• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.2. Profil Informan

4.2.1. Informan Kunci (Key Informan)

Dalam penelitian ini terdapat beberapa informan kunci yang mengetahui banyak hal mengenai permasalahan yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Para informan ini mempunyai keterlibatan langsung didalam tradisi adat Batak dan dalam kehidupan religi mereka. Para informan kunci yang dimaksud adalah: A. Informan yang Menikah Tanpa Adat

1. Keluarga Bapak Sahat Sitorus/Ibu Erna Sagala

Bapak Sahat Sitorus (35 tahun) serta ibu Erna Sagala (30 tahun), keluarga ini menganut agama Kristen Protestan. Pasangan ini menikah pada tahun 2002 dan telah memiliki 3 anak. Bapak Sitorus bekerja sebagai petani, sementara ibu Sagala adalah seorang guru SD. Keluarga ini sudah tinggal di Desa Tanjung Beringin sejak lama, bahkan bapak Sitorus dilahirkan di Desa tersebut.

Menurut bapak Sitorus, perkawinan adalah satu ikatan yang menyatukan dua hati manusia dalam ikatan yang suci, yang tidak bisa dipisah oleh hal-hal duniawi dan yang memiliki tujuan yang sama, dan dalam tujuan itu ada janji untuk selalu bersama. Menurut pandangannya perkawinan bukan suatu hal yang bisa dipermainkan seperti selayaknya permainan, perkawinan sangatlah suci adanya karena diresmikan di Gereja dan disaksikan langsung oleh Tuhan dan para jemaat gereja serta keluarga.

Tumbuh dalam darah Batak yang sangat kental dan dibesarkan dalam lingkungan adat Batak yang kuat tidak membuat Bapak Sitorus paham penuh tentang adat Batak yang sesungguhnya. Beliau sangat paham dalam perkawinan orang Batak akan sangat lebih baik bila perkawinan itu dilaksanakan dalam ritual

adat yang umumnya yakni perkawinan dengan prosesi adat yang berlaku di lingkungan Batak juga lingkungan tempat tinggalnya. Namun seperti telah disebut beliau sebelumnya bahwa perkawinan merupakan ikatan suci yang tidak bisa dipisah oleh hal-hal duniawi sehingga perkawinan itu tetap akan pada maknanya walaupun tanpa prosesi adat, karena menurut beliau adat itu adalah hal yang sangat duniawi. Bapak sitorus menjelaskan bahwa beliau tidak mempertentangkan adat dan juga tidak sepenuhnya mengakui keberpihakannya terhadap adat tetapi lebih kepada menetralisir adat dalam kehidupan rumahtangganya.

Alasan yang membuat beliau menikah tanpa adat lebih cenderung kepada alasan keuangan yang tidak mencukupi dan keadaan yang tidak mendukungnya untuk melakukan perkawinan dengan prosesi adat. Beliau berpendapat bila perkawinan itu dilaksanakan dengan adat maka kemungkinan yang terjadi adalah kehidupan rumahtangganya sampai beberapa tahun kedepan akan dikelilingi dengan yang namanya “utang”. Pendapat beliau mengatakan bahwa adat Batak khususnya adat parkawinan menelan biaya yang sangat tinggi, bisa hingga berpuluh juta dan beliau tidak mampu untuk mengambil resiko tersebut. Kedua belah pihak keluarga sebenarnya tidak setuju dengan keputusan pernikahan tanpa adat tersebut, banyak kendala yang harus dihadapi oleh beliau terutama dari keluarga istri karena dalam lingkungan Batak bila perkawinan itu dilaksanakan tanpa prosesi adat maka dianggap mengabaikan yang namanya hula-hula (dang di pasangap hula- hula na). banyak pertentangan yang terjadi manakala perkawinan itu dilaksanakan tanpa adat tetapi karena adanya yang namanya musyawarah keluarga maka keputusan itu pun disetujui berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak keluarga.

Beliau menjelaskan, bahwa setelah pernikahannya semua berjalan dengan baik terutama dalam keluarganya. Hubungan kekeluargaan menurut beliau normal saja. Beliau menjelaskan belum ada kendala yang sangat rumit yang dihadapinya setelah menikah, tetapi beliau juga berpendapat bahwa kemungkinan untuk mendapatkan kendala itupun pasti ada tetapi kabur keberadaannya.

