• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji toksisitas akut infusa biji alpukat Persea americana Mill. pada mencit Galur Swiss.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji toksisitas akut infusa biji alpukat Persea americana Mill. pada mencit Galur Swiss."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mencari toksisitas akut biji alpukat (Persea americana Mill.)yang dilihat dari tolok ukur kuantitatif(LD50) dan tolok ukur

kualitatif dari gejala klinis, sifat dan wujud toksisitas.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan sederhana acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 50 ekor mencit galur Swiss (25 jantan dan 25 betina) dan dibagi acak menjadi lima kelompok perlakuan. Kelompok I, yaitu kontrol negatif yang diberi aquadest secara peroral. Kelompok II (perlakuan dosis 1) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 230,09 mg/kgBB. Kelompok III (perlakuan dosis 2) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 520,00 mg/kgBB. Kelompok IV (perlakuan dosis 3) diberi infusa biji alpukat (Persea

americana Mill.) dengan dosis 1175,20 mg/kgBB. Kelompok V (perlakuan dosis

4) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 2655,95 mg/kgBB. Pemberian infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dilakukan secara peroral, sekali hanya hari pertama dan selanjutnyadilakukan uji reversibilitas 14 hari tanpa diberikan perlakuan. Hewan uji kemudian dikorbankan dan dilihat histopatologinya, jumlah kematian, gejala, dan wujud efek toksik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa LD50 semu infusa biji alpukat

(Persea americana Mill.) adalah >2655,95 mg/kgBB dan memiliki makna toksikologi kategori sedikit toksik (0,5-5 g/kg). Gejala yang teramati pada mencit jantan dan betina yaitu aktifitas meningkat/ beringas, dan penjilatan meningkat. Wujud sifat efek toksik yang teramati dari hasil histopatologik tidak dapat ditentukan karena tidak ada perubahan pada mencit jantan maupun mencit betina kelompok perlakuan infusa biji alpukat setelah 24 jam maupun setelah uji reversibilitas 14 hari.

(2)

ABSTRACT

This study aims to examine the acute toxicity of avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) through its quantitative parameter (LD50) and qualitative

parameter (clinical signs of toxicity and spectrum of toxic effects)

This study is purely experimental research with simple designs completely randomized direction. This study used 50 mice Swiss strain (25 male and 25 female) and were divided randomly into 5 groups. First group or negative group were given distilled water orally. Second group (dose 1) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 230.09 mg/kgBB. Third group (dose 2) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 520.00 mg/kgBB. Fourth group (dose 3) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 1175.20 mg/kgBB. Fifth group (dose 4) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 2655.95 mg/kgBB. Avocado seeds (Persea americana Mill.) were given by oral route, single exposure and furthermore reversibility test for 14 days without treatment given to the animal. The animals were sacrificed and examinated histopathologically, the number of death, clinical signs of toxicity, and spectrum of toxicity effects.

This study showed that pseudo LD50 avocado seeds infuse (Persea

americana Mill.) is >2655.95 and categorized light toxic (0.5-5 g/kg). The clinical signs of toxicity in male and female mice were alteration of animal behavior , more active, and higher lick. The spectrum of toxic effects can not be determined because no changes in treatment animal after 24 hours or reversibility test 14 days.

(3)

UJI TOKSISITAS AKUT INFUSA BIJI ALPUKAT Persea americana Mill. PADA MENCIT GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Betzylia Wahyuningsih NIM : 118114109

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

UJI TOKSISITAS AKUT INFUSA BIJI ALPUKAT Persea americana Mill. PADA MENCIT GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Betzylia Wahyuningsih NIM : 118114109

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu :

Jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang.

(Amsal 24 : 14)

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas karunia

dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Uji Toksisitas Akut Infusa Biji Alpukat Persea americana

Mill. pada Mencit Galur Swiss”. Skripsi ini merupakan karya ilmiah penulis untuk memperoleh gelar sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam proses pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini banyak pihak-pihak yang telah membantu dan melancarkan penyelesaian skripsi

ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. selaku Pembimbing Utama yang benar-benar membimbing dan lebih dari sekedar ‘pembimbing’ tetapi

mengajarkan banyak hal dan mengarahkan untuk perbaikan selama pelaksanaan dan penulisan skripsi.

3. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Pembimbing Pendamping yang

benar-benar membimbing dan lebih dari sekedar ‘pembimbing’ tetapi mengajarkan banyak hal dan mengarahkan untuk perbaikan selama

pelaksanaan dan penulisan skripsi.

(11)

5. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi atas segala bantuan dan masukan demi perbaikan skripsi ini.

6. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin dalam

penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini. 7. Bapak Heru Purwanto dan Bapak Supardjiman selaku Laboran Farmakologi

dan Toksikologi, Bapak Kayatno selaku Laboran Biokimia, Bapak Wagiran

selaku Laboran Farmakognosi-Fitokimia, Bapak Kunto selaku Laboran Kimia Analisis, Bapak Ottok selaku pengelola gudang kefarmasian atas

segala bantuan selama pelaksanaan skripsi ini.

8. Bapak drh. Sugiyono, M.Sc. yang telah banyak membantu dalam pemeriksaan dan menentukan diagnosis histopatologis organ, serta Bapak

Lilik selaku laboran Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang membantu dalam pembuatan preparat histopatologis.

9. Sahabat dan rekan sekerja “Tim Biji Alpukat” Levina Apriyani, Rosita Olimpia Bagiastrasari, Agustina Iswara, Christina Desi, Trifonia Ingrid dan Marselina Cresentia atas kerjasama, bantuan, motivasi, perjuangan, dan

kebersamaan selama penelitian dan pengerjaan skripsi ini sampai akhir. 10.Sahabat-sahabatku tersayang Rosita Olimpia Bagiastrasari, Primalova

(12)

11.Teman-teman Farmasi angkatan 2011, khususnya FSM C dan FKK B 2011 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak

memberikan membantu, berbagi ilmu, pengalaman, kebersamaan dan kebahagian kepada penulis.

12.Ardhita Dhani Kurniawan yang selalu memberikan semangat, dukungan, perhatian dan kasih sayang selama pelaksanaan dan penyusunan skripsi. 13.Sabrina Handayani Tambun dan Tengku Nur Indah Sari yang membantu

dan mendukung untuk melengkapi naskah skripsi.

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik, saran, dan koreksi dari

berbagai pihak untuk menjadikan skripsi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan informasi bagi pembaca.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….. vi

PRAKATA ……….. vii

DAFTAR ISI ………... x

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR GAMBAR ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvii

INTISARI ……… xix

ABSTRACT ……….. xx

BAB I PENGANTAR ………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

1. Rumusan masalah ……….. 3

2. Keaslian penelitian ……… 4

3. Manfaat penelitian ………. 5

B. Tujuan Penelitian ………. 5

1. Tujuan umum ………. 5

(14)

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ……….. 6

A. Persea americana Mill. ………... 6

B. Infudasi………... 9

C. Toksikologi ……….. 9

D. Organ ………... 15

1. Ginjal ………. 15

2. Usus ……….. 17

3. Limpa ………. 19

4. Lambung ……… 20

5. Jantung ………... 21

6. Paru-paru ………... 23

7. Hati ……… 24

E. Keterangan Empiris ………. 27

BAB III METODE PENELITIAN ……….. 28

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ……….. 28

B. Variabel dan Definisi Operasional ……….. 28

1. Variabel utama ……….. 28

2. Variabel pengacau ………. 28

3. Definisi operasional ……….. 29

C. Bahan Penelitian ……….. 30

1. Bahan utama ……….. 30

2. Bahan kimia ………... 31

(15)

1. Alat pembuatan serbuk biji alpukat (Persea americana Mill.).. 31

2. Alat penetapan kadar air ……… 31

3. Alat pembuatan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)... 31

4. Alat uji toksisitas dan pemeriksaan histopatologik …………... 32

E. Tata Cara Penelitian ……….. 32

1. Determinasi tanaman Persea americana Mill. ……….. 32

2. Pengumpulan bahan ………... 32

3. Pembuatan serbuk biji alpukat ………... 32

4. Penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill. …….. 33

5. Pembuatan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) ……. 33

6. Penetapan dosis infusa Persea americana Mill. ……… 33

7. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji ………. 34

F. Tata Cara Analisis Hasil ……….. 36

G. Skema Alur Penelitian ……….. 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 38

A. Determinasi Biji Alpukat ………. 38

B. Penetapan Kadar Air Serbuk Kering Biji Persea americana Mill.. 38

C. Potensi Ketoksikan Akut (LD50) ………. 39

D. Pengamatan Perubahan Berat Badan Mencit ………. 40

E. Pengamatan Gejala-Gejala Toksik ……… 43

F. Pemeriksaan Histopatologik ……… 46

G. Rangkuman Pembahasan ………. 62

(16)

