• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.2. Profil Informan

4.2.2. Informan Biasa

1. Bapak Hotman Sagala

Beliau adalah penduduk yang telah lama berdomisili di Desa Dolok Tolong, Kecamatan Sumbul. beliau juga seorang pengikut gereja yang setia. Bapak Hotman adalah seorang kepala keluarga yang memiliki enam (6) anak,

yang semuanya telah berumahtangga. Sehari – harinya beliau bekerja sebagai petani sayur – sayuran.

Adat Batak menurut pandangan beliau adalah sesuatu yang mengikat orang Batak dengan segala aturan – aturan yang berlaku dalam adatnya, yang bila ditinjau dari berbagai sisi memiliki dampak positif dan dampak negatif. Ada aturan dan kebiasaan yang menurut beliau bertentangan dengan keyakinannya sendiri sebagai orang Batak Toba yang menganut ajaran Kristen. Adat Batak Toba terkadang menurut beliau berlebihan sehingga masyarakat itu sendiri terkadang tidak dapat menjangkau segala bentuk dari adat Batak tersebut. Menurut beliau dalam pelaksanaan adat Batak dalam kenyataannya memakan biaya yang lumayan besar, termasuk ketika beliau menikah, sehingga dulu pernikahannya hanya dilaksanakan sebatas pemberkatan. Beliau menjelaskan pernikahannya lebih tepatnya adalah mangalua (kawin lari), sehingga adat dalam pernikahannya tidak mendominasi.

Beliau lebih lanjut menjelaskan lagi, ketika anak gadisnya menikah tanpa adat pun beliau setuju saja. Menurut pendapat beliau yang terpenting pernikahan anaknya terberkati secara gereja, karena menurut pandangan beliau adat hanya sekedar pemanis dalam perjalanan rumahtangga. Hingga sampai saat ini, beliau tidak ada membayar adat sama sekali selayaknya tuntutan adat Batak yang seharusnya. Seperti kutipan penulis berikut ini :

“Saya tidak membayar adat kepada keluarga istri saya, saya merasa cukup dengan saya menunjukkan bahwa saya bertanggungjawab menafkahi istri dan anak saya, bagi saya itu sudah lebih dari adat yang seharusnya saya bayar terhadap keluarga mertua saya”.

Bagi beliau yang sangat bertentangan antara adat Batak dan ajaran Kristen adalah dalam hal penggunaan ulos dan jambar. Dimana ulos dipercayai oleh

orang Batak sebagai penghasil panas seperti layaknya matahari. Ulos juga dimaknai mampu memberi kehangatan secara rohani. Sementara jambar dipercayai sebagai upah ataupun berkat yang didapat oleh orang Batak dalam bentuk daging. Menurut beliau ini semua tidak masuk akal dan sangat bertentangan dengan keyakinannya.

Pada saat orang Batak menjalankan adat atas dasar kemauan dan kemampuannya, itu merupakan kewajarannya sebagai orang batak yang baik, tetapi manakala adat itu dijalankan oleh karena paksaan semata dan juga dibawah garis ketidakmampuannya sebagai orang Batak, itu sungguh suatu hal yang bertentangan. Demikian Bapak Hotman menjelaskan. Beliau mengatakan sebenarnya adat Batak sekarang ini telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan ajaran Kristen dan juga seiring perkembangan zaman, apabila dalam pelaksanaannya masih terdapat pertentangan didalamnya, itu berarti kesalahan pada pelakunya, bukan pada adat Batak itu sendiri.

Ketika masyarakat lebih memilih pernikahan tanpa prosesi adat, itu merupakan hak asasi sebagai manusia dan hal itu tidak dapat dipaksakan, terlebih apabila keputusan itu diambil berdasarkan alasan tertentu.

Beliau memandang tidak ada yang salah dengan pernikahan tanpa adat, yang terpenting pasangan tersebut dapat mempertanggungjawabkan pilihannya terhadap manusia terutama terhadap Tuhannya. Beliau sangat meyakini tidak ada kendala yang lebih rumit selama semua didasarkan pada Tuhan. Kendala terbesar dalam kehidupan rumahtangga orang Batak adalah ketika menomorduakan Tuhan. Kendala yang akan terjadi manakala kepentingan adat lebih diutamakan dibanding kehidupan religinya.

