode edema (inflammation-associated oedema) …...……….… 23

2. Metode permeabilitas vaskuler ………... 24

3. Metode eritrema ultraviolet ………. 24

4. Metode udem telinga pada tikus dan mencit dengan croton-oil …. 25

5. Metode edema telinga mencit terinduksi oxazolone …………...… 25

J. Karagenin ……….. 26

K. Hidrokortison Asetat ………. 26

L. Biocream® ………..……… 26

M. Landasan Teori ………..… 26

N. Hipotesis ………..……….. 28

BAB III. METODE PENELITIAN ………..………. 29

A. Jenis Rancangan Penelitian ………... 29

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………...…… 29

1. Variabel penelitian ……….. 29

2. Definisi operasional ……….... 29

C. Bahan Penelitian ………..……….. 31

D. Alat Penelitian ………...…… 31

1. Alat pembuatan ekstrak kental ……… 31

2. Alat penginduksi dan pengukur edema kulit punggung mencit ..… 31

3. Lain-lain ……….…… 32

(15)

xii

1. Determinasi tanaman ………... 32

2. Pengumpulan bahan ……….... 32

3. Pembuatan simplisia ………... 32

4. Pembuatan ekstrak ………..… 33

5. Pembuatan krim ektrak etanol daun C. fistula L. 1,67; 2,5%; 3,75% B/B ……….. 33

6. Pembuatan larutan karagenin 3% ………...………. 33

7. Pengujian dengan krim ekstrak daun C. fistula ……….….. 33

F. Tata Cara Analisis Hasil ………....… 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….……… 36

A. Determinasi Tanaman ……….….. 36

B. Ekstrak Etanol Daun C. fistula……….………… 36

C. Uji Pendahuluan Karagenin ……….. 38

D. Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun C.fistula………. 40

E. Rata-rata Nilai AUC Total dan Persen Penghambatan Inflamasi (%PI) Ekstrak Etanol Daun C. fistula Secara Topikal ………...…. 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….….. 49

A. Kesimpulan ………..……. 49

B. Saran ……….…. 49

DAFTAR PUSTAKA ……….…….. 50

LAMPIRAN ……….….…… 55

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Ketebalan SC, epidermis, keseluruhan kulit antara tikus, mencit dan manusia ……… 16

Tabel 2. Rata-rata AUC total tiap kelompok perlakuan ……… 42 Tabel 3. Rata-rata persen penghambatan inflamasi (%PI) tiap kelompok perlakuan

dan hasil uji analisis Mann-Whitney …... 43

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Cassia fistulaL. ……….………. 6

Gambar 2. Struktur senyawa kandungan dalam C. fistula : (1) 4H-Pyran-4-one, 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, (2) 2-Furan carboxaldehyde, (3)5-Acetoxymethyl-2-furaldehyde, (4) Asam oleic ………... 8 Gambar 3. Struktur senyawa kandungan dalam C. fistula: vitamin E ………… 8

Gambar 4. (a) lapisan utama epidermis, (b) struktur utama pada dermis……... 14 Gambar 5. Perbandingan struktur kulit mencit dan manusia ………. 15

Gambar 6. Manifestasi lokal inflamasi akut ……….… 18

Gambar 7. Perubahan asam arakhidonat dan perannya dalam inflamasi, serta target aksi obat-obat antiinflamasi ………..… 18 Gambar 8. Kurva rata-rata tebal lipat kulit hasil uji pendahuluan karagenin 1,5%;

2%; dan 3% ……….……… 39

Gambar 9. kurva rata-rata selisih tebal lipat kulit punggung mencit pada jam ke-0

hingga jam ke-6 ………..………… 41

Gambar 10. Diagram batang persen penghambatan inflamasi (%PI) masing-masing kelompok perlakuan ………...………… 44

Gambar 11. Krim Biocream® yang digunakan sebagai basis krim ekstrak C. fistula dan sebagai kontrol negatif ………..…… 58

Gambar 12. Krim Hydrocortisone® yang mengandung 2,5% hidrokortison asetat sebagai kontrol positif ………...………….. 58

Gambar 13. Serbuk karagenin ………...… 58

(18)

xv

Gambar 15. Alat jangka sorong digital……….… 59

Gambar 16. Alat rotary evaporator yang digunakan dalam proses penguapan ekstrak cair daun C. fistula ………...… 59

Gambar 17. Krim ekstrak etanol daun C.fistula (ekstrak etanol daun C. fistula

yang dilarutkan dalam Hydrocortisone®) ………...……….. 60 Gambar 18. Hewan uji (mencit) yang digunakan dalam penelitian ………..… 60

(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Determinasi Tanaman Cassia fistula L. ………... 56

Lampiran 2. Surat Ethical Clirens ……….. 57

Lampiran 3. Kontrol dan serbuk karagenin yang digunakan dalam penelitian .. 58 Lampiran 4. Alat spuit injeksi dan jangka sorong digital yang digunakan ……. 59

Lampiran 5. Alat yang digunakan dalam proses penguapan ekstrak cair daun

C. fistula ………. 59

Lampiran 6. Krim ekstrak etanol daun C. fistula ………. 60

Lampiran 7. Hewan uji yang digunakan beserta cara pengukuran edema …….. 60

Lampiran 8. Tebal lipat kulit pada uji pendahuluan karagenin ……….. 61 Lampiran 9. Data AUC dan rata-rata AUC ……… 61 Lampiran 10. Kurva rata-rata selisih tebal lipat kulit punggung mencit pada jam

ke-0 hingga jam ke-6 ……… 63 Lampiran 11. Rata-rata AUC total tiap kelompok perlakuan ………. 64 Lampiran 12. Data penghitungan persen penghambatan inflamasi (%PI) …….. 64

Lampiran 13. Rata-rata persen penghambatan inflamasi (%PI) tiap kelompok perlakuan dan hasil uji analisis Mann-Whitney………..… 66

Lampiran 14. Uji statistik persen PI ……… 67 Lampiran 15. Perhitungan nilai EC50 ……….…………. 77

(20)

xvii INTISARI

Inflamasi merupakan respon normal pertahanan tubuh terhadap trauma fisik, zat kimia berbahaya atau agen mikrobiologi, dengan respon berupa rubor,

kalor, dolor dan tumor. Tanaman Cassia fistula L. atau trengguli diketahui memiliki banyak efek farmakologis, salah satunya adalah sebagai antiinflamasi baik pada inflamasi akut maupun kronis. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menguji efek antiinflamasi sediaan topikal, mengukur persen penghambatan inflamasi (%PI) serta EC50 ekstrak etanol daun trengguli sebagai agen

antiinflamasi pada kulit punggung mencit betina galur Swiss yang terinduksi karagenin. Metode yang digunakan adalah inflammation-associated oedema

dengan mengukur tebal lipat kulit punggung mencit.

Penelitian ini termasuk dalam ekperimental murni rancangan acak lengkap pola searah yang dilakukan pada mencit berumur 6-8 minggu dengan berat badan 20-25 gram. Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif karagenin 3%, kelompok kontrol positif Hydrocortisone®, kontrol basis Biocream®, dan kelompok perlakuan krim ekstrak daun trengguli 1,67; 2,5%; 3,75% b/b. Krim ekstrak etanol daun trengguli dioleskan setelah punggung hewan uji diinduksi 0,2 ml karagenin 3%, kemudian tiap jam dilakukan pengukuran tebal lipatan kulit punggung hewan uji selama 6 jam pengamatan. Data tebal lipatan kulit dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk dilanjutkan dengan analisis

Kruskall-Wallis dan Post hoc Mann-Whitney.

