• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.1.2. Inflation Targeting Framework

1. Definisi Inflation Targeting Framework (ITF)

Inflation targeting framework (ITF) adalah suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.

2. Ciri Khusus ITF

a. Pernyataan resmi (dan dikuatkan dalam UU) bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah inflasi yang rendah dan stabil

b. Penetapan dan pengumuman target inflasi dalam jangka menengah-panjang

c. Adanya elemen independensi, komitmen, komunikasi, disiplin dan mekanisme akuntabilitas kebijakan moneter

3. Alasan Penerapan ITF

a. Kebijakan moneter dalam jangka menengah-panjang hanya berpengaruh langsung terhadap inflasi dan bukan pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang tinggi dalam jangka menengah-panjang akan mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat dan menekan nilai tukar yang dapat memperburuk perekonomia. Jadi, kebijakan

moneter yang baik adalah pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah-panjang.

b. Dapat dijadikan alat untuk memelihara kredibilitas Bank Sentral dalam mengendalikan inflasi. Dengan adanya transparansi target inflasi dan cara pencapaiannya, Bank Sentral akan dituntut komitmennya untuk mempertahankan reputasinya.

c. Terdapat jangkar nominal yang jelas, yaitu inflasi

d. Dapat memperkuat akuntabilitas Bank Sentral, karena adanya publikasi target inflasi maka publik dapat menilai kesuksesan atau kegagalan pencapaian Bank Sentral serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

4. Langkah-langkah Penguatan kebijakan Moneter Melalui ITF a. Penggunaan suku bunga (BI Rate) sebagai reference rate dalam

pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer

b. Penguatan proses perumusan kebujakan moneter dengan strategi antisipatif (forward looking strategy) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan

c. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi

d. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi kebijakan ekonomi secara keseluruhan

5. Syarat Keberhasilan Implementasi ITF a. Bank Sental ysng independen

b. Komitmen untuk mencapai kestabilan harga c. Tidak ada dominasi fiskal

d. Transparansi dan akuntabilitas

e. Exchange rate harus fleksibel/floating

f. Kebijakan moneter yang bersifat forward looking g. Memiliki kemampuan operasional :

i. Kemampuan dalam forecast inflation ii. Pemahaman transmisi kebijakan moneter iii. Prosedur operasional kebijakan moneter

Gambar 1 : Kerangka Inflation Targeting Framework Intrumen Moneter Respon Kebijakan (operasi targer) Koordinasi Pemerintah

Stabilitas nilai tukar

Kebijakan moniter lain

Kebijakan perbankan BI Rate Output Growth Determinan inflasi Keterkaitan antar variabel ekonomi Transmisi moneter Prakiraan Inflasi Indikator Kebijakan (intermediate targer) Operasi Moneter Sasaran Inflasi Sasaran Akhir Kesejahteraan masyarakat

Trade off yg optimal antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi

Pengaruh ekspektasi

Koridor suku bunga

Struktur suku bunga

Manajemen likuiditas

Komuniksai Kebijakan

Komunikasi & konsistensi Pembentukan eksoektasi

Model, riset, statistik, pendapatan ahli, judgement

Kredibilitas kebijakan

Sumber : Bank Indonesia Surabaya, 2009:22 2.2.1.3.Macam-macam Inflasi

1. Inflasi Menurut penyebabnya

Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, perlu terlebih dahulu mengetahui faktor-faktor yamg menyebabkan timbulnya inflasi. Menurut teori kuantitas, sebab utama timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah uang beredar. Atas dasar ini dibedakan dua macam inflasi yaitu :

a. Inflasi permintaan

Istilah lain untuk inflasi semacam ini antara lain ialah demand pull inflation, inflasi tarikan permintaan dan demand inflation.

Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh. Dalam keadaan hampir kesempatan kerja penuh, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan hasil produksi (output).

Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut inflasi murni). Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan keseimbangan Gross National Product (GNP) berada diatas atau melebihi Gross National Product (GNP) pada kesempatan kerja penuh maka akan terdapat adanya “inflationary gap” yaitu kesenjangan yang timbul karena tanggungan lebih kecil daripada kebutuhan investasi. Dalam keadaan ini harga-harga akan cenderung naik terus karena output yang langka harus diperebutkan oleh konsumen yang jumlahnya banyak. Secara grafik dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2 : Demand Pull Inflation P1 P4 P2 P3 Inflatoinary Gap AD AD AD AD P Q QMs Q

Sumber :Nopirin, 2000, Ekonomi Moneter, buku II, edisi I, BPFE UGN Yogyakarta, Hal. 29

Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2 menyebabkan ada sebagian permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akhirnya harga naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationary gap. Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik (menjadi AD4).

b. Inflasi penawaran

Inflasi lain yang banyak dipakai untuk inflasi semacam ini adalah cost push inflation dan supply inflation. Keadaan ini timbul biasanya

dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi

Kenaikan biaya produksi ini dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor diantaranya :

1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah. 2. Suatu industri yang sifatnya monopolistis, manajer dapat

menggunakan kekuasaannya dipasar untuk menentukan harga (yang lebih tinggi).

