• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

B. Infudasi

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan-bahan herbal dengan air sebagai pelarut pada suhu 90oC selama 15 menit di atas penangas air terhitung mulai dari suhu mencapai 90oC sambil diaduk. Serkai dalam keadaan panas dengan menggunakan kain flannel, kemudian ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Badan POM RI, 2010).

C. Toksikologi 1. Definisi

Uji toksikologi dapat dibagi menjadi uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas (uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis) merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji ketoksikan khas merupakan uji untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji (Donatus, 2001).

2. Asas toksikologi

Berdasar alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada 4 asas utama dalam toksikologi yang meliputi kondisi efek toksik, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2001).

a. Kondisi efek toksik

Kondisi efek toksik antara lain kondisi pemejanan yang meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan, lama dan kekerapan, dan dosis (Loomis, 1978).

Kondisi makhluk hidup berupa keadaan fisiologi (berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, genetika, dan jenis kelamin) dan patologi dapat mempengaruhi pula (Donatus, 2001).

b. Mekanisme aksi

Mekanisme efek toksik dapat dijelaskan berdasarkan tempat kejadian, sifat antaraksi antara racun dengan tempat aksi, dan resiko penumpukan racun dalam tubuh. Berdasarkan sifat kejadian, mekanisme efek toksik dibagi menjadi dua golongan yaitu mekanisme luka intrasel (mekanisme langsung) dan mekanisme luka ekstrasel (mekanisme tidak langsung) (Donatus, 2001).

c. Wujud

Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Perubahan biokimia meliputi respon dan kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi zat beracun yang sifatnya tak terbalikkan (Lu, 1995). Wujud fungsional berkaitan dengan antaraksi yang tak terbalikkan dengan reseptor atau aksi tempat racun sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis antaranya anoreksia, gangguan pernafasan. Perubahan struktural seperti perlemakan yang bersifat terbalikkan, nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis yang tak terbalikkan (Donatus, 2001).

d. Sifat efek toksik

Terdapat dua jenis sifat efek toksik yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan. Ciri khas sifat yang terbalikkan adalah bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi telah habis maka akan cepat kembali normal dan ketoksikan bergantung pada

kecepatan absorbsi, distribusi, dan eliminasi. Sedangkan sifat tak terbalikkan lebih menetap (Lu, 1995).

3. Uji toksisitas akut a. Definisi dan tujuan

Uji toksisitas akut adalah uji untuk menentukan efek toksik suatu senyawa dengan cara memberikan dosis tunggal senyawa uji dalam waktu singkat setelah pemejanan (Donatus, 2001).

Sebagian besar uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan dosis lethal medium (LD50) bahan uji. LD50 merupakan dosis tunggal suatu zat yang

secata statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan uji (Lu, 1995). LD50

merupakan satu dari beberapa indikasi yang digunakan dalam menetapkan toksisitas akut (Dipasquale dan Hayes, 2001).

Uji toksisitas akut selain itu juga dapat untuk identifikasi karakteristik suatu efek toksik suatu senyawa, identifikasi target organ dan manifestasi klinis lainnya dari toksisitas akut, memperkirakan resiko toksisitas terhadap spesies yang bukan sasaran atau toksisitasnya terhadap spesies sasaran, menentukan reversibilitas dari respon toksik, dan menyediakan data kisaran dosis yang dapat digunakan untuk penelitian yang lain atau yang lebih lama (Klaassen dan Watkins, 2010).

b. Tata cara pelaksanaan

Hewan uji yang digunakan idealnya dapat memberikan respon toksik yang mirip dengan manusia (Dipasquale dan Hayes, 2001). Secara umum, dalam uji toksikologi akut khususnya dengan jalur pemberian oral, dapat digunakan

hewan uji seperti tikus atau mencit (Derelanko dan Hollinger, 2002) karena hewan ini murah, mudah didapat, mudah ditangani,banyak data toksikologi mengenai hewan ini yang mempermudah pembandingan toksisitas senyawa (Lu, 1995).

