• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDORONG KONVERGENSI PROGRAM PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) DI WILAYAH PRIORITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MENDORONG KONVERGENSI PROGRAM PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) DI WILAYAH PRIORITAS"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

“MENDORONG KONVERGENSI PROGRAM

PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL

(STUNTING) DI WILAYAH PRIORITAS”

(2)

TIM PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) - TP2AK SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Gedung Grand Kebon Sirih, Lantai 15 Jl. Kebon Sirih Raya No. 35,

Jakarta Pusat 10340 TP2AK

TIM PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

MENDORONG KONVERGENSI PROGRAM PERCEPATAN

PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) DI WILAYAH PRIORITAS

@ Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting), Setwapres Anda dipersilahkan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan karya ini untuk tujuan non-komersial.

Tautan materi acara Rapat Koordinasi Teknis ke-3 (1-4 Oktober 2019) http://bit.ly/paparanrakortek

Untuk meminta salinan publikasi ini, atau keterangan lebih lanjut mengenai publikasi ini, silahkan hubungi TP2AK - Unit Pengelolaan Pengetahuan & Komunikasi (KM & Com)

(3)

RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERCEPATAN PENCEGAHAN

STUNTING

JAKARTA, 1 - 4 OKTOBER 2019

(4)
(5)

I. Latar Belakang

II. Acara dalam Angka

III. “Sampai Dimana Komitmen Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Stunting?”

IV. Pendanaan Aksi Konvergensi Kabupaten/Kota pada Aksi Cegah Stunting

V. Konvergensi Stunting dari Sudut Pandang Kementerian

VI. Praktik Baik

“Inisiasi dan Inovasi dari Multi Sektor dalam Percepatan Pencegahan Stunting”

a. Kemitraan Pemerintah

VII. Lampiran

Daftar Isi

7 9

10 14 19

23 26 29 31

35 39 40

b. Kemitraan Swasta

c. Pengelolaan Data Inovatif

1. Wilayah Prioritas

2. Percepatan Pencegahan Stunting 3. Rakortek dalam Media

(6)
(7)

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 30,8% atau sekitar 8 juta balita Indonesia mengalami stunting. Sebanyak 228 kabupaten/kota mempunyai prevalensi stunting di atas 40 % (tergolong sangat tinggi). 190 kabupaten/

kota mempunyai prevalensi stunting antara 30-40 % (tergolong tinggi). Hanya 8 kabupaten/kota (1,6%) yang mempunyai prevalensi stunting di bawah 20%, (tergolong sedang dan rendah).

Berbagai program terkait pencegahan stunting telah diselenggarakan, namun belum efektif dan belum terjadi dalam skala yang memadai. Kajian Bank Dunia dan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa sebagian besar ibu hamil dan anak berusia di bawah dua tahun (baduta) tidak memiliki akses memadai terhadap layanan dasar, sementara tumbuh kembang anak sangat tergantung pada akses terhadap intervensi gizi spesifik dan sensitif, terutama selama 1.000 HPK (Hari Pertama Kehidupan).

Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mencapai target penurunan angka stunting pada baduta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 28% pada akhir tahun 2019. Diantaranya dengan mendorong peran dan keterlibatan pemerintah daerah khususnya melalui program-program inisiatif daerah. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) telah menetapkan 100 kabupaten/kota prioritas tahun 2018. Pada tahun 2019 ditambah menjadi 160 kabupaten/kota prioritas. Hingga tahun 2024 akan memperluas cakupan hingga ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Pemerintah Indonesia memanfaatkan instrumen Program untuk Hasil atau Program-for-Results (PforR) Bank Dunia. Skema PforR Investing in Nutrition and Early Years (INEY) ini berlangsung selama tahun 2018-2021 yang bertujuan mendorong konvergensi program pencegahan stunting di semua tingkatan.

Pelaksanaan PforR INEY akan didukung oleh komponen Investment Project Financing (IPF) yang dibiayai oleh hibah multi-donor Global Financing Facility (GFF). Komponen IPF akan digunakan untuk mendukung investasi yang bersifat katalitik untuk meningkatkan kapasitas pelaksanaan dan memperkuat sistem implementasi yang akan memberikan dasar pada reformasi jangka panjang dan kapasitas pelaksanaan yang berkelanjutan.

Latar Belakang

(8)

Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembanguan Manusia, bertugas memastikan sinkronisasi program-program percepatan pencegahan stunting di tingkat nasional, lokal, dan masyarakat.

Setwapres bekerja sama dengan 23 Kementerian/Lembaga untuk mendorong seluruh perencanaan, implementasi, termasuk pemantauan dan evaluasi pada semua program yang mendukung Stranas Stunting.

Sesuai tugas dan tanggungjawabnya, Setwapres menyelenggarakan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Ke-3 pada tanggal 1 – 4 Oktober 2019 di Jakarta.

Setwapres mengundang Kepala Daerah dan pimpinan OPD terkait dari 105 kabupaten/kota prioritas. Pertemuan nasional ini bertujuan membekali pemerintah daerah dalam melakukan percepatan pencegahan stunting di daerahnya masing-masing melalui informasi tentang kebijakan, praktik baik, serta cara melakukan pemetaan program/dana yang relevan dalam rangka percepatan pencegahan stunting. Rapat koordinasi ini juga menjadi sarana untuk meningkatkan koordinasi dan implementasi kebijakan, serta mempertajam pelaksanaan percepatan pencegahan (stunting) di wilayah prioritas.

Gambar 1. Asisten Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Abdul Muis, menyampaikan laporan penyelenggaraan acara.

(9)

Acara dalam Angka

33

Provinsi

25

Narasumber

56

Bupati

56

Komitmen yang ditanda- tangani Kepala Daerah

60

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi

420

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten

700

Peserta

(10)

“Sampai Dimana Komitmen Pemerintah Daerah dalam

Mengatasi Stunting?”

Gambar 3. Bambang Widianto, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Setwapres RI/Sekretaris Eksekutif TNP2K membuka acara Rapat

Angka prevalensi stunting sudah mengalami penurunan di beberapa daerah, namun masih ada yang memiliki prevalensi tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur (51,7%). Diperlukan kerja sama untuk menurunkan angka stunting. Problem stunting tidak dapat ditangani oleh sendiri-sendiri. Harus ada komitmen dari pimpinan tertinggi, mulai dari presiden dan wapres yang memimpin langsung penanganan stunting, dan gubernur serta bupati/walikota harus memimpin di tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai desa.

Saat ini dinilai program stunting cukup banyak dalam segi jumlah dan dana, namun kurang terintegrasi atau konvergen. “Jangan sampai di sebuah desa ada obat cacing namun desa tersebut tidak punya sanitasi, artinya kurang konvergen.

Kita punya dana, sekitar Rp 40 -50 trilyun, SDM juga ada. Kenapa sama dengan negara-negara Afrika? Berarti ada yang kurang,” kata Bapak Bambang Widianto, Deputi Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan/Sekretaris Eksekutif TNP2K, Sekretariat Wakil Presiden.

(11)

Bapak Bambang Widianto mengingatkan kembali bila di akhir acara para peserta mahir memetakan kegiatan yang terkait pencegahan stunting, dicontohkan pemetaan 5 desa yang telah dilakukan kabupaten Buleleng. Di akhir pelatihan pemetaan, peserta diharapkan bisa menyusun seperti Buku Pemetaan 5 Desa di Kabupaten Buleleng. “Jika untuk tahun depan peserta dapat memetakan kegiatan-kegiatan tersebut, maka stunting diharapkan bisa turun dengan cepat,”

kata Bambang. Perlu digarisbawahi bila pemetaan dilakukan untuk memastikan ketersediaan program, kegiatan dan anggaran serta cakupan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Kegiatan pemetaan ini menjadi bagian dari Aksi 1 Analisis Situasi yang merupakan salah satu tahapan dari 8 Aksi Konvergensi intervensi penurunan stunting.