2. Bapak Jahorasman Marpaung

Beliau adalah seorang pengikut ajaran kharismatik, yang ajarannya lebih menolak campurtangan adat dalam kehidupannya.

“Sebagai orang Kristen, kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kisah Para Rasul 5:29). Namun bukan berarti kita tidak perlu tunduk kepada aturan yang dibuat manusia, tetapi kita harus menempatkan Allah pada posisi pertama, baru kemudian orang tua/keluarga, lingkungan masyarakat (termasuk adat istiadat), negara/bangsa . Bila dalam adat itu ada unsur-unsur memuja nenek- moyang, atau menggunakan kekuatan supranatural yang berasal dari kuasa kegelapan, atau ada unsur perbuatan dosa/kedagingan (percabulan, pertengkaran,kemabukandsb),kita harus tegas menolaknya”, Demikian penjelasan beliau ketika ditanyai tentang pandangannya terhadap adat Batak. Beliau berpendapat adat hanya sekedar aturan – aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, dengan serba – serbi sanksi bagi penganutnya, dan tidak ada jaminan keselamatan didalamnya. Tetapi beliau juga tidak konsekwen dengan pandangannya sendiri terhadap adat Batak, beliau tidak langsung menolak keberadaan adat dalam kehidupannya, sebab beliau menyadari bahwa beliau terkait dalam kegiatan adat itu sendiri.

Hal – hal yang salah dalam adat Batak adalah manakala sesuatu benda mati dipercayai memiliki kekuatan yang luar biasa dan mampu melindunginya dalam kehidupannya, seperti halnya ulos. Terkadang adat Batak melebihkan segala sesuatu dan biasanya terlalu rumit untuk dijalani, walaupun sebenarnya ada upah yang didapat didalam menjalaninya.

Kebudayaan Batak di dalam Kristus akan menjadi jati diri dari setiap orang pengikut Yesus di tengah-tengah suku bangsa Batak. Kebudayaan Batak di dalam Kristus ini juga akan menjadi sarana untuk melaksanakan mandat Injil,

yaitu pemberitaan Injil kepada seluruh suku-suku bangsa di Indonesia dan di seluruh dunia.

Penegakan jati diri sebagai umat TUHAN yang hidup di dalam kekudusan akan mengalami konflik dengan panggilan roh sembahan leluhur untuk mempertahankan eksistensi upacara agama Batak. Konflik ini tidak bisa dipertemukan karena masing-masing panggilan memiliki kepentingan yang berbeda dan bertolak belakang, sinkretisme merupakan jalan kompromis yang telah ditempuh pemimpin gereja dengan harga yang sangat mahal, yaitu pengorbanan kemutlakan Injil Yesus Kristus yang menjadi satu-satunya dasar keselamatan manusia. Beliau menjelaskan lagi, hal ini terjadi sebenarnya karena adanya bentuk – bentuk kepentingan atau lebih tepatnya konflik yang ada disebabkan oleh konflik kepentingan.Menurut beliau, manusia diberikan akal untuk menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi dirinya, termasuk ketika manusia itu diberi pilihan untuk memilih jalan mana yang harus diikutinya yakni menikah dengan adat atau tidak. Manusia memiliki hak penuh untuk hal – hal seperti itu.

4.3. Prosesi Adat Dalam Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Perkawinan yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba pada zaman dahulu sebelum menganut agama bersifat poligami bagi orang yang mampu memenuhi persyaratan menikah dengan tujuan memperbanyak keturunan, terutama anak laki- laki, menambah kekayaan, menunjukkan kemampuan, merupakan kebanggaan dan memenuhi kebutuhan biologis. Namun setelah datangnya agama ke tanah Batak, perkawinan bersifat monogami.

Perkawinan merupakan suatu bentuk ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, atau antara seorang pria dan seorang wanita di mana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama. Proses ini melalui ketentuan yang terdapat dalam masyarakat laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang wanita setelah melaui prosedur yang ditentukan dinamakan suami dan wanita selanjutnya disebut sebagai istri.