Jalur pemberian yang akan digunakan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu (Donatus, 2001). Jalur yang paling sering digunakan adalah jalur oral dengan menggunakan sonde. Jalur lain yang dapat digunakan sebagai pilihan adalah parenteral, injeksi intravena dan intraperitonial, dermal, subkutan, dan inhalasi (Lu, 1995).

Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan hampir atau seluruh hewan uji (kisaran dosis diperkirakan menyebabkan 10-90% kematian hewan uji) (Lu, 1995).

Banyak peneliti memilih rasio atau faktor interval 1,2-2. Belakangan ini dianjurkan prosedur uji sederhana yang menggunakan hanya enam sampai sembilan untuk setiap uji dan dalam menentukan LD50 pada hewan besar,

umumnya digunakan hewan uji yang jauh lebih sedikit (Lu, 1995).

c. Pengamatan

Pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari dan pengamatannya meliputi : (1) gejala-gejala klinis, (2) jumlah

hewan yang mati, dan (3) histopatologik organ (Donatus, 2001; Dipasquale dan Hayes, 2001).

Autopsi harus dilakukan pada semua hewan yang sekarat, mati, dan dikorbankan pada akhir masa uji dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai organ sasaran, terutama bila kematian tidak terjadi segera setelah pemberian obat (Dipasquale dan Hayes, 2001).

d. Analisis dan evaluasi data

Tolok ukur utama ketoksikan racun memiliki hubungan yang erat (kekerabatan) antara kondisi pemejanan, wujud, dan sifat efek toksik yang selanjutnya dapat digunakan untuk menaksir batas aman. Tolok ukur dapat dibagi menjadi dua yaitu tolok ukur kualitatif dan tolok ukur kuantitatif.

1) Tolok ukur kualitatif

Tolok ukur kualitatif meliputi mekanisme aksi toksik, jenis wujud efek toksik, sifat efek toksik, dan gejala-gejala klinis yang nampak pada diri penderita atau subyek uji (Donatus, 2001).

2) Tolok ukur kuantitatif

Kekerabatan antara takaran atau lebih luasnya kondisi pemejanan dan wujud efek toksik merupakan tolok ukur dasar atau utama dengan cara bagaimana ketoksikan dapat dikuantifikasi. Jadi pada dasarnya kekerabatan antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik, dapat dibagi menjadi kekerabatan antara takaran dan efek (takaran-efek) serta waktu dan efek (waktu- efek). Kekerabatan ini untuk mengetahui kekerabatan antara kondisi pemejanan dan intensitas efek toksik. Selain itu kekerabatan antara kondisi pemejanan dan

wujud efek toksik, juga dapat dibagi menjadi kekerabatan takaran dan respon (takaran-respon) dan waktu-respon yang dapat untuk mengetahui frekuensi atau angka kejadian timbulnya efek toksik pada sekelompok populasi subyek uji (Donatus, 2001).

Kekerabatan takaran-respon lebih banyak digunakan dalam evaluasi ketoksikan karena tentu tujuan evaluasi ketoksikan racun lebih ditujukan pada resiko (ukuran kemungkinan timbulnya efek berbahaya racun pada sekelompok populasi tertentu) (Donatus, 2001).

Dosis pemejanan dimana 50% individu dalam populasi menunjukkan efek toksik baku (dosis median), digunakan sebagai tolok ukur potensi ketoksikan racun bila efek toksik bakunya berupa salah satu dari perubahan biokimia, fungsional, atau struktural disebut sebagai toxic dose (TD50). Bila efek toksiknya

berupa kematian, dosis median ini disebut lethal dose (LD50) (Donatus, 2001).

Harga LD50 atau TD50 dapat diperoleh secara statistik. Metode yang paling

lazim digunakan untuk menghitung harga takaran median ialah metode grafik Litchifield dan Wilcoxon (1949), metode kertas grafik logaritmik Miller dan Tainter (1944), dan tatacara menemukan kisaran Thomson dan Weil (1952). Bila sampai dengan batas volum maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, dosis yang diberikan tidak menimbulkan kematian hewan uji maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu (Donatus, 2001).

