Pertama-tama peneliti panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT serta Sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang peneliti susun dengan judul “BEBERAPA FAKTOR MONETER YANG MEMPENGARUHI LAJU INFLASI DI INDONESIA” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini peneliti susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Peneliti menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini sering kali menghadapi hambatan dan keterbatasan dalam berbagai hal. Namun, tanpa bantuan bimbingan, motivasi, saran dan dorongan yang telah diberikan dan bantuan berbagai pihak, peneliti tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaimana mestinya. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dr. Hj. Muchtolifah, SE, MP, selaku Dosen Pembimbing Utama telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan suatu bimbingan, pengarahan, dorongan, masukan-masukan, dan saran dengan tidak bosan-bosannya kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah memberikan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Bapak Drs. M. Taufiq MM selaku Dosen Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam perkuliahan.
6. Bapak dan ibu, beserta keluarga tercinta yang telah memberikan motivasi, do’a, semangat dan dorongan moral serta spiritualnya yang telah tulus kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
7. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen serta staf karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang telah dengan ikhlas memberikan banyak ilmu pengetahuannya selama masa perkuliahan dan pelayanan akademik bagi peneliti.
8. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf Badan Pusat Statistik Surabaya, dan Bank Indonesia Surabaya, yang telah memberikan banyak informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk mengadakan penelitian dalam penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh sahabat dan mahasiswa dari Jurusan Ilmu Ekonomi, serta semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang selalu
iii
bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai bahan kajian maupun sebagai salah satu sumber informasi dan bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.
Wassalamu’ alaikum Wr. Wb
Surabaya, Juni 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR TABEL...viii
DAFTAR GAMBAR...ix
DAFTAR LAMPIRAN...x
ABSTRAKSI...xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1
1.2. Perumusan Masalah...5
1.3. Tujuan Penelitian...…...5
1.4. Manfaat Penelitian...6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu...8
2.2. Landasan Teori...13
2.2.1. Inflasi...….13
2.2.1.1. Pengertian Inflasi...13
2.2.1.2. Inflation Targeting Framework………15
2.2.1.3. Macam-macam Inflasi...18
2.2.1.4. Sebab-sebab Timbulnya Inflasi...24
2.2.1.5. Efek-efek Inflasi...24
2.2.1.6. Teori Inflasi...25
2.2.1.7. Kebijakan Anti Inflasi...27
2.2.1.8. Cara Pengukuran Laju Inflasi di Indonesia...31
2.2.2. Tingkat Suku Bunga...32
2.2.2.1. Pengertian Tingkat Suku Bunga...32
2.2.2.2. Teori Irv.Fisher Tentang Tingkat Suku Bunga...32
2.2.2.3. Teori Keynes Tentang Tingkat Suku Bunga...34
2.2.2.4. Tingkat Suku Bunga SBI...34
2.2.2.4.1. Pengertian tingkat Suku Bunga SBI...34
2.2.2.4.2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terdapatnya Beberapa Tingkat Bunga..35
2.2.2.4.3. Tujuan Diterbitkannya SBI...36
2.2.2.4.4. Cara Pembelian dan Pembayaran SBI...37
2.2.2.4.5. Hubungan Antara Tingkat Bunga Dengan Inflasi...38
2.2.3. Jumlah Uang Beredar...39
2.2.3.1. Pengertian Uang...39
2.2.3.2. Pengertian Umum Uang Beredar...…..40
2.2.3.3. Hubungan Antara Jumlah Uang Beredar...41
2.2.4. Pendapatan Perkapita...42
2.2.4.1. Pengertian Pendapatan Perkapita...42
2.2.4.2. Hubungan Antara Pendapatan Perkapita Dengan Inflasi...44
2.2.5. Pengeluaran Pemerintah...45
2.2.5.1. Pengertian Pengeluaran Pemerintah...45
2.2.5.2. Klasifikasi Dari Pengeluaran Pemerintah...47
2.2.5.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah...47
2.2.5.4. Rasio Pengeluaran dan pendapatan negara...48
2.2.5.5. Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah Dengan Inflasi...49
2.3. Kerangka Pikir...50
2.4. Hipotesis...51
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel...53
3.2. Teori Penentuan Sampel...54
3.3. Teknik Pengumpulan Data...54
3.3.1. Jenis Data...54
3.3.2. Sumber Data...55
3.3.3. Pengumpulan Data...55
3.4. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis...56
3.4.1. Teknik Analisis...56
3.4.2. Uji Hipotesis...58
3.5. Uji Asumsi Klasik (BLUE)...60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian………64
4.1.1. Inflasi di Indonesia...64
vii
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian...67
4.2.1. Perkembangan Inflasi di Indonesia...67
4.2.2. Perkembangan Tingkat Suku Bunga...68
4.2.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar………..……..69
4.2.4. Perkembangan Pendapatan Perkapita...70
4.2.5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah...72
4.3. Analisis dan Pengujian Hipotesis…...…………73
4.3.1. Pengujian Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Sesuai dengan Asumsi Klasik...73
4.3.2. Analisis Hasil Perhitungan Regresi Linier Berganda...76
4.4. Uji Hipotesis...78
4.4.1. Analisis Secara Simultan...78
4.4.2. Uji Hipotesis Secara Parsial...80
4.5. Pembahasan………...……….86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……….89
5.2. Saran………...90 DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 2 : Analisis Regresi Linier Berganda model summary Lampiran 3 : Analisis Regresi Linier Berganda model anova
Lampiran 4 : Analisis Regresi Berganda Coefficient dan Collinearity Diagnostics Lampiran 5 : Analisis Regresi Berganda Nonparametric correlations
Lampiran 6 : Tabel uji F Lampiran 7 : Tabel uji t
Lampiran 8 : Tabel Durbin-Watson
WAHYU EFENDI
ABSTRAKSI
Tingkat inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kendala bagi bagi laju perekonomian nasional. Timbulnya kekacauan pada iklim dunia usaha karena adanya ketidakpastian, sehingga muncul kesulitan untuk para pelaku dunia usaha dalam berinvestasi dan berproduksi. Pengendalian laju inflasi di Indonesia merupakan prioritas utama dari pelaksanaan kebijakan pemerintah. Atas dasar pemikiran tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor Tingkat Suku Bunga SBI, Jumlah Uang Beredar, Pendapatan Perkapita dan Pengeluaran Pemerintah terhadap inflasi di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia dan Kantor Badan Pusat Statistik cabang Surabaya dengan kurun waktu data penelitian 15 tahun, mulai tahun 1994 – 2008. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda melalui uji-F dan uji-t dengan asumsi klasik BLUE.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa secara simultan menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara Tingkat Suku Bunga SBI (X1), Jumlah Uang Beredar (X2), Pendapatan Perkapita (X3) dan
Pengeluaran Pemerintah (X4) terhadap inflasi di Indonesia (Y). Hal ini diketahui
dari uji-F yaitu diperoleh nilai Fhitung = 33,741 > Ftabel = 3,48. sedangkan secara
parsial, variabel Tingkat Suku Bunga SBI (X1) berpengaruh secara nyata terhadap
inflasi di Indonesia (Y) sedangkan variabel Jumlah Uang Beredar (X2),
Pendapatan Perkapita (X3) dan variabel Pengeluaran Pemerintah (X4) tidak
berpengaruh secara signifikan/nyata terhadap inflasi di Indonesia.
Adapun variabel yang dominan terhadap laju inflasi di Indonesia (Y) adalah Tingkat Suku Bunga SBI (X1). Hal ini dapat di buktikan kebenarannya
dengan nilai determinasi parsial (r2) sebesar 0,919 atau sebesar 91,9%.