Beliau berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan dengan adat adalah sebuah pernikahan yang melibatkan tradisi budaya Batak Toba, yakni pernikahan dengan prosesi adat. Dimana, prosesi adat itu harus melewati beberapa tahap termasuk yang disebut dengan Martandang, Manjalo Tanda, Marhusip, Marhata Sinamot, Paulak Une dan lain sebagainya dan tidak bisa dipungkiri pernikahan dengan adat akan banyak sekali mengeluarkan materi, sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pernikahan yang sederhana, yang tidak membutuhkan materi yang berlebihan dan yang paling utama, pernikahan ini lebih kepada pernikahan yang sah secara agama. Pernikahan tanpa adat ini lebih mengutamakan kesakralan secara rohani gerejawi dan tidak bertele-tele adanya.

Dalam lingkungan kehidupan sehari-hari yang dijalani beliau, semua sangat wajar kondisinya. Tidak ada masalah dalam kehidupan sosialisasinya. Semua berjalan dengan baik. Hanya saja para tetangga selalu mengusulkan bila sudah memiliki rejeki agar segera menggelar acara adat perkawinannya, dengan alasan supaya lebih nyaman dan lebih kepada menghargai keluarga pihak istri saja.

2. Bapak D. Aritonang/ Ibu L. Simamora

Bapak D. Aritonang adalah seorang petani dengan umur mencapai 45 tahun, beliau menikah dengan ibu L. Simamora (42 tahun) yang memiliki

pekerjaan sebagai pedagang. Keluarga bapak Aritonang sudah menikah selama 20 tahun lamanya dan telah dikaruniai 4 orang anak. Perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Aritonang ini adalah perkawinan tanpa adat disebabkan oleh keluarga dari pihak Ibu Simamora tidak merestui pernikahan mereka. Bapak Aritonang berpendapat perkawinan itu adalah perkawinan yang memiliki nilai yang sangat sakral keberadaannya, sebuah pernikahan tidak dapat dinilai dengan seberapa besar adat yang dijalankan khususnya dalam tradisi Batak tetapi sejauh mana sebuah keluarga memepertanggungjawabkan perkawinan yang dijalaninya.

Bapak Aritonang berpendapat bahwa beliau adalah putra asli Batak Toba, demikian juga halnya dengan Ibu Simamora. Mereka sangat paham dengan adat Batak. Dalam adat Batak banyak hal yang perlu dipertimbangkan terutama dalam hal adat perkawinan, ada unsur dalihan na tolu yang dilibatkan dan banyak hal lainnya. Sebagai seorang Batak , Bapak Aritonang tidak memungkiri betapa beliau bangga menjadi orang Batak yang sesungguhnya dan beliau mengakui bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi tradisi Batak dan hal ini terbukti dari kenyataan bahwa orangtua dari Bapak Aritonang merupakan salah satu “Raja Adat” yang lumayan dikenal terutama di lingkungan desanya.

Bapak Aritonang memiliki alasan melakukan pernikahan tanpa prosesi adat, disamping tidak dapat restu dari pihak istri juga faktor ekonomi yang tidak memadai. Bapak aritonang mempercayai dalam posisi perkawinan adat Batak membutuhkan biaya yang sangat besar disamping itu prosesi perkawinan adat Batak membutuhkan waktu yang cukup lama.

Tanggapan keluarga Besar Bapak Aritonang terhadap perkawinan yang dilakukannya tanpa prosesi adat menimbulkan berbagai spekulasi antara menyetujui dan tidak,kendala inilah yang dihadapi saat ini,terutama terhadap keluarga istri Bapak Aritonang sebagai pihak hula-hula yang seharusnya dalam unsur dalihan na tolu,pihak hula-hula yang paling dihormati (somba marhula- hula). Pada dasarnya yang menjadi kendala paling utama dalam kehidupan rumahtangga adalah kurangnya keharmonisan atau kekompakan antara keduabelah pihak keluarga dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga karena tidak adanya campurtangan prosesi adat dalam pernikahan sebelumnya.