Persen penghambatan inflamasi (%PI) ekstrak etanol daun trengguli dengan konsentrasi 1,67; 2,5; dan 3,75 secara berurutan adalah 51,87; 61,58; dan 75,94%. Konsentrasi 3,75% menunjukkan efek antiinflamasi topikal terbesar. Berdasarkan uji regresi linear antara log konsentrasi ekstrak daun trengguli dan %PI diperoleh EC50 sebesar 1,59% b/b. Dengan demikian hasil penelitian

menunjukkan bahwa ektrak etanol daun trengguli memiliki efek antiinflamasi topikal terhadap edema kulit punggung mencit terinduksi karagenin.

Kata kunci : inflamasi, daun Cassia fistula L., karagenin, inflammation-associated oedema

(21)

xviii ABSTRACT

Inflammation is a normal response of the body's defense system against physical trauma, hazardous chemicals or microbiological agent, with a response in the form of rubor, calor, dolor and tumor. Cassia fistula L. or trengguli is known to have many pharmacological effects, one of which is as anti-inflammatory in both acute and chronic inflammation. The aim of this study is to examine the anti-inflammatory effects topical preparations, measuring the percent inhibition of inflammation (% PI), and the EC50 of Cassia fistula leaves ethanol extract as an

anti-inflammatory agent in the back skin of female Swiss strain mice induced by carageenan. The method used is inflammation-associated oedema by measuring back skinfold thickness of mice.

This study was included in a purely experimental study one way randomized design that is performed on 6-8 weeks, 20-25 grams mice. Test animals were divided into 6 groups, the negative control group carageenan 3%, the positive control group Hydrocortisone®, the base control group Biocream® and treatment group the extract of Cassia fistula leaf cream 1.67; 2.5; 3.75% w/w. Ethanol extract of Cassia fistula leaf applied after back of test animals was induced by 0,2 ml of 3% carageenan, then every hour middorsal skin folds thickness was measured over 6 hour observation. Skin folds thickness data were analyzed using the Shapiro-Wilk test continued with Kruskal-Wallis analysis and Post hoc Mann-Whitney.

Percent inhibition of inflammation (%PI) ethanol extract of C. fistula

leaves from the concentration 1.67; 2.5; and 3.75%w/w respectively was 51.87; 61.58; and 75.94%. The 3.75% concentration showed the greatest topical anti-inflammatory effect. Based on linear regression between log concentration of Cassia fistula leaf extract and %PI obtained EC50 1.59% w/w. The results above

showed that ethanol extract of Cassia fistula leaves has topical anti-inflammatory effect of mice back skin oedema induced by carrageenan.

Keyword: inflammation, Cassia fistula L. leaves, carrageenan, inflammation-associated oedema

(22)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Semenjak dahulu hingga sekarang, tanaman obat telah digunakan oleh masyarakat di dunia dalam pengobatan tradisional untuk berbagai jenis penyakit. WHO (2002) mengestimasi lebih dari 75% dari total populasi di dunia bergantung pada obat herbal untuk kebutuhan pengobatan primer mereka, salah satunya adalah untuk pengobatan inflamasi.

Menurut Kumar, Abbas, dan Fausto (2004) inflamasi merupakan respon protektif dengan tujuan menghilangkan benda asing berbahaya, namun respon ini memiliki potensi berbahaya dan membutuhkan perawatan farmakologi untuk mengendalikan gejalanya. Apabila inflamasi tidak dapat terkontrol maka dapat menyebabkan komplikasi tambahan menjadi banyak penyakit akut dan kronik (Rao, Verma, Gupta, dan Vijayakumar, 2007).

Salah satu terapi farmakologi bagi inflamasi adalah dengan pemberian OAINS (Obat Antiinflamasi Non Steroid) per oral. OAINS bekerja dengan menghambat jalur siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) sehingga inflamasi akan berkurang. Namun adanya penghambatan enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dapat menyebabkan penghambatan senyawa proteksi lambung sehingga dapat muncul efek samping tukak lambung (Neal, 2005). Karena adanya efek samping dari OAINS tersebut maka diperlukan jenis pengobatan lain untuk meminimalkan efek

(23)

2

samping. Salah satunya adalah dengan pengobatan menggunakan tanaman obat

Cassia fistula L.

Cassia fistula L. atau Golden Shower Tree merupakan tumbuhan yang berasal dari wilayah tropis Asia (Anita dan Miruthula, 2014), termasuk di Indonesia. Ilavarasan, Mallika, dan Venkataraman (2005) melaporkan efek anti-inflamasi ekstrak air dan ekstrak metanol dari kulit batang C. fistula. pada tikus albino jenis Wistar. Ekstrak tersebut secara signifikan menunjukkan efek anti-inflamasi baik pada model kronik maupun akut. Penelitian Rajeswari, Thejomoorthy, Mathuram, dan Raju (2006) dengan metode edema, juga menunjukkan bahwa ekstrak kulit C. fistula (150 mg/kgBB) menunjukkan efek anti-inflamasi yang dibandingkan dengan natrium diklofenak (5 mg/kgBB).

Pada penelitian ini digunakan daun C. fistula dengan penyari etanol 80%. Penggunaan bagian tumbuhan daun ditentukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khan, Akhtar, Rasul, Mahmood, Khan, Zaman, Iqbal, dan Murtaza (2012), yang memaparkan bahwa aktivitas anti-oksidan tertinggi ditunjukkan oleh bagian tumbuhan daun dibandingkan bagian bunga, batang, dan buah. Sedangkan ekstrak daun Cassi fistula L dengan penyari etanol 80% menunjukkan aktifitas anti-oksidan yang paling tinggi dibandingkan 40% dan 70% metanol, n-Hexane, dan petroleum ether.

Pemberian obat secara per oral merupakan rute pemberian obat yang paling umum digunakan, namun rute pemberian ini memiliki beberapa kekurangan antara lain adanya first pass effect sehingga efikasi obat berkurang, memiliki onset yang lebih lama dibandingkan dengan rute topikal. Oleh sebab itu

(24)

3

pada penelitian ini digunakan rute pemberian secara topikal dengan tujuan untuk meminimalkan first pass effect dan mendapatkan onset efek lokal yang lebih cepat (Harvey and Champe, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian mengenai efek anti-inflamasi topikal ekstrak etanol daun C. fistula terhadap edema punggung mencit terinduksi karagenin 3% menarik untuk dilakukan dan penting untuk digunakan menambah informasi baru yang dapat berguna untuk masyarakat.

1. Rumusan masalah

a. Apakah ekstrak etanol daun trengguli (Cassia fistula L.) memiliki efek antiinflamasi topikal pada edema kulit punggung mencit betina galur Swiss yang diinduksi karagenin?

b. Berapa persen penghambatan inflamasi ekstrak etanol daun trengguli sebagai agen antiinflamasi terhadap edema kulit punggung mencit betina galur Swiss?

c. Berapa konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol daun trengguli sebagai

agen antiinflamasi terhadap edema kulit punggung mencit betina galur Swiss?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Devi, Bhoria, Rhandir, dan Bharti (2013) ekstrak etanol dan ekstrak air kulit batang C. fistula yang diberikan secara oral (dosis 400mg/kgBB) pada tikus galur Wistar menunjukkan adanya

(25)

4

efek anti-inflamasi yang signifikan. Pada penelitian ini terdapat empat kelompok uji yaitu kelompok kontrol negatif (cairan saline), kelompok kontrol positif (aspirin), kelompok ekstrak air kulit batang C. fistula, dan kelompok ekstrak etanol kulit batang C. fistula.

Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Ilavarasan, dkk. (2005) digunakan ekstrak air (250 dan 500 mg/kg) dan ekstrak metanol (250 dan 500 mg/kg) kulit batang C. fistula. Ekstrak diberikan dengan rute pemberian oral pada hewan uji tikus albino galur Wistar. Metode yang digunakan adalah metode edema pada telapak kaki. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa ekstrak air dan metanol kulit batang C. fistula memiliki efek antiinflamasi yang signifikan.

Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan oleh peneliti, penelitian mengenai efek antiinflamasi ekstrak etanol daun C. fistula secara topikal pada edema kulit punggung mencit betina galur Swiss yang terinduksi karagenin belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai efek antiinflamasi ekstrak etanol daun trengguli yang diberikan secara topikal.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai fungsi ekstrak etanol daun trengguli sebagai agen antiinflamasi topikal sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif.

(26)

5

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi ekstrak etanol daun trengguli secara topikal.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui efek antiinflamasi topikal ekstrak etanol daun trengguli pada edema punggung mencit yang terinduksi karagenin.

b. Mengetahui persen (%) penghambatan inflamasi dari ekstrak etanol daun trengguli terhadap edema punggung mencit.

c. Mengetahui konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol daun trengguli yang

diberikan secara topikal terhadap edema punggung mencit.

(27)

6 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Cassia fistula L.

Gambar 1. Tanaman Cassia fistula L. (Dokumen Pribadi, 2015) 1. Klasifikasi tanaman

Kerajaan : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Mangoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae

Bangsa : Fabales Famili : Fabaceae Sub Famili : Caesalpiniaceae

Genus : Cassia

Spesies : Cassia fistula L.

(28)

7

2. Penyebaran tanaman

Cassia fistula L. atau Golden Shower Tree (Gambar 1) merupakan tumbuhan yang berasal dari wilayah tropis Asia, namun tersebar luas diberbagai wilayah seperti di Afrika selatan, Cina, Hindia barat, dan Brazil. Secara umum C. fistula dikenal sebagai Amultas atau dalam bahasa Inggris disebut “Indian

Laburnum”. Di India tumbuhan ini dikenal dengan sebutan Amaltas, sedangkan di wilayah Indonesia tanaman ini disebut Trengguli.

3. Morfologi C. fistula

Menurut Danish, dkk. (2011) C. fistula memiliki batang yang berwarna hijau keabu-abuan, daun majemuk menyirip genap 3-6 pasang berwarna hijau terang dengan panjang masing-masing 23-40 cm, buah legume (bulat silendris) sangat panjang dan berwarna hitam dengan panjang 40-70 cm, daging buah berbau khas dan berwarna coklat tua dengan rasa manis, dan banyak ditumpangi epifit. Bunganya tumbuh bergerombol berwarna kuning. C. fistula dapat tumbuh dengan tinggi hingga 6-9 meter.

4. Kandungan kimia C. fistula

Tanaman C. fistula merupakan tanaman yang penting dan bernilai dalam dunia pengobatan karena memiliki metabolit sekunder penting terutama senyawa fenolik. C. fistula banyak mengandung tannin, flavonoid dan glikosida. Daun C. fistula mengandung rhein, glukosida, dan senosida A dan B. Berdasarkan analisis kromatogram GC-MS dari ekstrak etanol seluruh bagian tumbuhan dari C. fistula

(29)

8

terdapat 16 senyawa yang teridentifikasi, dan kelima diantaranya memiliki peran sebagai agen antiinflamasi. Kelima senyawa tersebut adalah 4H-Pyran-4-one, 2,3- dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl; 5-Acetoxymethyl-2-furaldehyde; 2-Furan

carboxaldehyde, 5-(hydroxymethyl)-, vitamin E, dan oleic acid. Struktur kelima senyawa dalam daun C. fistula dapat dilihat pada gambar 2 dan 3 (Anita dan Miruthula, 2014).

Gambar 2. Struktur senyawa kandungan dalam C. fistula: (1) 4H-Pyran-4-one, 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, (2) 2-Furan carboxaldehyde, (3)5-Acetoxymethyl-2-furaldehyde, (4) Asam oleic (Anita dan Miruthula, 2014)

Gambar 3. Struktur senyawa kandungan dalam C. fistula: vitamin E (Anita dan Miruthula, 2014)

(1) (2)

(3) (4)

(30)

9

5. Kegunaan C. fistula

Secara turun-menurun C. fistula digunakan sebagai obat tumor abdomen, kelenjar, hari, dan kanker tenggorokan. Dalam pengobatan Ayurvedic, biji C. fistula berfungsi sebagai agen antibilious, obat gangguan kulit, leprosy, dan

syphilis. Sedangkan daunnya digunakan untuk mengobati malaria, reumatik, deman, konstipasi, leprosy dan penyakit kulit. Bagian buah digunakan untuk nyeri perut, konstipasi, leprosy, gangguan jantung, dan demam. Selain itu akarnya juga dapat digunakan sebagai diuretik (Anita dan Miruthula, 2014).

Selain itu akar C. fistula diracik sebagai tonik, astringent, dan obat pencahar yang kuat. Ekstrak akar yang dicampur dengan alcohol juga dapat digunakan untuk mengatasi demam, nyeri dada, nyeri pada sendi, migraine, dan gangguan jantung. Ekstrak daun C. fistula dapat mengurangi mutagenesis pada bakteri E. coli dan mengatasi penyakit kuning (jaundice). Untuk penggunaan eksternal, daun C. fistula sering digunakan untuk mengatasi gigitan serangga, ring worm dan bengkak. Buah C. fistula digunakan dalam terapi diabetes, antipiretik, gangguan tenggorokan, pengurangan inflamasi, gangguan liver, dan penyakit mata. Bubuk biji C. fistula digunakan dalam terapi akibat amoebiasis (Bhakta, Mukherjee, Saha, dan Saha, 1998)

B.Pembuatan Simplisia

Dalam pembuatan simplisia, sumber bahan baku dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun mineral. Namun yang merupakan komponen utama dalam produk obat tradisional ialah simplisia nabati. Simplisia nabati dapat berasal dari tanaman

(31)

10

budi daya maupun tanaman liar. Tanaman budi daya didefinisikan sebagai tanaman obat yang sengaja dibudi daya untuk digunakan sebagai sumber bahan baku simplisia. Sedangkan dalam penggunaan tanaman liar perlu dilakukan pemeriksaan kadar bahan berkhasiatnya. Untuk mendapatkan bahan baku simplisia yang baik diperlukan waktu pemanenan yang tepat karena kandungan kimia akan mencapai kadar optimum pada waktu tertentu. Setelah dilakukan panen bahan baku maka selanjutnya dilakukan penanganan pasca panen (Soegihardjo, 2013).

1. Sortasi basah

Sortasi dilakukan untuk memisahkan tanaman yang benar merupakan bahan baku dengan tanaman lain yang mungkin terambil, sehingga bahan baku yang didapatkan benar dan murni. Pemisahan dilakukan dengan membuang bahan organik asing atau tumbuhan atau bagian tumbuhan lain yang terikut. Bahan baku juga harus bersih, artinya tidak boleh tercampur tanah, kerikil, atau serangga (Soegihardjo, 2013).

2. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan menggunakan air dari mata air, sumur, atau air ledeng. Setelah bahan dicuci kemudian ditiriskan agar kelebihan air cucian keluar (Soegihardjo, 2013).