Gambar 4. Buku Pemetaan Kabupaten Buleleng.

Rapat Koordinasi Teknis

Pembukaan secara resmi dilakukan oleh Bapak Agus Suprapto, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Komenko PMK) setelah lebih dulu diawali laporan ketua panitia acara yang disampaikan Bapak Abdul Muis (Asisten Deputi Perlindungan Sosial dan Penanggulangan, Setwapres RI). Acara malam pembukaan dihadiri oleh kurang lebih 500 peserta.

(12)

Secara keseluruhan, acara terbagi atas 7 sesi. Sesi ke 1 sampai ke 3 (Hari ke- 2) bertema memastikan konvergensi dalam upaya pencegahan stunting, mendorong konvergensi intervensi spesifik dan sensitif, serta praktik baik mendorong konvergensi di provinsi dan kabupaten. Sementara Sesi ke 4 menyajikan pengantar analisa pemetaan. Para narasumber berasal dari Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), juga Wakil Gubernur Jawa Timur dan Bupati Bangka.

Acara hari ke 2, diakhiri dengan 4 kelas paralel (sesi 5) yang menyajikan praktik baik seperti Kampanye Perubahan Perilaku (Kemenkes, Kominfo dan GAIN Internasional), intervensi sensitif stunting: Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD (Plan International, Kemendikbud dan Bank Dunia), Kemitraan pemerintah dan swasta (Danone, Bappeda Kab. Kapuas Hulu, Bappeda Kab. Pandeglang), Pembangunan Satu Data (Bappeda Kab. Banyuwangi, Dinas Kesehatan Kab. Kulon Progo, Kasubdit Kewaspadaan Gizi, Kementerian Kesehatan).

Gambar 5. Peserta dan para bupati dari Provinsi Papua dan Papua Barat

“Bayangkan sepertiga dari anak balita Indonesia mengalami stunting , agak mencemaskan karena dua dekade setelahnya dia tidak akan bisa kerja secara produktif sehingga level kompetitif sebagai bangsa akan turun”

Bambang Widianto, Deputi Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres RI/Sekretaris Eksekutif TNP2K.

(13)

Gambar 6. Kelas pemetaan

Pada hari ke 3 dilaksanakan pelatihan pemetaan dan perencanaan program terkait pencegahan stunting hingga tingkat desa. Pelatihan ini berlangsung dari pukul 08.30 sampai 17.30. Di saat yang bersamaan, diselenggarakan kelas provinsi yang membahas pendalaman peran provinsi mendukung pelaksanaan aksi konvergensi kabupaten/kota dalam perecepatan pencegahan stunting.

Kelas provinsi difasilitasi oleh Sekretariat Wakil Presiden dan Kementerian Dalam Negeri, didukung oleh tim Bank Dunia.

Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS) “Mendorong Konvergensi Program Percepatan Pencegahan Stunting”, ditutup dengan penandatanganan komitmen perecepatan pencegahan stunting oleh para bupati/walikota. Penandatangan komitmen ini merupakan bukti keseriusan pemerintah kabupaten/kota untuk menurunkan angka prevelensi stunting di wilayah masing-masing. Terdapat 56 pimpinan daerah yang hadir menandakan komitmennya di acara ini, disaksikan oleh Deputi Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Setwapres, serta Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan III, Kemendagri. Perjalanan masih panjang dan penuh tantangan, namun masalah stunting harus segera dituntaskan. Seperti pantun yang disampaikan Bapak Agus Suprapto pada saat pembukaan Rakornis, “Memandang bulan dipinggir kali, udang ikan menari-nari, akan datang program konvergensi, stunting hilang demi harga diri”.

(14)

Pendanaan Aksi Konvergensi Kabupaten/Kota pada Aksi

Cegah Stunting

Masalah pembiayaan Program Percepatan Pencegahan Stunting bukan persoalan yang mudah untuk dipetakan pengalokasiannya. Meski pemerintah telah membuat skema pengaliran dana program pencegahan stunting, namun masih banyak tantangan yang dihadapi kabuputen/kota bahkan desa dalam mengatur pengelolaan anggaran untuk semua kegiatan.

Dalam Stranas Stunting 2018-2024 dinyatakan bahwa sumber pembiayaan untuk percepatan pencegahan stunting didasarkan pada skema pembiayaan pemerintah yang sudah ada, yakni Dana Desa (APBDesa), APBD Kabupaten/Kota, Dana Alokasi Khusus (DAK), APBD Provinsi, anggaran Kementerian /Lembaga (APBN), maupun pendapatan lainnya yang sah.

Gambar 7. Illustrasi skema sumber pembiayaan

Adalah lumrah bila besaran anggaran adalah tantangan utama, namun bagaimana memastikan anggaran tersebut efisien, tepat sasaran dan tidak terjadi tumpang tindih satu sama lain adalah satu pertanyaan yang perlu dijawab untuk mengatasi kebutuhan saat ini. Bapak Pungkas Badjuri Ali, Direktur Kesehatan

(15)

dan Gizi Masyarakat (Bappenas), Bapak Putut Hari S, Direktur Dana Perimbangan (Kementerian Keuangan), Bapak Edward Sigalingging, Direktur Sinkronisasi Urusan Pembangunan Daerah/SUPD III (Kementerian Dalam Negeri) dan Bapak Bito Wikantosa, Direktur Pelayanan Sosial Dasar, Direktorat Jenderal Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT)) adalah para pengulas topik ini.

Gambar 8. Antusias peserta sesi Pendanaan Aksi Konvergensi kabupaten/kota pada Aksi cegah Stunting

Seperti halnya pernyataan Bapak Bambang Widianto bahwa anggaran sudah cukup tinggi (Rp 40 – 50 triliun) untuk kegiatan-kegiatan terkait stunting di pemerintah, namun tidak dibarengi dengan konvergensi untuk memastikan anggaran yang dialokasikan dan program yang dilaksanakan menjadi efektif.

Kenapa perlu konvergensi? Secara programatik, Bapak Pungkas Badjuri Ali menggambarkan kondisi saat ini, “Sasaran utama dalam program percepatan pencegahan stunting adalah 1.000 HPK dalam rumah tangga. Sementara Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) menyasar kelompok miskin, yang belum tentu merupakan keluarga 1000 HPK, seharusnya menyasar juga sasaran tersebut. Oleh karena itu dari mulai kabupaten, program harus di lokus stunting, kegiatan sanitasi juga harus mencakup lokus, di desa juga sasaran mencakup 1.000 HPK. Inilah peran kabupaten/kota untuk memastikan

(16)

bagaimana 1.000 HPK mendapatkan intervensi-intervensi tersebut.” Bagaimana memastikan hal tersebut? Perencanaan, pemberdayaan masyarakat dan pemantauan yang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan adalah proses untuk memastikan semuanya dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Dari sisi sumber dan alur pendanaan kegiatan pencegahan stunting, pemerintah telah mendesain beberapa jenis aliran pendanaan yang bisa dimanfaatkan secara langsung, namun sumber pendanaan tidak terbatas pada itu saja. Karena ranah program stunting adalah daerah, maka sumber pendanaan utama adalah APBD. Untuk memberi dorongan lebih besar, pemerintah pusat mengalokasikan pendanaan yang spesifik yaitu DAK (Dana Alokasi Khusus) Non Fisik khusus untuk lokasi prioritas 260 daerah dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) khusus untuk penanganan program stunting.