Pernikahan yang dilakukan dengan adat diakui lebih kepada tujuan mempererat hubungan kekeluargaan dalam cinta kasih dan kepedulian antara orangtua , saudara dan masyarakat sekitarnya terhadap anak yang dicintainya, hal ini dapat dilihat dari simbol pemberian “ulos” pada saat pesta adat. Sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pemberkatan gereja semata, lebih kepada ijin berkat secara agama dan sedikit mengesampingkan proses adat yang berlaku baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dalam siklus rumahtangga yang dijalani sehari-hari, Bapak Aritonang berpendapat tidak ada kendala maupun perbedaan yang mencolok yang dirasakan oleh keluarganya, hanya saja keakraban antara keluarga memang beda bila dibandingkan dengan keluarga – keluarga yang menjalani prosesi adat pada saat pernikahannya.

3. Bapak P. Nainggolan/ Ibu D. Sianturi

Bapak Nainggolan (31 tahun) adalah seorang guru di salah satu SMU swasta di Kecamatan Sumbul, dan istrinya Ibu Sianturi (28 tahun) adalah seorang

penjahit pakaian, keluarga ini baru menikah 2 tahun yang lalu dan telah dikarunia 1 anak perempuan yang berumur 1 tahun. Bapak Nainggolan adalah seorang kharismatik yang memang pada kenyataannya tidak memasukkan adat dalam kehidupannya, atau lebih tepatnya tidak mengakui keberadaan adat dalam kehidupannya. Tetapi orangtua dari Bapak Nainggolan bukanlah penganut paham ajaran kharismatik, beliau mengikuti ajaran ini sejak beliau kuliah yang pada akhirnya dipilihnya sebagai kenyakinannya.

Perkawinan adalah ikatan suci antara pria dan wanita untuk menjalani kehidupan bersama di dalam suka dan duka, di dalam sakit dan sehat dan dalam keadaan kaya ataupun miskin dan disaksikan oleh pengikut kristus.’ Demikian tanggapan Bapak Nainggolan ketika dimintai keterangan tentang arti perkawinan oleh penulis. Beliau mengakui bahwa dia adalah orang Batak dan bahkan mengaku cukup mengerti tentang adat Batak. Menurut beliau orangtuanya adalah sosok orang tua yang cukup menjunjung tinggi adat, dan diakui bahwa beliau dibesarkan dalam tradisi batak yang cukup kuat. Oleh karena itu juga Bapak Nainggolan memiliki alasan untuk menentang segala tradisi yang ada itu dengan berpindah kenyakinan sebagai Kristen Kharismatik, maka ketika beliau menikah , beliau tidak memasukkan unsur adat dalam proses pernikahannya , hanya fokus pada acara pemberkatan gereja saja.

Langkah yang diambil oleh Bapak Nainggolan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya ketidak setujuan pihak istrinya dan terutama keluarganya sendiri. Rencana pernikahan itu ditentang habis-habisan oleh kedua belah pihak keluarga, tetapi berdasarkan pendekatan yang mereka lakukan dan memang memakan waktu yang cukup lama, pada akhirnya disetujui walaupun pada dasarnya sangat bertentangan dengan keluarga. Pihak dari istri Bapak Nainggolan

sebenarnya sangat berharap agar pernikahannya dilakukan dengan jalan mangadati atau diberlakukannya prosesi adat di dalamnya, sehingga pernikahan Bapak Nainggolan sempat tidak disetujui oleh pihak keluarga istri beliau, namun berdasarkan penjelasan beliau tentang keyakinan yang dianutnya dan juga oleh penjelasan yang cukup baik yang disampaikan oleh beliau, pada akhirnya perkawinan itu pun disetujui.

Hingga saat ini berdasarkan penjelasan beliau hubungan kekerabatan antara beliau dengan keluarga biasa – biasa saja, pertentangan pandangan pasti ada antara beliau dengan keluarga tetapi tidak sampai pada konflik yang berkepanjangan. Pertentangan pandangan itu akan terjadi antara keluarga beliau pada saat menghadiri pesta adat yang ada pada keluarga maupun lingkungan, bila seharusnya secara adat mengharuskan beliau untuk “Mangulosi” atau memberikan ulos pada pihak yang mengadakan pesta, beliau tidak akan memberikannya tetapi menggantikannya dengan sumbangan yang dianggapnya pantas untuk diberikan sehingga hal ini akan diperbincangkan diantara lingkungan keluarga. Hal ini merupakan suatu kendala yang dihadapi oleh beliau dalam proses menjalani rumahtangganya.