A. Kesimpulan ………. 65

B. Saran ……… 65

DAFTAR PUSTAKA ……… 66

LAMPIRAN ……… 70

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Taksonomi P. americana Mill. ……… 6

Tabel II. Skrining fitokimia ekstrak biji Persea americana Mill.

dengan berbagai pelarut ……….. 7

Tabel III. Hasil kuantitatif (dalam %) fitokimia biji alpukat ………….. 8

Tabel IV. Kriteria ketoksikan akut xenobiotika (Loomis, 1978) ………. 15 Tabel V. Jumlah mencit mati (% respon) setelah pemberian infusa biji

alpukat (n = 10) ……… 39

Tabel VI. Purata berat badan ± SE mencit jantan akibat pemberian

infusa biji alpukat ……… 40

Tabel VII Purata berat badan ± SE mencit betina akibat pemberian

infusa biji alpukat ……… 42

Tabel VIII. Hasil pemeriksaan gejala toksik pada mencit akibat pemejanan infusa biji alpukat dan aquadest selama 6 jam

pertama ………... 44

Tabel IX. Gambaran histopatologik organ mencit betina setelah 24 jam pemberian infusa biji alpukat ……….. 48

Tabel X. Gambaran histopatologik organ mencit jantan setelah 24 jam

pemberian infusa biji alpukat ……… 49

Tabel XI. Perubahan histopatologik organ mencit betina setelah 14 hari

(18)

Tabel XII. Perubahan histopatologik organ mencit jantan setelah 14 hari

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema alur penelitian ...

Gambar 2. Perubahan berat badan mencit jantan selama pemberian infusa

biji alpukat ………... 37

41 Gambar 3. Perubahan berat badan mencit betina selama pemberian infusa

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto biji alpukat ……… 71

Lampiran 2. Foto serbuk biji alpukat ……… 71

Lampiran 3. Foto infusa biji alpukat ………. 71

Lampiran 4. Foto pembuatan infusa biji alpukat ……….. 72

Lampiran 5. Foto pembedahan hewan uji ………. 72

Lampiran 6. Surat pengesahan determinasi biji alpukat (Persea americana Mill.) ……….. 73

Lampiran 7. Surat Ethics Committee Approval ………. 74

Lampiran 8. Data berat badan mencit jantan ………. 75

Lampiran 9. Data berat badan mencit betina ………. 76

Lampiran 10. Hasil pengamatan histopatologik setelah 24 jam …………. 77

Lampiran 11. Hasil pengamatan histopatologik setelah 14 hari ………… 78

Lampiran 12. Hasil konversi LD50 mencit ke manusia ……….. 80

Lampiran 13. Hasil pengamatan gejala toksik pada mencit jantan setelah pemberian infusa biji alpukat pengamatan 6 jam ………... 81

Lampiran 14. Hasil pengamatan gejala toksik pada mencit betina setelah pemberian infusa biji alpukat pengamatan 6 jam ………… 85

Lampiran 15. Hasil pengamatan gejala toksik pada mencit jantan setelah pemberian infusa biji alpukat pengamatan 14 hari ………. 89

(21)
(22)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mencari toksisitas akut biji alpukat (Persea americana Mill.) yang dilihat dari tolok ukur kuantitatif (LD50) dan tolok ukur

kualitatif dari gejala klinis, sifat dan wujud toksisitas.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan sederhana acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 50 ekor mencit galur Swiss (25 jantan dan 25 betina) dan dibagi acak menjadi lima kelompok perlakuan. Kelompok I, yaitu kontrol negatif yang diberi aquadest secara peroral. Kelompok II (perlakuan dosis 1) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 230,09 mg/kgBB. Kelompok III (perlakuan dosis 2) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 520,00 mg/kgBB. Kelompok IV (perlakuan dosis 3) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 1175,20 mg/kgBB. Kelompok V (perlakuan dosis 4) diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis 2655,95 mg/kgBB. Pemberian infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dilakukan secara peroral, sekali hanya hari pertama dan selanjutnya dilakukan uji reversibilitas 14 hari tanpa diberikan perlakuan. Hewan uji kemudian dikorbankan dan dilihat histopatologinya, jumlah kematian, gejala, dan wujud efek toksik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa LD50 semu infusa biji alpukat

(Persea americana Mill.) adalah >2655,95 mg/kgBB dan memiliki makna toksikologi kategori sedikit toksik (0,5-5 g/kg). Gejala yang teramati pada mencit jantan dan betina yaitu aktifitas meningkat/ beringas, dan penjilatan meningkat. Wujud sifat efek toksik yang teramati dari hasil histopatologik tidak dapat ditentukan karena tidak ada perubahan pada mencit jantan maupun mencit betina kelompok perlakuan infusa biji alpukat setelah 24 jam maupun setelah uji reversibilitas 14 hari.

(23)

ABSTRACT

This study aims to examine the acute toxicity of avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) through its quantitative parameter (LD50) and qualitative

parameter (clinical signs of toxicity and spectrum of toxic effects)

This study is purely experimental research with simple designs completely randomized direction. This study used 50 mice Swiss strain (25 male and 25 female) and were divided randomly into 5 groups. First group or negative group were given distilled water orally. Second group (dose 1) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 230.09 mg/kgBB. Third group (dose 2) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 520.00 mg/kgBB. Fourth group (dose 3) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 1175.20 mg/kgBB. Fifth group (dose 4) were given avocado seeds infuse (Persea americana Mill.) 2655.95 mg/kgBB. Avocado seeds (Persea americana Mill.) were given by oral route, single exposure and furthermore reversibility test for 14 days without treatment given to the animal. The animals were sacrificed and examinated histopathologically, the number of death, clinical signs of toxicity, and spectrum of toxicity effects.

This study showed that pseudo LD50 avocado seeds infuse (Persea

americana Mill.) is >2655.95 and categorized light toxic (0.5-5 g/kg). The clinical signs of toxicity in male and female mice were alteration of animal behavior , more active, and higher lick. The spectrum of toxic effects can not be determined because no changes in treatment animal after 24 hours or reversibility test 14 days.

(24)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional sudah lama dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pengobatan penyakit. Hal ini karena mulai bergesernya pengobatan modern (dengan obat-obatan) menjadi pengobatan

alternatif dan didukung dengan sumber tanaman yang melimpah di Indonesia. Selain itu pergeseran ini juga dikarenakan keterbatasan dari segi biaya pengobatan

modern dan tingginya efek samping dari obat modern sehingga masyarakat kembali mencari pengobatan tradisional.

Alpukat (Persea americana Mill.) adalah salah satu tumbuhan yang banyak dijumpai dan dimanfaatkan sebagai pengobatan. Salah satu bagian alpukat

yang memiliki khasiat farmakologi yaitu biji. Biji alpukat bahkan telah teruji dapat menurunkan kolesterol total, LDL, dan trigliserid (Imafidon dan Amaechina, 2010

; Nwaoguikpe dan Braide, 2011), aktivitas antiprotozoa dan antimikobakteri (Jiménez- Arellanes, Luna-Herrera, Ruiz-Nicolás, Cornejo-Garrido, Tapia, dan

Yépez-Mulia, 2013 ; Idris, Ndukwe, dan Gimba, 2009), antidiabetes dan pelindung jaringan (Ezejiofor, Okorie, dan Orisakwe, 2013 ; Alhassan, Sule, Atiku, Wudil, Abubakar, dan Mohammed, 2012), antihipertensi (Anaka, Ozolua, dan Okpo,

2009), hepatoprotektif (Sasadara, 2013), serta nefroprotektif (Yoseph, 2013).

(25)

optimal memerlukan standar. Upaya pencapaian standar dan pengembangan tanaman obat tradisional ini sesuai dengan UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa obat tradisional harus memenuhi standar

yang ditetapkan dan World Health Assembly (WHA) ke-56 juga merekomendasikan sebelas langkah kepada negara-negara anggota World Health

Organization (WHO), diantaranya agar meningkatkan penelitian obat tradisional

dan menjamin khasiat, keamanan dan mutu. Upaya penegasan keamanan melalui

uji toksisitas merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu obat tradisional (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Pernyataan sebagaimana dinyatakan oleh Paracelsus (1493-1541), seorang

pakar yang mengkaji toksikologi secara ilmiah pertama kali, bahwa semua senyawa adalah racun, tidak ada satupun yang bukan racun, tetapi takaran (dosis) yang

tepatlah yang membedakan antara racun dan obat (Loomis dan Hayes, 1996). Uji toksisitas akut ini dapat menjangkau hubungan kuantitatif antara dosis dan respon.