Harga LD50 atau TD50 merupakan tolok ukur ketoksikan akut. Semakin kecil

harga LD50 atau TD50, berarti semakin besar potensi toksik atau ketoksikan akut

Tabel IV. Kriteria ketoksikan akut xenobiotika (Loomis, 1978)

Kriteria LD50(mg/kg)

1. Luar biasa toksik 2. Sangat toksik 3. Cukup toksik 4. Sedikit toksik 5. Praktis tidak toksik 6. Relatif kurang berbahaya

1 atau kurang 1-50 50-500 500-5000 5000-15000 Lebih dari 15000 D. Organ 1. Ginjal

Ginjal (ren, nephros) merupakan bagian dari sistema urinarium yang terletak di dalam ruang retroperitoneum pada dinding belakang abdomen, di kedua sisi columna vertebralis. Ginjal kiri dan kanan berbentuk seperti kacang dengan bagian atas terlindung oleh skeleton thoracis. Pada posisi berdiri, ginjal memanjang dari vertebrae lumbales pertama sampai keempat dengan letak ginjal kanan lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena adanya hepar. Tinggi rendahnya letak ginjal berubah sesuai dengan respirasi dan perubahan posisi tubuh (Wibowo dan Paryana, 2009).

Setiap ginjal memliki sisi medial cekung yaitu hilus (tempat masuknya saraf, keluarnya ureter serta masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe) dan memiliki permukaan lateral yang cembung, keduanya dilapisi oleh suatu simpai fibrosa tipis. Ginjal memiliki korteks di luar dan medula di dalam. Pada manusia, medula ginjal terdiri atas 8-15 struktur berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal, yang dipisahkan oleh penjuluran korteks yang disebut columna renalis. Setiap piramida medula plus jaringan korteks di dasarnya dan di sepanjang sisinya membentuk suatu

lobus ginjal. Setiap ginjal terdiri atas 1-1,4 juta unit fungsional yang disebut nefron (Mescher, 2010).

Fungsi utama dari ginjal yang sebagian besar membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal yaitu mempertahankan keseimbangan H2O di

tubuh, mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion, mempertahankan volume plasma yang tepat, membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan produk akhir atau sisa metabolisme tubuh, mengeluarkan banyak senyawa asing misal obat dan bahan aditif makanan, menghasilkan eritropoietin, menghasilkan renin dan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2011).

Beberapa efek toksik zat beracun terhadap ginjal seperti berikut ini : a. Nekrosis

Nekrosis dapat terjadi di berbagai tempat pada ginjal seperti tubulus proximal, tubulus distal, medula, papila, dan tempat lainnya. Nekrosis ini ditandai dengan sitoplasmik eosinofilik dan piknosis atau karioreksis dari inti sel. Nekrosis dapat memicu adanya respon inflamasi akut. Nekrosis dapat terjadi sebagai respon langsung adanya metabolit atau xenobiotika tetapi dapat pula merupakan efek sekunder dari iskemik. Nekrosis papila sering terjadi di nefropati tubulus ginjal karena berhubungan dengan fungsi tubulus distal dalam mengatur keseimbangan air, elektrolit, dan asam-basa (Frazier, Seely, Hard, Betton, Burnett, Nakatsuji, et al., 2012).

b. Perubahan pada glomerulus

Glomerulus merupakan organ target yang jarang dipengaruhi oleh bahan beracun. Organ ini dapat dipengaruhi oleh bahan beracun baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh perubahan yang terjadi pada glomerulus yaitu glomerulonefritis, nefritis interstitial, edema, dan perubahan lainnya (Frazier, Seely, Hard, Betton, Burnett, Nakatsuji, et al., 2012).

2. Usus

Organ usus dibagi menjadi dua, yaitu usus halus dan usus besar. Usus halus merupakan tempat akhir berlangsungnya pencernaan, absorpsi nutrien, dan sekresi endokrin. Peristiwa pencernaan dituntaskan dalam usus halus, tempat nutrien (hasil pencernaan) diabsorpsi oleh sel-sel epitel pelapis. Usus halus relatif panjang sekitar 5 meter dan terdiri atas tiga segmen yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Segmen-segmen tersebut memiliki banyak kemiripan ciri (Mescher, 2010).