3. Perajangan

Banyak simplisia yang perlu proses perajangan agar pengeringan berlangsung lebih cepat. Proses ini dapat dilakukan manual atau dengan mesin perajang singkon dengan ketebalan yang sesuai. Perajangan yang terlalu tebal

(32)

11

dan pengeringan yang terlalu lama dapat menyebabkan bahan baku berjamur dan busuk. Sedangkan perajangan yang terlalu tipis akan berakibat pada rusaknya kandungan kimia akibat proses oksidasi atau reduksi (Soegihardjo, 2013).

4. Pengeringan

Pengeringan merupakan cara mengawetkan simplisia agar simplisia tahan lama dan kandungan kimianya tidak terurai karena pengaruh enzim. Selain itu pengeringan yang cukup dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan kapang. Persyaratan obat tradisional tertera angka AKK tidak boleh lebih dari 104/g, sedangkan ALT tidak boleh debih dari 107/g. Mikrobia patogen harus nol dan kandungan aflatoksin tidal lebih dari 30 bagian per juta (ppm). Tanda simplisia yang sudah kering yaitu mudah meremah apabila diremas atau mudah patah. Menurut persyaratan obat tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar air kurang dari 10%. Pengeringan yang baik dilakukan menggunakan lemari pengering yang dilengkapi dengan kipas penyedot udara (Soegihardjo, 2013). 5. Sortasi kering

Simplisia yang sudah kering dilakukan sortasi ulang untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia yang rusak karena proses sebelumnya (Soegihardjo, 2013).

6. Pengemasan dan penyimpanan

Pengemasan harus sesuai dengan jenis simplisia yang akan dikemas. Kemasan yang baik ialah karung goni, karung plastik, atau kaleng yang dilapis dengan kertas berlilin. Penyimpanan harus teratur dan rapi untuk mencegah risiko tercemar atau saling mencemari satu sama lain (cross-contamination). Simplisia

(33)

12

yang disimpan harus diberi label yang mencantumkan identitas, kondisi, jumlah, mutu, dan cara menyimpan (Soegihardjo, 2013).

C.Metode Penyarian

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1995), ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian pelarut diuapkan diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Ekstrak bisa didapatkan dari proses maserasi yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

Metode penyarian dapat dilakukan dengan soxhlet extraction dan maserasi sederhana. Untuk soxhlet extraction digunakan 40 gram simplisia halus dengan pelarut etanol 80%, metanol 70%, metanol 40%, atau n-hexane dan pet eter sebanyak 1000mL. Ekstraksi memerlukan waktu 48 jam pada suhu 70°C dan kecepatan siklus 35 menit/siklus. Sedangkan untuk maserasi sederhana digunakan 150 gram simplisia yang telah dihaluskan halus dengan pelarut etanol 80%, metanol 70%, metanol 40%, atau n-Hexane dan petroleum ether sebanyak 1500mL. Maserasi dilakukan selama 72 jam (Khan, dkk., 2012).

D.Kulit

Kulit merupakan salah satu organ penting yang memiliki berbagai macam fungsi. Luas permukaan kulit manusia dewasa adalah antara 1,5 hingga 2 m2

(34)

13

dengan berat sekitar 5 kg (Waugh and Grant, 2001). Pada kulit terdapat syaraf-syaraf peraba sehingga kulit dapat berfungsi dalam membantu pengaturan suhu tubuh, mengendalikan hilangnya air dari tubuh, serta memiliki kemampuan ekskretori, sekretori, dan absorpsi (Pearce, 2006). Menurut Ross and Wilson (2001) kulit merupakan lini pertama respon imun yang atau sistem imunitas non spesifik sebagai penghalang invasi mikroba, masuknya zat kimia, trauma ringan, dan sinar UV.

Menurut Waugh and Grant (2001), kulit memiliki enam fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai mekanisme pertahanan non spesifik terhadap invasi mikrobia, zat kimia, agen fisik (trauma, sinar UV), dan dehidrasi. Fungsi kedua sebagai pengatur regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh dijaga agar konstan sekitar 36,8°C, untuk itu keseimbangan suhu harus dijaga antara produksi panas tubuh dan pelepasan panas tubuh ke lingkungan yang secara primer dilakukan oleh kulit. Ketika suhu tubuh meningkat 0,25 hingga 0,5°C maka kelenjar keringat akan menstimulasi sekrese keringan yang kemudian dikeluarkan ke permukaan tubuh melalui pori kulit. Fungsi selanjutnya adalah pembentukan vitamin D, 7-dehydrocholesterol merupakan senyawa berbasis lemak pada kulit yang akan diubah menjadi vitamin D dengan bantuak sinar UV dari sinar matahari. Fungsi keempat adalah sebagai indra peraba yang sensitif terhadap sentuhan, tekanan, suhu, atau nyeri. Kemudian kulit juga memiliki peran dalam proses absorpsi dan ekskresi. Obat transdermal merupakan jenis obat yang diabsorpsi melalui kulit. Kulit merupakan organ ekskresi minor untuk beberapa senyawa, misalnya natrium klorida, urea, dan senyawa aromatik.

(35)

14

Pasparakis, dkk. (2014) memaparkan kulit terdiri dari dua komponen umum: epitelium dan jaringan penghubung. Bagian epitelium dapat dibagi menjadi epitelium folikel rambut dan epidermis interfolikular. Jenis sel dengan jumlah yang paling besar pada bagian epithelial adalah keratonosit, namun pada seluruh area epitelial juga terdapat sel imun non-epitelial seperti sel Langerhans dan dendritic epidermal T cell (DETCs).

Waugh and Grant (2001) memaparkan kulit terdiri dari dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan lapisan paling luar dari kulit, ketebalan epidermis pada tiap bagian tubuh berbeda-beda dimana epidermis paling tebal adalah epidermis pada telapak tangan dan kaki. Pada lapisan ini tidak terdapat pembuluh darah (Gambar 4a). Sedangkan dermis merupakan lapisan yang kuat dan elastis. Dermis terdiri dari jaringan penghubung dan matriks yang mengandung fiber kolagen. Sel utama yang terdapat pada dermis adalah fibroblast, makrofag, dan sel mast. Struktur dermis terdiri atas pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf sensorik (somatic), kelenjar keringat, rambut, dan kelenjar sebasea (Gambar 4b).

Gambar 4. (a) lapisan utama epidermis, (b) struktur utama pada dermis (Waugh

and Grant, 2001)

a b

[image:35.595.108.510.313.703.2]
(36)

15

E. Perbandingan Kulit Manusia dan Hewan Uji

Mencit sering digunakan dalam penelitian karena kemiripan struktur organnya dengan manusia, namun struktur kulit manusia berbeda dengan struktur kulit mencit, perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Perbandingan struktur kulit mencit dan manusia (Pasparakis, dkk., 2014)

Kulit mencit memiliki foliker rambut yang lebih rapat, sedangkan kulit manusia memiliki area interfolikular yang lebih luas dengan folikel rambut yang lebih jarang. Kulit manusia epidermis yang lebih tebal (dengan lapisan sel yang lebih banyak) dan dermis yang lebih tebal dibanding mencit. Pada manusia dan mencit, pada lapisan dermis terdapat makrofag, sel mast, sel T α konvensional dan sedikit innate lymphoid cells (ILCs). Sel imun yang paling umum pada epidermis manusia adalah sel Langerhans dan sel T CD8+. Sebagai tambahan sel T δ receptor-expressing ( δTCR+) DETCs terdapat pada kulit mencit namun tidak pada manusia (Pasparakis, dkk., 2014).