Uji toksisitas akut biji alpukat pernah dilakukan dalam bentuk ekstrak

aquaeous (Ozolua, Anaka, Okpo, dan Idogun, 2009) yang menunjukkan bahwa sampai pada dosis 10 g/kgBB di tikus tidak menunjukkan adanya kematian. Pada

ekstrak alkohol (Marlinda, Sangi, dan Wuntu, 2012 menunjukkan bahwa harga LC50

ekstrak alkohol biji alpukat kering dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) sebesar 34,302 mg/L sedangkan LD50 ekstrak etanol biji alpukat pada mencit

sebesar 1200,75 mg/kg (Padilla-Camberos, Marinez- Velázquez, Flores-Fernández, dan Villanueva-Rodriguez, 2013 ), tetapi dalam bentuk infusa belum pernah

(26)

alpukat (Persea americana Mill.). Sediaan yang digunakan adalah infusa karena alpukat yang sering dimanfaatkan sebagai pengobatan dalam masyarakat biasanya

diserbuk dan direbus dengan air panas. Secara umum teknik yang digunakan di masyarakat serupa dengan pembuatan sediaan infusa. Pembuatan ini pada

masyarakat juga lebih mudah dan sederhana.

Uji toksisitas akut merupakan uji yang dirancang dengan pemberian dosis tunggal senyawa uji untuk menentukan efek toksik dari suatu senyawa dalam waktu

yang singkat setelah pemenjanan ataupun pemberiannya dengan takaran tertentu dan organ yang diamati lebih komperehensif yaitu organ-organ secara menyeluruh

(Donatus, 2001). Penelitian ini akan melihat perubahan pada organ lambung, usus, jantung, paru-paru, hati, ginjal, dan limpa.

1. Rumusan masalah

a. Berapa nilai ketoksikan akut infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)

yang dinyatakan sebagai kisaran lethal dose 50 (LD50) pada mencit galur

Swiss?

b. Apa gejala yang timbul akibat pemejanan infusa biji alpukat (Persea

americana Mill.) pada mencit galur Swiss?

c. Apa kecenderungan wujud dan sifat toksik yang timbul yang dilihat dari

(27)

2. Keaslian penelitian

Terdapat sejumlah penelitian yang telah menguji ketoksikan akut dan subakut alpukat (Persea americana Mill.) dengan bentuk ekstrak aquaeous maupun alkohol. Pada toksisitas akut ekstrak aquaeous, dosis maksimal 10 g/kg tidak menunjukkan LD50 dan pada toksisitas subakut ditemukan kenaikan jumlah

minum pada tikus dan kenaikan total protein pada hematologi darah yang signifikan (Ozolua, Anaka, Okpo, dan Idogun, 2009). Penelitian lain yaitu Marlinda, Sangi, dan Wuntu (2012) menyatakan bahwa analisis senyawa metabolit sekunder dan uji toksisitas ekstrak etanol biji buah alpukat memiliki LC50 biji alpukat biasa, segar, dan kering masing-masing sebesar

42,270; 36,078; dan 34,302 mg/L. Uji toksisitas terbaru Padilla-Camberos, Marinez- Velázquez, Flores-Fernández, dan Villanueva-Rodriguez (2013) menyatakan bahwa ekstrak etanol biji alpukat menunjukkan efek toksisitas akut mulai pada dosis 500 mg/kg , LD50 sebesar 1200,75 mg/kg, dan tidak menunjukkan

adanya aktivitas genotoksisitas.

Yoseph (2013) menyatakan bahwa biji alpukat memiliki khasiat untuk nefroprotektif pada tikus dengan dosis 360,71 mg/kgBB dan didukung dengan hasil

penelitian Sasadara (2013) yang menyatakan bahwa biji alpukat pun juga memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif. Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti,

(28)

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun dasar untuk penelitian selanjutnya, khususnya ilmu

kefarmasian terkait toksisitas akut infusa biji alpukat ( Persea americana Mill.).

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

mengenai dosis maupun ketoksikan akut biji alpukat (Persea americana Mill.).

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mendapatkan gambaran umum tentang ketoksikan akut infusa biji alpukat

(Persea americana Mill.)

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui nilai ketoksikan akut infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) yang dinyatakan sebagai kisaran lethal dose 50 (LD50) pada mencit galur

Swiss.

b. Untuk mengetahui gejala yang timbul akibat pemejanan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) pada mencit galur Swiss.

(29)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Persea americana Mill.

1. Taksonomi

Biji alpukat yang sering disebut apokado atau avocado dalam bahasa Malay atau yang sering disebut alligator pear, avocado, avocado-pear, atau butter fruit dalam bahasa Inggris (Yasir, Das, dan Kharya, 2010) memiliki taksonomi

seperti tabel 1.

Tabel I. Taksonomi P. americana Mill.

Kingdom Plantae

Subkingdom Tracheobionta Super Divisi Spermatophyta

Divisi Magnoliophyta

Kelas Magnoliopsida

Sub Kelas Magnolidae

Ordo Laurales

Famili Lauraceae

Genus Persea

Spesies Persea americana Mill.

(Plantamor, 2012).

2. Morfologi

Tinggi tanaman ini berkisar antara 9-20 m. Buahnya berbiji tunggal dan besar yang dikelilingi oleh daging buah yang tertutup oleh kulit buah. Daging

(30)

varietasnya. Bentuk buahnya dari bulat sampai lonjong dengan berat mencapai 2,3

kg per buahnya (Orwa, Mutua, Kindt, Jamnadass, dan Anthony, 2009).

3. Kandungan

Menurut Nwaoguikpe dan Braide (2011), ekstrak air biji Persea americana

Mill. mengandung sejumlah senyawa antioksidan seperti saponin (51,00±0,0) sebagai senyawa terbanyak, tanin (21,66±0,0) dengan urutan kedua , flavonoid (21,00±0,0), alkaloid (9,43±0,2), dan sianogenik glikosida (4,86±0,0). Menurut

Arukwe, Amadi, Duru, Agomuo, Adindu, Odika, et al. (2012), kandungan biji Persea americana Mill. adalah saponin, tanin, flavonoid, cyanogenic glycosides,

alkaloid, fenolik, dan steroid. Idris, Ndukwe, dan Gimba (2009) menyatakan kandungan biji alpukat (Persea americana Mill.) hampir serupa dengan penelitian yang lain tetapi menambahkan adanya kandungan terpenoid dan cardiac glycoside

pada pelarut polar dan semakin non polar pelarut yang digunakan, semakin sedikit kandungan fitokimia yang tersari dalam pelarut. Kandungan-kandungan

[image:30.595.106.512.246.708.2]

lengkapnya dapat dilihat pada tabel II dan III.

Tabel II. Skrining fitokimia ekstrak biji Persea americana Mill. dengan berbagai pelarut

(31)
[image:31.595.100.513.143.540.2]

Tabel III. Hasil kuantitatif (dalam %) fitokimia biji alpukat

(Nwaoguikpe dan Braide, 2011).

4. Khasiat dan kegunaan

Hampir semua bagian pada alpukat memiliki khasiat farmakologi. Salah satu bagian yang dikembangkan yaitu bagian biji. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anaka, et al., (2009) ekstrak air biji Persea americana Mill.

mampu menurunkan kolesterol total, LDL, dan trigliserid (Imafidon dan Amaechina, 2010 ; Nwaoguikpe dan Braide, 2011), aktivitas antiprotozoa dan

antimikobakteri (Jiménez- Arellanes, Luna-Herrera, Ruiz-Nicolás, Cornejo-Garrido, Tapia, dan Yépez-Mulia, 2013 ; Idris, Ndukwe, dan Gimba, 2009). Biji

alpukat juga memiliki aktivitas antidiabetes dan pelindung jaringan (Ezejiofor, Okorie, dan Orisakwe, 2013 ; Alhassan, Sule, Atiku, Wudil, Abubakar, dan Mohammed, 2012) dengan cara menahan laju peningkatan glukosa darah

(Anggraeni, 2006). Menurut Anaka, Ozolua, dan Okpo (2009), biji alpukat terbukti dapat digunakan sebagai antihipertensi. Biji alpukat dalam bentuk infusa,

(32)

B. Infudasi

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

bahan-bahan herbal dengan air sebagai pelarut pada suhu 90oC selama 15 menit di atas penangas air terhitung mulai dari suhu mencapai 90oC sambil diaduk. Serkai dalam keadaan panas dengan menggunakan kain flannel, kemudian ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Badan POM RI, 2010).