Kata Kunci : Tingkat Suku Bunga SBI, Jumlah Uang Beredar, Pendapatan Perkapita, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi
1.1. Latar Belakang
Landasan untuk kehidupan perekonomian suatu negara adalah tingkat pertumbuhan yang tinggi, perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan yang relatif merata, keseimbangan pada neraca pembayaran, stabilisasi dan efisiensi. Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang seringkali diukur melalui tinggi rendahnya pendapatan penduduk tiap tahunnya atau pendapatan perkapita. (Suparmoko,1992:5)
Hampir semua negara baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang menghadapi masalah kestabilan serta masalah pertumbuhan ekonominya. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang dimana kehidupan ekonominya masih tergantung pada tata moneter dan perekonomian dunia selalu menghadapi masalah-masalah tersebut. Ketidakstabilan sistem moneter pada akhir-akhir ini sangatlah mengkhawatirkan perekonomian indonesia. Tetapi dengan kesigapan pemerintah khususnya dalam hal ini Bank Sentral, maka gejolak moneter kita dapat teratasi. Meskipun dalam hal ini keadaannya belum dapat dikatakan stabil atau sempurna.(Boediono, 1998:161)
Peran aktif pemerintah dalam hal pengendalian laju inflasi yang dilakukan oleh Bank Sentral sangatlah diharapkan oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Salah satu peran aktif pemerintah melalui Bank Sentral adalah menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI merupakan surat berharga atau unjuk dalam rupiah yang diterbitkan dalam sistem diskonto oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan untuk hutang yang berjangka pendek. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan bergairahnya perekonomian yang digerakkan oleh jumlah uang beredar yang semakin meningkat. Jumlah uang beredar adalah seluruh jumlah uang kartal dan uang giral yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat. Peningkatan jumlah uang beredar akan menimbulkan kenaikan harga-harga yang cenderung menyebabkan inflasi. Di lain pihak pembangunan memerlukan suatu pengeluaran dana yang besar dan tidak dapat disangkal bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan yang ditandai dengan pertumbuhan pengeluaran pemerintah akan meenimbulkan inflasi. Pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah seluruh pembelian barang atau jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. (Boediono,1998:75)
ini dapat menyebabkan tekanan yang makin memperberat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bila telah mencapai tingkat inflasi lebih dari 25% pertahun (Gunawan,1991:4).
Di bidang moneter, otoritas moneter mengeluarkan kebijakan moneter untuk mengantisipasi semakin tingginya tingkat inflasi, seperti kebijaksanaan manaikkan tingkat suku bunga, politik pasar terbuka dan menaikkan Cash ratio maupun kebijaksanaan dalam mekanisme penentuan kurs valuta asing. Sehingga dengan kebijaksanaan moneter, selain dapat dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerataan pembangunan juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah, selanjutnya peningkatan efisiensi perbankan dan lembaga keuangan non bank lain diharapkan dapat mendorong investasi maupun konsumsi.(Boediono, 2000:162)
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin menganalisa pengaruh dari tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, pendapatan perkapita dan pengeluaran pemerintah terhadap laju inflasi di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, pendapatan perkapita dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia.
2. Mana diantara variabel bebas diatas yang paling dominan dapat mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang tersebut diatas maka tujuan yang hendak dicapai yaitu :
a. Untuk mengetahui pengaruh variabel tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, pendapatan perkapita, dan pengeluaran pemerintah secara simultan maupun secara parsial terhadap laju inflasi di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Melalui penulisan ini, maka hasilnya diharapkan dapat diambil manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengalaman dan pengetahuan tentang beberapa faktor moneter yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia.
b. Bagi Instansi Yang Terkait
Sebagai informasi dan masukan pada instansi yang terkait dalam menentukan kebijakan tentang moneter.
c. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada kajian penelitian yang sama yang mungkin dapat mengembangkan variabel-variabel yang lain dan juga sebagai referensi bagi rekan mahasiswa secara umum maupun rekan-rekan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur, khususnya yang akan melakukan penelitian untuk skripsi, karya ilmiah atau tugas akhir dengan tema yang sama di masa yang akan datang.
d. Bagi Universitas
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Telah ada beberapa penelitian terdahulu tentang faktor-faktor moneter yang mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a. Berdasarkan jurnal penelitian oleh sukendar (2000) dengan judul Pengujian Dan Pemilihan Model Inflasi Dengan Non Nested Test studi kasus perekonomian Indonesia periode 1969-1997”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengendalian inflasi (anti inflation policy) dengan berusaha menekan angka inflasi serendah mungkin dibawah dua digit, dan untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia kurun waktu 1969-1997, hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mempengaruhi inflasi di Indonesia pada kurun waktu 1969-1997 adalah jumlah uang beredar, gross domestic product (GDP), pengeluaran pemerintah dan penawaran domestik. Dengan kata lain inflasi di Indonesia dapat ditekan dengan adanya kombinasi antara kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal. Kedua kebijaksanaan ini akan bekerja melalui saluran yang berlainan, ini berarti keduanya mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
b. Khadijah (abstraksi, 2001:xi) dengan judul “Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Indonesia”.
Dengan variabel terikat (Y) yaitu inflasi. Sedangkan variabel bebas (X) meliputi jumlah uang beredar (X1), pendapatan nasional (X2)
dan kurs rupiah terhadap dollar (X3).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan faktor jumlah uang beredar, pendapatan nasional, dan kurs rupiah terhadap dollar berpengaruh secara nyata terhadap laju inflasi di Indonesia. Sedangkan secara parsial jumlah uang beredar, pendapatan nasional, dan kurs rupiah terhadap dollar berpengaruh secara signifikan terhadap laju inflasi dengan ditunjukkan variabel-variabel masing-masing sebesar 55,6% dan 86,1%. Sedangkan pendapatan nasional tidak berpengaruh secara nyata terhadap laju inflasi dan hanya dapat menerangkan variasi variabel sebesar 32,1%.
c. Marsiati (abstraksi, 2001:xi) dengan judul “Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia”.
Variabel terikat (Y) yaitu inflasi. Variabel bebas (X) adalah jumlah uang beredar (X1) dan penerimaan pajak (X2).
0,7389. Variabel yang mempunyai pengaruh dominan adalah jumlah uang beredar (X1) sebesar 78,30%.
d. Abdullah (abstraksi, 2000:xi) dengan judul “Beberapa Faktor yang Mempengruhi Inflasi di Propinsi Tingkat I Daerah Jawa Timur” Variabel terikat (Y) yaitu inflasi. Dan variabel bebas (X) yang digunakan adalah suku bunga pinjaman (X1), indeks harga
konsumen (X2), suku bunga SBI (X3), dan jumlah kantor bank
(X4).
Hasil penelitian ini secara simultan menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel suku bunga pinjaman, indeks harga konsumen, suku bunga SBI, dan jumlah kantor bank terhadap varibel inflasi. Hal ini diketahui dari uji F yaitu diperoleh Fhitung = 26,927 > Ftabel = 19,2. Sedangkan secara parsial variabel
suku bunga pinjaman dengan uji t berpengaruh terhadap inflasi dimana thitumg = 5,024 > ttabel = 4,303, variabel IHK berpengaruh
secara nyata dengan thitung = 4,993 > ttabel = 4,303, variabel suku
bunga SBI berpengaruh secara nyata dengan thitung = 5,048 > ttabel =
4,303, sedangkan varibel jumlah kantor bank berpengaruh negatif dengan thitung = 4,859 > ttabel = 4,303.
Dengan variabel terikat (Y) yaitu inflasi. Sedangkan variabel bebas (X) meliputi pengeluaran pemerintah (X1), jumlah uang beredar
(X2), tingkat suku bunga SBI (X3).