Pernikahan yang dilakukan dengan adat memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan pernikahan tanpa adat, dimana pernikahan adat membawa unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat Batak yakni unsur Dalihan Na Tolu dan juga berbagi proses adat seperti mangulosi (memberikan ulos), marbagi jambar (pembagian jambar)dan masih banyak tahap lain yang harus dijalani. Sedangkan pernikahan tanpa adat cukup hanya mengandalkan acara pemberkatan gereja maka pernikahan telah sah adanya. Dalam kehidupan

bersosialisasi dengan masyarakat, menurut pengakuan Bapak Nainggolan semuanya berjalan dengan baik. Masyarakat sekitar lingkungannya bisa menerima kenyakinan yang dianutnya, masyarakat memahami alasan beliau untuk tidak andil dalam “paradatan” orang Batak. Perbedaan antara keluarga yang melakukan pernikahan dengan acara adat dengan yang tidak, tentunya ada tetapi tidak terlalu mencolok terasa.

B. Tokoh Adat

1. Sabar Siahaan

Beliau adalah seorang raja adat yang sudah dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Beliau lebih dikenal dengan istilah “raja parhata”. Beliau dipercayakan masyarakat menjadi “raja parhata” semenjak beliau aktif dalam berbagai arisan marga – marga di lingkungan tempat tinggalnya, hingga pada akhirnya dikenal oleh masyarakat. Beliau sudah menjadi “raja parhata” semenjak tahun 1993, dan kemampuannya ini tidak bisa dipungkiri berasal dari ayah beliau yang semasa hidupnya dipercayakan masyarakat menjadi “raja parhata”juga.Adat Batak merupakan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba,adat Batak Toba bukanlah penyembahan berhala,adat Batak merupakan kesatuan,kesetiaan dan kasih dalam keluarga. Perceraian,penyelewengan dan poligami sangat ditabukan dalam adat Batak. Orang Batak selalu menekankan tarombo atau silsila dalam bermasyarakat dengan sesama sukunya,maksudnya adalah silsilah dalam adat Batak dipakai untuk mengajarkan hasil kesatuan,saling menghormati,mengasihi dan tolong menolong,melalui tarombo ini mereka disadarkan bahwa mereka bersaudara dan saling terkait dalam kekerabatan keluarga. Kesadaran bahwa mereka bersaudara

akan mendorong mereka untuk saling mengasihi dan menghormati serta tolong menolong.

Beliau menjelaskan tidak ada pertentangan antara adat Batak dengan ajaran agama, adat Batak dalam beberapa hal justru memiliki tujuan yang sama dengan ajaran agama. Beliau menekankan supaya adat Batak itu jangan dipandang sebagai “penyembahan berhala” tetapi lebih kepada cinta kasih sebagai dasar hubungan antara masyarakat Batak, selayaknya ajaran agama yang berlandaskan “kasih”. Ajaran agama Kristen memiliki hubungan dengan adat Batak, terutama dalam acara pernikahan orang Batak. Dasar hubungan pernikahan mereka harus saling mengasihi yang dibina secara adat Batak, yang kemudian Pengetua Adat membawa mempelai kepada Pendeta untuk didoakan agar tetap langgeng, setelah diberkati, Pengetua Adat memberikan nasihat agar pernikahan selalu dipertahankan tidak boleh bercerai selama nafas masih dikandung badan. Pada akhirnya seluruh rangkaian acara adat kembali diserahkan kepada Pendeta untuk ditutup dengan doa berkat, mengucapkan syukur kepada Tuhan.

Lebih lanjut lagi beliau menjelaskan, fungsi adat Batak dalam keberlangsungan hidup orang Batak sangat berperan aktif dalam kehidupan sehari –hari terutama dalam membimbing orang kepada sikap yang lebih bijaksana, sopan dan bersekutu dengan baik, menghambat orang supaya tidak melakukan kejahatan. Walaupun pada kenyataannya sudah banyak masyarakat Batak yang menikah tanpa prosesi adat dengan berbagai macam alasan, beliau menyesalkan orang – orang Batak yang menjadikan alasan pernikahan adat Batak itu bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Beliau mengajak masyarakat Batak lebih membuka hati dan pikirannya terhadap pandangan yang salah itu, bahkan

beliau menjelaskan orang Batak lebih memilih menikah tanpa prosesi adat sebenarnya kebanyakan karena banyaknya kasus kehamilan di luar nikah atau istilah MBA (married by accidient) sehingga pernikahan itu dilakukan dengan terburu – buru dan lebih tertutup agar tidak diketahui khalayak ramai.

