• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Inisiasi dan Inovasi dari Multi Sektor dalam Percepatan Pencegahan

Stunting”

Praktik baik atau Good Practices dapat didefinisikan sebagai cara paling efisien dan efektif untuk menyelesaikan suatu tugas, berdasarkan suatu prosedur yang dapat diulangi yang telah terbukti ampuh untuk banyak orang dalam jangka waktu yang cukup lama. Istilah ini juga sering digunakan untuk menjelaskan proses pengembangan suatu cara standar untuk melakukan suatu hal yang dapat digunakan oleh berbagai organisasi.

Banyak daerah telah mencoba melakukan intervensi-intervensi dalam upaya percepatan pencegahan stunting dengan pendekatan kearifan lokal. Beberapa kabupaten telah mencapai hasil yang baik sehingga dapat dijadikan contoh atau inspirasi. Intervensi-intervensi ini ada yang berasal dari inisiatif pemerintah daerah, tetapi ada juga buah hasil kemitraan dengan pihak swasta atau dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Gambar 12. Sesi Talkshow Praktik Baik oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak.

Sesi praktik baik, diawali dengan menghadirkan Bapak Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur) dan Bapak Mulkan (Bupati Bangka). Bapak Emil Dardak menyoroti masalah stunting di Jawa Timur. Beliau menyatakan, “Kita tidak bisa menganggap bahwa stunting hanya untuk keluarga miskin, namun memang ada korelasi antara stunting dan kemiskinan. Political will harus berawal dari pimpinan karena melibatkan lintas OPD,” tambah Bapak Emil. “Yang perlu diingat bahwa intervensi multidimensi ini diharapkan bisa dilaksanakan,” tandasnya. Lebih dari itu, informasi berdasarkan gambar World Hunger Map menyatakan bahwa Indonesia bukan tempat yang mengalami kelaparan akut. Ketahanan pangan Indonesia relatif baik sehingga hal ini seharusnya menjadikan stunting bisa lebih mudah dicegah. Jawa Timur berpenduduk 40 juta jiwa dan memiliki angka prevalensi stunting bervariasi dari 20,86% - 47,92% (2018) dan 22,7% - 56,4%

(2013). Terdapat 12 kabupaten/kota yang menjadi lokus stunting di Jawa Timur, untuk mengatasi stunting misalnya dapat dilakukan dengan pendekatan budaya lokal. Jawa Timur memiliki budaya Mataraman (45%), Madura (30%), Arek (20%), Osing dan Tengger (5%).

Karenanya ada beberapa hal yang dilakukan oleh Pemerintah Jatim:

Pendekatan berbasis tokoh agama sangat penting dilakukan. Sebagai contoh, ibu Kyai di Madura menjadi tokoh penting dalam program stunting. Secara keseluruhan dalam konteks ini harus melihat bagaimana kondisi sosial ekonomi dan pendekatan yg paling efektif.

Keterlibatan kader kesehatan masyarakat dalam mengukur berat badan balita dilakukan secara periodik.

Peningkatan fungsi Puskesmas juga ditingkatkan. Puskesmas memiliki dua fungsi yakni kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat.

Kecenderungan saat ini adalah Puskesmas dibangun seperti rumah sakit mini seperti penyediaan rawat inap, tetapi hal ini jangan sampai melupakan fungsi utama Puskesmas.

Sebagai tambahan masalah sanitasi juga perlu diperhatikan, misalnya BAB (Buang Air Besar) di pinggir sungai.

Dari segi praktik pendanaan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur memberikan panduan apa yg seharusnya dapat dipenuhi di desa, seperti penggunaan Dana Desa yang tidak hanya untuk pembangunan fisik.

Sesuai dengan Stranas Stunting 2018 – 2024, Provinsi Jawa Timur sedang mempersiapkan Peraturan Gubernur. Sementara itu, Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Wali Kota (Perwali) penurunan stunting ada di 9 kab/kota. Hal ini sesuai dengan Pilar 1 Stranas Stunting. Pada tahun 2019, rapat koordinasi Tim Kelompok Kerja (Pokja) stunting dilakukan setiap triwulanan. Sementara itu, Rencana Aksi Daerah dan Gizi (RADPG), pemanfaatan makanan lokal juga dilakukan. Penilaian kinerja kab/kota lokus stunting dilakukan sesuai dengan Pilar 5 Stranas Stunting. Sementara itu untuk memastikan keterpaduan data, untuk melihat intervensi sensitif dan spesifik tidak hanya dipantau oleh Dinkes, tetapi semua OPD terkait.