Dari hasil pengujian hipotesis secara simultan Fhitung =
8,731 > Ftabel = 4,35 pada tingkat a = 0,05 berarti terbukti bahwa
variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga SBI berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia sebesar 78,91%.Dan dari hasil pengujian secara parsial (uji t) ternyata dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap tingkat inflasi di Indonesia sebesar 70,39% diikuti oleh pengeluaran pemerintah sebesar 57,61% dan tingkat yang paling rendah adalah jumlah uang beredar sebesar 55,35%.
f. Ruseno (abstraksi, 2000:xi) dengan judul “Faktor-Faktor Ekonomi yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Indonesia”.
Dan variabel terikat (Y) yaitu inflasi. Sedangkan variabel bebas meliputi pengeluaran pemerintah (X1), jumlah uang beredar (X2)
dan Kurs valuta asing (X3).
Dari hasil pengolahan data diperoleh thitung variabel
pengeluaran pemerintah = 4,608, jumlah uang beredar = 2,447 dan kurs valas = 5,641, sedang ttabel adalah 2,447 maka ketiga variabel
g. Permadi (1995:58) “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia”. Berdasarkan perhitungan analisis koefisien regresi secara parsial dapat terbukti secara statistik signifikan dengan menggunakan analisis program SPSS bahwa Fhitung sebesar
50,696 dan Ftabel sebesar 9,55 berarti pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan secara keseluruhan (simultan) berpengaruh nyata terhadap inflasi di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diantara variabel bebas yang diteliti, maka variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia adalah variabel pengeluaran pembangunan sedangkan pengeluaran rutin tidak berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Disini peneliti membahas tema tentang “Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Indonesia”. Yang membedakan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah banyaknya variabel, variabel bebas yang diteliti serta lamanya penelitian.
Moneter yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Indonesia”, dengan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inflasi (Y), sedangkan variabel tidak terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tingkat Suku Bunga SBI (X1), Jumlah Uang Beredar (X2), Pendapatan Perkapita
(X3), dan Pengeluaran Pemerintah (X4).
2.2. Landasan Teori
Pada bab II akan diuraikan mengenai teori yang berkenaan dengan variabel yang dimasukkan dalam model hipótesis dan model analisis yang digunakan landasan teori dalam penelitian ini antara lain, pengertian dan macam-macam inflasi, pengertian tingkat suku bunga dan hubungan antara tingkat suku bunga dengan inflasi, pengertian umum jumlah uang beredar dan hubungan antara uang beredar dengan inflasi, pengertian pendapatan perkapita dan hubungan antara pendapatan perkapita dengan inflasi, pengertian pengeluaran pemerintah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah yang dikaitkan dengan penelitian sebelumnya.
2.2.1. Inflasi
2.2.1.1.Pengertian Inflasi
Definisi inflasi menurut beberapa ahli ekonomi pada dasarnya adalah sama dengan ulasan yang berbeda-beda yaitu antara lain :
definisi ini tidak dapat dikatakan sebagai inflasi. Dalam definisi tersebut tercakup tiga aspek yaitu :
1. Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
2. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus, yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, misalnya akibat adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal tahun. 3. Mencakup pengertian “tingkat harga umum” yang berarti
tingkat harga yang meningkat itu bukan hanya pada satu komoditi saja.(Gunawan,1991:3)
b. Inflasi menurut Manullang (1993:83) adalah proses kenaikan harga pada umumnya atau senantiasa turunnya nilai uang.
c. Definisi sederhana mengenai inflasi menyatakan bahwa inflasi merupakan kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Di mana dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga satu atau beberapa barang pada suatu saat tertentu dan hanya sementara belum tentu menimbulkan inflási dan juga perlu diamati seberapa besar peranan harga barang-barang tersebut dalam perhitungan inflasi.(Insukindro,1994:136)
Jadi dapat disimpulkan inflasi adalah proses kenaikan harga barang secara terus-menerus sehingga mengakibatkan melemahnya nilai mata uang.
2.2.1.2.Inflation Targeting Framework (ITF)
1. Definisi Inflation Targeting Framework (ITF)
Inflation targeting framework (ITF) adalah suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.
2. Ciri Khusus ITF
a. Pernyataan resmi (dan dikuatkan dalam UU) bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah inflasi yang rendah dan stabil
b. Penetapan dan pengumuman target inflasi dalam jangka menengah-panjang
c. Adanya elemen independensi, komitmen, komunikasi, disiplin dan mekanisme akuntabilitas kebijakan moneter
3. Alasan Penerapan ITF
moneter yang baik adalah pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah-panjang.
b. Dapat dijadikan alat untuk memelihara kredibilitas Bank Sentral dalam mengendalikan inflasi. Dengan adanya transparansi target inflasi dan cara pencapaiannya, Bank Sentral akan dituntut komitmennya untuk mempertahankan reputasinya.
c. Terdapat jangkar nominal yang jelas, yaitu inflasi
d. Dapat memperkuat akuntabilitas Bank Sentral, karena adanya publikasi target inflasi maka publik dapat menilai kesuksesan atau kegagalan pencapaian Bank Sentral serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
4. Langkah-langkah Penguatan kebijakan Moneter Melalui ITF a. Penggunaan suku bunga (BI Rate) sebagai reference rate dalam
pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer
b. Penguatan proses perumusan kebujakan moneter dengan strategi antisipatif (forward looking strategy) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan
d. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi kebijakan ekonomi secara keseluruhan
5. Syarat Keberhasilan Implementasi ITF a. Bank Sental ysng independen
b. Komitmen untuk mencapai kestabilan harga c. Tidak ada dominasi fiskal
d. Transparansi dan akuntabilitas
e. Exchange rate harus fleksibel/floating
f. Kebijakan moneter yang bersifat forward looking g. Memiliki kemampuan operasional :
Gambar 1 : Kerangka Inflation Targeting Framework
Stabilitas nilai tukar
Kebijakan moniter lain
Kebijakan perbankan
Trade off yg optimal antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi
Pengaruh ekspektasi
Koridor suku bunga
Struktur suku bunga
Manajemen likuiditas
Komuniksai Kebijakan
Komunikasi & konsistensi Pembentukan eksoektasi
Sumber : Bank Indonesia Surabaya, 2009:22 2.2.1.3.Macam-macam Inflasi
1. Inflasi Menurut penyebabnya
Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, perlu terlebih dahulu mengetahui faktor-faktor yamg menyebabkan timbulnya inflasi. Menurut teori kuantitas, sebab utama timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah uang beredar. Atas dasar ini dibedakan dua macam inflasi yaitu :
a. Inflasi permintaan
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh. Dalam keadaan hampir kesempatan kerja penuh, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan hasil produksi (output).
Gambar 2 : Demand Pull Inflation
P1
P4
P2
P3
Inflatoinary Gap
AD AD AD
AD P
Q QMs Q
Sumber :Nopirin, 2000, Ekonomi Moneter, buku II, edisi I, BPFE UGN Yogyakarta, Hal. 29
Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2 menyebabkan ada sebagian permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akhirnya harga naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationary gap. Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik (menjadi AD4).
b. Inflasi penawaran
dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi
Kenaikan biaya produksi ini dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor diantaranya :
1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah. 2. Suatu industri yang sifatnya monopolistis, manajer dapat
menggunakan kekuasaannya dipasar untuk menentukan harga (yang lebih tinggi).
3. Kenaikan harga bahan baku industri. Salah satu contoh yang tak asing lagi adalah krisis minyak pada tahun 1972-1973 yang menyebabkan kenaikan harga minyak.
Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Kalau proses ini berjalan terus akan timbal cost push inflation.
Gambar 3 : Cost Push Inflation
P1
P2
P3
AS3
AS2
AS1
AD P
Q2 Q1 QFE Q
Bermula pada harga P1 dan QFE. Kenaikan biaya produksi akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. Konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi Turun menjadi Q2. Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser keatas (Nopirin, 2000:28-31) .
2. Inflasi Menurut Sifatnya
Menurut sifatnya laju pertumbuhan inflasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain :
1. Creeping inflation (Inflasi merangkak atau rendah)
Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan presentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.