[image:36.595.101.510.209.544.2]
(37)

16

Penyebab utama terjadi perbedaan permeasi molekul secara transdermal antar satu spesies dengan spesies yang lain adalah karena adanya variasi ketebalan kulit (sub cutan). Jumlah asam lemak bebas (free fatty acid), trigliserida, dan densitas folikel rambut merupakan faktor penting penyebab terjadinya perbedaan barrier kulit antar spesies (Godin, Touitou, 2007). Hewan pengerat merupakan hewan uji yang paling sering dipakai karena ukurannya yang kecil dan mudah ditangani, tidak mahal, dan banyak data yang dapat diacu. Namun, kulit hewan pengerat menunjukkan permeasi yang lebih tinggi dibandingkan manusia. Diantara hewan pengerat, kulit tikus memiliki kesamaan struktur yang paling mendekati kulit manusia. Perbandingan ketebalan kulit antara tikus, mencit, dan manusia dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. perbandingan ketebalan SC, epidermis, keseluruhan kulit antara tikus, mencit, dan manusia (Zendzian, 2000).

F.Inflamasi 1. Definisi

Istilah Inflamasi diturunkan dari kata Latin inflammare yang berarti terbakar (Ravikiran, Elumalai, Eswaraiah, dan Naresh, 2012). Menurut Bowman dan Rand (1980) inflamasi merupakan mekanisme pertahanan dari mikro sirkulasi

[image:37.595.101.511.258.576.2]
(38)

17

lokal pada luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, stimulasi agen kimia, panas, reaksi antigen-antibosi, dan efek adanya mikrobia. Fungsi utama dari reaksi biologis karena adanya gangguan keseimbangan heomeostasis ini adalah untuk menghancurkan maupun mengisolasi sumber gangguan, menghilangkan jaringan yang telah rusak, dan mengembalikan homeostasis jaringan (Ashley, Weil, Nelson, 2012).

2. Klasifikasi Inflamasi

Inflamasi diklasifikasikan menjadi dua , yaitu akut dan kronis. Inflamasi akut merupakan respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung cepat, sedangkan inflamasi kronis merupakan tingkat lanjutan dari inflamasi akut yang terjadi selama dua minggu atau lebih (McCane, 2008).

Sedangkan menurut Ravikiran, dkk. (2012) inflamasi dikategorisasikan menjadi tiga fase yaitu fase akut, sub-akut, dan kronik. Pada fase akut muncul eksudat inflamasi yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler yang kemudian akan berkembang menjadi edema lokal. Fase tersebut diikuti dengan adanya migrasi leukosit dan fagosit dari darah menuju jaringan vaskuler, fase ini disebut fase sub-akut. Selanjutnya pada fase kronik akan terjadi degradasi jaringan yang diikuti dengan fibrosis. Manifestasi inflamasi akut dapat dilihat pada gambar 6.

(39)
[image:39.595.101.512.108.709.2]

18

Gambar 6. Manifestasi lokal inflamasi akut (Kumar, dkk., 2004)

3. Mekanisme inflamasi

Menurut Tjay dan Rahardja (2002) inflamasi diawali dengan rusaknya membrane sel secara mekanis, fisik, maupun kimia dan menyebabkan teaktivasinya enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid pada membran sel menjadi asam arakidonat. Peran asam arakhidonat dalam proses inflamasi dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Perubahan asam arakhidonat dan perannya dalam inflamasi, serta target aksi obat-obat antiinflamasi (Kumar, dkk., 2004)

(40)

19

Kejadian vaskuler melibatkan beberapa mediator dan sel inflamasi, dengan diawali dilatasi artiola-artiola kecil yang menyebabkan meningkatnya aliran darah menuju daerah yang mengalami gangguan. Vasodilatasi terjadi karena terlepasnya mediator inflamasi seperti prostaglandin E1 dan I2 serta histamin akibat dari interaksi antara jaringan dengan mikroorganisme. Kemudian diikuti dengan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler yang menyebabkan eksudasi cairan. Asam arakidonat merupakan senyawa yang berperan dalam pelepasan mediator inflamasi dan merupakan substrat utama pada jalur sikooksigenase maupun lipooksigenase. Jalur siklooksigenase (COX) terbagi menjadi COX-1 dan COX-2 yang mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan. Sedangkan jalur lipooksigenase akan mengawali sintesis leukotriene, lipoksin, dan komponen lain (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2007)

Pada jalur siklooksigenase, asam arakhidonat akan diubah menjadi prostaglandin G2 (PGG2) kemudian menjadi prostaglandin H2 (PGH2), dan

menghasilkan beberapa metabolit. Metabolit umum yang dihasilkan yaitu PGD2,

PGE2 dan PGF2α yang berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas yang berpotensi dalam pembentukan edema. COX-1 bertanggung jawab dalam produksi prostaglandin dan terlibat dalam inflamasi dan fungsi homeostasis. Sebaliknya, COX-2 menstimulasi produksi prostaglandin yang terlibat dalam reaksi inflamasi (Kumar, dkk., 2004).

Selanjutnya pada jalur lipooksigenase 5-lipooksigenase merupaakn enzim yang predominan dalam neutrophil. Produk utama, 5-HETE yang merupakan kemotaksis bagi neutrophil diubah menjai leukotriene. LTB4 (leukotriene B4)

(41)

20

merupakan agen kemotaksis kuat dan aktivator respon fungsional neutrofil, seperti agregasi dan adesi leukosit menuju endotelium, dan pelepasan enzim lisosomal. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi intens, bronkospasme, dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Lipoksin merupakan tambahan hasil pengubahan asam arakhidonat. Lipoksin terdiri atas LXA4 dan LXB4 yang

memiliki efek vasodilatasi, penghambatan kemotaksis neutrofil, dan menstimulasi adhesi monosit (Kumar, dkk., 2004)

4. Tanda dan gejala inflamasi

Terdapat lima tanda dan gejala inflamasi yaitu, tumor atau pembengkakan jaringan, calor atau peningkatan suhu jaringan, rubor atau kemerahan seperti warna darah dari jaringan bervaskuler, dolor atau rasa nyeri, dan function laesa

atau hilangnya fungsi jaringan (Stankov, 2012). a. Tumor

Bengkak atau edema terjadi karena adanya cairan yang meninggalkan pembuluh darah dan masuk ke daerah interstitial. Penyebab utama terjadinya edema ada dua, yaitu akibat peningkatan permeabilitas dari dinding pembuluh darah dan peningkatan tekanan hidrostatik (Waugh and Grant, 2001).

b. Calor

Pada daerah terjadinya radang akan terjadi peningkatan suhu karena terjadi dilatasi kapiler dan peningkatan jumlah darah yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena kontak pemicu inflamasi (Price and Wilson, 1992).

(42)

21

c. Rubor

Pada inflamasi aliran darah meningkat akibat terjadinya dilatasi kapiler, peningkatan ini menyebabkan terjadinya kemerahan dan peningkatan suhu. (Waugh and Grant, 2001). Kapiler yang sebelumnya kosong atau merenggang akan dengan cepat terisi darah, keadaan ini dikenal sebagai hyperemia atau

kongesti yang meyebabkan warma merah lokal akibat peradangan (Price and Wilson, 1992).

d. Dolor

Rasa nyeri pada reaksi peradangan disebabkan oleh perubahan pH lokal maupun konsentrasi ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung nosiseptor. Selain itu rasa nyeri juga disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan lokal akibat munculnya edema (Price and Wilson, 1995).

e. Function laesa

Penurunan fungsi organ pada lokasi peradangan disebabkan oleh terbentuknya metabolit-mehtabolit yang merugikan dan adanya peningkatan suhu (Sander, 2003). Selain itu adanya pembengkakan yang hebat juga dapat mengakibatkan kurangnya gerakan jaringan (Harijadi, 2009).

G. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder utama yang terkandung di dalam daun C. fistula. Flavonoid memiliki peran sebagai agen antiinflamasi dengan menghambat jalur lipooksigenase yang nantinya akan melepaskan mediator inflamasi. Tidak hanya jalur lipooksigenase saja namun

(43)

22

senyawa flavonoid juga dapat menghambar jalur siklooksigenase dengan cara menghambat pelepasan asam arakhidonat yang bersifat kemotaksis (Winarsi, 2007). Flavonoid juga berperan sebagai penangkap radikal bebas. Mekanisme penangkapan radikal bebas tersebut dapat melindungi membrane lipid dari kerusakan (Robinson, 1995).

H. Antiinflamasi

Berdasarkan cara kerjanya, terdapat dua golongan senyawa yang banyak digunakan sebagai anti inflamasi , yaitu kortikosteroid dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) (Neal, 2005). Gambar target aksi obat kostikosteroid dan NSAID dapat dilihat pada gambar 7

Kortikosteroid menekan semua fase respons inflamasi, termasuk pembengkakan dini, kemerahan, nyeri, dan selanjutnya perubahan proliferatif yang tampak pada inflamasi kronis. Kortikosteroid menghambat pembentukan mediator proinflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating faktor (PAF). Golongan obat ini menghambat fosfolipase A2, enzim yang

bertanggung jawab atas pembebasan asam arakhidonat dari fosfolipid sehingga dapat mengurangi peradangan yang terjadi (Neal, 2005).

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan suatu golongan obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas anti piretik, analgesik, dan anti inflamasinya. Obat-obat ini bekerja dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase (Mycek dan Harvey, 2001). Pada inflamasi, prostaglandin berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Akan tetapi, inhibisi sintesis

(44)

23

prostaglandin oleh OAINS mengurangi inflamasi daripada menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi lainnya. Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal (dispepsia, mual, gastritis). Efek samping yang paling serius adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi (Neal, 2005).

I. Metode Pengujian Antiinflamasi 1. Metode edema (inflammation-associated oedema)

Metode pengujian antiinflamasi edema kaki merupakan metode yang umum digunakan. Senyawa penginduksi radang yang digunakan pada metode ini antara lain formaldehida, ragi, dekstran, albumin telur, kaolin, polisakarida sulfat (karagenin atau napthoylheparamine). Edema dihasilkan dengan menginjeksikan senyawa pemicu radang secara intraplantar pada kaki kewan uji kemudian dilakukan pengukuran (Vogel, 2002).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Verawati, Aria, dan Novicaresa (2011) digunakan karagenin 2% dalam natrium klorida fisiologis yang diinjeksikan sebanyak 0,1 mL secara subkutan bersamaan dengan udara 5 mL pada bagian punggung yang dicukur. Sediaan uji yang digunakan berupa salep yang merupakan campuran dari ekstrak daun kembang bulan dan vaselinum flavum dengan 3 konsentrasi, yaitu 1; 2,5; dan 5% B/B, dioleskan pada bagian punggung.

Pengukuran edema dilakukan dengan mengukur tebal lipat kulit pada bagian middrosal (tengah punggung) hewan uji. Tebalnya edema didasarkan pada

(45)

24

penebalan lipatan kulit punggung hewan uji yang diukur menggunakan spring micrometer (Widyarini, Spinks, Husband, Reeve, 2001).

2. Metode permeabilitas vaskuler

Pada metode ini senyawa penginduksi radang yang digunakan adalah senyawa yang dapat memicu datangnya mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotriene. Hal ini dapat mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terbentuk edema (Vogel, 2002).

Senyawa penginduksi radang diberikan secara intrakutan atau subkutan kulit. Setelah 90 menit pasca injeksi penginduksi radang, hewan uji dikorbankan dan bagian yang diinjeksikan diambil dan diwarnai dengan Evan’s blue yang dapat merepat untuk mengetahui peningkatan permeabilitas vaskuler. Diameter resapan pewarna Evan’s blue diukur dan dibandingkan antara kelompok kontrol dan uji. Hasil perbandingan dinyatakan sebagai persen penghambatan (PI). Apabila PI kelompok uji menunjukkan nilai kurang dari 50% dibanding kelompok kontrol maka dinyatakan positif memiliki aktivitas penghambatan inflamasi (Vogel, 2002).

3. Metode eritrema ultraviolet

Pada metode ini bulu kulit hewan uji yang digunakan dicukur terlebih dahulu pada kedua sisi dibagian belakang. Kemudian diberikan krim penghilang bulu dan dibilas dengan air hangat. Uji aktivitas antiinflamasi ini dilakukan dengan membentuk eritrema pada kulit hewan uji menggunakan sinar ultraviolet selama 2 menit. Dua hingga 4 jam setelah pemaparan, dilakukan pengukuran

(46)

25

eritrema. Senyawa uji diberikan setengah sebelum pemaparan dan setengahnya lagi setelah pemaparan sinar ultraviolet (Vogel, 2002).

4. Metode udem telinga pada tikus dan mencit dengan croton-oil

Pada metode ini radang diinduksi dengan menggunakan croton-oil

sebanyak 0,01 mL pada mencit dan 0,02 mL pada tikus yang diberikan pada telinga kanan hewan uji. Telinga kiri hewan uji digunakan sebagai kontrol normal. Empat jam setelah injeksi croton-oil hewan uji dikorbankan dengan anastesi. Selanjutnya telinga hewan uji diambil dan ditimbang. Derajat edema dilihat dari selisih berat dari telinga kanan dan kiri (Vogel, 2002).

5. Metode edema telinga mencit terinduksi oxazolone

Pada metode ini digunakan hewan uji mencit jenis kelamin jantan dan berina dengan bobot 25g. Langkah pertama dilakukan sensitifikasi menggunakan oxazolone sebanyak 0,1 mL pada kulit abdominal yang telah dicukur bulunya atau 0,01 mL pada kedua telinga. Delapan hari kemudian, dilakukan pemberian cairan 0,01 mL oxazolone 2% pada telinga kanan. Telinga sebelah kiri didiamkan tanpa perlakuan. Inflamasi maksimala akan terjadi dalam 24 jam kemudian. Selanjutnya hewan uji dikorbankan dengan anastesi dan diambil sebesar diameter 8 mm disk

dari kedua telinga kanan dan kiri. Selanjutnya disk tersebut secepatnya ditimbang, perbedaan bobot disk merupakan indicator terjadinya edema inflamasi (Vogel, 2002).

J. Karagenin

Karagenin merupakan polisakarida yang tersulfatasi dan diperoleh dari rumput laut merah (Rhodophycae). Karagenin telah digunakan secara luas sebagai

(47)

26

thickener, stabilizer, maupun agen pengemulsi dalam pengolahan makanan di wilayah barat, termasuk produk dairy, pengolahan daging maupun pada produk kosmetik. Pada manusia dan mencit atau tikus karagenin dilaporkan dapat memicu aktivasi jalur inflamasi (Borthakur, Bhattacharyya, Anbazhagan, Kumar, Dudeja, dan Tobacman, 2012).

K. Hidrokostison Asetat

Dalam uji antiinflamasi digunakan kontrol positif Hydrocortisone® cream yang mengandung hidrokortison asetat 2,5%. Hidrokortison asetat termasuk dalam golongan kortikosteroid yang memiliki indikasi dalam dermatitis atopic, alergi, pruritus anogenital, dan neurodermatitis (MIMS, 2012).