Bapak Ivan Rangkuti (Kasubdit Pengembangan Akses Informasi Masyarakat, Direktorat Pelayanan Sosial Dasar, Ditjen PPMD, Kementerian Desa PDTT) memaparkan tentang Dana Desa dalam konvergensi program stunting. Telah dibahas bahwa pendanaan adalah masalah krusial. Pendanaan tidak saja terkait besarnya anggaran dan alur transfer pendanaan, tetapi juga terkait dengan integrasi sumber pendanaan program stunting.

Dana Desa adalah salah satu komponen utama dalam percepatan pencegahan stunting. Dana Desa, berada di bawah koordinasi Kementerian Desa PDTT. Dana Desa diatur dalam dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.

61/PMK.07/2019 tentang Pedoman Penggunaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi. Tahun 2015-2019 sekitar Rp 257 triliun Dana Desa telah dikucurkan untuk menjadikan desa dapat membangun secara mandiri. Sementara Permendes

Gambar 9. Illustrasi penimbangan balita

(17)

No.11/ 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa dalam Pasal 6 menyatakan bila Dana Desa tidak hanya untuk pembangunan fisik saja. APBDes juga dapat digunakan untuk kegiatan pencegahan stunting. Laporan terkait kegiatan stunting akan menjadi parameter penyaluran Dana Desa di pencairan tahap ke-3.

Anggaran 2020 sudah disepakati dan diumumkan di laman Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPKK), Kementerian Keuangan. Ada satu program yang dilakukan dengan sumber pendanaan atau institusi yang melakukannya, misalnya dalam BOK ada satu bagian yang bisa digunakan untuk koordinasi pelaksanaan konvergensi dan kegiatannya. BOK dikelola oleh Dinas Kesehatan, namun dalam Juknis disebutkan bila BOK tidak hanya untuk Dinas Kesehatan saja tapi dalam penggunaannya dikoordinasikan oleh Bappeda, diantaranya untuk kegiatan monitoring & evaluasi dan konsultasi ke pemerintah pusat dalam jumlah terbatas. Sementara itu, DAK Fisik mengalokasikan dana kesehatan, sanitasi dan air minum. DAK Fisik didasarkan pada usulan dari daerah.

Saat ini terdapat 260 lokus stunting kabupaten/kota, tapi tidak semua kabupaten/

kota mengusulkan penggunaan DAK Fisik. Asumsinya, daerah tidak membutuhkan DAK Fisik karena merasa sudah dialokasikan dalam APBD. Namun, bisa juga peluang dukungan pendanaan ini tidak diketahui kabupaten/kota, padahal ini sudah masuk tahun kedua. Dalam DAK Fisik dapat diusulkan obat gizi, PMT, penyediaan alat antropometri, air minum SPAM komunal dan sebagainya.

Pada kasus berbeda, ada kabupaten/kota yang mengusulkan tetapi salah karena berbeda dengan yang dialokasikan sehingga tidak bisa diberikan. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadi disintegrasi pendanaan. “Kasus stunting di desa A yang diperbaikinya di desa B, harus benar-benar dipikirkan dan direncanakan serta dipetakan, disinilah pentingnya peran Bappeda,” tambah Bapak Putut. Sebagai tambahan, Dana Desa sudah dialokasikan ke seluruh kabupaten/kota yang punya desa, diantaranya hal-hal yang terkait program stunting. Sebenarnya sumber dana yang ada tidak hanya terbatas pada yang sudah disampaikan tetapi juga ada DAU (Dana Alokasi Umum), DBH (Dana Bagi Hasil) dan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Sebagai upaya pengawasan atau pemantauan dilakukan secara berjenjang.

Untuk kabupaten/kota kegiatan dikoordinasikan oleh Bappeda. Laporan secara berjenjang. Secara parsial setiap K/L yang menjadi pengampu dana-dana tersebut juga melakukan pemantauan dan evaluasi secara langsung dengan

(18)

mekanisme yang ada. Terutama untuk bandingkan perencanaan dengan realisasi dan pencapaian indikator keluaran (output). Bila sudah terkoordinasi, pelaporan tidak dilakukan secara terpisah tetapi sudah terintegrasi. Ini yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga konvergensi dari sisi pendanaan dan program dapat berlangsung secara sinergis.

(19)

Konvergensi Stunting

dari Sudut Pandang Kementerian

Penjelasan tentang percepatan pencegahan stunting di bawah kementerian/

lembaga yang memegang porsi besar dalam penanggulangan stunting di Indonesia pun disajikan. Ini untuk memberikan gambaran baik tentang desain intervensi yang berkontribusi pada percepatan pencegahan stunting sesuai mandat Stranas Stunting. Sebagai narasumber yaitu Ibu Kirana Pritasari (Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes), Bapak Agus Rahman (Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan PAUD dan Dikmas, (Kemendikbud) dan Bapak Ivan Rangkuti (Kasubdit Pengembangan Akses Informasi Masyarakat, Direktorat Pelayanan Sosial Dasar, Ditjen PPMD, Kementerian Desa PDTT) .

Gambar 10. Peserta sangat antusias pada penjelasan kelompok sesi Konvergensi Stunting dari sudut kementerian

(20)

Upaya percepatan pencegahan stunting perlu menyasar penyebab langsung dan tidak langsung melalui pendekatan menyeluruh yang mencakup intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, sedangkan intrevensi gizi sensitif terkait ketahanan pangan pendidikan PAUD, sanitasi, dan lain sebagainya. Intervensi gizi sensitif dilakukan kementerian/lembaga lain seperti Kementerian Desa PDTT, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial dan lembaga negara lainnya.

Sesuai dengan studi ilmiah, intervensi spesifik memiliki proporsi 30% terhadap percepatan pencegahan stunting, sedangkan 70 % terkait intervensi sensitif.

Seperti halnya pernyataan Ibu Kirana Pritasari dalam sesi tersebut, “Jangan hanya mengandalkan intervensi spesifik, karena yang sensitif juga mempunyai dampak besar terhadap penurunan stunting. Contohnya, pendidikan di PAUD akan sangat berperan penting dalam meningkatkan kemampuan kognitif anak.” Ibu Kirana juga menegaskan bahwa intervensi stunting juga harus dilakukan kepada semua kelompok; remaja, usia sekolah, balita, bayi baru lahir, usia reproduksi, dan ibu hamil. Sebagai contoh, anak dalam jenjang pendidikan SMP dan SMA harus sehat, tidak boleh anemia agar lebih siap ketika memasuki usia pernikahan.

Kemenkes mempunyai kewajiban menyusun Pedoman Penyusunan Strategi Komunikasi (Strakom) Perubahan Perilaku Progam Pencegahan Stunting (Pilar ke 2). Perubahan perilaku tidak bisa berjalan dengan baik jika infrastruktur lain tidak terpenuhi, seperti gizi seimbang, atau ketahanan pangan belum baik.

Berdasarkan panduan ini, diharapkan daerah mampu mempunyai strategi masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat masing-masing (konteks lokal). Penyusunan strategi ini harus mendapat dukungan komitmen dari pimpinan daerah, sehingga strategi perubahan perilaku yang disusun daerah bisa diterapkan sehingga terjadi perubahan perilaku di masyarakat.

Intervensi sensitif dalam program pencegahan stunting juga disampaikan Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan PAUD dan Dikmas, Kemendikbud, Bapak Agus Rahman. Dalam Stranas Stunting disebutkan bahwa salah satu cakupan dalam intervensi sensitif adalah peningkatan kesadaran komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak. Praktik pengasuhan dapat dilakukan dan didorong oleh para Pendidik PAUD.