Pada saat Bapak Siahaan ditanya oleh penulis tentang ada tidaknya konflik dalam proses pelaksanaan adat Batak, beliau menjelaskan sebagai berikut

Dalam suatu pekerjaan, pasti ada yang namanya perencanaan terlebih dahulu dan dalam proses perencanaan itu pasti ada berbagai kesepakatan yang harus dirundingkan yang pada akhirnya ada pembahasan yang pastinya melahirkan ide –ide yang bertentangan satu sama lain , biasanya hal ini akan menimbulkan pertentangan dan membuat situasi agak memanas. Dalam proses menjalankan adat Batak juga demikian halnya, pasti ada yang namanya pertentangan – pertentangan dalam proses adat”.

Pendekatan yang dilakukan beliau terhadap keluarga – keluarga yang melakukan pernikahan tanpa adat hanya nasehat dan menjelaskan bagaimana adat itu berfungsi dalam kehidupan Batak itu sendiri, dan lebih kepada contoh – contoh yang bisa langsung dapat dilihat oleh pelaku dalam prilaku kehidupan masyarakat yang menjalankan adat dengan yang tidak. Kendala langsung yang dihadapi keluarga yang menikah tanpa adat tidak bisa dipastikan, tetapi lebih kepada ketika keluarga ini menghadapi masalah oknum adat tidak bisa langsung membantu, hanya lebih kepada penonton.

2. Martogi Simanjorang

Beliau adalah seorang Pegawai negeri yang bekerja di kantor Camat sumbul, beliau tinggal di Desa Tanjung Beringin dan di desa ini beliau memulai karir sebagai “raja Parhata” yang pada akhirnya melekat sebutan sebagai “raja adat” pada dirinya. Beliau adalah seorang Kristen, dan mempunyai pandangan tersendiri terhadap adat Batak dan hubungannya dengan ajaran agama . Beliau

berpendapat agama Kristen dan Adat batak berlaku untuk dua hal yang berbeda. Adat Batak berlaku untuk kehidupan di dunia, sedangkan ajaran Kristen adalah adat surgawi. Tetapi fungsinya cenderung sama, Yakni lebih kepada dasar cinta kasih dan saling menghormati. Kedua hal ini saling melengkapi satu sama lain, dalam segi sifat Adat Batak Toba dan agama Kristen memiliki sifat khas yang sama yakni “Takut akan Tuhan”. Sifat ini yang mendorong orang Batak dan Kristen untuk memelihara kesucian rumah ibadat dan memberikan persembahan kepada Tuhan.

Beliau memberi tanggapan yang sangat santai terhadap orang Batak yang melakukan pernikahan tanpa adat, beliau mengatakan bahwa hal itu adalah pilihan yang bebas bagi setiap orang Batak. Banyak alasan bagi orang Batak untuk melakukan pernikahan tanpa adat, antara lain yang paling utama adalah faktor ekonomi, kepercayaan, dan lain sebagainya. ketika orang Batak melakukan pernikahan tanpa adat, bukanlah suatu masalah yang besar. Hal itu sudah lumrah adanya. Tetapi ketika berbicara konflik, beliau berpendapat setiap ada aksi maka ada reaksi. Bila pernikahan itu dilakukan tanpa adat, setidaknya ada keuntungan maupun kerugian yang akan dihadapi. Dalam kehidupan orang Batak yang namanya konflik selalu mewarnai, tetapi tergantung bagaimana menyikapi setiap konflik yang ada. Ketika seorang Batak memilih pernikahan tanpa adat dengan alasan tertentu, maka adat pun tidak akan andil dalam proses penyelesaian masalah yang ada nantinya dalam kehidupan rumahtangganya.