2. Galloping inflation (inflasi menengah)
Yaitu inflasi yang besarnya antara 10-30% pertahun. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi yang merangkak atau creeping inflation.
Yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun. Dalam kondisi ini harga-harga secara umum naik.
4. Hyper inflation (inflasi sagat tinggi)
Yaitu inflasi yang besarnya diatas 100% pertahun dan merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyiapkan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang baru (Putong, 2000:185).
3. Inflasi Menurut Asal-usulnya
Berdasarkan asal-usulnya inflasi dibedakan :
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (Domestic Inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (Import Inflation)
Inflasi yang berasal dari luar negeri timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau dinegara langganan.
2.2.1.4.Sebab-sebab Timbulnya Inflasi
Ada tiga sektor yang memungkinkan timbulnya inflasi yaitu : 1. Sektor Ekspor-Impor (X-M)
Jika ekspor suatu negara lebih besar daripada impornya maka timbul tekanan inflasi. Tekanan inflasi yang terjadi disini diakibatkan oleh makin besarnya jumlah uang beredar dalam negeri karena penerimaan devisa dari luar negeri.
2. Sektor Tabungan dan Investasi (T-E)
Bila investasi suatu negara lebih besar dari sektor tabungan sehingga untuk membiayai investasi lebih besar dari tabungannya itu harus diselesaikan dengan jalan mengeluarkan uang baru yang nantinya dapat mengakibatkan tekanan inflasi.
3. Sektor Penerimaan dan Pengeluaran Negara (I-S)
Bila anggaran belanja suatu negara mengalami defisit artinya pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sehingga untuk menutupi pengeluaran yang lebih besar tersebut harus dikeluarkan uang baru yang menyebabkan inflasi.
2.2.1.5.Efek-efek Inflasi
1. Efek terhadap pendapatan (equity effect)
Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikandan ada pula yang diuntungkan. Pihak-pihak yang mendapat keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar daripada laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya dengan persentase lebih besar dengan adanya laju inflasi. 2. Efek terhadap efisiensi (eficiency effect)
Inflasi dapat pula mengubah alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat pula terjadi melalui kenaikan tingkat permintaan akan berbagai barang yang berkaitan dengan laju inflasi atau dapat juga terjadi perubahan dalam beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang lebih besar dari barang lain yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut yang nantinya akan mengubah pola alokasi produksi yang sudah ada.
3. Efek terhadap output (output effect)
Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi yang biasanya didahului kenaikan barang daripada upah, sehingga keuntungan pengusaha naik (Nopirin, 2000:32-33).
2.2.1.6.Teori Inflasi
1. Teori Kuantitas
Teori kuatitas mengenai inflasi mengatakan bahwa penyebab utama dari inflasi adalah pertambahan jumlah uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga-harga dimasa mendatang. Tambahan uang beredar sebesar X% bisa menumbuhkan inflasi kurang dari X%, sama dengan X% atau lebih besar dari X% tergantung pada apakah masyarakat tidak mengharapkan harga naik lagi akan tetapi tidak lebih buruk daripada sekarang atau masa-masa lampau (Boediono, 1998:167).
2. Teori Keynes
Teori keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregate yang lebih besar daripada jumlah barang tersedia (yaitu apabila timbul inflationary gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi berkelanjutan. Di dalam teori ini menyoroti peranan sistem distribusi pendapatan dalam proses inflasi, selain itu teori ini juga menyarankan hubungan antara inflasi dan faktor-faktor non ekonomis (Boediono, 1998:169). 3. Teori Strukturalis
ketegaran suplay bahan makanan dan barang-barang ekspor (Boediono, 1998:173).
penerimaan ekspor negara berkembang dari impor negara tersebut merupakan tren yang terus memburuk, juga produksi barang ekspor yang tidak elastis terhadap kenaikan harga barang-barang.
Proses inflasi yang terjadi karena dua ketegangan ini biasanya saling berkaitan bahkan akan memperkuat satu sama lainnya. Di balik analisa teori ini terdapat asumsi yang tidak disebut secara eksplisit bahwa kenaikan jumlah uang beredar selalu diikuti oleh kenaikan barang-barang. Tanpa adanya jumlah uang yang beredar maka proses inflasi akan berhenti dengan sendirinya sebagaimana yang dikemukakan oleh teori ini yang dinamai teori strukturalis dengan menamakan dirinya Moneteris Convetional. Moneteris mengatakan bahwa perubahan strukturalis tidak dapat mempertahankan inflasi dalam waktu yang lama kecuali bila disebabkan oleh pengeluaran belanja yang berlebihan, bisa dalam bentuk kelebihan permintaan ataupun kelebihan dala jumlah uang (Boediono, 1998:175).
2.2.1.7.Kebijakan Anti Inflasi
Cara untuk mencegah inflasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kebijakan Moneter
a. Menaikkan Cash Ratio
Cash Ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-bank umum ditambah dengan demand deposit pada Bank Sentral terhadap bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio atau reverse requipment daripada bank-bank dagang, merupakan suatu tindakan anti inflasi. Karena itu selain untuk mengurangi reverse requipment yang berlebihan daripada bank, dapat pula mengurangi kemungkinan permintaan kredit dari masyarakat.
Dengan demikian jelaslah pula bahwa dengan menaikkan cash ratio bank-bank dagang oleh Bank Sentral, maka pemberian kredit atau penambahan jumlah uang beredar dapat diperkecil atau tekanan inflasi dapat dikurangi.
b. Politik Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Salah satu cara yang umum digunakan untuk mengatasi masalah inflasi oleh Bank Sentral adalah open marker policy yang kadang-kadang disebut juga sebagai Tigh money policy. Dengan istilah Tigh money policy ini dimaksudkan sebagai suatu kebijaksanaan dari Bank Sentral untuk menjual surat-surat berharga seperti obligasi negara pada masyarakat. Hal ini dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar sehingga laju inflasi dapat lebih rendah.
Keinginan dari orang-orang atau badan-badan usaha untuk mengadakan pinjaman kepada badan-badan kredit berhubungan erat dengan keuntungan yang diharapkan dari investasi yang akan dijalankan dan besarnya suku bunga yang harus dibayar dari modal yang dipinjam. Bilamana bunga pinjaman semakin besar, maka ada kecenderungan tertahannya aktivitas yang besar yang pembiayaannya didasarkan atas pinjaman dari bank penyalur kredit.
Dengan demikian jelas bahwa kenaikan tingkat suku bunga dari Bank Sentral akan mengurangi keinginan badan-badan kredit untuk mengadakan pinjaman agar memenuhi permintaan pinjaman masyarakat, yang berarti besarnya kredit dan beban kredit berkurang, yang berarti pula mengurangi tekanan inflasi.
Tujuan dari discount rate atau politik diskonto adalah mengurangi kemampuan bank umum atau bank komersial untuk menyalurkan kredit dengan cara mengurangi bahkan menghentikan sama sekali kredit likuiditas yang dikelola oleh Bank Indonesia.
2. Kebijakan Fiskal
a. Penurunan pengeluaran pemerintah
Telah dikatakan bahwa terdapat dua sektor yang menyebabkan terjadinya inflasi, yaitu sektor pemerintah dan sektor partilkelir. Dengan demikian jelas bahwa apabila terjadi inflasi pada sektor-sektor diatas, maka faktor-faktor yang dapat menimbulkan inflasi tersebut harus diatasi atau pengeluaran pemerintah harus diperkecil. Penurunan pengeluaran pemerintah akan lebih efektif lagi apabila diikuti oleh kenaikan pajak dan mengadakan pinjaman pemerintah.
b. Menaikkan pajak
Dalam keadaan dimana lalu lintas perekonomian berjalan cepat dan tingkat konsumsi masyarakat sangat tinggi akan mengakibatkan jumlah uang beredar terlalu besar, sehingga berdampak pada laju inflasi. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menaikkan pajak. Dengan kenaikan pajak ini diharapkan bisa mengurangi penghasilan masyarakat, sebab pada umumnya kenaikan pajak yang demikianlah yang lebih efektif untuk mengurangi tekanan inflasi.
c. Mengadakan pinjaman pemerintah
pihak-pihak partikelir yang ada dalam bank bagian yang dibekukan ini menjadi pinjaman pemerintah.