Dalam masyarakat Batak, perkawinan dikenal dengan 2 bagian, yakni yang pertama perkawinan yang mangadati (pesta perkawinan dilakukan dengan menjalankan adat yang ada) dan yang kedua adalah perkawinan dengan cara mangalua (perkawinan terjadi tanpa adat). Untuk lebih jelasnya, penulis berusaha menguraikan kedua bentuk perkawinan tersebut.

4.3.1 Perkawinan Yang Mangadati (Dengan Adat)

Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah. Benda-benda ritual yang sering dipakai dalam tradisi upacara adat perkawinan Toba sebagai sebuah proses transaksional adalah beras, ulos (selendang tenunan khas Batak), daun sirih, jambar (daging) dan uang. Tiap individu yang menghadiri satu upacara harus mengerti status serta perannya, hal ini terkait dengan benda-benda ritual apa yang harus dibawanya dan yang akan diterimanya dalam upacara tersebut. Dengan kata lain, perkawinan merupakan sistem transaksi tukar menukar (exchange) yang mana hal ini ditandai dengan tradisi tuhor (artinya: “membeli”), yakni semacam

prasyarat pemberian mahar dari pihak laki-laki

Dalam masyarakat Batak Toba, prosesi adat perkawinan secara lengkap bukanlah hanya yang dilaksanakan di gedung-gedung atau wisma-wisma adat seperti yang sering kita lihat, itu hanya bagian penutup dalam proses adat perkawinan orang Batak. Namun sebenarnya prosesi adat itu sangat panjang dan bertingkat yang dibagi berdasarkan pembagian berikut :

1. Martandang (berkunjung) 2. Manjalo Tando (bertukar cincin) 3. Marhusip

4. Marhata Sinamot

5. Paulak Une (Waluyo, 1993 : 36)

Berikut pemaparan prosesi adat-adat tersebut di atas yang di mulai dari awal hingga ke akhir prosesi adat.

1. Martandang

Ada umpama Batak yang menyatakan "Balga anak parsohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan" ini berarti agar setiap anak laki-laki dan anak perempuan yang telah dewasa agar memikirkan untuk membentuk rumahtangga. Pencarian pasangan atau jodoh ini dilakukan dalam berbagai bentuk. Ada dengan perjodohan biasanya dengan pihak keluarga istri yang disebut sebagai perkawinan ideal dan juga dengan usaha si anak untuk menemukan jodohnya sendiri dengan usahanya sendiri. Bilamana perkenalan itu dilanjutkan dengan tahap pacaran, dn pasangan kekasih ini sudah saling mencintai dan berkeinginan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan, maka dimulailah dengan masa perkenalan orangtua. Jawaban ini tidak akan langsung diberikan pada saat martandang itu, selanjutnya orangtua si perempuan juga akan mengutus utusannya ke rumah

orangtua si laki-laki untuk tujuan menyampaikan jawaban dari pihak keluarga si perempuan kepada pihak keluarga si laki-laki.

Pada tahap perkenalan orangtua, peristiwa ini disebut untuk kalangan orang Batak Toba dengan istilah domu-domu, yaitu diutusnya utusan dari orang tua laki-laki ke rumah orangtua perempuan untuk tujuan menyampaikan hasrat untuk meminang anak gadis mereka.

2. Manjalo Tando

Dalam tahap ini, bilamana jawaban yang diterima pihak laki-laki dari pihak perempuan setuju, maka selanjutnya diadakan acara manjalo tando (tukar cincin) yang tujuannya adalah mengikat hubungan antara si anak perempuan dengan si laki-laki. Pada zaman dulu benda-benda yang diberikan dapat berupa uang, atau pisau dari pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan memberikan ulos. Namun semuanya ini telah digantikan dengan cincin.

Dengan diadakannya acara manjalo tando (tukar cincin), maka kedua belah pihak sudah saling terikat dan tidak boleh menjalin hubungan kasih lagi dengan pihak manapun. Namun bilamana rencana pernikahan dibatalkan karena sesuatu hal dan lain hal, maka diadakan ganti rugi.

3. Marhusip

Setelah acara tukar menukar cincin, langkah berikutnya dengan meresmikannya secara adat. Pihak keluarga laki-laki mengutus menantunya (parboru) yang akan diterima oleh pihak perempuan melalui pihak menantunya juga. Proses musyawarah antara kedua belah pihak ini disebut "marhusip". Marhusip merupakan acara pendahuluan dalam membicarakan beberap hal. Misalnya Tanggal dan hari meminang, jumlah "sinamot" yang akan diserahkan.