Tetapi beliau sangat menyesalkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang Batak masa kini, terutama pemuda Batak yang telah banyak menyepelekan adat Batak. Beliau menjelaskan banyak pemuda Batak sekarang ini tidak

menghargai keberadaan adat itu sendiri, mereka berpendapat adat Batak itu terlalu rumit dan butuh banyak biaya dan sebagainya, padahal yang sebenarnya adalah bukan karena itu. Beliau memaparkan bahwa pemuda Batak sekarang ini sudah semakin menipis moralnya, adat itu tidak diakui saat ini, karena pergaulan bebas, yang semuanya ingin bebas tanpa ada kontrol sosial. Masyarakat ingin lebih merdeka tanpa ada keterikatan dengan apapun termasuk keterikatan masyarakat dengan adatnya. Pernikahan terjadi tanpa adat bila ditelisik lebih lanjut kebenarannya adalah karena semakin maraknya istilah MBA, beliau menjelaskan.

Beliau mengatakan hal yang harus dilakukan sebagai seorang generasi penerus Batak adalah dengan pengenalan – pengenalan dan pendekatan – pendekatan serta memberikan contoh tentang bagaimana fungsi adat itu berperan dalam kehidupan sehari – hari, seperti apa adat dalam mengikat masyarakat yang sebenarnya. Demikian hal yang bisa dilakukan untuk keluarga yang melakukan pernikahan tanpa adat agar mereka lebih memiliki pertimbangan – pertimbangan yang lebih mapan dalam memulai kehidupan rumahtangganya kelak.

C. Tokoh Agama

1. Pdt. S. Gurning, S.Th. (Pendeta Jemaat HKBP)

Beliau menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Theologia dari Sekolah Tinggi Theologia (STT) Nommensen di Pematang Siantar pada tahun 1987 dan ditahbiskan menjadi pendeta dua tahun kemudian. Beliau berdomisili di Sumbul, sudah hamper 10 tahun beliau bertugas di Kecamatan Sumbul.

Pandangan beliau tentang Adat Batak Toba, adat Batak harus diketahui dulu dari latar belakangnya. Latar belakang adat Batak Toba harus dibedakan

dalam dua bagian, yakni kepercayaan dan sosial budaya. Adat Batak yang berlatar sosial budaya misalnya, anak menghormati orangtua, tolong menolong sesama manusia. Adat batak yang seperti ini merupakan perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Orang Batak yang beragama Kristen sudah banyak menyeleksi adatnya. Mereka berupaya yang menghilangkan unsur animisme dari adatnya dan memperbaharui adatnya hingga sesuai dengan ajaran Alkitab. Contohnya, orang Batak dahulu manortor (menari) dengan menggunakan gondang sabangunan dengan tujuan menyembah arwah, setelah mereka menjadi Kristen, manortor ini merupakan ungkapan seni dan bahkan manortor sudah digunakan untuk memuliakan Tuhan.

Beliau menjelaskan antara adat Batak Toba dengan ajaran Kristen memiliki hubungan yakni, dasar setiap tindakan ataupun aktivitas adalah kasih kepada Tuhan dan sesama manusia, berpegang teguh untuk mentaati yang telah disepakati, menuntut orang bertingkah laku hormat, sopan dan baik sehingga dapat mencegah perbuatan yang jahat. Adat Batak Toba dengan ajaran Alkitab memiliki banyak kesamaan, Alkitab mengajarkan kepada setiap anak untuk menolong orangtua, menghormati orangtua, dan menghargai hak serta wewenang orangtua yang diberikan oleh adat kepada mereka. Menurut beliau, adat Batak dapat dipergunakan sebagai sarana efektif dalam menyebarkan berita injil. Salah satu kesuksesan Nommensen dalam penginjilan adalah karena keberaniannya dalam mengambil alih adat dan mengizinkan adat Batak di dalam kehidupan umat Kristen Batak.

Berbicara tentang pertentangan antara ajaran Kristen dengan adat Batak Toba, beliau menjelaskan bahwa itu terletak pada si pelaku adat dan si penganut

ajaran Kristen yang banyak salah mengartikan kebenarannya. Pertentangan antara kedua hal ini akan banyak sekali bila adat Batak itu selalu ditinjau dari segi animismenya, sebelum masuknya ajaran Kristen ke tanah Batak. Menurut beliau adat itu telah banyak mengalami pergeseran sesuai dengan ajaran agama Kristen.

Pemberkatan pernikahan tanpa adat pada saat sekarang ini sudah semakin banyak ditemukan, masyarakat Batak lebih banyak memilih hanya pemberkatan gereja tanpa harus memasukkan acara adat. Beliau menjelaskan hal ini disebabkan

Dokumen terkait