Pinjaman paksaan lebih banyak pada masa perang, meskipun hal tersebut juga dijalankan pada masa damai serta dalam keadaan perekonomian dan moneter yang mengkhawatirkan. Karena dalam keadaan damai tekanan inflasi dapat diatasi dengan jalan pinjaman sukarela, meskipun harus diakui bahwa dengan cara tersebut tujuan tersebut jadi tercapai.
2.2.1.8.Cara Pengukuran Laju Inflasi di Indonesia
Laju inflasi di Indonesia saat ini diukur dengan indeks harga konsumen (IHK). Indeks harga konsumen berdasarkan pada kenaikan harga sekitar 200-224 jenis barang. Tergantung dikota mana IHK tersebut dihitung. Adapun jumlah kota yang dihitung adalah 27 ibukota propinsi.(Bank Indonesia)
2.2.2. Tingkat Suku Bunga
2.2.2.1.Pengertian Tingkat Suku Bunga
Menurut Sihombing (1990:7) pengetian tingkat suku bunga adalah harga yang dibayarkan atas penggunaan kredit, dimana tingkat suku bunga tersebut berdasarkan balas jasa yang diperoleh masyarakat atas sejumlah dana pinjaman yang telah diterimanya.
Samuelson dan Nordhaus (1996:332) memberikan definisi tingkat suku bunga adalah harga yang dibayar bank dan peminjam lainnya untuk pemanfaatan uang selama jangka waktu tertentu. Suku bunga umumnya tergantung pada jangka waktu peminjaman.
Menurut Boediono (1998:75) dalam bukunya “Ekonomi Moneter” yang dimaksud tingkat suku bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Rosyidi (1999:160) suku bunga adalah tingkat harga dari uang yakni beberapa persen dari sejumlah uang tertentu yang harus dikembalikan atau dibayarkan karena terpakainya uang itu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga pinjaman atau kredit adalah tingkat balas jasa yang diperoleh masyarakat atas sejumlah dana pinjaman yang telah dipinjam.
2.2.2.2.Teori Irving Fisher Tentang Tngkat Suku Bunga
oleh adanya laju inflasi. Maksud dari dalil tersebut adalah bahwa apabila kita mengabaikan fluktuasi dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun, maka kecenderungan umumnya adalah bahwa tingkat suku bunga akan naik atau turun searah dan bersama-sama dengan naik turunnya laju inflasi. Apabila laju inflasi meningkat maka tingkat suku bunga jugameningkat dan begitu pula sebaliknya. Namun perlu diketahui hubungan ini berlaku untuk jangka panjang. Sedangkan dari tahun ke tahun atau dari bulan ke bulan ada kemungkinan laju inflasi naik tetapi tingkat suku bunga tetap atau sebaliknya.(Boediono, 1998:92)
2.2.2.3.Teori Keynes Tentang Tingkat Suku Bunga
Dalam teori ekonomi makro Keynes, suku bunga merupakan determinan penting kedua dari volume investasi yang dilakukan dalam suatu periode, sedangkan determinan penting yang pertama adalah efisiensi modal marginal.
Suku bunga adalah harga/nilai uang dalam bentuk obligasi. Teori keynes menganggap bahwa alternatif dari menyimpan uang adalah menyimpan obligasi. Untuk sementara kita akan terus menggunakan asumsi ini. Suku bunga menyamakan keinginan menyimpan uang dengan keinginan menyimpan obligasi.(Boediono, 2000:80)
Beberapa ahli ekonomi menganggap bahwa tingkat suku bunga adalah suatu hal yang sangat penting untuk pengambilan keputusan investasi bagi perusahaan/perorangan. Pengertian tingkat suku bunga diartikan biaya dari unsur harga pokok dan bunga merupakan harga dari penggunaan yang dipinjam.
2.2.2.4.Tingkat Suku Bunga SBI
2.2.2.4.1.Pengertian Tingkat Suku Bunga SBI
uang yang diperdagangkan antar bank. Tetapi pada tahun 1971 Sertifikat Bank Indonesia tidak terbit lagi sejak diterbitkannya sertifikat deposito. Pada tahun 1974, pemerintah selain menerapkan pengaturan suku bunga deposito juga menerapkan sisitem pengendalian moneter secara langsung dengan memberlakukan pagu kredit.
Sejak 1 juni 1999 pengaturan suku bunga deposito dari pagu kredit ini dihapus dan seiring dengan itu sistem pengendalian secara langsung diubah menjadi sistem pengendalian tidak langsung. Sejalan dengan pengubahan di dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter maka diperkenalkanlah kembali SBI pada tanggal 1 maret 1999.
2.2.2.4.2.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terdapatnya Beberapa Tingkat Bunga
Faktor-faktor yang terpenting di antaranya adalah : 1. Perbedaan resiko
Usaha yang telah lama berkembang, atau usaha yang tidak banyak resikonya mereka bersedia mengenakan tingkat bunga yang rendah. Sedangkan usaha yang sangat tinggi resikonya mereka akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi.
2. Jangka waktu pinjaman
Semakin lama sejumlah modal yang dipinjamkan, semakin besar tingkat bunga yang harus dibayarkan.
Berdasarkan kepada pertimbangan biaya administrasi pinjaman, pinjaman yang lebih sedikit jumlahnya akan membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.(Suyatno, 1993:31)
2.2.2.4.3.Tujuan Diterbitkannya SBI
Adapun tujuan diterbitkannya SBI ini adalah agar :
1. SBI dapat menjadi surat berharga yang marketable (dapat diperjualbelikan) dan dapat dijadikan cadangan likuiditas sekunder, baik dengan bank-bank, lembaga keuangan bukan bank, lembaga-lembaga keuangan lain maupun dunia usaha pada umumnya.
2. SBI dapat menjadi media pinjam-meminjam antar bank dalam arti : a. Pinjam-meminjam antar bank yang selama ini dilakukan dengan
menggunakan promise dapat pula dilakukan dengan cara jual beli SBI.
c. Penyelesaian jual beli SBI dapat dilakukan melalui kliring, baik bersamaan dengan kliring penyerahan maupun dengan transaksi pinjam-meminjam antar bank.(Hardono, 2002:35)
2.2.2.4.4.Cara Pembelian dan Pembayaran SBI Cara pembelian SBI yaitu :
1. Mengajukan permohonan pembelian SBI dengan cara mendaftarkan terlebih dahulu pada Bank Indonesia atas dasar tingkat diskonto yang ditetapkan BI dan oleh BI dijual dengan sistem lelang.
2. Dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sebelum pengeluaran SBI, Bank Indonesia akan mengeluarkan rencana pengeluaran SBI. 3. Bank dan lembaga keuangan bukan bank yang akan membeli SBI
dapat mendaftarkan permohonan mulai 2 hari kerja sebelum tanggalselambat-lambatnya pukul 09.00 WIB pada hari penerbitannya.
Cara pembayaran SBI yaitu :
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tingkat suku bunga SBI adalah tingkat nilai dari penggunaan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk jangka waktu tertentu yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
2.2.2.4.5.Hubungan Antara Tingkat Bunga Dengan Inflasi
Di dalam meminjamkan uang pemilik modal bukan saja harus memperhatikan tingkat bunga yang diterima, tetapi juga tingkat inflasi (persentasi tahunan kenaikan harga-harga) yang berlaku. Apabila tingkat inflasi lebih tinggi dari tingkat bunga, pemilik modal akan mengalami kerugian dalam meminjamkan uangnya karena modal ditambah dengan bunganya, nilai riilnya adalah lebih rendah dari nilai riil modal sebelum dibungakan.