Di tingkat desa diharapkan pendidik PAUD desa melakukan kegiatan pengasuhan dalam rangka melakukan stimulasi kepada ibu hamil, anak-anak berusia dua tahun,

(21)

termasuk didalamnya pengajaran kepada orang tua untuk berinteraksi dengan anak-anak tersebut. Kemendikbud menugaskan pendidik PAUD bertugas melakukan kegiatan pengasuhan dalam rangka melakukan stimulasi kepada sasaran.

Tahun 2018, Kemendikbud telah menerbitkan materi modul dan modul pengasuhan stimulasi pencegahan stunting. Tahun 2019-2021, Kemendikbud menargetkan pendidikan dan pelatihan (diklat) kepada 2000 orang calon pelatih (ToT) PAUD tingkat kabupaten di 100 kab prioritas dengan menu pelatihan yang sudah mencakup materi gizi dan kesehatan. Setiap kabupaten akan mengirimkan 20 orang. Selanjutnya Dinas Pendidikan harus memastikan bagaimana diklat pendidik PAUD Desa dapat dilaksanakan oleh kabupaten dengan dibiayai oleh Dana Desa. Selain untuk mencegah stunting, Kemendikbud juga berkewajiban melakukan penguatan kompetensi tenaga pendidik PAUD secara umum, melalui diklat berjenjang. Pada akhirnya diharapkan akan tercipta PAUD Holistik dan Integratif (PAUD HI) yang mendukung percepatan pencegahan stunting yang di dalamnya mencakup 4 aspek layanan (pendidikan, kesehatan, gizi dan pengasuhan) serta melibatkan berbagai pihak terkait peningkatan pendidikan, khususnya dalam program aksi cegah stunting.

Inisiasi-inisiasi lain yang dilakukan Kemendesa PDTT untuk mendukung Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) diantaranya adalah menerbitkan 3 buku yaitu Panduan Fasilitasi Konvergensi, Pembentukan KPM (Kader Pembangunan Manusia), dan Program Rumah Desa Sehat. Panduan pembentukan KPM sudah difasilitasi Tenaga Ahli (TA) di daerah, pendamping desa dan pendamping lokal desa. Sementara itu KPM yang sudah dilatih antara lain bertugas untuk memastikan TTD (Tablet Tambah Darah) diminum oleh sasaran kegiatan pencegahan stunting.

Gambar 11. Illustrasi kegiatan PAUD & Posyandu Remaja

(22)

Percepatan Pencegahan Stunting tetap berjalan dan telah mencapai hasil.

Meski demikian masih banyak tantangan yang dihadapi, baik di pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam sesi ini seperti diajukan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, mengenai PAUD yang sudah menggunakan Dana Desa, namun perlu disediakan anggaran non fisik terkait operasional Pendidik PAUD. Pertanyaan lainya datang dari Kabupaten Kutai Kertanegara tentang KPM yang menjadi kader adalah bidan desa. Masalahnya terdapat perbedaan instrumen antara KPM dengan tenaga bidan desa karena banyak KPM tidak punya kompetensi terkait kesehatan. Isu lainya adalah terkait TTD (Tablet Tambah Darah), yang punya program kesehatan, tetapi sasarannya ada di Dinas Pendidikan. TTD tidak sekadar dibagi, tetapi harus diminum di sekolah disaksikan oleh guru, Dinas Kutai Kertanegara sudah ada MoU terkait kewajiban tersebut. Kedua pertanyaan di atas adalah contoh kecil mengapa upaya Percepatan Pencegahan Stunting masih perlu berbenah dan disampaikan ke tingkat yang lebih bawah secara lebih jelas dan seragam agar terjadi kesamaan pemahaman.

(23)

Praktik Baik

“Inisiasi dan Inovasi dari Multi Sektor dalam Percepatan Pencegahan

Stunting”

Praktik baik atau Good Practices dapat didefinisikan sebagai cara paling efisien dan efektif untuk menyelesaikan suatu tugas, berdasarkan suatu prosedur yang dapat diulangi yang telah terbukti ampuh untuk banyak orang dalam jangka waktu yang cukup lama. Istilah ini juga sering digunakan untuk menjelaskan proses pengembangan suatu cara standar untuk melakukan suatu hal yang dapat digunakan oleh berbagai organisasi.

Banyak daerah telah mencoba melakukan intervensi-intervensi dalam upaya percepatan pencegahan stunting dengan pendekatan kearifan lokal. Beberapa kabupaten telah mencapai hasil yang baik sehingga dapat dijadikan contoh atau inspirasi. Intervensi-intervensi ini ada yang berasal dari inisiatif pemerintah daerah, tetapi ada juga buah hasil kemitraan dengan pihak swasta atau dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Gambar 12. Sesi Talkshow Praktik Baik oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak.

(24)

Sesi praktik baik, diawali dengan menghadirkan Bapak Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur) dan Bapak Mulkan (Bupati Bangka). Bapak Emil Dardak menyoroti masalah stunting di Jawa Timur. Beliau menyatakan, “Kita tidak bisa menganggap bahwa stunting hanya untuk keluarga miskin, namun memang ada korelasi antara stunting dan kemiskinan. Political will harus berawal dari pimpinan karena melibatkan lintas OPD,” tambah Bapak Emil. “Yang perlu diingat bahwa intervensi multidimensi ini diharapkan bisa dilaksanakan,” tandasnya. Lebih dari itu, informasi berdasarkan gambar World Hunger Map menyatakan bahwa Indonesia bukan tempat yang mengalami kelaparan akut. Ketahanan pangan Indonesia relatif baik sehingga hal ini seharusnya menjadikan stunting bisa lebih mudah dicegah. Jawa Timur berpenduduk 40 juta jiwa dan memiliki angka prevalensi stunting bervariasi dari 20,86% - 47,92% (2018) dan 22,7% - 56,4%

(2013). Terdapat 12 kabupaten/kota yang menjadi lokus stunting di Jawa Timur, untuk mengatasi stunting misalnya dapat dilakukan dengan pendekatan budaya lokal. Jawa Timur memiliki budaya Mataraman (45%), Madura (30%), Arek (20%), Osing dan Tengger (5%).

Karenanya ada beberapa hal yang dilakukan oleh Pemerintah Jatim:

Pendekatan berbasis tokoh agama sangat penting dilakukan. Sebagai contoh, ibu Kyai di Madura menjadi tokoh penting dalam program stunting. Secara keseluruhan dalam konteks ini harus melihat bagaimana kondisi sosial ekonomi dan pendekatan yg paling efektif.

Keterlibatan kader kesehatan masyarakat dalam mengukur berat badan balita dilakukan secara periodik.

Peningkatan fungsi Puskesmas juga ditingkatkan. Puskesmas memiliki dua fungsi yakni kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat.

Kecenderungan saat ini adalah Puskesmas dibangun seperti rumah sakit mini seperti penyediaan rawat inap, tetapi hal ini jangan sampai melupakan fungsi utama Puskesmas.

Sebagai tambahan masalah sanitasi juga perlu diperhatikan, misalnya BAB (Buang Air Besar) di pinggir sungai.

Dari segi praktik pendanaan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur memberikan panduan apa yg seharusnya dapat dipenuhi di desa, seperti penggunaan Dana Desa yang tidak hanya untuk pembangunan fisik.