Sinamot adalah mas kawin atau mahar beserta ulos. Cara pemberian melalui kumpulan orang atau individu. Juga dibicarakan jenis hewan yang akan menjadi menu santapan undangan, jumlah ulos dan lain sebagainya.

Hasil dari marhusip ini dilaporkan kepada kedua belah pihak. Fungsi menantu ini, atau parboru dalam sebuah acara perkawinan sangat jelas sebagai penghubung. Hasil dari pembicaraan tersebut dikonfirmasi kembali dalam sebuah acara yang disebut "marhata sinamot". Biasanya dalam perkawinan adat Batak Toba perbandingan besarnya biaya pesta yang ditanggung adalah 2 : 1, maksudnya dari pihak laki-laki 2/3 bagian dari biaya pesta, sedangkan pihak perempuan menanggung sebanyak 1/3 dari seluruh biaya pesta.

4. Marhata Sinamot

Pertemuan lanjutan dalam marhata sinamot membicarakan hal-hal sebagai berikut:

• jenis pesta yang akan dilakukan, pesta ditaruhon jual (pesta diadakan di tempat laki-laki) atau pesta alap jual (pesta diadakan di tempat perempuan) atau bentuk kesederhanaan adatnya.

• kepastian jumlah mas kawin atau mahar

• pembayaran bohi ni sinamot atau uang muka mahar • jenis hewan panjuhuti untuk menu

• jumlah ulos yang akan diberikan pihak perempuan kepada laki-laki • waktu dan tanggal pesta perkawinan, dan lain-lain.

Pemberian mahar kepada perempuan dilakukan dengan memberikannya kepada pihak perempuan melalui orang tua kandung yang disebut "suhut parboru". Salah satu dari daudara laki-laki pihak peremuan disebut "Simoholon", Salah satu saudara laki-laki dari ayah pihak perempuan disebut "tamarai" . Salah satu dari saudari perempuan pihak perempuan disebut "pariban", salah satu dari saudara laki-laki dari ibu pengantin perempuan disebut "tulang" atau "hula-hula". Ini disebut dalam istilah adat Batak Toba "suhi ni ampang na opat"

(Rajamarpodang, 1992:300). Kesemuanya yang disebut di atas mendapat bagian (jambar) secara bertingkat sesuai dengan kedudukan adatnya.

5. Paulak Une

Upacara paulak une ini biasanya dilakukan beberapa hari setelah pesta perkawinan lengkap selesai dilaksanakan dan juga dilakukan di rumah pihak si gadis. Upacara ini adalah merupakan langkah resmi pertama dari pihak laki-laki menginjakkan kaki mereka di rumah keluarga perempuan setelah keduanya resmi menjadi pasangan suami istri dan kedua keluarga tersebut resmi menjadi besan.

Biasanya upacara ini terlebih dahulu diberitakan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, mengingat kesediaan yang harus dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Keluarga laki-laki datang juga dengan membawa makanan berupa daging babi dan pihak perempuan menyediakan ikan mas na ni arsik.

4.3.2 Perkawinan Dengan Cara Mangalua

Mangalua adalah kawin lari. Secara bebas, manga adalah melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari. Secara leksikal berarti melaksanakan kegiatan membawa lari atau melarikan. Secara konseptual berati sepasang muda-mudi yang kawin dengan cara di luar prosedur perkawinan ideal karena satu atau beberapa hal, seperti karena masalah ekonomi( masalah pembayar sinamot yang kurang), masalah sosial (perbedaan status ditengah kehidupan masayarakat) ataupun masalah yang lainnya.Dalam hal ini berarti kawin tanpa melalui prosedur pembayaran sinamot terlebih dahulu. Dalam mangalua ini seakan adat adalah soal belakang, yang penting adalah mereka kawin dulu.