2.2.3. Jumlah Uang Beredar 2.2.3.1.Pengertian Uang
Uang merupakan penentuan manusia yang sangat berguna, tidak dapat dibayangkan bagaimana mesin perekonomian dapat berjalan tanpa adanya uang. Masyarakat pada umumnya menggunakan uang dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa sehari-hari. Dengan demikian penggunaan uang dalam kegiatan perekonomian berfungsi sebagai sarana atau alat tukar yang digunakan untuk mendapatkan barang dan jasa.
Ada beberapa pengertian uang yang dikemukakan oleh beberapa ahli ekonomi antara lain :
a. Uang adalah barang yang memenuhi setiap fungsinya. Dengan demikian penentuan bahwa suatu barang adalah uang tergantung pada penggunaannya sebagai alat penukaran, unit penghitung, penyimpan nilai dan sebagai standar pembayaran yang tertangguhkan.(Diulio, 1990:3)
b. Uang adalah segala sesuatu yang bisa diterima oleh umum sebagai pembayaran dan sebagai alat tukar-menukar.(Sinungan, 1987:5)
Jadi dapat disimpulkan bahwa uang adalah segala sesuatu yang diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran sah.
2.2.3.2. Pengertian Umum Uang Beredar
Pengertian uang beredar dapat ditinjau dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. Kedua faktor tersebut menentukan banyak tidaknya uang yang beredar di dalam masyarakat. Jumlah uang beredar tidak hanya ditentukan oleh Bank Sentral tetapi oleh peran para pelaku ekonomi di dalam menentukan peredaran uang.
Pengertian uang beredar dalam arti sempit adalah seluruh jumlah mata uang yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dimiliki oleh perorangan, perusahaan maupun oleh badan pemerintah.
Pengertian uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti sempit yang disebut juga M1 ditambah dengan uang kuasi (deposito berjangka dan tabungan). Uang M1 terdiri dari uang kartal dan uang giral. Untuk M2 terdiri dari uang kartal, uang giral, deposito berjangka dan tabungan. Sedangkan untuk M3 adalah M2 ditambah dengan deposito berjangka dan tabungan dalam bentuk valuta asing.
Pengertian dari uang giral adalah simpanan yang dimiliki oleh sektor swasta domestik yang bergerak pada industri perbankan pada bank umum yang setiap saat dapat diambil dan dicairkan sebasar nilai nominalnya.
Pengertian dari uang kuasi adalah simpanan yang dimiliki oleh sektor swasta domestik yang ada pada bank umum yang dapat memenuhi fungsinya sebagai uang. Fungsi dari uang yaitu sebagai alat satuan hitung, alat penyimpan kekayaan dan alat pembayaran yang ditangguhkan akan tetapi, untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar.(Boediono, 1998:35)
Menurut Boediono (1998:12) jumlah uang beredar adalah jumlah uang yang terdiri dari uang yang dipegang masyarakat secara langsung/uang tunai/uang kartal dan uang yang beredar di bank/rekening giro/demand deposit/uang giral.
Jumlah uang beredar ditentukan secara bersama oleh perilaku penguasa moneter, sistem perbankan dan masyarakat. Dan penentuan jumlah uang beredar akan mempengaruhi perekonomian secara umum.
2.2.3.3.Hubungan Antara Jumlah Uang Beredar Dengan Inflasi
nampak bahwa jumlah uang beredar sangat besar pengaruhnya. Akan tetapi dengan menggunakan data yang lebih muda (1969) pengaruh jumlah uang beredar semakin kecil walaupun masih signifikan.
Ada kemungkinan di tahun 1970-an dan tahun 1980-an kenaikan laju inflasi tidak semata dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, tetapi dipengaruhi hal-hal yang lain. Menurut Aulia Pohan dalam bukunya yang berjudul “Potret Kebijakan Moneter Indonesia” pada masa-masa mendatang, laju inflasi yang komplek dapat dipengaruhi oleh munculnya sumber pembiayaan alternatif, reksadana, perkembangan bank syariah, pergeseran instrumen dan indikator moneter, duplikasi peran lembaga keuangan dan terbentur soal aturan.(Pohan, 2008:52-53)
2.2.4. Pendapatan Perkapita
2.2.4.1.Pengertian Pendapatan Perkapita
Menurut Sukirno (1984:34) pendapatan nasional adalah nilai dari barang atau jasa dalam negara yang di produksikan oleh faktor-faktor untuk negara tersebut maupun milik warga negara asing yang berada di negara tersebut.
Menurut Gularso (1991:56) pendapatan nasional adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu satu tahun.
perseroan, industri dan lain sebagainya di dalam waktu tertentu adalah merupakan pendapatan nasional.
Yang dimaksud pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata penduduk. Oleh sebab itu untuk memperoleh pendapatan perkapita pertahun yang harus dilakukan adalah membagi pendapatan nasional pada tahun itu dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama.(Sukirno, 1985:21)
Tingkat pendapatan perkapita sering kali digunakan sebagai ukuran dari kesuksesan suatu negara dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Disamping itu pendapatan perkapita mempunyai beberapa kegunaan antara lain untuk membandingkan kesejahteraan masyarakat, untuk laju perkembangan ekonomi yang dicapai suatu negara.(Sukirno, 1985:23)
Pendapatan perkapita masyarakat merupakan besarnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat suatu daerah yang ditinjau dari hasil bagi produk domestik nasional bruto atas dasar harga konstan dengan jumlah penduduk. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
PDRB
Pendapatan perkapita = ________________ (Anonim, 1997:19) Jumlah penduduk
wilayah dengan jumlah penduduk wilayah tersebut pada tahun yang bersangkutan.
Salah satu kegunaan pendapatan regional adalah dapat digunakan untuk melihat perkembangan atau penurunan suatu daerah dari tahun ke tahun. Guna mendukung pembangunan yang ditujukan untuk menghilangkan kemiskinan dan untuk meningkatkan kemakmuran, maka ukuran yang digunakan adalah pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita merupakan hasil bagi antara produk domestik regional bruto (PDRB) pada suatu wilayah dengan jumlah penduduk pada tahun ke tahun.(Soemitro, 1991)
Jadi dengan peningkatan PDRB menunjukkan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dari tahun ke tahun dan apabila pendapatan perkapita meningkat, maka kesempatan masyarakat untuk menabung akan meningkat atau bertambah, hal ini berarti income perkapita mempunyai pengaruh terhadap tabungan.
2.2.4.2.Hubungan Antara Pendapatan Perkapita Dengan inflasi
barang dan jasa menjadi meningkat yang mengakibatkan jumlah uang yang beredar menjadi tinggi sehingga dapat terjadi inflasi.(Sukirno, 1994)
2.2.5. Pengeluaran Pemerintah
2.2.5.1.Pengertian Pengeluaran Pemerintah
Pemerintah mutlak diperlukan dalam setiap bentuk/sistem perekonomian yaitu tidak hanya untuk menyediakan barang-barang publik, melainkan juga untuk mengalokasikan barang-barang produksi maupun barang konsumsi, memperbaiki distribusi pendapatan, memelihara stabilitas nasional termasuk stabilitas ekonomi serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Khusus bagi negara sedang berkembang kegiatan pemerintah pada umumnya selalu meningkat, karena pemerintah bertindak sebagai pelopor dan pengendali pembangunan.(Suparmoko, 1997:23)
Yang dimaksud dengan pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian barang atau jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.(Boediono, 1998:67)
defisit struktural dalam keuangan negara. Pengeluaran pemerintah dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
a. Pengeluaran rutin
Pengeluaran rutin/anggaran negara adalah pengeluaran yang ditujukan pada kegiatan-kegiatan rutin negara yang sifatnya terus-menerus. Contohnya adalah untuk membayar gaji dan pensiunan pegawai, belanja barang, transfer pemerintah dan bunga cicilan hutang yang kesemuanya bukan untuk tujuan investasi sehingga boleh dikatakan bahwa pengeluaran rutin adalah bersifat konsumtif. Dari sifatnya pengeluaran jenis ini hanya akan menambah beban pembayaran saja walau sebenarnya tidak mutlak seperti diatas, tetapi ada perlunya ditetapkan suatu batasan yang jelas untuk mempermudah analisa dan penelitian.(Zulkarnaen, 1993:70)
b. Pengeluaran pembangunan
dan pengeluaran rutin. Pengeluaran pembangunan bersifat sosial motif, hal ini didasari bahwa hasil pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dapat terpenuhi.(Zulkarnaen, 1993:71)
Yang termasuk dalam pengeluaran pembangunan adalah : 1. Pengeluaran untuk membiayai departemen atau lembaga. 2. Pengeluaran untuk pembiayaan daerah.