(25)

Sesuai dengan Stranas Stunting 2018 – 2024, Provinsi Jawa Timur sedang mempersiapkan Peraturan Gubernur. Sementara itu, Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Wali Kota (Perwali) penurunan stunting ada di 9 kab/kota. Hal ini sesuai dengan Pilar 1 Stranas Stunting. Pada tahun 2019, rapat koordinasi Tim Kelompok Kerja (Pokja) stunting dilakukan setiap triwulanan. Sementara itu, Rencana Aksi Daerah dan Gizi (RADPG), pemanfaatan makanan lokal juga dilakukan. Penilaian kinerja kab/kota lokus stunting dilakukan sesuai dengan Pilar 5 Stranas Stunting. Sementara itu untuk memastikan keterpaduan data, untuk melihat intervensi sensitif dan spesifik tidak hanya dipantau oleh Dinkes, tetapi semua OPD terkait.

Jawa Timur juga telah melakukan ranking sesuai 8 Aksi Konvergensi berdasarkan penilaian paling inovatif (Malang), paling replikatif (Probolinggo), inspiratif (Nganjuk). Dalam pelaksanaan 8 Aksi Cegah Stunting, Aksi 1 sampai 4 dari 8 Aksi Cegah Stunting telah dilakukan.

Sebagai tindak lanjut atas Percepatan Pencegahan Stunting di Jawa Timur, Pemprov akan mencoba meningkatkan dan memfasilitasi akses kepada pemangku kepentingan (stakeholder) yang dilibatkan. Pemprov juga akan membuat terobosan-terobosan baru dan meminta Kemendagri untuk melakukan penilaian kinerja. Lebih jauh, Pemprov juga akan memprioritaskan 15 kabupaten yang merupakan kantong kemiskinan.

Hal senada juga dipaparkan Bapak Mulkan (Bupati Bangka) menyikapi stunting di Kabupaten Bangka. “Daerah belum bisa dikatakan maju dan berkembang jika angka stunting tetap tinggi dan ini adalah pekerjaan rumah bagi kita di daerah,”

katanya. Angka prevelensi stunting Kabupaten Bangka sebesar 32,27% (2013) dan akibatnya adalah kerugian ekonomi yang ditaksir berjumlah Rp 293 milyar - Rp 439 milyar.

Untuk mengatasi masalah ini diperlukan komitmen dan keseriusan dari kepala daerah. Komitmen yang dimaksud adalah bagaimana mewujudkan SDM berkualitas dan berdaya saing. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka menerbitkan 3 Peraturan Daerah (Perda), 7 Perbup (Peraturan Bupati) dan 9 Surat Keputusan untuk mendukung percepatan pencegahan stunting. Pemkab Bangka juga menandatangani MoU dengan Kementarian Agama untuk membatasi usia pernikahan dini menjadi 17 tahun. Di samping itu, Pemkab juga mendukung

(26)

program-program terkait gizi ibu hamil dan pengasuhan seperti Bumil Resti, SMS Bunda Cerdas, PMT Bumil, Jampersal, Manajemen data kesehatan ibu, kelas ibu hamil, konseling gizi dan kesehatan, bina keluarga balita, parenting, akses PAUD, pengasuhan orang tua hebat, dan PMT balita.

Inovasi-inovasi terus ditumbuhkan dalam rangka penurunan prevalensi stunting seperti Program Kembang Desa, Public Service Center, Isbat Muda (legalisasi pernikahan dini) untuk pendataan keluarga, Bang Muda (Bangka Mudah Dapat Akta), dan menggunakan budaya pantun untuk sosialisasi stunting. Semua hal ini dilakukan Pemkab untuk peningkatan penurunan angka prevalensi stunting.

Dalam Stranas Stunting, pada Pilar 1 dijelaskan bahwa Pilar ini menjaga dan menindaklanjuti komitmen dan visi Presiden dan Wakil Presiden terhadap Percepatan Pencegahan Stunting dengan mengarahkan, mengkoordinasikan, dan memperkuat strategi, kebijakan, dan target pencegahan stunting.

Penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, kelompok-kelompok masyarakat, hingga rumah tangga.

Penetapan strategi dan kebijakan percepatan pencegahan stunting diselaraskan dengan sasaran World Health Assembly (WHA) 2025, dan agenda kedua dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Berbagai kegiatan terkait Pilar 1 dikoordinasikan oleh Setwapres.

Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah keterlibatan dunia usaha, universitas/akademisi, organisasi profesi, media, dan organisasi/kelompok masyarakat lainnya, dengan memobilisasi sumber daya dan mendorong partisipasi secara aktif dalam percepatan pencegahan stunting di kalangan masyarakat.

Kemitraan kelompok non pemerintah dengan pemerintah ini sudah banyak berjalan. Setwapres juga serius menggulirkan kemitraan swasta dan pemerintah dalam mendukung percepatan pencegahan stunting.

Sudah banyak inisiatif kemitraan sehingga upaya konvergensi tidak saja diantara lembaga milik pemerintah saja, tetapi juga kerjasama pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian dalam masalah stunting.

a. Kemitraan Pemerintah

(27)

Setwapres memberikan contoh praktik baik pada keterlibatan organisasi non pemerintah, baik profit organization ataupun non-profit organization. Contohnya adalah LSM internasional, GAIN International (Global Alliance for Improved Nutrition) dan Plan International.

Dikaitkan dengan kegiatan kemitraan untuk Pilar 2, perubahan perilaku adalah salah satu pemicu penurunan angka prevalensi stunting. Dimana Kemenkes bertanggungjawab terhadap isi pesan yang ingin disampaikan berikut penyampaiannya yang fokus pada metode Komunikasi Antar Pribadi (KAP).

Kemenkominfo berwenang untuk menyampaikan pesan tersebut kepada sasarannya melalui berbagai kanal informasi yang sesuai dan mudah dicerna oleh masyarakat. Kemenkominfo akan berkontribusi untuk memperkuat kampanye nasional dalam percepatan pencegahan stunting dengan penyelenggaraan kampanye media yang massive dan mendukung apa yang dilakukan oleh Kemenkes di lapangan.

Peran LSM dalam aksi cegah stunting melalui perubahan perilaku menggunakan metode Komunikasi Antar Pribadi (KAP) terlihat pada kegiatan yang dilakukan GAIN International di Probolinggo, Jawa Timur. Emo-Demo (Emotional Demonstration) adalah langkah di sektor hulu dalam pencegahan stunting. Emo- Demo adalah cara untuk meningkatkan kapasitas kader dalam menyampaikan pesan-pesan perbaikan gizi kepada masyarakat. Contohnya, bagaimana pelatihan kepada ibu tentang pemberian ASI eksklusif dan makanan bergizi untuk anak di Probolinggo, Jawa Timur.

Praktik Baik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) adalah salah satu kegiatan yang

Gambar 13. Tampilan aplikasi Emo-Demo

(28)

penting dan menjadi prioritas utama dalam Stranas Stunting. PAUD adalah salah satu intervensi gizi sensitif yang menyasar penyebab tidak langsung anak stunting, melalui kelas pengasuhan. Lebih dari itu, dalam 5 Pilar Percepatan Pencegahan Stunting, PAUD terdapat dalam Pilar ke-3 (Konvergensi Program Pusat, Daerah dan Desa) sehingga semua praktik baik yang telah dilaksanakan di daerah perlu dijadikan pijakan program yang sesuai dengan wilayah masing-masing.

Praktik baik terkait PAUD menjadi salah satu fokus diskusi acara Rapat Koordinasi Teknis ini. Plan International memiliki pendekatan dalam mengatasi stunting melalui integrasi beberapa kegiatan, yakni: mencegah perkawinan anak, PAUD dan perlindungan anak, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), ketrampilan pengasuhan untuk membangun kapasitas orang tua di 600 desa di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Plan Internatonal juga mengembangkan materi untuk kelas pengasuhan yang diintegrasikan dengan STBM dan gizi. Materi ini dapat digunakan oleh lembaga lain bila ingin direplikasi di daerah lain sebagai sebuah praktik baik.