3. Kenaikan harga bahan baku industri. Salah satu contoh yang tak asing lagi adalah krisis minyak pada tahun 1972-1973 yang menyebabkan kenaikan harga minyak.

Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Kalau proses ini berjalan terus akan timbal cost push inflation.

Gambar 3 : Cost Push Inflation

P1 P2 P3 AS3 AS2 AS1 AD P Q2 Q1 QFE Q

Sumber :Nopirin, 2000, Ekonomi Moneter, buku II, edisi I, BPFE UGM Yogyakarta, Hal. 31

Bermula pada harga P1 dan QFE. Kenaikan biaya produksi akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. Konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi Turun menjadi Q2. Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser keatas (Nopirin, 2000:28-31) .

2. Inflasi Menurut Sifatnya

Menurut sifatnya laju pertumbuhan inflasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain :

1. Creeping inflation (Inflasi merangkak atau rendah)

Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan presentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.

2. Galloping inflation (inflasi menengah)

Yaitu inflasi yang besarnya antara 10-30% pertahun. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi yang merangkak atau creeping inflation.

Yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun. Dalam kondisi ini harga-harga secara umum naik.

4. Hyper inflation (inflasi sagat tinggi)

Yaitu inflasi yang besarnya diatas 100% pertahun dan merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyiapkan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang baru (Putong, 2000:185).

3. Inflasi Menurut Asal-usulnya

Berdasarkan asal-usulnya inflasi dibedakan :

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (Domestic Inflation)

Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (Import Inflation)

Inflasi yang berasal dari luar negeri timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau dinegara langganan.

Penularan inflasi dari luar negeri kedalam negeri karena kenaikan barang-barang yang kita impor, bisa pula karena kenaikan ekspor. Penularan inflasi dari luar negeri lebih mudah terjadi pada sistem perekonomian terbuka (Boediono, 1998:165).

2.2.1.4.Sebab-sebab Timbulnya Inflasi

Ada tiga sektor yang memungkinkan timbulnya inflasi yaitu : 1. Sektor Ekspor-Impor (X-M)

Jika ekspor suatu negara lebih besar daripada impornya maka timbul tekanan inflasi. Tekanan inflasi yang terjadi disini diakibatkan oleh makin besarnya jumlah uang beredar dalam negeri karena penerimaan devisa dari luar negeri.

2. Sektor Tabungan dan Investasi (T-E)

Bila investasi suatu negara lebih besar dari sektor tabungan sehingga untuk membiayai investasi lebih besar dari tabungannya itu harus diselesaikan dengan jalan mengeluarkan uang baru yang nantinya dapat mengakibatkan tekanan inflasi.

3. Sektor Penerimaan dan Pengeluaran Negara (I-S)

Bila anggaran belanja suatu negara mengalami defisit artinya pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sehingga untuk menutupi pengeluaran yang lebih besar tersebut harus dikeluarkan uang baru yang menyebabkan inflasi.

2.2.1.5.Efek-efek Inflasi

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek inflasi terhadap pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan terhadap faktor produksi disebut dengan eficiency effect dan terhadap produk nasional disebut dengan output effect.

1. Efek terhadap pendapatan (equity effect)

Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikandan ada pula yang diuntungkan. Pihak-pihak yang mendapat keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar daripada laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya dengan persentase lebih besar dengan adanya laju inflasi. 2. Efek terhadap efisiensi (eficiency effect)

Inflasi dapat pula mengubah alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat pula terjadi melalui kenaikan tingkat permintaan akan berbagai barang yang berkaitan dengan laju inflasi atau dapat juga terjadi perubahan dalam beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang lebih besar dari barang lain yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut yang nantinya akan mengubah pola alokasi produksi yang sudah ada.

3. Efek terhadap output (output effect)

Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi yang biasanya didahului kenaikan barang daripada upah, sehingga keuntungan pengusaha naik (Nopirin, 2000:32-33).