Usus besar terdiri atas kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum membentuk kantung buntu di bawah pertemuan antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum. Tonjolan kecil seperti jari di dasar sekum adalah apendiks, suatu jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon yang membentuk sebagian besar usus besar tidak bergelung seperti usus halus tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus – kolon asenden, kolon transversum, dan kolon desenden. Bagian terakhir kolon desenden membentuk huruf S membentuk kolon sigmoid, kemudian lurus untuk membentuk rektum. Usus besar terutama adalah

organ pengering dan penyimpan selain itu juga menyerap garam dan air dan mengubah isi lumen menjadi feses (Sherwood, 2011).

Beberapa respon toksik yang dapat timbul di usus akibat pemberian bahan beracun antara lain sebagai berikut.

a. Erosi, ulcer, dan inflamasi

Lapisan mukosa usus halus dilapisi oleh selapis sel epitel kolumnar dengan kerentanan yang sama dengan mukosa lambung. Secara patologis ulser ini mirip dengan yang terjadi di lambung. Inflamasi yang tersebar pada usus besar disebut enteritis dan pada kondisi parah/kronis dapat menyebabkan adanya hemoragi tetapi bila kerusakan sel masih ringan dan berpengaruhi bagian vili.

Vili usus dapat dirintangi oleh suatu bahan beracun yang menghambat pembelahan sel-sel prekursor yang cepat dalam kriptus di dasar vilus, mempercepat pembelahan sel, atau menimbulkan respons immunologis yang menimbulkan atropi vili. Beberapa kondisi kerusakan pada vili akan berpengaruh pada feses yang dihasilkan. Biasanya feses akan berwarna hitam (Glaister, 1986 ; Turton dan Hooson, 2005).

b. Diare

Respon ini biasa terjadi terhadap ingesti bahan beracun. Dalam beberapa kasus gejala ini berhubungan dengan luka mukosa usus seperti enteritis. Faktor- faktor penyebab diare bervariatif seperti infeksi, motilitas usus, maupun karena malabsorbsi. Malabsorbsi dapat dikarenakan adanya penyakit penyerta lain yang membuat adanya penurunan luas permukaan usus halus (Glaister, 1986 ; Turton dan Hooson, 2005).

3. Limpa

Limpa adalah organ limfoid terbesar dalam tubuh dan satu-satunya organ yang terlibat dalam filtrasi darah sehingga limpa merupakan organ penting pada pertahanan terhadap antigen dalam darah. Organ ini juga menjadi tempat penghancuran eritrosit tua. Sebagaimana halnya organ limfoid sekunder lainnya, limpa adalah tempat produksi antibodi dan limfosit aktif yang dihantarkan ke dalam darah (Mescher, 2010).

Limpa terdiri atas jaringan retikular yang mengandung sel-sel retikular, banyak limfosit dan sel darah lain, makrofag dan APC. Pulpa limpa memiliki dua komponen, pulpa putih dan pulpa merah. Massa kecil pulpa putih terdiri atas nodul limfoid dan selubung periarteriolar, sementara pulpa merah terdiri atas sinusoid yang berisi darah dan korda limpa (korda Bilroth) (Mescher, 2010).

Limpa bukan merupakan organ yang vital pada orang dewasa meskipun mempunyai fungsi imunogenik yang memproduksi antibodi, fungsi fagosit dari sitem retikuloendotelial, dan fungsi penghancuran eritrosit. Limpa selain itu juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah yang kemudian dapat dilepaskan ke dalam sirkulasi dengan kontraksi otot polos di dalamnya. Fungsi hematopoesis dari limpa hanya di dapatkan pada masa fetus (Wibowo dan Paryana, 2009).