C. Toksikologi 1. Definisi

Uji toksikologi dapat dibagi menjadi uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas (uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis)

merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji ketoksikan khas

merupakan uji untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji (Donatus, 2001).

2. Asas toksikologi

Berdasar alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada 4 asas utama dalam toksikologi yang meliputi kondisi efek toksik, mekanisme aksi, wujud, dan sifat

efek toksik (Donatus, 2001). a. Kondisi efek toksik

Kondisi efek toksik antara lain kondisi pemejanan yang meliputi jenis

(33)

Kondisi makhluk hidup berupa keadaan fisiologi (berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan,

genetika, dan jenis kelamin) dan patologi dapat mempengaruhi pula (Donatus, 2001).

b. Mekanisme aksi

Mekanisme efek toksik dapat dijelaskan berdasarkan tempat kejadian, sifat antaraksi antara racun dengan tempat aksi, dan resiko penumpukan racun

dalam tubuh. Berdasarkan sifat kejadian, mekanisme efek toksik dibagi menjadi dua golongan yaitu mekanisme luka intrasel (mekanisme langsung) dan

mekanisme luka ekstrasel (mekanisme tidak langsung) (Donatus, 2001). c. Wujud

Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan

struktural. Perubahan biokimia meliputi respon dan kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi zat beracun yang sifatnya tak terbalikkan (Lu, 1995).

Wujud fungsional berkaitan dengan antaraksi yang tak terbalikkan dengan reseptor atau aksi tempat racun sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis antaranya anoreksia, gangguan pernafasan. Perubahan struktural seperti perlemakan yang

bersifat terbalikkan, nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis yang tak terbalikkan (Donatus, 2001).

d. Sifat efek toksik

Terdapat dua jenis sifat efek toksik yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan. Ciri khas sifat yang terbalikkan adalah bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi

(34)

kecepatan absorbsi, distribusi, dan eliminasi. Sedangkan sifat tak terbalikkan lebih menetap (Lu, 1995).

3. Uji toksisitas akut a. Definisi dan tujuan

Uji toksisitas akut adalah uji untuk menentukan efek toksik suatu senyawa dengan cara memberikan dosis tunggal senyawa uji dalam waktu singkat setelah pemejanan (Donatus, 2001).

Sebagian besar uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan dosis lethal medium (LD50) bahan uji. LD50 merupakan dosis tunggal suatu zat yang

secata statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan uji (Lu, 1995). LD50

merupakan satu dari beberapa indikasi yang digunakan dalam menetapkan toksisitas akut (Dipasquale dan Hayes, 2001).

Uji toksisitas akut selain itu juga dapat untuk identifikasi karakteristik suatu efek toksik suatu senyawa, identifikasi target organ dan manifestasi klinis

lainnya dari toksisitas akut, memperkirakan resiko toksisitas terhadap spesies yang bukan sasaran atau toksisitasnya terhadap spesies sasaran, menentukan reversibilitas dari respon toksik, dan menyediakan data kisaran dosis yang dapat

digunakan untuk penelitian yang lain atau yang lebih lama (Klaassen dan Watkins, 2010).

b. Tata cara pelaksanaan

Hewan uji yang digunakan idealnya dapat memberikan respon toksik yang mirip dengan manusia (Dipasquale dan Hayes, 2001). Secara umum, dalam uji

(35)

hewan uji seperti tikus atau mencit (Derelanko dan Hollinger, 2002) karena hewan ini murah, mudah didapat, mudah ditangani,banyak data toksikologi

mengenai hewan ini yang mempermudah pembandingan toksisitas senyawa (Lu, 1995).

Jalur pemberian yang akan digunakan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu (Donatus, 2001). Jalur yang paling sering digunakan adalah jalur oral dengan

menggunakan sonde. Jalur lain yang dapat digunakan sebagai pilihan adalah parenteral, injeksi intravena dan intraperitonial, dermal, subkutan, dan inhalasi

(Lu, 1995).

Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh

hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan hampir atau seluruh hewan uji (kisaran dosis diperkirakan menyebabkan 10-90% kematian

hewan uji) (Lu, 1995).

Banyak peneliti memilih rasio atau faktor interval 1,2-2. Belakangan ini dianjurkan prosedur uji sederhana yang menggunakan hanya enam sampai

sembilan untuk setiap uji dan dalam menentukan LD50 pada hewan besar,

umumnya digunakan hewan uji yang jauh lebih sedikit (Lu, 1995).

c. Pengamatan

(36)

hewan yang mati, dan (3) histopatologik organ (Donatus, 2001; Dipasquale dan Hayes, 2001).

Autopsi harus dilakukan pada semua hewan yang sekarat, mati, dan dikorbankan pada akhir masa uji dengan tujuan mendapatkan informasi

mengenai organ sasaran, terutama bila kematian tidak terjadi segera setelah pemberian obat (Dipasquale dan Hayes, 2001).

d. Analisis dan evaluasi data

Tolok ukur utama ketoksikan racun memiliki hubungan yang erat (kekerabatan) antara kondisi pemejanan, wujud, dan sifat efek toksik yang

selanjutnya dapat digunakan untuk menaksir batas aman. Tolok ukur dapat dibagi menjadi dua yaitu tolok ukur kualitatif dan tolok ukur kuantitatif.

1) Tolok ukur kualitatif

Tolok ukur kualitatif meliputi mekanisme aksi toksik, jenis wujud efek toksik, sifat efek toksik, dan gejala-gejala klinis yang nampak pada diri

penderita atau subyek uji (Donatus, 2001). 2) Tolok ukur kuantitatif

Kekerabatan antara takaran atau lebih luasnya kondisi pemejanan dan

wujud efek toksik merupakan tolok ukur dasar atau utama dengan cara bagaimana ketoksikan dapat dikuantifikasi. Jadi pada dasarnya kekerabatan

antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik, dapat dibagi menjadi kekerabatan antara takaran dan efek (takaran-efek) serta waktu dan efek (waktu-efek). Kekerabatan ini untuk mengetahui kekerabatan antara kondisi pemejanan

(37)

wujud efek toksik, juga dapat dibagi menjadi kekerabatan takaran dan respon (takaran-respon) dan waktu-respon yang dapat untuk mengetahui frekuensi atau

angka kejadian timbulnya efek toksik pada sekelompok populasi subyek uji (Donatus, 2001).

Kekerabatan takaran-respon lebih banyak digunakan dalam evaluasi ketoksikan karena tentu tujuan evaluasi ketoksikan racun lebih ditujukan pada resiko (ukuran kemungkinan timbulnya efek berbahaya racun pada sekelompok

populasi tertentu) (Donatus, 2001).

Dosis pemejanan dimana 50% individu dalam populasi menunjukkan efek

toksik baku (dosis median), digunakan sebagai tolok ukur potensi ketoksikan racun bila efek toksik bakunya berupa salah satu dari perubahan biokimia, fungsional, atau struktural disebut sebagai toxic dose (TD50). Bila efek toksiknya

berupa kematian, dosis median ini disebut lethal dose (LD50) (Donatus, 2001).

Harga LD50 atau TD50 dapat diperoleh secara statistik. Metode yang paling

lazim digunakan untuk menghitung harga takaran median ialah metode grafik Litchifield dan Wilcoxon (1949), metode kertas grafik logaritmik Miller dan Tainter (1944), dan tatacara menemukan kisaran Thomson dan Weil (1952).

Bila sampai dengan batas volum maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, dosis yang diberikan tidak menimbulkan kematian hewan uji maka dosis

tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu (Donatus, 2001).