2.2.1.6.Teori Inflasi

Secara garis besar ada tiga kelompok teori mengenai inflasi. Teori-teori tersebut yaitu :

1. Teori Kuantitas

Teori kuatitas mengenai inflasi mengatakan bahwa penyebab utama dari inflasi adalah pertambahan jumlah uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga-harga dimasa mendatang. Tambahan uang beredar sebesar X% bisa menumbuhkan inflasi kurang dari X%, sama dengan X% atau lebih besar dari X% tergantung pada apakah masyarakat tidak mengharapkan harga naik lagi akan tetapi tidak lebih buruk daripada sekarang atau masa-masa lampau (Boediono, 1998:167).

2. Teori Keynes

Teori keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregate yang lebih besar daripada jumlah barang tersedia (yaitu apabila timbul inflationary gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi berkelanjutan. Di dalam teori ini menyoroti peranan sistem distribusi pendapatan dalam proses inflasi, selain itu teori ini juga menyarankan hubungan antara inflasi dan faktor-faktor non ekonomis (Boediono, 1998:169). 3. Teori Strukturalis

Teori strukturalis adalah teori jangka panjang, karena menyoroti sebab-sebab inflasi yang berasal dari kekacauan struktur ekonomi, khususnya

ketegaran suplay bahan makanan dan barang-barang ekspor (Boediono, 1998:173).

penerimaan ekspor negara berkembang dari impor negara tersebut merupakan tren yang terus memburuk, juga produksi barang ekspor yang tidak elastis terhadap kenaikan harga barang-barang.

Proses inflasi yang terjadi karena dua ketegangan ini biasanya saling berkaitan bahkan akan memperkuat satu sama lainnya. Di balik analisa teori ini terdapat asumsi yang tidak disebut secara eksplisit bahwa kenaikan jumlah uang beredar selalu diikuti oleh kenaikan barang-barang. Tanpa adanya jumlah uang yang beredar maka proses inflasi akan berhenti dengan sendirinya sebagaimana yang dikemukakan oleh teori ini yang dinamai teori strukturalis dengan menamakan dirinya Moneteris Convetional. Moneteris mengatakan bahwa perubahan strukturalis tidak dapat mempertahankan inflasi dalam waktu yang lama kecuali bila disebabkan oleh pengeluaran belanja yang berlebihan, bisa dalam bentuk kelebihan permintaan ataupun kelebihan dala jumlah uang (Boediono, 1998:175).

2.2.1.7.Kebijakan Anti Inflasi

Cara untuk mencegah inflasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kebijakan Moneter

Kebijakan ini dilaksanakan melalui realisasi kebijaksanaan Bank Sentral sebagai otoritas untuk melakukan :

a. Menaikkan Cash Ratio

Cash Ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-bank umum ditambah dengan demand deposit pada Bank Sentral terhadap bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio atau reverse requipment daripada bank-bank dagang, merupakan suatu tindakan anti inflasi. Karena itu selain untuk mengurangi reverse requipment yang berlebihan daripada bank, dapat pula mengurangi kemungkinan permintaan kredit dari masyarakat.

Dengan demikian jelaslah pula bahwa dengan menaikkan cash ratio bank-bank dagang oleh Bank Sentral, maka pemberian kredit atau penambahan jumlah uang beredar dapat diperkecil atau tekanan inflasi dapat dikurangi.

b. Politik Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Salah satu cara yang umum digunakan untuk mengatasi masalah inflasi oleh Bank Sentral adalah open marker policy yang kadang-kadang disebut juga sebagai Tigh money policy. Dengan istilah Tigh money policy ini dimaksudkan sebagai suatu kebijaksanaan dari Bank Sentral untuk menjual surat-surat berharga seperti obligasi negara pada masyarakat. Hal ini dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar sehingga laju inflasi dapat lebih rendah.

Keinginan dari orang-orang atau badan-badan usaha untuk mengadakan pinjaman kepada badan-badan kredit berhubungan erat dengan keuntungan yang diharapkan dari investasi yang akan dijalankan dan besarnya suku bunga yang harus dibayar dari modal yang dipinjam. Bilamana bunga pinjaman semakin besar, maka ada kecenderungan tertahannya aktivitas yang besar yang pembiayaannya didasarkan atas pinjaman dari bank penyalur kredit.

Dengan demikian jelas bahwa kenaikan tingkat suku bunga dari Bank Sentral akan mengurangi keinginan badan-badan kredit untuk mengadakan pinjaman agar memenuhi permintaan pinjaman masyarakat, yang berarti besarnya kredit dan beban kredit berkurang, yang berarti pula mengurangi tekanan inflasi.