3. pengeluaran untuk pembiayaan lain.
2.2.5.2.Klasifikasi Dari Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa yang akan datang.
b. Pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat.
c. Merupakan penghematan pengeluaran yang akan datang.
d. Menyediakan kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran tenaga beli yang lebih luas.(Zulkarnaen, 1993)
2.2.5.3.faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah
Yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran pemerintah antara lain :
b. Adanya kenaikan tingkat penghasilan dalam masyarakat. c. Adanya urbanisasi yang menyertai perkembangan ekonomi.
d. Perkembangan demokrasi yang memerlukan biaya sangat besar.(Suparmoko, 1997:104)
2.2.5.4.Rasio Pengeluaran dan Pendapatan negara
Rasio pengeluaran dengan pendapatan pemerintah tetap mengalami defisit seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pengeluran pemerintah tetap saja lebih besar dari pendapatan yang diterima oleh negara pada tahun yang bersangkutan. Walaupun demikian pemerintah tetap menyatakan walaupun defisit tetapi defisit itu telah menurun dari tahun sebelumnya yaitu dari Rp.94,5 trilyun (2,1% PDB) menjadi Rp.61,2 trilyun (1,3% PDB). (APBN 2009 revesi)
Pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar Rp.204.837 trilyun yang terdiri dari Rp.116.996 milyar untuk membayar utang-utang (57%) dan Rp.139.515 miliar untuk menutupi defisit (68%).
Di sisi belanja negara, pos terbesar belanja pemerintah adalah transfer ke daerah dan pos terbesar selanjutnya pada belanja pemerintah adalah subsidi energi yang mengalami pembengkakan dari 13,7% pada 2006 menjadi 21,8% pada tahun 2008. Ironisnya belanja modal/pembangunan yang merupakan faktor penting untuk menggerakkan perekonomian mengalami penurunan rasio dari 10% menjadi 7% pada tahun 2008. Pada pos belanja barang ada indikasi efisiensi yang terlihat dari menurunnya rasio dari 8% menjadi 5,6% pada 2008 dari total belanja negara.(kompas, 29 juni 2009)
Sebagai catatan pada pos belanja negara adalah perekonomian akan sangat sulit tumbuh seperti yang diharapkan dengan alokasi belanja pembangunan/modal yang begitu kecil. Alokasi belanja modal sebesar 7% pada 2008 hanya cukup untuk menutupi penurunan stok barang modal akibat depresiasi, sehingga secara neto tidak terdapat tambahan barang modal yang berarti. Peningkatan rasio belanja modal dengan cara apapun mutlak dilakukan.(Dartanto, 2009:2)
2.2.5.5.Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah Dengan Inflasi
Pada banyak negara, termasuk juga Indonesia defisit anggaran pemerintah menjadi sebab utama inflasi karena pertambahan pengeluaran pemerintah itu terlalu besar dibandingkan dengan persediaan barang-barang dan jasa-jasa.(Boediono, 2000:113)
dari pengeluaran/konsumsi pemerintah ditambah uang yang beredar dalam masyarakat akan bertambah banyak sehingga dapat menimbulkan inflasi.(Boediono, 2001:50)
2.3. Kerangka Pikir
1. Tingkat suku bunga SBI adalah surat berharga atau unjuk dalam rupiah yang diterbitkan dalam sistem diskonto oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan untuk hutang yang berjangka pendek, apabila tingkat suku bunga turun maka investasi akan meningkat sehingga berdampak pula pada meningkatnya inflasi di Indonesia.(Boediono, 1998:327)
2. Jumlah uang beredar adalah seluruh jumlah mata uang yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dimiliki oleh perorangan, perusahaan maupun oleh badan pemerintah apabila jumlah uang beredar di masyarakat naik sudah barang tentu inflasi di Indonesia akan naik pula.(Iswardono, 2000:35) 3. Pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap jiwa dalam
4. Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian barang atau jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, apabila pengeluaran pemerintah naik (konsumsi naik) akan mengakibatkan jumlah uang beredar naik dan inflasi Indonesia ikut naik.(Boediono, 2001:50)
Gambar 4 : Kerangka Konseptual Laju Inflasi di Indonesia
Tingkat Suku Bunga SBI ( X1 )
Sesuai dengan perumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori yang dikemukakan terdahulu, dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional dan pengukuran variabel adalah pernyataan
tentang definisi dan pengukuran variabel “penelitian secara operasional
berdasarkan teori yang ada maupun pengalaman empiris.”
Sedangkan definisi pengukuran variabel yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini, antara lain terdiri dari :
a. Variabel tidak bebas atau variabel terikat (Y)
Merupakan tingkat inflasi yang dinyatakan sebagai Dependent Variable adalah kecenderungan dari harga untuk naik secara terus-menerus.
Pengukuran inflasi dinyatakan dalam satuan persen (%)
b. Variabel bebas atau variabel tidak terikat (X)
1. Tingkat suku bunga SBI (X1)
Adalah surat berharga atau unjuk dalam rupiah yang diterbitkan
dalam sistem diskonto oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan untuk
hutang yang berjangla pendek. Variabel ini dinyatakan dalam satuan
persen (%).
2. Jumlah uang beredar (X2)
Adalah seluruh jumlah mata uang yang dikeluarkan dan diedarkan
oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dimiliki oleh
perorangan, perusahaan maupun oleh badan pemerintah. Variabel ini
dinyatakan dalam satuan milyar rupiah (milyar Rp).
3. Pendapatan perkapita (X3)
Adalah pendapatan rata-rata tiap jiwa dalam suatu wilayah yang
diperoleh dengan membagi jumlah total produksi barang dan jasa
yang dihasilkan oleh penduduk (PDRB) suatu wilayah dengan
jumlah penduduk wilayah tersebut pada tahun yang bersangkutan.
Variabel ini dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp)
4. Pengeluaran pemerintah (X4)
Adalah seluruh pembelian barang atau jasa yang dilakukan oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Variabel ini
dinyatakan dalam satuan milyar rupiah (milyar Rp)
3.2. Teori Penentuan Sampel
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berkala (Times
Series Data) dalam periode tahunan selama 15 tahun yaitu dari tahun
1994-2008.
3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
ada hubungannya dengan penelitian ini atau data yang sudah terlampir dan
bisa diambil dari instansi yang bersangkutan.