Sementara itu World Bank mempresentasikan praktik baik Program Generasi Desa Cerdas di Sumba, dimana dikembangkan 10 langkah untuk memastikan peningkatan kapasitas PAUD. Aktivitas ini meliputi:

Pendataan dan analisis data guru PAUD, potensi pendanaan dan data prevalensi stunting;

Rapat koordinasi kabupaten;

Memastikan terjadinya Pelatihan Calon Pelatih (PCP);

Dinas PMD menyusun dan memproses regulasi yang disepakati sedangkan Dinas Pendidikan menetapkan organisasi mitra untuk mendukung pelaksanaan pelatihan;

Bappeda memfasilitasi rapat koordinasi kabupaten terkait persiapan sosialisasi ditingkat kecamatan dan desa;

Pelaksanaan sosialisasi di tingkat kecamatan;

Pelaksanaan Musyawarah Desa;

Penyusunan rencana Pelatihan Guru PAUD desa di tingkat kabupaten (District Planning Plan);

Pelaksanaan pelatihan; dan

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

(29)

b. Kemitraan Swasta

Sebagai bagian upaya konvergensi, pihak swasta juga dapat berperan penting dan terlibat langsung dalam percepatan pencegahan stunting di Indonesia.

Inisiatif perusahaan swasta dalam upaya pencegahan stunting telah dan sedang dilakukan sebagai bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) ataupun bentuk tanggungjawab terhadap misi perusahaan. Sebagai contoh, Yayasan Haji Kalla yang bersama dengan Pemda dan Poltekes menyampaikan dukungannya berupa sosialisasi pencegahan stunting dengan pendekatan keluarga di Maros, Sulawesi Selatan. Contoh lain adalah PT. Sinar Mas dan PT. Danone Indonesia juga memiliki program CSR yang terkait pencegahan stunting. Mereka hadir sebagai narasumber dalam Sesi “Praktik Baik Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pencegahan Stunting” (Kelas 2) bersama Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas Hulu dan Kepala Bappeda Kabupetan Pandeglang sebagai lokasi program stunting yang mereka laksanakan.

Menurut Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas Hulu, dengan angka prevalensi stunting yang cukup tinggi (35%), Kabupaten Kapuas Hulu melakukan pendekatan dengan beberapa perusahaan untuk bersinergi dalam mengatasi masalah stunting. Di lain pihak Sinar Mas memiliki perhatian untuk melakukan pencegahan stunting, salah satunya di Desa Mantan yang berada dalam radius wilayah kerja Sinar Mas. Sejak 1 Juli 2018 - 31 Agustus 2019, Desa Mantan, Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu menjadi projek kemitraan cegah stunting antara TNP2K dan Setwapres. Intervensi pencegahan stunting yang dilakukan antara lain pembelian peralatan kesehatan Posyandu, sosialisasi, konsumsi gizi (7 kegiatan), pola asuh (2 kegiatan), kebersihan lingkungan (5 kegiatan). Ada 10 OPD yang terlibat dengan pembiayaan perjalanan dinas yang dibebankan kepada Pemkab Kapuas Hulu.

Contoh-contoh kegiatan dalam intervensi stunting di Kapuas Hulu adalah penanaman bibit bersama oleh Dinas Pertanian, kemudian membagikan kepada masyarakat sehingga tersedia suplai tanaman palawija, kacang, dan lainnya.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah penyuluhan untuk mengolah pupuk kompos/

organik, kegiatan di Posyandu, pembangunan MCK (14 MCK sudah dapat digunakan), penyuluhan pola asuh anak untuk cegah stunting, lomba pekarangan

(30)

sehat, monitoring desa binaan, penyuluhan makanan sehat bergizi seimbang dari hasil pekarangan mereka, dan membuat rencana tindak lanjut.

Kemitraan dengan pihak swasta juga terjadi di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat, yang memiliki prevalensi stunting sebesar 39,5 % (Riskesdas 2018) dan termasuk daerah tertinggal (menjadi kabupaten daerah tertinggal yang terentaskan tahun 2015-2019 pada Agustus 2019). Sebagai bentuk dari CSR, Danone melakukan uji coba di Desa Bayumundu, sesuai rekomendasi yang diterima Danone dari Kemendesa PDTT. Ujicoba program selama 6 bulan dilaksanakan di desa tersebut sebagai bagian dari intervensi untuk anak yang sudah mengalami stunting (curative).

Secara garis besar langkah-langkah aksi cegah stunting yang dilakukan Danone meliputi koordinasi lembaga terkait (penyamaan persepsi), pelatihan tenaga kesehatan (memastikan tenaga kesehatan dan kader punya standar yg sama dan benar), pendataan dan screening status gizi balita (memastikan intervensi yg diberikan tepat), serta intervensi dan monitoring (memastikan keberlanjutan perbaikan gizi). Seluruh proses ini dilakukan dengan pendampingan untuk pemerintah setempat. Kemitraan di Desa Bayumundu ini memperlihatkan peran

Gambar 14. Pemerintah Daerah Kapuas Hulu memberikan paparan praktik baik kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta

(31)

masing-masing stakeholder. Koordinasipun dilaksanakan baik di pusat maupun daerah. Yang perlu diingat adalah Posyandu merupakan poros penting untuk screening awal, harus dipastikan terlatihnya tenaga atau kader.

Saat ini dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0, termasuk Indonesia.

Kemajuan teknologi informasi tidak saja dirasakan di kawasan perkotaan saja, tetapi juga merambah ke wilayah pedesaan. Kemajuan teknologi informasi yang pesat memacu pengembangan berbagai aplikasi yang dapat membantu pekerjaan di sektor kesehatan menjadi lebih efesien, cepat, dan tepat sebagai basis pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

Sesi Praktik Baik “Pembangunan Satu data untuk Memantau Pencegahan Stunting di Kabupaten” menampilkan Aplikasi Bumilku (Kabupaten Kulon Progo), SmartKampung (Kabupaten Banyuwangi) dan E-PPGBM (Kemenkes).

Aplikasi-aplikasi tersebut adalah alat yang bisa dijadikan contoh, rujukan atau dapat digunakan untuk membantu Program Percepatan Pencegahan Stunting di tingkat kabupaten/kota

Kabupaten Kulon Progo memiliki predikat daerah paling miskin di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), namun umur harapan hidup tertinggi. Bumilku merupakan quick win unggulan Kulonprogo dalam penerapan Smart City sebagai aplikasi pemantauan kesehatan ibu hamil yang mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Geospasial. Aplikasi Bumilku digunakan untuk mengetahui kondisi ibu hamil dalam upaya peningkatan kualitas kesehatannya.

Aplikasi ini dirintis sejak 2018 dan berhasil masuk 10 terbaik penilaian inovasi pemanfaatan Informasi Geospasial (IG) Nasional yang diselenggarakan Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2019. Aplikasi Bumilku dioperasikan oleh para bidan yang mencakup informasi pemantauan bidan (golongan darah, isi HPM, riwayat kehamilan, isi jaminan), monev fasilitas kesehatan (isi diagnosa, isi ANC, ANC terpadu, status), persalinan ibu hamil (normal di bidan, dengan risiko di Puskesmas, dan risiko tinggi ke RSUD). Bidan desa bertanggung jawab terhadap ibu hamil di wilayahnya, namun penanganan tergantung tingkat keparahan masing-masing.

c. Pengelolaan Data Inovatif

(32)

(Menkominfo), 189 desa sudah masuk jaringan fiber optic, wifi di ruang publik desa, pelayanan publik berbasis digital, kantor desa ramah lansia disabilitas anak ibu hamil, keterbukaan informasi publik, honor untuk satgas pemburu kemiskinan.