Harga LD50 atau TD50 merupakan tolok ukur ketoksikan akut. Semakin kecil

harga LD50 atau TD50, berarti semakin besar potensi toksik atau ketoksikan akut

(38)
[image:38.595.102.512.138.539.2]

Tabel IV. Kriteria ketoksikan akut xenobiotika (Loomis, 1978)

Kriteria LD50(mg/kg)

1. Luar biasa toksik 2. Sangat toksik 3. Cukup toksik 4. Sedikit toksik 5. Praktis tidak toksik 6. Relatif kurang berbahaya

1 atau kurang 1-50

50-500 500-5000 5000-15000 Lebih dari 15000

D. Organ 1. Ginjal

Ginjal (ren, nephros) merupakan bagian dari sistema urinarium yang terletak di dalam ruang retroperitoneum pada dinding belakang abdomen, di kedua sisi columna

vertebralis. Ginjal kiri dan kanan berbentuk seperti kacang dengan bagian atas terlindung oleh skeleton thoracis. Pada posisi berdiri, ginjal memanjang dari vertebrae lumbales pertama sampai keempat dengan letak ginjal kanan lebih rendah

dibandingkan ginjal kiri karena adanya hepar. Tinggi rendahnya letak ginjal berubah sesuai dengan respirasi dan perubahan posisi tubuh (Wibowo dan Paryana, 2009).

Setiap ginjal memliki sisi medial cekung yaitu hilus (tempat masuknya saraf, keluarnya ureter serta masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe) dan memiliki permukaan lateral yang cembung, keduanya dilapisi oleh suatu simpai fibrosa

tipis. Ginjal memiliki korteks di luar dan medula di dalam. Pada manusia, medula ginjal terdiri atas 8-15 struktur berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal, yang

(39)

lobus ginjal. Setiap ginjal terdiri atas 1-1,4 juta unit fungsional yang disebut nefron (Mescher, 2010).

Fungsi utama dari ginjal yang sebagian besar membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal yaitu mempertahankan keseimbangan H2O di

tubuh, mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion, mempertahankan volume plasma yang tepat, membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan

produk akhir atau sisa metabolisme tubuh, mengeluarkan banyak senyawa asing misal obat dan bahan aditif makanan, menghasilkan eritropoietin, menghasilkan

renin dan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2011). Beberapa efek toksik zat beracun terhadap ginjal seperti berikut ini : a. Nekrosis

Nekrosis dapat terjadi di berbagai tempat pada ginjal seperti tubulus proximal, tubulus distal, medula, papila, dan tempat lainnya. Nekrosis ini ditandai

dengan sitoplasmik eosinofilik dan piknosis atau karioreksis dari inti sel. Nekrosis dapat memicu adanya respon inflamasi akut. Nekrosis dapat terjadi sebagai respon langsung adanya metabolit atau xenobiotika tetapi dapat pula merupakan efek

sekunder dari iskemik. Nekrosis papila sering terjadi di nefropati tubulus ginjal karena berhubungan dengan fungsi tubulus distal dalam mengatur keseimbangan

(40)

b. Perubahan pada glomerulus

Glomerulus merupakan organ target yang jarang dipengaruhi oleh bahan

beracun. Organ ini dapat dipengaruhi oleh bahan beracun baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh perubahan yang terjadi pada glomerulus yaitu

glomerulonefritis, nefritis interstitial, edema, dan perubahan lainnya (Frazier, Seely, Hard, Betton, Burnett, Nakatsuji, et al., 2012).

2. Usus

Organ usus dibagi menjadi dua, yaitu usus halus dan usus besar. Usus halus

merupakan tempat akhir berlangsungnya pencernaan, absorpsi nutrien, dan sekresi endokrin. Peristiwa pencernaan dituntaskan dalam usus halus, tempat nutrien (hasil pencernaan) diabsorpsi oleh sel-sel epitel pelapis. Usus halus relatif

panjang sekitar 5 meter dan terdiri atas tiga segmen yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Segmen-segmen tersebut memiliki banyak kemiripan ciri (Mescher,

2010).

Usus besar terdiri atas kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum membentuk kantung buntu di bawah pertemuan antara usus halus dan usus besar

di katup ileosekum. Tonjolan kecil seperti jari di dasar sekum adalah apendiks, suatu jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon yang membentuk

sebagian besar usus besar tidak bergelung seperti usus halus tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus – kolon asenden, kolon transversum, dan kolon desenden. Bagian terakhir kolon desenden membentuk huruf S membentuk kolon

(41)

organ pengering dan penyimpan selain itu juga menyerap garam dan air dan mengubah isi lumen menjadi feses (Sherwood, 2011).

Beberapa respon toksik yang dapat timbul di usus akibat pemberian bahan beracun antara lain sebagai berikut.

a. Erosi, ulcer, dan inflamasi

Lapisan mukosa usus halus dilapisi oleh selapis sel epitel kolumnar dengan kerentanan yang sama dengan mukosa lambung. Secara patologis ulser ini mirip

dengan yang terjadi di lambung. Inflamasi yang tersebar pada usus besar disebut enteritis dan pada kondisi parah/kronis dapat menyebabkan adanya hemoragi tetapi

bila kerusakan sel masih ringan dan berpengaruhi bagian vili.

Vili usus dapat dirintangi oleh suatu bahan beracun yang menghambat pembelahan sel-sel prekursor yang cepat dalam kriptus di dasar vilus, mempercepat

pembelahan sel, atau menimbulkan respons immunologis yang menimbulkan atropi vili. Beberapa kondisi kerusakan pada vili akan berpengaruh pada feses yang

dihasilkan. Biasanya feses akan berwarna hitam (Glaister, 1986 ; Turton dan Hooson, 2005).

b. Diare

Respon ini biasa terjadi terhadap ingesti bahan beracun. Dalam beberapa kasus gejala ini berhubungan dengan luka mukosa usus seperti enteritis.

Faktor-faktor penyebab diare bervariatif seperti infeksi, motilitas usus, maupun karena malabsorbsi. Malabsorbsi dapat dikarenakan adanya penyakit penyerta lain yang membuat adanya penurunan luas permukaan usus halus (Glaister, 1986 ; Turton

(42)

3. Limpa

Limpa adalah organ limfoid terbesar dalam tubuh dan satu-satunya organ yang

terlibat dalam filtrasi darah sehingga limpa merupakan organ penting pada pertahanan terhadap antigen dalam darah. Organ ini juga menjadi tempat penghancuran eritrosit tua.

Sebagaimana halnya organ limfoid sekunder lainnya, limpa adalah tempat produksi antibodi dan limfosit aktif yang dihantarkan ke dalam darah (Mescher, 2010).

Limpa terdiri atas jaringan retikular yang mengandung sel-sel retikular, banyak

limfosit dan sel darah lain, makrofag dan APC. Pulpa limpa memiliki dua komponen, pulpa putih dan pulpa merah. Massa kecil pulpa putih terdiri atas nodul limfoid dan

selubung periarteriolar, sementara pulpa merah terdiri atas sinusoid yang berisi darah dan korda limpa (korda Bilroth) (Mescher, 2010).

Limpa bukan merupakan organ yang vital pada orang dewasa meskipun

mempunyai fungsi imunogenik yang memproduksi antibodi, fungsi fagosit dari sitem retikuloendotelial, dan fungsi penghancuran eritrosit. Limpa selain itu juga

berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah yang kemudian dapat dilepaskan ke dalam sirkulasi dengan kontraksi otot polos di dalamnya. Fungsi hematopoesis dari limpa hanya di dapatkan pada masa fetus (Wibowo dan Paryana, 2009).

Manifestasi klinik utama gangguan limpa adalah pembesaran limpa (splenomegali). Limpa normal tidak dapat teraba. Splenomegali dapat terjadi pada

hipersplenisme (penyakit yang berhubungan dengan aktivitas berlebihan dan pembesaran limpa) dengan anemia, leukopenia, dan trombositopenia akibat meningkatnya perombakan sel-sel tersebut di hati (Chandrasoma dan Taylor,

(43)

degeneratif lesi seperti atropi dan fibrosis. Perubahan ini dapat terjadi secara spontan, pengaruh umur, xenobiotika yang mempengaruhi secara langsung

maupun tidak langsung (Suttie, 2006).

4. Lambung

Lambung adalah organ campuran eksokrin endokrin yang mencerna makanan dan menyekresi hormon. Organ ini dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pembedaan anatomik, histologis, dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di atas

lubang esofagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus. Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis tetapi bagian bawah lambung, antrum, memiliki otot

jauh lebih tebal. Perbedaan ketebalan otot ini memiliki peran penting dalam motilitas lambung di kedua regio tersebut. Juga terdapat perbedaan kelenjar di mukosa regio ini. Bagian terminal lambung adalah sfingter pilorus yang bekerja sebagai sawar antara

lambung dan bagian atas usus halus (Sherwood, 2011).