Jawa Timur juga telah melakukan ranking sesuai 8 Aksi Konvergensi berdasarkan penilaian paling inovatif (Malang), paling replikatif (Probolinggo), inspiratif (Nganjuk). Dalam pelaksanaan 8 Aksi Cegah Stunting, Aksi 1 sampai 4 dari 8 Aksi Cegah Stunting telah dilakukan.

Sebagai tindak lanjut atas Percepatan Pencegahan Stunting di Jawa Timur, Pemprov akan mencoba meningkatkan dan memfasilitasi akses kepada pemangku kepentingan (stakeholder) yang dilibatkan. Pemprov juga akan membuat terobosan-terobosan baru dan meminta Kemendagri untuk melakukan penilaian kinerja. Lebih jauh, Pemprov juga akan memprioritaskan 15 kabupaten yang merupakan kantong kemiskinan.

Hal senada juga dipaparkan Bapak Mulkan (Bupati Bangka) menyikapi stunting di Kabupaten Bangka. “Daerah belum bisa dikatakan maju dan berkembang jika angka stunting tetap tinggi dan ini adalah pekerjaan rumah bagi kita di daerah,”

katanya. Angka prevelensi stunting Kabupaten Bangka sebesar 32,27% (2013) dan akibatnya adalah kerugian ekonomi yang ditaksir berjumlah Rp 293 milyar - Rp 439 milyar.

Untuk mengatasi masalah ini diperlukan komitmen dan keseriusan dari kepala daerah. Komitmen yang dimaksud adalah bagaimana mewujudkan SDM berkualitas dan berdaya saing. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka menerbitkan 3 Peraturan Daerah (Perda), 7 Perbup (Peraturan Bupati) dan 9 Surat Keputusan untuk mendukung percepatan pencegahan stunting. Pemkab Bangka juga menandatangani MoU dengan Kementarian Agama untuk membatasi usia pernikahan dini menjadi 17 tahun. Di samping itu, Pemkab juga mendukung

program-program terkait gizi ibu hamil dan pengasuhan seperti Bumil Resti, SMS Bunda Cerdas, PMT Bumil, Jampersal, Manajemen data kesehatan ibu, kelas ibu hamil, konseling gizi dan kesehatan, bina keluarga balita, parenting, akses PAUD, pengasuhan orang tua hebat, dan PMT balita.

Inovasi-inovasi terus ditumbuhkan dalam rangka penurunan prevalensi stunting seperti Program Kembang Desa, Public Service Center, Isbat Muda (legalisasi pernikahan dini) untuk pendataan keluarga, Bang Muda (Bangka Mudah Dapat Akta), dan menggunakan budaya pantun untuk sosialisasi stunting. Semua hal ini dilakukan Pemkab untuk peningkatan penurunan angka prevalensi stunting.

Dalam Stranas Stunting, pada Pilar 1 dijelaskan bahwa Pilar ini menjaga dan menindaklanjuti komitmen dan visi Presiden dan Wakil Presiden terhadap Percepatan Pencegahan Stunting dengan mengarahkan, mengkoordinasikan, dan memperkuat strategi, kebijakan, dan target pencegahan stunting.

Penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, kelompok-kelompok masyarakat, hingga rumah tangga.

Penetapan strategi dan kebijakan percepatan pencegahan stunting diselaraskan dengan sasaran World Health Assembly (WHA) 2025, dan agenda kedua dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Berbagai kegiatan terkait Pilar 1 dikoordinasikan oleh Setwapres.

Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah keterlibatan dunia usaha, universitas/akademisi, organisasi profesi, media, dan organisasi/kelompok masyarakat lainnya, dengan memobilisasi sumber daya dan mendorong partisipasi secara aktif dalam percepatan pencegahan stunting di kalangan masyarakat.

Kemitraan kelompok non pemerintah dengan pemerintah ini sudah banyak berjalan. Setwapres juga serius menggulirkan kemitraan swasta dan pemerintah dalam mendukung percepatan pencegahan stunting.

Sudah banyak inisiatif kemitraan sehingga upaya konvergensi tidak saja diantara lembaga milik pemerintah saja, tetapi juga kerjasama pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian dalam masalah stunting.

Dokumen terkait