Adat menyebut perkawinan mangalua ini bahwa si pemuda mengandalkan kekuatan, mengabaikan hukum (pajojo gogo), papudi uhum. Biasanya si

perempuan tidak akan mau berlama-lama dalam situasi mangalua ini ( dalam situasi belum diadatkan atau mangadati), karena perkawinan ini belum kuat adanya, sehinga kalaupun dia diceraikan tidak akan ada pihak yang dapat mempertahankanya atau menanggungjawabinya

(http://er27.wordpress.com/2008/03/17/mangalua-suatu-bentuk-perkawinan-pada- masyarakat-batak-toba/).

Dalam pelaksanaan mangalua ini ada dua cara yang dikenal yaitu: kedua calon pengantin yang mangalua atau ditemani oleh satu atau dua orang yang bertindak sebagai pihak ketiga, demi menjaga kehormatan kedua calaon pengantin. Sebagai langkah pertama mereka pergi kerumah salah satu keluarga pengetua atau terpercaya, dan dirumah tersebut calon pengantin perempuan dititipkan. Berikutnya laporan kepada orangtua, pengetua adat atau pemimpin agama minta pemberkataan atau restu. Cara yang kedua adalah perempuan itu langsung dibawa oleh si pria kerumahnya tanpa lebih dulu diberkati atau direstui. Perkawinan seperti ini disebut juga marbagas roha-roha (berumah tangga sesuka hati). Namun perkawinan telah terjadi, kewajiban atau pertanggungjawaban adat wajib dilaksanakan di kemudian hari.

Tata Cara Mangalua

Dalam perkawinan mangalua ini tentu ada cara yang lazim dilakukan oleh pelaku-pelakunya. Sepasang muda-mudi memutuskan untuk melaksanakan kawin lari ketika mereka berpacaran karena melihat berbagai hal yang akan menghambat mereka untuk adat hidup bersama. Yang sering terjadi bahwa keluarga si lelaki

yang memegang peranan dalam pelaksanaan mangalua ini, sedangkan pihak perempuan tidak tahu sama sekali. Ada juga kasus mangalua dimana kedua belah pihak keluarga mengetahui dan memberi ijin untuk melaksanakan hal tersebut, karena memang cara itulah yang dianggap tepat pada saat itu agar perkawinan tetap bisa dilaksanakan.

Dalam mangalua ini si perempuan pergi meninggalkan orang tuanya, mengikuti kekasihnya untuk melaksanakan perkawinan. Biasanya si perempuan langsung dibawa ke rumah pemuka agama yang berada di lingkungan tempat tinggal keluarga pihak laki-laki. Tetapi ada juga terjadi dimana pasangan itu lari meninggalkan orang tuanya masing-masing dan pergi ke suatu tempat lain apabila keluarga kedua belah pihak betul-betul tidak ada yang setuju. Sesudah sekian lama berumah tangga mereka akan kembali untuk meminta maaf dan melaksanakan adat perkawinan secara penuh.

Dahulu kala bila seorang perempuan akan mangalua, maka sebagai tandanya dia kaan meletakkkan daun sirih di dalam lemari pakaianya., sebagai pengganti dirinya yang hilang atau yang telah pergi. Sekarang hal tersebut telah digantikan dengan meninggalkan sepucuk surat sehingga keluarga perempuan dapat mengetahui bahwa anak gadisnya telah mangalua.

Setelah mereka mangalua dan menetap di suatu tempat, maka adat menuntut agar prosedur selanjutnya dilaksanakan, yakni segera setelah kawin datang kerumah orangtua si perempuan untuk memberitahukan bahwa anak mereka telah menjadi paniaran (menjadi salah satu keluarga mereka), dimana kegiatan ini disebut manurohan bao-bao na tinangko (melapor dan membawa tanda anak mereka telah diambil).

Setelah semua undangan pihak perempuan hadir maka dipersiapkan makanan yang dibawa oleh rombongan pihak lelaki (paranak) tadi, dan mereka semua makan bersama-sama. Setelah selesai maka acara selanjutnya adalah manghatai atau bercakap-cakap mengenai maksud kedatangan mereka.