L. Biocream®

Biocream® merupakan sistem emulsi yang stabil dengan distribusi lemak dan air yang merata. Biocream dapat dicampur dengan air, zat-zat larut air, maupun zat-zat yang larut dalam lemak tanpa mengganggu stabilitasnya. Dapat digunakan sebagai satu pengencer untuk zat-zat aktif dalam pengobatan kulit (IAI, 2012).

M. Landasan teori

Inflamasi merupakan respon normal pertahanan tubuh karena adanya luka fisik, panas, antigen-antibodi, zat kimia berbahaya, maupun adanya mikrobia. Tetapi apabila respon inflamasi ini tidak dikontrol dapat menyebabkan penyakit akut dan kronis lanjutan, seperti asma dan rheumatoid arthritis. Gejala dari inflamasi antara lain rubor, calor, tumor, dolor, function laesa.

(48)

27

Terapi farmakologi yang sering diberikan untuk mengatasi inflamasi adalah obat NSAID atau kortikosteroid. NSAID memiliki mekanisme menghambat COX-1 dan COX-2 sehingga mediator inflamasi prostaglandin tidak terbentuk. Namun karena NSAID bersifat tidak spesifik maka sering menimbulkan efek samping. Karena adanya efek samping yang tidak menyenangkan, obat tradisional sering menjadi pilihan primer dalam menangani inflamasi. Indonesia memiliki banyak sekali kekayaan herba untuk pengobatan, salah satunya adalah Trengguli (Cassia fistula L.).

Kandungan utama yang terdapat dalam daun C. fistula dan berperan dalam efek anti-inflamasi adalah flavonoid. Flavonoid bertindak sebagai penangkap radikal bebas yang dapat menyebabkan inflamasi. Senyawa-senyawa kimia yang tekandung di dalam daun C. fistula dapat diekstraksi menggunakan beberapa pelarut seperti metanol 40 dan 70%, etanol 80%, n-Hexane, dan petroleum ether.

Diantara beberapa pelarut tersebut, penggunaan etanol 80% dapat menghasilkan efek antioksidan yang paling baik. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan pelarut etanol 80%.

Pengujian aktivitas antiinflamasi secara topikal dilakukan dengan pengukuran tebal kulit punggung mencit yang telah terinduksi karagenin yang dilakukan setiap jam selama enam jam. Dengan penggunaan rute pemberian secara topikal first pass effect dapat diminimalkan sehingga efektifitas obat lebih baik dibandingkan dengan rute oral, selain itu rute topikal memiliki onset efek lokal yang lebih cepat dibandingkan oral. Efek samping obat yang dapat mengiritasi lambung pun dapat dihindarkan dengan pemberian secara topikal.

(49)

28

N. Hipotesis

Ekstrak etanol daun Trengguli (Cassia fistula L.) memiliki aktivitas antiinflamasi yang ditunjukkan dengan berkurangnya tebal edema kulit punggung mencit yang terinduksi karagenin.

(50)

29 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam ekperimental murni rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel Utama

1) Variabel bebas : konsentrasi ekstrak etanol daun Trengguli 2) Variabel tergantung : tebal edema kulit punggung mencit (mm) b. Variabel Pengacau

1) Variabel pengacau terkendali :

a) Subyek uji : mencit betina galur Swiss b) Umur subyek uji : 2-3 bulan

c) Berat badan : 20-25 gram

2) Variabel pengacau tak terkendali : kondisi patofisiologis hewan uji (mencit) yang digunakan dalam penelitian

2. Definisi operasional

a. Daun C. fistula yang digunakan merupakan daun berwarna hijau dan tidak berlubang, daun diambil pada pagi hari di lingkungan Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan.

(51)

30

b. Ekstrak C. fistula adalah ekstak yang didapatkan dari proses maserasi 25 gram serbuk kering daun C. fistula dalam pelarut 250 mL etanol 80% selama 5 hari yang kemudian dimaserasi kembali dengan jumlah pelarut yang sama selama 2 hari. Ekstrak cair yang didapatkan diuapkan hingga didapatkan ekstrak kental.

c. Konsentrasi ekstrak C. fistula yang digunakan adalah 1,67; 2,5; dan 3,75 % b/b dalam basis dengan satuan gram.

d. Ekstrak C. fistula diberikan secara topikal, yaitu dengan dioleskan di atas kulit punggung mencit yang telah diinjeksikan karagenin 3%.

e. Respon inflamasi yang diamati berupa tebal edema yang timbul pada kulit punggung mencit.

f. Tebal edema diamati dengan mengukur tebal lipatan kulit punggung mencit setelah diinjeksikan karagenin 3% setiap 1 jam selama 6 jam pengamatan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong digital (Widyarini, Spinks, Husband, and Reeve, 2001).

g. Efek antiinflamasi ekstrak daun C. fistula adalah kemampuan ekstrak daun

C. fistula untuk mengurangi tebal edema kulit punggung mencit yang terinduksi karagenin.

(52)

31

C. Bahan Penelitian

1. Hewan uji yang digunakan , yaitu mencit betina galur Swiss yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono USD Yogyakarta.

2. Bahan uji yang digunakan adalah daun Cassia fistula Linn. Yang diperoleh dari lingkungan Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan.

3. Zat inflamatogen yang digunakan adalah karagenin tipe I Sigma® yang diperoleh dari Fakultas Farmasi Universitas Islam Indonesia.

4. Etanol 80% digunakan sebagai pelarut ekstrak dibeli dari Brataco. 5. Hydrocortisone® cream sebagai kontrol positif.

6. Biocream® sebagai basis krim.

7. Veet® cream untuk membantu merontokkan bulu puggung mencit.

8. Larutan fisiologi NaCl 0,9% sebagai pelarut karagenin dibeli dari Apotek K24 Condong Catur.

D. Alat Penelitian 1. Alat pembuatan ekstrak kental

a. Oven

b. Mesin penyerbuk

c. Alat-alat gelas (glass beaker, Erlenmeyer, gelas ukur, cawan porselen, pipet tetes, batang pengaduk).

2. Alat penginduksi dan pengukur edema kulit punggung mencit a. Spuit injeksi

b. Jangka sorong digital

(53)

32

3. Lain-lain

a. Neraca analitik b. Gunting

c. Alat pencukur bulu

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman

Determinasi tanaman dilakukan menggunakan ciri-ciri tanaman Cassia fistula L. sesuai dengan acuan Steenis, Hoed, dan Eyma (1992)..

2. Pengumpulan bahan

Daun dipanen dan kumpulkan pada pagi hari dari pohon C. fistula yang terdapat di wilayah Kampus III Universitas Sanata Dharma Paingan.

3. Pembuatan simplisia

Daun C. fistula yang telah dikumpulkan dipilah terlebih dahulu dan diambil daun yang tidak terlalu tua atau terlalu muda, dan tidak berlubang, kemudian dicuci dengan air bersih mengalir. Setelah itu daun dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 30°-45°C hingga daun benar-benar kering. Suhu tersebut sudah sesuai dengan Anonim (2009) yang menyebutkan bahwa bahan alam dikeringkan dengan suhu pengeringan tidak lebih dari 60°C. Selanjutnya daun kering C. fistula dipotong dan dihaluskan. Serbuk halus kemudian diayak menggunakan ayakan dengan nomor mesh 40, kemudian ditimbang sebanyak 25 g.