SmartKampung dapat menjadi kolaborasi antar desa. Desa yang dapat melaporkan apa yg terjadi di lapangan akan diberi honor. Contoh lain bagaimana jika SmartKampung digunakan oleh tukang sayur yang diberi telepon genggam Android, lalu digunakan untuk bertanya ke ibu hamil apakah ibu hamil sudah masuk ke daftar? Ini cara optimal untuk mencari bumil hingga ke pelosok kampung. Data lalu dihubungkan ke Puskesmas, maka akhirnya data akan langsung keluar dan dapat digunakan. Akibat dari SmartKampung ini sangat berpengaruh terhadap pembangunan Kabupaten Banyuwangi. Pendapatan per kapita naik 134% dari 2010 ke 2018, kunjungan wisatawan domestik naik 960%, dan PDRB naik 142%

dari 2010 ke 2018.

Gambar 15. Program SmartKampung yang digagas oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Bila Kabupaten Kulon Progo memiliki Aplikasi Bumilku, maka Kabupaten Banyuwangi memiliki SmartKampung.

SmartKampung adalah program pengembangan desa yang digagas

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk mendekatkan pelayanan publik hingga ke level desa. Setiap desa didesain memiliki program terintegrasi yang memadukan antara penggunaan teknologi, kegiatan ekonomi produktif, peningkatan pendidikan dan kesehatan, dan upaya pengentasan kemiskinan.

Sejak diluncurkan pada Mei 2016 oleh Bapak Rudiantara

(33)

Kementerian Kesehatan memperkenalkan Aplikasi e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang dikelola Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes dalam upaya peningkatan pengelolaan kesehatan ibu dan anak, termasuk didalamnya pencegahan stunting. Aplikasi ini ditujukan untuk memberikan informasi status gizi individu baik balita maupun ibu hamil secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi. Dimana petugas pengelola gizi Puskesmas bertanggung jawab dalam melakukan input data dalam sistem dan bisa mengaksesnya untuk digunakan dalam pengelolaan program di lokasinya.

Dengan adanya e-PPGBM, maka diharapkan siapa pun penggunanya akan mendapatkan beberapa manfaat, diantaranya:

Aplikasi ini akan memberikan berbagai data:

Data yang saat ini dimiliki e-PPGBM masih belum mencakup semua populasi ibu dan balita di Indonesia. Diharapkan data ini akan bisa lebih dilengkapi, mengingat Kemenkes akan bergantung pada Puskemas yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mengisi data secara rutin dan berkelanjutan.

Tentunya, adanya berbagai data yang tersebar di masing-masing kabupaten dengan metode pengumpulan data yang berbeda akan memperkaya data yang bisa disetor ke e-PPGBM. Konsistensi data tetap dibutuhkan, sehingga

Memperoleh data sasaran individu

Mengetahui status gizi individu secara cepat dan akurat

Mengetahui secara cepat balita gizi buruk yang harus dirujuk atau dilakukan tindakan Mengetahui pertumbuhan balita

Memantau pemberian makanan tambahan

Identitas sasaran individu

Pengukuran yang meliputi penimbangan, tinggi badan dan lingkar lengan atas (LiLA) Status gizi balita by name by address hasil pemantauan bulanan dari seluruh

Posyandu di Puskesmas di Indonesia.

Dashboard peta dan diagram yang menggambarkan kondisi status gizi per desa/

kecamatan/ kabupaten/propinsi

Kinerja Gizi (Vitamin A, Pemberian Makanan Tambahan, Tablet Tambah Darah, Masalah Gizi)

Perilaku Masyarakat (Inisiasi Menyusui Dini, ASI Eksklusif, Kartu Menuju Sehat, Penimbangan Balita)

(34)

pengelolaan program di tingkat nasional hingga desa pun menjadi baik. Tepat sasaran dan efektif.

Semua praktik baik yang ditampilkan dalam acara Rapat Kerja Teknis, 1 – 4 Oktober 2019 di Jakarta, diharapkan akan menjadi inispirasi dan tempat pembelajaran sehingga dapat diterapkan dan dijadikan inovasi untuk percepetan pencegahan stunting pada khususnya dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat pada umumnya. Inovasi-inovasi dan intervensi-intervensi baru tetap diperlukan.

Alangkah baiknya bila kita meningkatkan kualitas inovasi-inovasi dan intervensi yang sudah dibangun dan dikembangkan.

(35)

Wilayah Prioritas

Percepatan Pencegahan Stunting

Sesuai target nasional, 260 Kabupaten/Kota diharapkan menjadi wilayah prioritas percepatan pencegahan stunting nasional di tahun 2019. Setelah 160 Kabupaten/

Kota selesai terpilih, pada October 2019, pemerintah menambahkan 100 kabupaten sebagai wilayah prioritas tahun 2020. Pada 1 – 4 Juli 2019 (Rakortek ke-2) di Jakarta, 100 Kabupaten/Kota direncanakan berkomitmen. Nama-nama kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

Daftar Kabupaten/Kota tersebut adalah :

No Provinsi Kabupaten/Kota

1 Aceh 1 Simeulue

2 Bireuen 3 Nagan Raya 4 Kota Subulussalam

5 Aceh Tenggara

6 Bener Meriah

7 Gayo Lues 2 Sumatera Utara 8 Mandailing Natal

9 Nias

10 Pakpak Bharat

11 Dairi

12 Nias Selatan

13 Nias Barat

14 Padang Lawas Utara

15 Tapanuli Tengah

16 Deli Serdang

17 Kota Medan 3 Sumatera Barat 18 Lima Puluh Kota

4 Riau 19 Rokan Hilir

20 Kepulauan Meranti

21 Pelalawan

Lampiran 1.

(36)

No Provinsi Kabupaten/Kota

5 Jambi 22 Merangin

23 Tanjung Jabung Barat

6 Sumatera Selatan 24 Ogan Ilir 25 Lahat 26 Banyu Asin 27 Kota Palembang

7 Bengkulu 28 Bengkulu Selatan

29 Seluma

8 Lampung 30 Lampung Utara

31 Pesawaran 9 Kepulauan Bangka Belitung 32 Bangka Selatan

10 Kepulauan Riau 33 Karimun

11 DKI Jakarta 34 Kota Jakarta Timur

12 Jawa Barat 35 Bekasi

36 Kota Bekasi

37 Kota Depok 38 Kota Bandung

39 Ciamis 40 Purwakarta

13 Jawa Tengah 41 Sragen

42 Pati 43 Jepara 44 Magelang 14 Daerah Istimewa Yogyakarta 45 Gunung Kidul

15 Jawa Timur 46 Pasuruan

47 Ngawi

48 Kota Surabaya

49 Sidoarjo

16 Banten 50 Serang

51 Tangerang

17 Bali 52 Bangli

18 Kalimantan Barat 53 Melawi

(37)

No Provinsi Kabupaten/Kota 19 Kalimantan Tengah 54 Kapuas Hulu

55 Barito Selatan

56 Gunung Mas 20 Kalimantan Selatan 57 Tapin

58 Tabalong

59 Kutai Kartanegara

21 Kalimantan Timur 60 Kutai Timur

22 Kalimantan Utara 61 Bulungan 23 Sulawesi Utara 62 Minahasa Utara

63 Bolaang Mangondow Selatan

24 Sulawesi Tengah 64 Sigi 65 Morowali

25 Sulawesi Selatan 66 Kepulauan Selayar

67 Pinrang 68 Gowa

69 Pangkajene Dan Kepulauan

70 Tana Toraja

71 Sinjai 72 Jeneponto 73 Toraja Utara

74 Takalar 26 Sulawesi Tenggara 75 Wakatobi

76 Muna 77 Kolaka Timur

78 Buton Selatan

27 Gorontalo 79 Bone Bolango

28 Sulawesi Barat 80 Mamuju Tengah

29 Maluku 81 Maluku Tenggara

82 Seram Bagian Timur

83 Maluku Barat Daya

30 Maluku Utara 84 Halmahera Timur

85 Halmahera Tengah

(38)