Letak lambung ada di dalam perut bagian atas mulai dari hypochondrium kiri

sampai epigastrium dan kadang-kadang mencapai regio umbilicalis. Lambung dapat membesar sampai mencapai kapasitas dua sampai tiga liter dan tidak mempunyai bentuk yang tetap. Dalam keadaan kosong mempunyai ukuran seperti colon dan bentuknya

menyerupai huruf J. Bentuk ini dapat berubah tergantung pada isi, posisi tubuh, dan pernafasan (Wibowo dan Paryana, 2009).

Fungsi utama lambung ada tiga dimana fungsi terpenting lambung adalah menyimpan makan yang masuk sampai makanan dapat disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan yang optimal. Fungsi yang

(44)

pencernaan protein. Fungsi terakhir melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan

campuran cairan kental atau kimus (Sherwood, 2011).

Beberapa respon patologis yang sering terjadi pada organ lambung seperti

yang disebutkan berikut: a. Gastritis

Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa lambung. Gastritis dapat

berupa gastritis kronik maupun gastritis akut. Gastritis dapat disebabkan karena adanya infeksi Helicobacter pylori, keasaman lambung, enzim peptik, maupun

xenobiotika (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

b. Ulcer lambung

Ulcer lambung dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada ulcer

lambung akut biasanya ditandai dengan adanya multipel lesi. Penyebab adanya ulcer lambung antara lain trauma berat, pasca oprasi, hemoragi intraserebral, serta

pemaparan kronik dari xenobiotika misal karena obat NSAIDs dan kortikosteroid yang cenderung iritatif lambung (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

5. Jantung

Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmis, memompa darah

(45)

utama atau tunika: endokardium di dalam, miokardium di tengah, dan epikardium di luar (Mescher, 2010).

Letak jantung ada di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara sternum (tulang dada) di sebelah anterior dan vertebra (belakang) di posterior. Jantung berfungsi

sebagai pompa yang memberi tekanan pada darah untuk mengalirkan darah ke jaringan. Seperti semua cairan, darah mengalir menuruni gradien tekanan dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan tekanan rendah (Sherwood, 2011).

Bahan-bahan toksik terhadap jantung mungkin mengganggu fungsi jantung dengan proses berikut pada beberapa tempat.

a. Kardiomiopati (CMP)

Istilah kardiomiopati sering digunakan untuk penyakit yang menunjukkan adanya perubahan fungsi dari miokardial. Penyebab kardiomiopati berupa IHD

(ischemic cardiomyopathy), kardiak hipertropi, penyakit infeksi (kardiomiopati viral), obat maupun senyawa-senyawa xenobiotika yang menginduksi

kardiomiopati. CMP primer atau idiopatik merupakan kelainan miokardium yang tidak diketahui sebabnya atau gangguan yang timbul tanpa adanya iskemi, hipertensi, kelainan bawaan, kelainan katup, dan bentuk penyakit jantung lainnya.

CMP sekunder adalah penyakit otot jantung yang penyebabnya diketahui atau merupakan penyakit sistemik yang jelas (Klaassen, 2001).

b. Hipertropi kardiak dan gagal jantung

Peningkatan masa otot jantung disebut hipertropi kardiak. Efek ini biasanya merupakan respon kompensasi terhadap meningkatnya kerja jantung. Kardiak

(46)

perubahannya belum dapat diketahui. Kardiak hipertropi sering ditemui karena adanya pemaparan secara kronik dari adanya xenobiotika. (Klaassen, 2001).

6. Paru-paru

Sistem pernafasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang yang

menghubungkan tempat pertukaran gas dengan lingkungan luar. Udara digerakkan melalui paru oleh suatu mekanisme ventilasi yang terdiri atas rongga toraks, otot interkostal, diafragma, dan komponen elastis jaringan paru (Mescher, 2010).

Pulmo atau paru-paru adalah organ pernafasan yang penting karena udara yang masuk dapat berhubungan secara erat dengan darah kapiler di dalam

paru-paru. Tiap paru-paru melekat pada jantung dan trakea melalui radix pulmonis dan ligamentum pulmonale. Paru-paru sehat selalu berisi udara dan akan mengapung bila dimasukkan ke dalam air. Paru-paru orang dewasa mempunyai permukaan yang

berwarna lebih gelap dan sering ada bercak-bercak yang disebabkan oleh penimbunan partikel debu yang terisap. Dibandingkan dengan paru-paru kiri, maka

paru-paru kanan lebih besar dan lebih berat tetapi lebih pendek karena kubah diafragma kanan letaknya lebih tinggi. Paru-paru kanan juga lebih lebar karean adanya jantung yang letaknya lebih ke kiri dalam rongga toraks (Wibowo dan

Paryana, 2009).

Bentuk reaksi pada sistem pernafasan dapat dibagi menjadi 2, yaitu

pada bagian air-system conducting dan respiratory area. Air-conducting system bentuk reaksi dari kerusakan sel, inflamasi, dan perbaikan dapat mempengaruhi pada epitel dan struktur sekitar. Pada luka akut, epitelium dapat mempengaruhi

(47)

syncytial epithelial giant cell dan nekrosis pada epitelium. Sedangkan luka kronik

dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel goblet, bahkan bila dalam waktu yang

berlanjut dapat menyebabkian adanya squamous metaplasia dari epitelium dan hiperplasia epitelium dan metaplasia sel goblet (van Dijk, Gruys, Mouewen, 2007).

7. Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg atau sekitar 2% berat tubuh orang dewasa dengan lobus kanan yang besar dan lobus

kiri yang lebih kecil. Hati merupakan kelenjar terbesar dengan letak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati menjadi perantara sistem perncernaan dengan

darah. Organ dalam saluran cerna tempat penyerapan nutrien yang digunakan di bagian tubuh lain. Kebanyakan darah di hati (70-80%) berasal dari vena porta yang berasal dari lambung, usus, dan limpa; sisanya (20-30%) disuplai oleh hepatika.

Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat optimal untuk menampung, mengubah, dan mengumpulkan metabolit dari darah serta untuk menetraliasi dan

mengeluarkan zat toksik dalam darah (Mescher, 2010).

Hati selain memiliki fungsi dalam sistem pencernaan melalui sekresi garam empedu, tetapi juga memiliki fungsi lain, yaitu memproses secara metabolis ketiga

kategori utama nutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna, mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon

serta obat dan senyawa asing lainnya, membentuk protein plasma termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah. Hati juga berfungsi menyimpan

(48)

vitamin D, mengeluarkan bakteri dan sel darah merah yang sudah tua serta mengeskresikan kolesterol dan bilirubin (Sherwood, 2011).

Hati sering menjadi sasaran utama kerusakan karena beberapa hal. Hati memiliki kapasitas tinggi untuk mengikat zat kimia. Hal ini mungkin berkaitan

dengan kenyataan bahwa hati merupakan tempat terpenting bagi eliminasi, berturut-turut metabolisme, dan ekskresi racun dari dalam tubuh (Donatus, 2001).

Efek toksik zat beracun terhadap hati antara lain sebagai berikut.

a. Perubahan lemak/lipidosis

Perubahan lemak/lipidosis dapat ditandai dengan adanya vakuola-vakuola

berbatas jelas pada bagian sitoplasma sel dan memberikan penampakan yang foamy. Perubahan lemak atau lipidosis ini dapat disebabkan karena beberapa agen

yang berbeda dan biasanya dibedakan menjadi mikrovesikular dan makrovesikular.

Makrovesikular lipidosis merupakan reaksi yang disebabkan karena luka dan dapat juga merupakan adaptasi fisiologi karena ketidakseimbangan antara lemak yang

diambil dari darah dan pengeluaran lipoprotein dari hepatosit. Mikrovesikular lipidosis biasanya mengindikasikan adanya disfungsi hati yang lebih serius tetapi dapat juga dikarenakan adanya gangguang nutrisi. Xenobiotika dapat mnginduksi

mikrovasikular maupun makrovesikular lipidosis (Thoolen, Maronpot, Harada, Nyska, Rousseaux, Nolte, et al., 2010).

b. Hipertropi hepatoselular

Hipertropi hepatoselular sering disebut pula hepatositomegali. Kondisi ini sering terjadi karena adanya gangguan pada induksi enzim metabolik yang

(49)

ini dapat disebabkan karena adanya xenobiotika. Pada beberapa kasus, hipertropi hepatoselular sering disertai pula dengan hepatoselular degenerasi dan nekrosis.

Penanda adanya hipertropi umumnya yaitu peningkatan berat hati (Thoolen, et al., 2010).

c. Hepatoselular atropi

Patogenesis hepatoselular atropi yaitu kurangnya asupan pakan (kelaparan), perubahan hemodinamik, maupun tekanan atropi dari neoplasia.