3.3.2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari :
a. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur
b. Bank Indonesia cabang Surabaya
c. Departemen yang terkait
3.3.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diperlukan pada penelitian ini dilakukan
dengan :
a. Study kepustakaan
Data yang diperoleh berdasarkan buku-buku atau literatur-literatur yang
sesuai dengan usaha penelitian ini.
b. Study lapangan
Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan, pencatatan terhadap obyek atau masalah yang
diteliti. Study lapangan ini dilaksanakan guna menunjang pengumpulan
data yang diperoleh untuk diolah dan dianalisis. Dalam hal ini adalah
Bank Indonesia cabang Surabaya. Bank Umum dan Badan Pusat
3.4. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis 3.4.1. Teknik Analisis
Sesuai dengan tujuan dari usulan penelitian ini, maka digunakan
suatu model regresi linier berganda. Analisis regresi merupakan alat analisis
yang berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat.
Bentuk model tersebut adalah :
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + μi ...(Sudrajad, 1988 :
112)
Dim na : a
pemerintah
β
μi = V
sejauh mana variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat, Y = Tingkat inflasi
X1 = Tingkat suku bunga
X2 = Jumlah uang beredar
X3 = Pendapatan perkapita
X4 = Pengeluaran
β0 = Konstanta
β1, 2, β3, β4 = Koefisien regresi
ariabel pengganggu, merupakan wakil dari semua faktor lain yang
dapat mempengaruhi penyaluran kredit usaha kecil, namun tidak
dimasukkan dalam model karena diasumsikan sama dengan nol.
Sedangkan untuk mengetahui model analisis tersebut cukup layak
maka perlu diketahui nilai-nilai koefisien determinasi dengan
menggunakan rumus :
JK regresi R2 =
JK total (Sudrajad, 1988 : 84)
Dimana :
R = Koefisien determinasi
JK = Jumlah kuadrat
JK Regresi = b1∑yiX1 + b2∑y2X2 + b3∑yiX3 +... bn∑ynXn
3
JK total = ∑yi2 atau ∑yi – (∑y)2
n
Jadi :
b1∑yiX1 + b2∑y2X2 + b3∑yiX
R2 =
∑yi2 (Sudrajad, 1988 : 84)
Karakteristik utama dari R2 adalah :
1. Tidak mempunyai nilai negatif
2. Nilainya terletak antara 0 dan 1. Dimana kecocokan model dikatakan
“lebih baik” jika R2 semakin dekat dengan 1.
3. Salah satu sifat penting dari R2 adalah bahwa nilai tadi merupakan fungsi
yang tidak pernah menurun (noncreasing function) dari banyaknya variabel yang menjelaskan yang ada dalam model seiring dengan
meningkatnya jumlah variabel yang menjelaskan, R2 hampir-hampir
3.4.2. Uji Hipotesis
Selanjutnya untuk menguji hipotesisnya menggunakan cara sebagai
berikut :
a. Uji F (secara simultan)
Untuk menguji pengaruh antara variabel bebas (X) terhadap
variabel terikat (Y) secara simultan, maka digunakan uji F.
Pengujian ini ditentukan dengan rumus :
KT regresi ... (Sudrajad, 1988 : 123) F hitung =
KT Galat
Dengan derajat bebas = (k, n-k-1)
Keterangan :
K = Jumlah variabel bebas
n = Jumlah sampel
KT = Kuadrat tengah
Galat = Error (Residual)
Kriteria uji F akan ditunjukkan pada gambar 5
Gambar
Daerah Kritis H0 melalui kurva distribusi F
Daerah tolak H0
Daerah terima H0
H0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0 (tidak ada pengaruh)
H0 = β1 ≠β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ 0 (ada pengaruh)
Kaidah keputusannya adalah :
1. Jika F hitung≤ F tabel, maka H0 diterima
2. Jika F hitung > F tabel, maka H0 ditolak
b. Uji t
Digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat secara parsial dengan menggunakan rumus :
Βi
t hitung =
Se(βi) ...(Sudrajad, 1988 : 122)
Derajat bebas = (n-k-1)
Dimana :
β1 = Koefisien regresi
Se = Standar error
n = Jumlah sampel
k = Jumlah variabel bebas
Kriteria uji t akan ditunjukkan pada gambar 6 sebagai berikut :
Gambar
Daerah kritis H0 melalui kurva distribusi t
-t hitung - t tabel t tabel
Daerah tolak H0
Daerah terima H0
Sumber : Gujarati, Damodar, ditulis oleh Sumarno Zain. 1999,
H0 : βi = 0 (tidak ada pengaruh nyata)
Hi : βi ≠ 0 (ada pengaruh nyata)
Kaidah keputusannya adalah :
1. H0 diterima jika -thitung ≤ ttabel, berarti tidak ada pengaruh antara
variabel bebas dengan variabel terikat.
2. H0 ditolak jika --ttabel < thitung > ttabel, berarti ada pengaruh antara
variabel bebas dengan variabel terikat.
3.5. Uji Asumsi Klasik (BLUE)
Persamaan regresi yang dipergunakan haruslah bersifat BLUE, yang
artinya pengambilan melalui uji F atau uji t tidak boleh bias. Untuk
melaksanakan operasi linier tersebut diperlukan 3 (tiga) asumsi dasar yang
harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar, yaitu :
1. Tidak terjadi korelasi
2. Tidak terjadi multikolinieritas
3. Tidak terjadi heteroskedastisitas
Apabila ada salah satu dari ketiga asumsi dasar tersebut dilanggar,
maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator).
1. Autokorelasi
Istilah autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara
atau data yang diambil pada waktu tertentu (data cross-sectional) (Gujarati, 1995 : 201). Jadi, dalam model regresi linier diasumsikan
tidak terdapat gejala autokorelasi. Artinya, nilai residual (Y observasi –
Y prediksi) pada waktu ke-t (et) tidak boleh ada hubungan dengan nilai
residual periode sebelumnya (et-1).
Identifikasi ada atau tidaknya gejala autokorelasi dapat ditest
dengan menghitung nilai Durbin Watson (d tes) dengan persamaan :
t=N
et-1 = Residual pada waktu ke t-1 (satu periode sebelumnya)
N = Banyaknya data
Identifikasi gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan kurva
dibawah ini : Gambar 7
0 dL dU 4-dU 4-dL 4
2. Multikolinieritas
Persamaan regresi linier berganda diatas diasumsikan tidak terjadi
pengaruh antar variabel bebas. Apabila ternyata ada pengaruh linier antar
variabel bebas, maka asumsi tersebut tidak berlaku lagi (terjadi bias).
Untuk mendeteksi adanya multikolieritas dapat dilihat ciri-cirinya
sebagai berikut :
a. Koefisien determinasi berganda (R square) tinggi
b. Koefisien korelasi sederhanya tinggi
c. Nilai Fhitung tinggi (signifikan)
d. Tapi tak satupun (atau sedikit sekali) diantara variabel bebas yang
signifikan.
Akibat adanya multikolinieritas adalah :
1. Nilai standar error (galat baku) tinggi, sehingga taraf kepercayaan
(confidence intervalnya) akan semakin melebar. Dengan demikian, pengujian terhadap koefisien regresi secara individu menjadi tidak
signifikan.
2. Probabilitas untuk menerima hipotesa H0 diterima (tidak ada
pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat) akan
semakin besar. (Awat, J, Napa, 1995 : 367-375).
Identifikasi secara statistik atau tidaknya gejala multikolinier dapat
dilakukan dengan menghitung Variance Inflation Factor (VIF). VIF = 1 FIV menyatakan tingkat “pembengkakan” varians.
Apabila VIF lebih besar dari 10, hal ini berarti terdapat
multikolinier pada persamaan regresi linier (Ghozali, 2001 : 57).
3. Heteroskedastisitas
Pada regresi linier residual tidak boleh ada hubungan dengan
variabel X. Hal ini bisa diidentifikasi dengan cara menghitung korelasi
Rank Speaman antara residual dengan seluruh variabel bebas. Rumus Rank Spearman adalah :
∑di2
rs = 1 – 6
N (N2 – 1)
Keterangan :
Di = Perbedaan dalam Rank antara residual dengan variabel bebas ke-1