• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inflation Targeting Framework

2.4. Hubungan Inflasi dan Pengangguran

2.4.1. Inflation Targeting Framework

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan

moneter Bank Indonesia yang tercermin pada penetapan dan pengumuman sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, penjelasan periodik kepada masyarakat mengenai pelaksanaan kebijkan moneter yang ditempuh, maupun pemberian independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Secara umum, kerangka kerja ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan berdasarkan pada proyeksi dan target inflasi tertentu ke depan.

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka

kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat.

b. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.

c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter. d. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang

menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.

e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.

2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus terhadap inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).

3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya suku bunga jangka panjang akan

meningkat karena tingginya premi resiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi aset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro growth (http://WWW.bi.go.id.diakses.10 juli 2013).

Setiap negara mengharapkan untuk mencapai tahap kegiatan ekonomi pada tingkat penggunaan tenaga kerja penuh tanpa inflasi. Ahli – ahli ekonomi telah menyadari bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, masalah inflasi akan dihadapi, maka tingkat inflasi akan semakin tinggi. Sebaliknya apabila terdapat masalah pengangguran yang serius, tingkat harga – harga adalah relative stabil. Berarti tidak mudah untuk menciptakan penggunaan tenaga kerja penuh dan kestabilan harga secara serentak. Semakin tinggi tingkat pengangguran semakin rendah laju kenaikan tingkat upah, dengan kata lain terdapat “trade off” antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran yang ditunjukkan seperti gambar 4.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 2 4 6 8 10 Gambar 4 Kurva Philips

Dari Gambar diatas menunjukkan melalui Labor Market Theory yaitu bahwa tingkat upah rill dipengaruhi oleh demand dan supply for labor di pasar tenaga kerja. Jadi naik turunnya tingkat upah akan dipengaruhi oleh excess

demand dan supply tenaga kerja yang berhubungan dengan unemployment.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika demand for labor naik maka

unemployment akan mengalami penurunan, excess demand for labor akan

mengalami peningkatan maka tingkat upah rill akan meningkat dan unemployment turun jika tingkat upah rill meningkat. Tingkat upah ini berkaitan dengan variabel harga, yaitu jika tingkat upah mengalami kenaikan maka akan berpengaruh terhadap tingkat harga. Kurva philips merupakan fungsi hubungan unemployment dengan inflasi. K urva philips ini berselop negatif yang berarti bahwa jika laju inflasi tinggi maka tingkat pengangguran akan mengalami penurunan. Inflasi yang tinggi akan berdampak pada sektor ekonomi yang lain, misalnya tingkat suku bunga, investasi dan konsumsi masyarakat. Sedangkan rendahnya tingkat pengangguran dapat mencerminkan tingkat distribusi pendapatan yang lebih merata, meningkatkan konsumsi total, meningkatkan produksi nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Untuk melihat bagaimana persamaan tingkat upah dimana jika W adalah upah dalam periode ini, dan W-1 adalah upah periode terakhir, maka tingkat inflasi sebesar harga (gW ) dapat didefinisikan sebagai berikut :

ℊ𝑊 = W−W_ı

W − ı ...(1)

Kemudian jika U menunjukkan tingkat pengangguran aktual dan Uo menunjukkan tingkat pengangguran alamiah, maka kurva Philips dapat dituliskan sebagai berikut :

ℊ𝑊 = −ℰ(𝑈 − 𝑈𝑜) ...(2)

ℰ adalah suatu nilai yang mengindikasikan bagaimana berubahnya inflasi pada nilai ( U – Uo ).

Kurva Philips menggambarkan penawaran aggregate karena kurva Philips mengindetifikasikan kenaikan output aggregate pada tingkat pengangguran yang lebih rendah akan menaikkan inflasi. Kurva Philips secara tidak langsung menyatakan bahwa tingkat upah dan harga menyesuaikandiri (adjusted for self) secara lambat dibandingkan dengan perubahan permintaan aggregate. Misalnya perekonomian dalam keadaan stabil dan berada pada tingkat pengangguran natural, kemudian misalnya ada kenaikkan stok uang sebanyak 10 persen sehingga harga – harga dan tingkat upah akan naik 10 persen juga, agar terjadi keseimbangan baru. Tapi kurva Philips menunjukkan agar terjadi kenaikkan tingkat upah 10 persen tersebut tingkat pengangguran harus diturunkan. Hal ini menyebabkan kenaikkan tingkat upah dan harga – harga akan mengalami kenaikkan juga dan akhirnya perekonomian akan berada pada posisi kesempatan kerja penuh pada suatu tingkat utput dan pengangguran, sehingga persamaannya menjadi :

Wt + 1 = Wt [1-E (U – Uo

) ] ...(3)

Supaya tingkat upah naik seperti pada tingkat sebelumnya, maka pengangguran harus turun sampai pada tingkat pengangguran alamiah.

Kurva Philips menggambarkan hubungan tingkat kenaikan harga – harga (tingkat inflasi) dengan pengangguran. Maka para pengambil kebijakan dihadapkan pada dua pilihan yaitui berusaha menekan rendahnya pengangguran namun dengan resiko tingkat inflasi yang tinggi atau sebaliknya.

Dokumen terkait