Penanda adanya hepatoselular atropi, yaitu pengurangan ukuran dari hepatosit, nukleus hepatosit yang umumnya berukuran lebih kecil dan adanya pengurangan

jumlah glikogen maupun mitokondria secara ultrastruktural (Thoolen, et al., 2010). d. Degenerasi hidropik

Degenerasi hidropik sering ditandai dengan adanya vakuola pada

sitoplasma. Gangguan pada integritas membran sel dapat menyebabkan adanya akumulasi cairan intrasitoplasmik yang menyebabkan pembesaran atau ballooning

pada sel. Agen penyebab degerasi hidropik ini dapat karena xenobiotika dan merupakan prekursor nekrosis hepatosit (Thoolen, et al., 2010).

e. Nekrosis

Nekrosis merupakan perubahan yang ireversibel. Nekrosis secara morfologi dapat nampak sendiri atau kombinasi dengan perubahan yang lain.

Nekrosis berdasar jumlahnya dapat dibedakan menjadi nekrosis sel tunggal maupun fokal/multifokal sedangkan berdasarkan letaknya dapat dibedakan menjadi nekrosis sentrilobular, midzonal maupun periportal. Nekrosis pada

(50)

karena adanya xenobiotika. Nekrosis hepatoselular dapat terjadi pula karena spontan atau toksin (Thoolen, et al., 2010).

E. Keterangan Empiris

Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui toksisitas akut infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) yang dinyatakan dengan LD50, gejala toksik,

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan

rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dosis

pemberian infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)

b. Variabel tergantung.Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tolok ukur kuantitatif yang dilihat dari nilai LD50, sedangkan tolok ukur kualitatif yang

dilihat dari gejala toksik, wujud, dan sifat efek toksik.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini antara lain, mencit jantan dan betina galur Swiss, berat badan 20-30 g dari Lab Imono, umur 1,5-2,5 bulan, frekuensi pemberian infusa satu kali dalam

24 jam hari pertama, rute pemberian peroral, biji alpukat dari Es Teller 77 Galeria Yogyakarta pada bulan Juni 2014 yang diambil dari perkebunan Klaten yang

memiliki waktu panen yang sama, makanan dan minuman dari Lab Imuno.

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis dan fisiologis mencit jantan dan mencit

(52)

3. Definisi operasional

a. Biji alpukat (Persea americana Mill.). Biji alpukat (Persea americana

Mill.) adalah biji alpukat berbentuk bulat yang diambil dari tanaman Persea americana Mill. dengan warna kuning, segar, dan tidak bercacat. Biji digunakan

dalam bentuk serbuk yang dibuat di lab Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma.

b. Dosis infusa biji alpukat (Persea americana Mill.). Infusa biji alpukat

(Persea americana Mill.) yang diperoleh dengan mengekstraksi sediaan herbal sebanyak 8 gram dengan pelarut aquadest 100,0 ml suhu 90oC selama 15 menit dengan konsentrasi 8% b/v dibagi mejadi empat peringkat dosis dengan rentang dosis dari yang tidak mematikan seluruh hewan uji sampai hampir atau mematikan seluruh hewan yaitu dosis I = 230,09 mg/kgBB; dosis II = 520,00 mg/kgBB; dosis

III = 1175,20 mg/kgBB; dosis IV = 2655,95 mg/kgBB.

c. Lethal dose 50 (LD50). Lethal dose 50 adalah dosis tunggal suatu zat yang

secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan uji

d. Gejala. Gejala didefinisikan sebagai gejala klinis maupun toksik yang muncul karena pemejanan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) yang

meliputi gerakan (tremor, konvulsi, paralisis, keterpaksaan gerak, tidur), reaktif terhadap rangsangan dan refleks (beringas, pasif), perubahan perilaku (perubahan

sikap/aneh seperti lompat dan berputar berlebihan atau menggeliat, penjilatan, pencakaran, vokalisasi luar biasa, gelisah), sekresi (salivas, lakrimasi), nafas (bradipnea, trakipnea), kardiovaskuler (vasodilatasi), perubahan kulit dan bulu,

(53)

e. Wujud. Wujud didefinisikan sebagai kecenderungan wujud perubahan struktural yang dapat dilihat dari perubahan histopatologik organ hewan uji dengan

membandingkan perbedaan organ mencit kontrol dan organ mencit yang diberi perlakuan infusa biji alpukat.

f. Sifat. Sifat didefinisikan sebagai kecenderungan sifat efek toksik senyawa uji yang dapat dikategorikan menjadi sifat terbalikkan dan sifat tak terbalikkan yang dilihat dari uji reverbilitas dan diidentifikasi melalui hasil histopatologik

organ hewan uji.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan, yaitu mencit galur Swiss dengan umur 1,5-2,5

bulan dan berat badan 20-30 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian dengan hewan coba

telah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (Lampiran 7).

b. Biji alpukat bentuk bulat (Persea americana Mill.) yang diperoleh dari Es

(54)

2. Bahan kimia

a. Pelarut untuk infusa dan kontrol negatif uji toksisitas akut digunakan

aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Pelet AD-2 digunakan sebagai asupan makan mencit sedangkan asupan minum menggunakan air reverse osmose (RO) yang diperoleh dari Laboratorium Imono, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

c. Pengawet formalin 10% yang dibuat dengan mengencerkan formalin 30% dengan aquadest sesuai volume yang dikehendaki untuk mencapai konsentrasi

10%. Formalin 30% diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

D. Alat atau Instrumen Penelitian

1. Alat pembuat serbuk biji alpukat (Persea americana Mill.)

Timbangan digital, ayakan no.40, blender, oven, dan wadah penyimpanan serbuk biji alpukat.

2. Alat penetapan kadar air

Timbangan, sendok, alat moisture balanced, stopwatch.

3. Alat pembuatan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)

(55)

4. Alat uji toksisitas dan pemeriksaan histopatologik

Seperangkat alat gelas berupa Bekker glass, gelas ukur, tabung reaksi,

pipet tetes, timbangan elektrik, spuit per oral syringe 1 cc untuk pemejanan aquadest dan infusa, alat bedah, pot penyimpan organ, mikroskop untuk memeriksa

preparat histopatologi, kamera untuk memotret preparat histopatologi.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman Persea americana Mill

Determinasi dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Pengumpulan bahan

Bahan uji yang digunakan adalah biji Persea americana Mill. yang

diperoleh dari Es Teller 77 Galeria Yogyakarta pada bulan Juni 2014 yang diambil dari perkebunan Klaten yang memiliki waktu panen dan waktu tumbuh

yang sama.

3. Pembuatan serbuk biji alpukat

Serbuk dicuci bersih di bawah air mengalir, dipotong-potong, disortir dan

dikeringanginkan hingga tidak tampak basah lagi kemudian pengeringan dengan oven suhu kurang dari 60oC. Biji yg kering kemudian diserbukkan dan

(56)

4. Penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill.

Sampel serbuk biji Persea americana Mill. yang sudah diayak sebanyak 5

g dimasukkan ke dalam alat moisture balanced pada suhu 1050C selama 15 menit, kemudian persen kadar air akan muncul pada alat moisture balanced

secara otomatis.

5. Pembuatan infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)

Caranya serbuk kering ditimbang 8,0 g dan dimasukkan dalam panci

enamel lalu dibasahi dengan aquadest sebanyak 2 kali bobot bahan yang ditimbang yakni 16 mL aquadest. Pelarut aquadest kemudian ditambahkan

sebanyak 100,0 mL. Panci enamel dipanaskan pada suhu 900 C dan dijaga tetap dalam suhu tersebut selama 15 menit. Waktu 15 menit dihitung ketika suhu campuran mencapai 90o C. Campuran tersebut setelah 15 menit diambil dan

diperas selagi hangat dengan menggunakan kain flannel kemudian bila perlu ditambahkan aquadest panas melalui ampas hingga didapatkan volume 100,0

mL infusa biji.