Tujuan dari discount rate atau politik diskonto adalah mengurangi kemampuan bank umum atau bank komersial untuk menyalurkan kredit dengan cara mengurangi bahkan menghentikan sama sekali kredit likuiditas yang dikelola oleh Bank Indonesia.

2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal menyangkut peraturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total, dengan demikian akan mempengaruhi harga yang nilainya dapat menimbulkan inflasi.Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Penurunan pengeluaran pemerintah

Telah dikatakan bahwa terdapat dua sektor yang menyebabkan terjadinya inflasi, yaitu sektor pemerintah dan sektor partilkelir. Dengan demikian jelas bahwa apabila terjadi inflasi pada sektor-sektor diatas, maka faktor-faktor yang dapat menimbulkan inflasi tersebut harus diatasi atau pengeluaran pemerintah harus diperkecil. Penurunan pengeluaran pemerintah akan lebih efektif lagi apabila diikuti oleh kenaikan pajak dan mengadakan pinjaman pemerintah.

b. Menaikkan pajak

Dalam keadaan dimana lalu lintas perekonomian berjalan cepat dan tingkat konsumsi masyarakat sangat tinggi akan mengakibatkan jumlah uang beredar terlalu besar, sehingga berdampak pada laju inflasi. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menaikkan pajak. Dengan kenaikan pajak ini diharapkan bisa mengurangi penghasilan masyarakat, sebab pada umumnya kenaikan pajak yang demikianlah yang lebih efektif untuk mengurangi tekanan inflasi.

c. Mengadakan pinjaman pemerintah

Salah satu cara yang lebih efektif untuk mengatasi inflasi, yaitu mangadakan pinjaman pemerintah atau pinjaman paksaan. Dapat juga dijalankan dengan membekukan sebagian dari simpanan

pihak-pihak partikelir yang ada dalam bank bagian yang dibekukan ini menjadi pinjaman pemerintah.

Pinjaman paksaan lebih banyak pada masa perang, meskipun hal tersebut juga dijalankan pada masa damai serta dalam keadaan perekonomian dan moneter yang mengkhawatirkan. Karena dalam keadaan damai tekanan inflasi dapat diatasi dengan jalan pinjaman sukarela, meskipun harus diakui bahwa dengan cara tersebut tujuan tersebut jadi tercapai.

2.2.1.8.Cara Pengukuran Laju Inflasi di Indonesia

Laju inflasi di Indonesia saat ini diukur dengan indeks harga konsumen (IHK). Indeks harga konsumen berdasarkan pada kenaikan harga sekitar 200-224 jenis barang. Tergantung dikota mana IHK tersebut dihitung. Adapun jumlah kota yang dihitung adalah 27 ibukota propinsi.(Bank Indonesia)

Bobot barang tersebut akan berbeda tergantung dari berapa persen pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat terhadap suatu jenis barang ataupun jasa dikota-kota besar, hal ini tentunya akan berbeda dengan jumlah pengeluaran oleh masyarakat dikota-kota kecil, sehingga sumbangan inflasi di suatu kota terhadap laju inflasi nasional akan berbeda pula.

2.2.2. Tingkat Suku Bunga

2.2.2.1.Pengertian Tingkat Suku Bunga

Menurut Sihombing (1990:7) pengetian tingkat suku bunga adalah harga yang dibayarkan atas penggunaan kredit, dimana tingkat suku bunga tersebut berdasarkan balas jasa yang diperoleh masyarakat atas sejumlah dana pinjaman yang telah diterimanya.

Samuelson dan Nordhaus (1996:332) memberikan definisi tingkat suku bunga adalah harga yang dibayar bank dan peminjam lainnya untuk pemanfaatan uang selama jangka waktu tertentu. Suku bunga umumnya tergantung pada jangka waktu peminjaman.

Menurut Boediono (1998:75) dalam bukunya “Ekonomi Moneter” yang dimaksud tingkat suku bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu.

Menurut Rosyidi (1999:160) suku bunga adalah tingkat harga dari uang yakni beberapa persen dari sejumlah uang tertentu yang harus dikembalikan atau dibayarkan karena terpakainya uang itu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga pinjaman atau kredit adalah tingkat balas jasa yang diperoleh masyarakat atas sejumlah dana pinjaman yang telah dipinjam.