Manifestasi klinik utama gangguan limpa adalah pembesaran limpa (splenomegali). Limpa normal tidak dapat teraba. Splenomegali dapat terjadi pada hipersplenisme (penyakit yang berhubungan dengan aktivitas berlebihan dan pembesaran limpa) dengan anemia, leukopenia, dan trombositopenia akibat meningkatnya perombakan sel-sel tersebut di hati (Chandrasoma dan Taylor, 1995). Perubahan non proliferatif yang dapat terjadi pada limpa juga dapat berupa

degeneratif lesi seperti atropi dan fibrosis. Perubahan ini dapat terjadi secara spontan, pengaruh umur, xenobiotika yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung (Suttie, 2006).

4. Lambung

Lambung adalah organ campuran eksokrin endokrin yang mencerna makanan dan menyekresi hormon. Organ ini dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pembedaan anatomik, histologis, dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di atas lubang esofagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus. Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis tetapi bagian bawah lambung, antrum, memiliki otot jauh lebih tebal. Perbedaan ketebalan otot ini memiliki peran penting dalam motilitas lambung di kedua regio tersebut. Juga terdapat perbedaan kelenjar di mukosa regio ini. Bagian terminal lambung adalah sfingter pilorus yang bekerja sebagai sawar antara lambung dan bagian atas usus halus (Sherwood, 2011).

Letak lambung ada di dalam perut bagian atas mulai dari hypochondrium kiri sampai epigastrium dan kadang-kadang mencapai regio umbilicalis. Lambung dapat membesar sampai mencapai kapasitas dua sampai tiga liter dan tidak mempunyai bentuk yang tetap. Dalam keadaan kosong mempunyai ukuran seperti colon dan bentuknya menyerupai huruf J. Bentuk ini dapat berubah tergantung pada isi, posisi tubuh, dan pernafasan (Wibowo dan Paryana, 2009).

Fungsi utama lambung ada tiga dimana fungsi terpenting lambung adalah menyimpan makan yang masuk sampai makanan dapat disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan yang optimal. Fungsi yang kedua, yaitu mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai

pencernaan protein. Fungsi terakhir melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran cairan kental atau kimus (Sherwood, 2011).

Beberapa respon patologis yang sering terjadi pada organ lambung seperti yang disebutkan berikut:

a. Gastritis

Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa lambung. Gastritis dapat berupa gastritis kronik maupun gastritis akut. Gastritis dapat disebabkan karena adanya infeksi Helicobacter pylori, keasaman lambung, enzim peptik, maupun xenobiotika (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

b. Ulcer lambung

Ulcer lambung dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada ulcer lambung akut biasanya ditandai dengan adanya multipel lesi. Penyebab adanya ulcer lambung antara lain trauma berat, pasca oprasi, hemoragi intraserebral, serta pemaparan kronik dari xenobiotika misal karena obat NSAIDs dan kortikosteroid yang cenderung iritatif lambung (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

5. Jantung

Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmis, memompa darah melalui sistem sirkulasi. Ventrikel kanan dan kiri memompa darah, masing-masing ke paru-paru dan bagian tubuh lain; atrium kanan dan kiri menerima darah, masing-masing dari tubuh dan vena pulmonalis. Dinding keempat bilik jantung terdiri atas tiga lapisan

utama atau tunika: endokardium di dalam, miokardium di tengah, dan epikardium di luar (Mescher, 2010).

Letak jantung ada di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara sternum (tulang dada) di sebelah anterior dan vertebra (belakang) di posterior. Jantung berfungsi sebagai pompa yang memberi tekanan pada darah untuk mengalirkan darah ke jaringan. Seperti semua cairan, darah mengalir menuruni gradien tekanan dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan tekanan rendah (Sherwood, 2011).