6. Penetapan dosis infusa Persea americana Mill.

Penetapan dosis didasarkan dosis yang digunakan pada masyarakat, yaitu

kurang lebih 2 sendok makan (4g). Dosis pada manusia 4g/70 kgBB. Dosis dikonversi untuk mencit. Faktor konversi dari manusia 70kg ke mencit 20 g

adalah 0,0026. Jadi dosis untuk mencit 20 g sebagai berikut : Dosis infusa untuk mencit 20 g= 4g/70kgBB X 0,0026

(57)

Penetapan dosis maksimal dengan menggunakan volume maksimal 1 mL yang dapat diberikan pada mencit. Berat badan maksimal 30 g dan

menggunakan konsentrasi infusa maksimal yang dapat dibuat 8% b/v (Yoseph, 2013) adalah

DxBB = CxV

D x 30g = 8g/100mL x 1 mL

D = 0,00267 g/gBB = 2670 mg/kgBB

Penelitian ini dibuat empat peringkat dosis dan dosis 520 mg/kgBB digunakan sebagai dosis ke-2 sedangakan 2670 mg/kgBB digunakan sebagai dosis ke-4.

Sehingga dari dosis peringkat tinggi dan peringkat rendah dicari faktor pengali yang berguna untuk peringkat dosis.

Faktor pengali = √ � � ���

� �ℎ

�−

= √2 0 �/����

20 �/���� 4−

=2,26

Peringkat dosis yang didapatkan, yaitu

Dosis I = 520 mg/kgBB : 2,26 = 230,09 mg/kgBB;

Dosis II = 520,00 mg/kgBB;

Dosis III = 520 mg/kgBB x 2,26 = 1175,20 mg/kgBB; Dosis IV = 1175,20 mg/kgBB x 2,26 = 2655,95 mg/kgBB.

7. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Penelitian ini membutuhkan lima puluh ekor mencit (25 jantan, 25 betina).

Pengelompokan dilakukan dengan membagi secara acak lima puluh mencit ke dalam lima kelompok perlakuan menggunakan undian, masing-masing kelompok sejumlah sepuluh ekor mencit (5 jantan, 5 betina). Kelompok I, yaitu

(58)

diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis terendah 230,09 mg/kgBB. Kelompok perlakuan III diberi infusa biji alpukat (Persea

americana Mill.) dengan dosis peringkat ke 2, yaitu 520,00 mg/kgBB. Kelompok perlakuan IV diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.)

dengan dosis peringkat ke 3, yaitu 1175,20 mg/kgBB. Kelompok perlakuan V diberi infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan dosis tertinggi 2655,95 mg/kgBB. Mencit diadaptasikan terlebih dahulu pada lingkungan uji

selama satu minggu. Mencit dipuasakan selama 3-4 jam sebelum perlakuan dengan tetap diberikan air minum setelah itu pemberian infusa biji Persea

americana Mill. dilakukan secara peroral, sekali hanya hari pertama. Analisis

dilakukan dengan melihat sebagai berikut. a. jumlah kematian,

b. gejala klinis dan efek toksik yang meliputi gerakan (tremor, konvulsi, paralisis, keterpaksaan gerak, tidur), reaktif terhadap rangsangan dan refleks

(beringas, pasif), perubahan perilaku (perubahan sikap/aneh seperti lompat dan berputar berlebihan atau menggeliat, penjilatan, pencakaran, vokalisasi luar biasa, gelisah), sekresi (salivas, lakrimasi), nafas (bradipnea, trakipnea),

kardiovaskuler (vasodilatasi), perubahan kulit dan bulu, saluran cerna (diare, sembelit) (Dipasquale dan Hayes, 2001 ; Badan POM, 2014).

c. histopatologis pada organ hati, ginjal, usus, limpa, lambung, jantung, dan paru-paru setelah 24 jam dan dilanjutkan hingga 14 hari bila tidak terjadi kematian dan diamati pula histopatologisnya untuk mengetahui sifat efek toksik

(59)

preparat dan pemeriksaan histopatologik dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang diperoleh dianalisis dan dievaluasi untuk memperoleh tolok ukur

toksisitas baik kuantitatif maupun kualitatif. Analisisnya adalah sebagai berikut. 1. Data jumlah kematian masing-masing kelompok (bila ada) selama 24 jam

digunakan untuk mengetahui nilai LD50.

2. Data gejala yang timbul setelah pemejanan diamati 24 jam dan dilanjutkan sampai hari ke 14 bila tidak terjadi kematian.

3. Data pemeriksaan histopatologi setelah 24 jam dan setelah 14 hari digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik yang timbul akibat pemejanan (sifat dan wujud efek toksik).

4. Data perubahan berat badan dianalisis dengan tren perubahan purata berat badan pada hari ke 0,7, dan 14 untuk melihat apakah ada perubahan berat

(60)
[image:60.595.99.543.114.722.2]

G. Skema Alur Penelitian

Gambar 1. Skema alur penelitian

Hewan uji dikelompokkan secara acak dan diadaptasikan selama 1 minggu sebelum memulai perlakuan

Hewan uji dipuasakan selama 3-4 jam sebelum perlakuan dengan tetap memberikan air minum

Hewan uji ditimbang dan dibandingkan antara hari ke 0, 7 maupun 14

Hewan uji diberi infusa biji alpukat secara peroral

Dosis 1 Infusa biji alpukat 230,09 mg/kgBB Dosis 2 Infusa biji alpukat 520,00 mg/kgBB Dosis 3 Infusa biji alpukat 1175,20 mg/kgBB Dosis 3 Infusa biji alpukat 2655,95 mg/kgBB Kel.Kontrol Aquadest 33,33 g/kgBB

Dilakukan pengamatan gejala (sesering mungkin pada 6 jam pertama, dan dilanjutkan sampai hari 14 bila tidak ada kematian) dan

jumlah kematian

Setelah 24 jam, dilakukan pembedahan, diambil organ ginjal, usus, limpa, jantung, paru-paru, hati, dan lambung untuk melihat

histopatologiknya (2 jantan, 3 betina)

Hewan uji sisa (3 jantan, 2 betina) dibiarkan hidup tanpa pemberian infusa biji alpukat maupun aquadest selama 14 hari untuk uji reversibilitas dan dilakukan pembedahan untuk melihat

histopatologiknya.

(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan gambaran umum

tentang toksisitas akut infusa biji alpukat (Persea americana Mill.) dan khususnya mengetahui nilai ketoksikan akut yang dinyatakan dengan kisaran LD50, gejala

toksik, wujud dan sifat akibat pemejanan infusa biji alpukat pada mencit galur

Swiss yang dilihat melalui pengamatan histopatologik.

A. Determinasi Biji Alpukat

Determinasi dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM dengan tujuan untuk identifikasi, menghindari agar tidak ada kekeliruan dengan tanaman lain sehingga memastikan bahwa tanaman yang dimaksud adalah Persea

americana Mill. Hasil determinasi yang dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM menunjukkan bahwa tanaman benar-benar merupakan

tanaman alpukat dengan nama ilmiah Persea americana Mill. dan hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 6.

B.Penetapan Kadar Air Serbuk Kering Biji Persea americana Mill.

Penetapan kadar air dilakukan pada biji alpukat yang telah mengalami pengeringan dan berubah menjadi serbuk dengan tujuan untuk mengecilkan ukuran

partikel sehingga permukaan serbuk yang kontak

Gambar

Tabel XII.
Gambar 3. Perubahan berat badan mencit betina selama pemberian infusa
Tabel I. Taksonomi P. americana Mill.
Tabel II. Skrining fitokimia ekstrak biji Persea americana Mill. dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa infusa biji Parinarium glaberimum Hassk memiliki efek antidiare pada mencit betina galur Swiss dengan metode transit intestinal pada

Data asupan minum juga dijadikan sebagai data pendukung penelitian ini. Hewan uji diberikan minuman yang sama reverse osmosis 100 ml setiap harinya. Volume

maupun kelompok perlakuan infusa biji Persea americana Mill., data berat badan selanjutnya dilakukan analisis menggunakan uji General Linear Model (Multivariate) terhadap

Hasil analisis dengan uji ANOVA satu arah dan uji LSD nilai persen penghambatan inflamasi pada uji antiinflamasi infusa biji alpukat..

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh infusa Daun Afrika terhadap histopatologi ginjal mencit galur BALB/c.. Sampel berupa mencit jantan galur

Efek toksik muncul pada mencit kelompok dosis ekstrak etanol 10 g/KgBB dan 100 g/KgBB berupa perubahan tingkah laku gelisah, kejang dan mati, serta gambaran

Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa rerata penurunan hiperkolesterol darah mencit pada beberapa perlakuan yaitu P1, P2, P3 dan P4 dengan nilai berturut-turut 108.00, 110.67,

Berdasarkan uji post hoc Bonferroni, rata-rata kumulatif geliat, rata-rata persen proteksi geliat, dan rata-rata perubahan persen proteksi kelompok perlakuan ekstrak