2.2.2.2.Teori Irving Fisher Tentang Tngkat Suku Bunga

Teori Fisher mengenai tingkat suku bunga, yang didasarkan atas pengamatan jangka panjang dimana tingkat suku bunga tidak dipengaruhi

oleh adanya laju inflasi. Maksud dari dalil tersebut adalah bahwa apabila kita mengabaikan fluktuasi dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun, maka kecenderungan umumnya adalah bahwa tingkat suku bunga akan naik atau turun searah dan bersama-sama dengan naik turunnya laju inflasi. Apabila laju inflasi meningkat maka tingkat suku bunga jugameningkat dan begitu pula sebaliknya. Namun perlu diketahui hubungan ini berlaku untuk jangka panjang. Sedangkan dari tahun ke tahun atau dari bulan ke bulan ada kemungkinan laju inflasi naik tetapi tingkat suku bunga tetap atau sebaliknya.(Boediono, 1998:92)

Menurut Fisher yang disitir oleh Boediono dalam bukunya Ekonomi Moneter (1998:93) mengatakan bahwa “Meskipun dalam jangka panjang tingkat suku bunga tidak dipengaruhi oleh laju inflasi, namun yang dimaksud adalah bahwa tingkat suku bunga tidak bisa berubah. Tetapi yang dimaksud disini adalah bahwa tingkat suku bunga masih bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (tetapi bukan oleh laju inflasi), dimana tingkat suku bunga terdiri dari tiga komponen yaitu : tingkat bunga murni, premi resiko dan biaya transaksi. Apabila salah satu atau lebih dari ketiga komponen itu berubah oleh salah satu sebab, maka tingkat suku bunga juga akan berubah, dan ini bisa juga terjadi meskipun dalam jangka pendek.”

2.2.2.3.Teori Keynes Tentang Tingkat Suku Bunga

Dalam teori ekonomi makro Keynes, suku bunga merupakan determinan penting kedua dari volume investasi yang dilakukan dalam suatu periode, sedangkan determinan penting yang pertama adalah efisiensi modal marginal.

Suku bunga adalah harga/nilai uang dalam bentuk obligasi. Teori keynes menganggap bahwa alternatif dari menyimpan uang adalah menyimpan obligasi. Untuk sementara kita akan terus menggunakan asumsi ini. Suku bunga menyamakan keinginan menyimpan uang dengan keinginan menyimpan obligasi.(Boediono, 2000:80)

Beberapa ahli ekonomi menganggap bahwa tingkat suku bunga adalah suatu hal yang sangat penting untuk pengambilan keputusan investasi bagi perusahaan/perorangan. Pengertian tingkat suku bunga diartikan biaya dari unsur harga pokok dan bunga merupakan harga dari penggunaan yang dipinjam.

2.2.2.4.Tingkat Suku Bunga SBI

2.2.2.4.1.Pengertian Tingkat Suku Bunga SBI

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan surat berharga atau unjuk dalam rupiah yang diterbitkan dalam sistem diskonto oleh bank Indonesia sebagai pengakuan untuk hutang yang berjangka pendek (Hadisoewito, 1987).Sertifikat Bank Indonesia diterbitkan pertama kali tahun 1970 dengan tujuan utama untuk menciptakan suatu piranti pasar

uang yang diperdagangkan antar bank. Tetapi pada tahun 1971 Sertifikat Bank Indonesia tidak terbit lagi sejak diterbitkannya sertifikat deposito. Pada tahun 1974, pemerintah selain menerapkan pengaturan suku bunga deposito juga menerapkan sisitem pengendalian moneter secara langsung dengan memberlakukan pagu kredit.

Sejak 1 juni 1999 pengaturan suku bunga deposito dari pagu kredit ini dihapus dan seiring dengan itu sistem pengendalian secara langsung diubah menjadi sistem pengendalian tidak langsung. Sejalan dengan pengubahan di dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter maka diperkenalkanlah kembali SBI pada tanggal 1 maret 1999.

2.2.2.4.2.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terdapatnya Beberapa Tingkat Bunga

Faktor-faktor yang terpenting di antaranya adalah : 1. Perbedaan resiko

Usaha yang telah lama berkembang, atau usaha yang tidak banyak resikonya mereka bersedia mengenakan tingkat bunga yang rendah. Sedangkan usaha yang sangat tinggi resikonya mereka akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi.

2. Jangka waktu pinjaman

Semakin lama sejumlah modal yang dipinjamkan, semakin besar tingkat bunga yang harus dibayarkan.

Berdasarkan kepada pertimbangan biaya administrasi pinjaman, pinjaman yang lebih sedikit jumlahnya akan membayar tingkat

Dokumen terkait