(54)

33

4. Pembuatan ekstrak

Ekstrak didapatkan dengan proses maserasi, serbuk kering daun trengguli direndam dalam 250 mL etanol (80%) dalam Erlenmeyer 500 mL selama 5 hari pada suhu kamar (dilakukan pengadukan selama proses maserasi menggunakan shaker). Setelah itu ampas dan filtrat dipisahkan kemudian ampas dimaserasi kembali dengan 250 mL etanol 80% selama 2 hari. Selanjutnya filtrat diuapkan menggunakan rotary evaporator dengan suhu 40° C dan dilanjutkan dengan water-bath pada suhu 40-50° C hingga didapatkan ekstrak kental. Selanjutnya ekstrak ditutup rapat dan disimpan dalam lemari pendingin hingga waktu penggunaan.

5. Pembuatan krim ektrak etanol daun C. fistula L. 1,67; 2,5%; 3,75% B/B Krim ekstrak etanol konsentrasi 1,67; 2,5; dan 3,75% B/B didapatkan dengan menimbang 0,167; 0,25; dan 0,375 gram ekstrak kental C. fistula L. kemudian dicampurkan ke dalam 10 gram Biocream®.

6. Pembuatan larutan karagenin 3%

Larutan karagenin 3% dibuat dengan melarutkan 3 gram karagenin dalam 100 mL larutan fisiologis NaCl 0,9%.

7. Pengujian dengan krim ekstrak daun C. fistula

(55)

34

punggung mencit dicukur bulunya dilanjutkan dengan pengolesan Feet® agar area cukut lebih rapi. Setelah itu mencit didiamkan selama satu hari. Keesokan harinya dilakukan pengukuran tebal lipat kulit punggung pada jam ke-0, kemudian diinjeksi karagenin 3% sebanyak 0,2 mL dan diukur tebal edemanya menggunakan jangka sorong setiap jam selama 6 jam. Pengolesan krim dilakukan sesaat setelah dilakukan injeksi karagenin. Kelompok pertama (kontrol negatif) hanya diinjeksikan dengan karagenin saja. Kelompok kedua (kontrol positif) diinjeksikan karagenin kemudian dioleskan krim Hydrocortisone®. Kelompok ketiga (kontrol Biocream®) diinjeksikan karagenin kemudian dioleskan Biocream®. Selanjutnya kelompok 4, 5, dan 6 (kelompok perlakuan) diinjeksikan karagenin kemudian dioleskan krim ekstrak C. fistula dengan konsentrasi berturut-turut 1,67; 2,5%; 3,75% B/B. Pengolesan krim dilakukan pada luas permukaan punggung mencit terinduksi karagenin seluas 2,25 cm2 (1,5 cm x 1,5 cm).

F. Tata Cara Analisis Hasil

1. Analisis hasil dilakukan dengan mengukur ketebalan edema kulit punggung mencit yang diukur menggunakan jangka sorong digital.

2. Nilai selisih edema tiap jam diukur dan dihitung nilai AUC total masing-masing perlakuan dengan rumus :

∑ [ ]

(56)

35

Keterangan :

AUC0-6 = area di bawah kurva dari jam ke-0 sampai jam ke-6 (cm2.jam)

= luas area pigmentase pada jam ke-(n-1)(cm2) = luas area pigmentase pada jam ke-n (cm2)

= jam ke-n (jam)

= jam ke-(n-1) (jam)

(Ikawati, Supardjan, dan Asmara, 2007). 3. Menghitung presentase penghambatan inflamasi

Keterangan :

= rata-rata kontrol negatif (mm.jam)

= masing-masing mencit pada kelompok yang diberi senyawa uji dengan konsentrasi sebesar n (mm.jam)

(Ikawati, Supardjan, dan Asmara, 2007). 4. Persen penghambatan inflamasi masing-masing perlakuan kemudian dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk untuk melihat distribusi data. Jika data terdistribusi secara normal maka dilanjutkan dengan analisis Anova dengan taraf kepercayaan 95%, jika data tidak terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan analisis Kruskall-Wallis. Apabila uji Kruskall-Wallis menunjukkan paling tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok, maka dilanjutkan dengan analisis Post hoc Mann-Whitney (Dahlan, 2014).

(57)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tanaman

Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cassia fistula L. yang didapatkan dari lingkungan Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan. Tanaman C. fistula dideterminasi untuk memastikan kebenaran tanaman yang akan diteliti apakah daun yang digunakan dalam penelitian adalah benar merupakan daun dari tanaman C. fistula atau trengguli. Determinasi dilakukan dengan pengamatan bagian daun, bunga, dan buah. Determinasi dilaksanakan di Laboratoriun Kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi Sanata Dharma berdasarkan acuan Steenis, Hoed, dan Eyma (1992) hingga kategori jenis (species). Hasil determinasi menunjukka bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar merupakan tanaman Cassia fistula L (Lampiran 1).

B. Ekstrak Etanol Daun C. fistula

Ekstrak etanol daun C. fistula yang digunakan dalam penelitian merupakan ekstrak kental yang diperoleh melalui proses maserasi. Maserasi merupakan prosedur ekstraksi yang mudah dan secara luas digunakan. Maserasi pada umumnya dilakukan pada suhu ruang dengan merendam simplisia dalam pelarut selama beberapa hari dengan pengadukan secara berkala. Proses perendaman ini diulang 1-2 kali dengan pelarut yang baru (Mahdi dan Altikriti, 2010). Daun

(58)

37

06.00-07.00. Daun C. fistula yang telah dipanen merupakan daun yang tidak terlalu muda maupun terlalu tua dan juga tidak berlubang. Selanjutnya daun dikeringkan menggunakan oven dan dihaluskan menjadi serbuk dengan bantuan

blender. Tujuan dari proses pengeringan adalah untuk memaksimalkan proses ekstraksi karena daun yang telah kering mengandung air yang sangat sedikit sehingga pelarut etanol dapat masuk ke dalam daun dengan lebih efektif. Sedangkan proses penyerbukan bertujuan untuk memper

Gambar

Tabel 3. Rata-rata persen penghambatan inflamasi (%PI) tiap kelompok perlakuan
Gambar 18. Hewan uji (mencit) yang digunakan dalam penelitian ………..…    60
Gambar 1. Tanaman Cassia fistula L. (Dokumen Pribadi, 2015)
Gambar 2. Struktur senyawa kandungan dalam  C. fistula: (1) 4H-Pyran-4-one,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka Unit Layanan Pengadaan Pokja Pengadaan Barang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro mengumumkan Pemenang Lelang sebagai berikut

Menurut Matthew (2003:31) peningkatan tingkat kebugaran dapat mempengaruhi produktivtas karyawan, kepuasan kerja dan kehadiran karyawan (Matthew, 2003:31). Dari hasil observasi

(2) Pengelolaan koleksi perpustakaan SMA Negeri 1 Surakarta meliputi : (a) kegiatan pengadaan koleksi perpustakaan sekolah meliputi : ((1)) perencanaan (planning) pengadaan

dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH KUALITAS PRODUK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN LAYANAN

Hasil penelitian menunjukkan penerimaan diri ketiga subjek mahasiswa tunanetra total yang meliputi tujuh indikator, yaitu: (1) positif terhadap diri, (2)

Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang, ia tidak akan berhenti

penelitian dan pengabdian masyarakat. e) Mempersiapkan bahan pelaksanaan kegiatan perkuliahan dan ujian. f) Mempersiapkan bahan penyusunan kalender pendidikan

Variasi musim adalah suatu gerakan yang naik turun secara teratur yang cenderung untuk terulang kembali dalam jangka waktu tidak lebih dari 1 tahun.. Variasi siklis adalah