Bahan-bahan toksik terhadap jantung mungkin mengganggu fungsi jantung dengan proses berikut pada beberapa tempat.

a. Kardiomiopati (CMP)

Istilah kardiomiopati sering digunakan untuk penyakit yang menunjukkan adanya perubahan fungsi dari miokardial. Penyebab kardiomiopati berupa IHD (ischemic cardiomyopathy), kardiak hipertropi, penyakit infeksi (kardiomiopati viral), obat maupun senyawa-senyawa xenobiotika yang menginduksi kardiomiopati. CMP primer atau idiopatik merupakan kelainan miokardium yang tidak diketahui sebabnya atau gangguan yang timbul tanpa adanya iskemi, hipertensi, kelainan bawaan, kelainan katup, dan bentuk penyakit jantung lainnya. CMP sekunder adalah penyakit otot jantung yang penyebabnya diketahui atau merupakan penyakit sistemik yang jelas (Klaassen, 2001).

b. Hipertropi kardiak dan gagal jantung

Peningkatan masa otot jantung disebut hipertropi kardiak. Efek ini biasanya merupakan respon kompensasi terhadap meningkatnya kerja jantung. Kardiak hipertropi dapat berkembang menjadi gagal jantung tetapi mekanisme

perubahannya belum dapat diketahui. Kardiak hipertropi sering ditemui karena adanya pemaparan secara kronik dari adanya xenobiotika. (Klaassen, 2001).

6. Paru-paru

Sistem pernafasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang yang menghubungkan tempat pertukaran gas dengan lingkungan luar. Udara digerakkan melalui paru oleh suatu mekanisme ventilasi yang terdiri atas rongga toraks, otot interkostal, diafragma, dan komponen elastis jaringan paru (Mescher, 2010).

Pulmo atau paru-paru adalah organ pernafasan yang penting karena udara yang masuk dapat berhubungan secara erat dengan darah kapiler di dalam paru- paru. Tiap paru-paru melekat pada jantung dan trakea melalui radix pulmonis dan ligamentum pulmonale. Paru-paru sehat selalu berisi udara dan akan mengapung bila dimasukkan ke dalam air. Paru-paru orang dewasa mempunyai permukaan yang berwarna lebih gelap dan sering ada bercak-bercak yang disebabkan oleh penimbunan partikel debu yang terisap. Dibandingkan dengan paru-paru kiri, maka paru-paru kanan lebih besar dan lebih berat tetapi lebih pendek karena kubah diafragma kanan letaknya lebih tinggi. Paru-paru kanan juga lebih lebar karean adanya jantung yang letaknya lebih ke kiri dalam rongga toraks (Wibowo dan Paryana, 2009).

Bentuk reaksi pada sistem pernafasan dapat dibagi menjadi 2, yaitu pada bagian air-system conducting dan respiratory area. Air-conducting system bentuk reaksi dari kerusakan sel, inflamasi, dan perbaikan dapat mempengaruhi pada epitel dan struktur sekitar. Pada luka akut, epitelium dapat mempengaruhi silia, pembengkakan dan pengelupasan sel goblet dan sel bersilia, pembentukan

syncytial epithelial giant cell dan nekrosis pada epitelium. Sedangkan luka kronik dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel goblet, bahkan bila dalam waktu yang berlanjut dapat menyebabkian adanya squamous metaplasia dari epitelium dan hiperplasia epitelium dan metaplasia sel goblet (van Dijk, Gruys, Mouewen, 2007).

7. Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg atau sekitar 2% berat tubuh orang dewasa dengan lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Hati merupakan kelenjar terbesar dengan letak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati menjadi perantara sistem perncernaan dengan darah. Organ dalam saluran cerna tempat penyerapan nutrien yang digunakan di bagian tubuh lain. Kebanyakan darah di hati (70-80%) berasal dari vena porta yang berasal dari lambung, usus, dan limpa; sisanya (20-30%) disuplai oleh hepatika. Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat optimal untuk menampung, mengubah, dan mengumpulkan metabolit dari darah serta untuk menetraliasi dan mengeluarkan zat toksik dalam darah (Mescher, 2010).

Hati selain memiliki fungsi dalam sistem pencernaan melalui sekresi garam empedu, tetapi juga memiliki fungsi lain, yaitu memproses secara metabolis ketiga kategori utama nutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna, mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa asing lainnya, membentuk protein plasma termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon

Dokumen terkait