No Provinsi Kabupaten/Kota

31 Papua Barat 86 Fakfak

87 Kaimana 88 Teluk Wondama

89 Teluk Bintuni

90 Sorong 91 Raja Ampat 92 Maybrat

93 Manokwari Selatan

32 Papua 94 Merauke

95 Jayapura 96 Mimika 97 Mappi 98 Sarmi 99 Waropen 100 Kota Jayapura Lokasi Kab Prioritas 2018/2019

yang tidak hadir di Rakornis sebelumnya

33 Nusa Tenggara Timur 101 Alor

102 Timor Tengah Utara 103 Malaka

35 Papua 104 Pegunungan Arfak

105 Puncak Jaya

(39)

Komitmen

Percepatan Pencegahan Stunting

Contoh Lembar Komitmen Kabupaten :

PERNYATAAN KOMITMEN

PELAKSANAAN PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING)

Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh berkomitmen untuk melakukan upaya percepatan pencegahan anak kerdil (stunting) di wilayah kami dengan melakukan aksi konvergensi/integrasi melalui beberapa kegiatan sebagai berikut:

1. Melakukan pemetaan program, kegiatan, dan sumber pembiayaan terkait percepatan pencegahan anak kerdil (stunting) hingga tingkat desa di daerah.

2. Melaksanakan pertemuan daerah percepatan pencegahan anak kerdil (stunting) bersama dengan seluruh organisasi perangkat daerah, camat, kepala desa, dan pihak terkait lainnya.

3. Melakukan pengumpulan dan publikasi data anak kerdil (stunting) serta program-program percepatan yang sudah dilakukan secara berkala, dan menggunakan data sebagai dasar untuk melakukan perbaikan program.

4. Menyusun kebijakan dan melaksanakan kampanye perubahan perilaku dan komunikasi antar pribadi untuk percepatan pencegahan anak kerdil (stunting).

5. Meningkatkan peran desa dalam melakukan konvergensi percepatan pencegahan anak kerdil (stunting) di desa.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab oleh seluruh unsur dan masyarakat.

Jakarta, 3 Oktober 2019 Mengetahui,

Bupati Simeulue selaku Penanggung Jawab Pelaksanaan Percepatan Pencegahan Anak Kerdil

(Stunting) Deputi Bidang Dukungan Kebijakan

Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan

Lampiran 2.

(40)

Laporan Pemberitaan Media

Rapat Koordinasi Teknis Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting)

Konvergensi Program di Wilayah Prioritas 1 – 4 Oktober 2019

Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menggelar Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Pencegahan Stunting 2019 di Hotel Borobudur, Jakarta, 1 - 4 Oktober 2019. Acara tersebut diikuti oleh perwakilan 105 Kabupaten/Kota Prioritas penanganan stunting di Indonesia dan diakhiri dengan penandatanganan komitmen pencegahan stunting oleh seluruh Kepala Daerah peserta Rakornis.

Tahun 2019 pemerintah menetapkan 160 kabupaten prioritas penanganan stunting, bertambah dari tahun 2018 lalu yang hanya 100 kabupaten yang tersebar lokasinya di 34 propinsi. Sekretariat Wakil Presiden menyebarkan siaran pers untuk menyebarluaskan pesan tentang perluasan lokasi prioritas pencegahan stunting.

Hasil pantauan media selama penyelenggaraan Rakortek Stunting 2019, menunjukkan mayoritas media mengangkat isu tentang “Komitmen 105 Kabupaten/Kota untuk Penanganan dan Pencegahan Stunting”. Dalam bingkai yang dibangun media, komitmen ini menjadi penting agar dapat menurunkan angka stunting hingga di bawah 20 persen pada tahun 2024. Selain itu, media juga mengangkat salah satu narasumber pada gelaran Rakortek, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak yang berbagi resep cara Jawa Timur menurunkan angka stunting.

Narasumber yang paling banyak dikutip terkait isu ini adalah Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), Bambang Widianto dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak. Total pemberitaan yang dimuat media massa sebanyak 33 artikel dengan tonality seluruhnya positif. Press release disebarkan oleh Kantor Humas Setwapres didukung Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting).

Lampiran 3.

(41)

Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.

Stunting dan masalah gizi lain diperkirakan menurutkan produk domestic bruto (PDB) sekitar 3% per tahun.

Sumber Stranas Stunting 2018-2024

Profil

Gambar 16. Panitia Rapat Koordinasi Teknis Percepatan Pencegahan Stunting berfoto bersama Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Setwapres RI, Bambang Widianto

TP2AK atau Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Republik Indonesia.

Setwapres didukung TP2AK bertugas memastikan sinkronisasi program-program nasional, lokal dan masyarakat dengan pendekatan multisector melalui konvergensi program dan menyasar keluarga dengan ibu hamil dan baduta atau keluarga 1000 HPK di semua tingkatan yang didasari pada 5 (lima) pilar pencegahan stunting, yaitu (1) Komitmen dan visi kepemimpinan tertinggi negara; (2) Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; (3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; (4) Gizi dan ketahanan pangan, (5) Pemantauan dan evaluasi.

(42)

TIM PERCEPATAN PENCEGAHAN ANAK KERDIL (STUNTING) SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Gedung Grand Kebon Sirih, Lantai 15

Jl. Kebon Sirih Raya No. 35, Jakarta Pusat 10340

Telepon +62 21 391 2812 Faksimili +62 21 391 2511

E-mail tp2ak.stunting@gmail.com

Gambar

Gambar 1. Asisten Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia,   Abdul Muis, menyampaikan laporan penyelenggaraan acara.
Gambar 3. Bambang Widianto, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia,  Setwapres RI/Sekretaris Eksekutif TNP2K membuka acara Rapat
Gambar 4. Buku Pemetaan Kabupaten Buleleng.
Gambar 5. Peserta dan para bupati dari Provinsi Papua dan Papua Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

(5) Kegiatan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif yang dilakukan pemerintah Desa dalam bentuk Konvergensi pencegahan Stunting di Desa pada

Capaian sementara berdasarkan data dari 40.121 desa (53%) dari total Desa di Indonesia yang sudah melakukan updating data pada aplikasi eHDW dengan tingkat kelengkapan data sebesar

Pelaksanaan kegiatan konvergensi pencegahan stunting dilakukan guna memastikan pemenuhan layanan konvergensi pencegahan stunting di Desa bagi masyarakat miskin dan masyarakat

23 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saputri 24 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menunjukkan bahwa pada daerah- daerah stunting

(4) Peka budaya, artinya azas yang menentukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan penurunan stunting harus memperhatikan sosio budaya gizi daerah setempat; dan..

Memperkuat program promotif dan preventif dengan pembudayaan gerakan hidup sehat dan peningkatan pengawasan kualitas obat dan makanan. Mempercepat pemerataan

Pertemuan penggerakan masyarakat untuk rembuk Stunting, terdiri dari Pemerintah Desa, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Kader Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Kelompok

Persentase Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki kinerja baik dalam konvergensi Percepatan Penurunan Stunting. Mengembangkan sistem