Pembicaraan ini dimulai oleh pihak keluarga pihak perempuan yang diwakili oleh abang si perempuan yang telah berkeluarga. Isi pembicaran mereka adalah ucapan terimakasih kepada pihak keluarga laki-laki (paranak). Kemudian abang dari ayah si perempuan juga berbicara mengucapkan terimakasih atas kesediaan para tamu untuk datang ke acara tersebut dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Perlu kita ketahui bahwa adat Batak ada suatu kebiasaan, walaupun mereka sebenarnya sudah tahu tujuan kedatangan suatu kelompok, tetapi mereka akan menayakan serinci mungkin melalui kata-kata yang berupa pantun-pantun dan pepatah-pepatah. Seperti dikatakan :

Sai marangkup do na uli, mardongan do na denggan. On pe di paboa ampara niba ma tangkas siangkupna. Songon na handul, sidongannna songon na mardalan.

Secara bebas artinya menanyakan apakah maksud kedatangan mereka atau pihak paranak atau lelaki tersebut. Biasanya pembicaran itu diwakili oleh abang dari ayah si perempuan. Tetapi sebelum pihak paranak menjawab, terlebih dahulu diberi kesempatan kepada dongan sahuta, teman sekampung secara adat menuntut antara lain :

1. Upa sangke hujur (upah pengawal kampung, agar kemarahan atau sikap bermusuhan dihentikan terhadap si lelaki yang melahirkan gadis kampung mereka).

2. Upa ungkap harbangan (upah untuk para penjaga pintu gerbang kampung. Penghormatan diberikan kepada mereka, agar si pria tersebut diijinkan masuk ke komplek kampung tersebut).

3. Upa raja huta (upah untuk ketua kampung yang bertannggungjawab atas keamanan atau masalah-masalah lainnya dari seluruh penduduk huta atau kampung tersebut).

Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas, maka pembicaraan kepada mertua baru bisa dimulai. Sudah menjadi ketentuan adat, bahwa suami istri yang kawin lari tidak diperkenankan berkunjung kerumah orang tua si perempuan sebelum acara manuruk-nuruk ini.

Setelah dengan sahuta menerima upah akan dilanjutkan dengan pembicaraan oleh paranak yang menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh keluarga parboru dengan nada menyembah (dalam hal ini tentu pihak parboru tersebut adalah huta-huta mereka, dimana dalam adat Batak kelompok ini merupakan kelompok yang harus selalu disembah dan dihormati. Kedatangan mereka dalam acara manuruk-nuruk ini bermaksud untuk menyembah atau minta maaf kepada pihak paranak telah bersalah mengambil anak perempuan pihak paranak tanpa izin. Dengan nada menyesal pihak paranak akan mengatakan :

Ndang tarbahen be turak, si nungga sor gok tagan. Ndang tarbahen be turak, si nungga sor sun mardalan.

Artinya memang mereka merasa bersalah tetapi apalah daya hal tersebut telah terjadi.selanjutnya pihak parboru akan membalas perkataan mereka itu. Pertama dikomentari masalah makanan yang dibawa oleh paranak tadi, yang telah dimakan bersama-sama, ketika selesai makan memang dikatakan oleh parboru bahwa makanan yang dibawa paranak tersebut enak sekali rasanya, tetapi pada pembicaraan berikutnya dikatakanlah bahwa makanan itu sebenarnya pahit sekali rasanya. Hal ini karena pihak paranak mereka anggap telah pajolo gogo, papudi uhum (mengandalkan kekuatan atau membelakangkan hukum). Mereka menanyakan pihak paranak sampai hati berbuat itu kepada meteka. Karena pada

dasarnya perkawinan dengan cara mangalua ini sebisa-bisanya dihindari oleh orang Batak karena menimbulkan kesan yang kurang baik dari berbagai pihak.

Kalau perkawinan menurut ideal, hal yang harusnya dipenuhi terlebih dahulu sebelum perkawinan adalah membayar sinamot, tetapi setelah terjadi mangalua dalam acara manuruk-nuruk yang dibicarakan adalah somba-somba. Apabila keadaan sudah mengijinkan baik dalam soal materi, waktu dan sebagainya, maka ditempuh acara memenuhi adat lengkap yang dinamai mengadati. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Apabila keluarga yang diadati belum mempunyai anak dikatakan bahwa upacara mengadati itu bertujuan untuk : manggohi adat uhum, songgon dalan manomba hula-hula huhut mangido pasu-pasu.

2. Bila keluarga yang diadati sudah mempunyai anak, maka dalam hal ini

Dokumen terkait