• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkoherensi Pengaturan Pendirian Tempat Ibadah, Pemakaman dan Pendidikan Agama/Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan

Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan mengenai pendirian rumh ibadah/sanggar, pemakaman dan hak pendidikan merupakan fasilitas fundamental bagi setiap warga negara. Namun pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah, pemakaman, serta hak pendidikan bagi penganut kepercayaan bermasalah. Akibatnya, penganut kepercayaan tidak dapat beribadah dengan leluasa dalam sanggarnya, mereka kerap mendapat penolakan pemakaman di makam umum, penolakan pembangunan sanggar, dan di sekolah siswa penganut kepercayaan tidak mendapat pengajaran sesuai dengan ajaran yang mereka yakini.

3.1. Inkoherensi Pengaturan Pemakaman dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pemakaman bagi penganut kepercayaan memberikan celah bagi kelompok mayoritas untuk berbuat intoleran. “jika ditolak di pemakaman yang berasal dari tanah wakaf” menjadi celah bagi masyarakat untuk menolak pemakaman penganut kepercayaan. Penganut agama mayoritas selalu beralasan bahwa pemakaman umum adalah berasal dari tanah wakaf sehingga penganut kepercayaan sah jika ditolak pemakamannya.

Mengenai hak pemakaman yang layak berkaitan dengan UUD NRI 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal itu berkaitan juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 9 ayat (2) “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Ayat (3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Peraturan perundang-undangan di atas menjadi landasan untuk mendapat fasilitas pemakaman yang layak karena menyangkut kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi kerabat korban yang ditinggalkannya. Materi muatan dalam UUD NRI 1945 ini bertolak

belakang dengan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 khususnya mengenai pengaturan pemakaman (lihat; Bab IV bagian A point 3).

Mencermati frasa “mengenai adanya penolakan pemakaman” betul-betul dijadikan pijakan kelompok mayoritas untuk betul-betul menolak jenazah penganut aliran kepercayaan. Terdapat beberapa kasus penolakan pemakaman penganut kepercayaan, sementara pemerintah tidak juga kunjung memberikan fasilitas pemakaman bagi penganut kepercayaan secara merata. Sehingga dengan terpaksa jenazah penganut kepercayaan harus dimakamkan di pekarangan rumah.

Kondisi demikian tentu tidak ramah dan tidak memihak bagi penganut kepercayaan. Bagi jenzah sendiri memang tidak mengetahui apa yang terjadi, termasuk mendapat penolakan, namun yang merasakan pelanggaran ini adalah kerabatnya yang masih hidup. Kerabat yang mendapat musibah tidak mendapat penghidupan sejahtera lahir dan batin seperti yang dijamin dalam UUD NRI 1945. 3.2. Inkoherensi Pengaturan Mengenai Pendirian Sanggar dengan Hakikat Konsep

Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah bagi penganut kepercayaan substansinya sama dengan penganut „agama yang diakui‟ negara. Baik penganut agama maupun penganut kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah harus ada 90 tanda tangan serta bukti foto kopi KTP calon jemaah dan 60 tanda tangan serta foto kopi KT warga sekitar. Syarat ini yang menjadi pokok persoalan untuk mendirikan rumah ibadah bagi penganut kepercayaan yang notabene kelompok minoritas.

Penekanan pada kebebasan untuk mengejawentahkan keyakinannya menjadi landasan bahwa semua kelompok kepercayaan bebas untuk mendirikan rumah ibadah. UUD NRI 1945 pasal 28E menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu. Ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Sayangnya, pengaturan di atas tidak koheren dengan adanya Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 khususnya mengenai pembangunan sanggar (lihat; Bab IV bagian A

point 3). Persyaratan pembangunan sanggar penganut kepercayaan di atas hanya mengatur teknis mengenai proses perizinan pembangunan rumah ibadah.

Syarat-syaratnya dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah, yakni; Perber Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat (2) menyatakan “..., pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Bagi penganut kepercayaan akan sangat kesulitan mendapatkan tanda tangan dan bukti KTP seperti yang ditentukan di atas, karena mereka kelompok minoritas dan di lapangan kerap terjadi tekanan hebat dari perangkat desa. Pengaturan ini tidak lazim “melemparkan kebijakan kepada rakyat”. Adanya syarat 90/60 merupakan kebijakan yang sejatinya ada di tangan rakyat, bukan ditangan pemerintah. Selain itu, juga terdapat klausula mengenai penolakan dan pemerintah daerah harus memfasilitasi ketika ada persoalan dengan warga sekitar. Muatan materi ini bermasalah karena memberikan ruang terjadi tindakan intoleransi berupa penolakan perizinan pembuatan sanggar bagi penganut kepercayaan.

Pengaturan demikian jelas bertentangan norma hukum UUD NRI 1945, UU No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 39 Tahun 1999 yang menghendaki setiap orang bebas memeluk agama dan bebas untuk beribadah sesuai dengan yang mereka

yakini. Dengan demikian, jelas bahwa beberapa kejadian tentang penolakan dan pembakaran sanggar penganut kepercayaan merupakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan prinsip toleransi negara terhadap penganut kepercayaan.

3.3. Inkoherensi Pengaturan Pendidikan Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pendidikan merupakan hak dasar setiap orang yang harus dipenuhi oleh negara. Hak untuk memperoleh pendidikan agama yang layak tidak boleh direnggut oleh siapa pun termasuk negara. Sayangnya UU tentang pendidikan nasional tidak mengatur pendidikan kepercayaan bagi siswa-siswi penganut kepercayaan. Muatan materi UU tersebut tidak mengatur pendidikan kepercayaan dan guru mata pelajaran kepercayaan. Sehingga hak pendidikan kepercayaan tidak dipenuhi sebagaimana hak pendidikan agama bagi penganut agama „resmi negara‟.

Padahal UUD NRI 1945 Pasal 28C ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, ...”. Pasal 28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, ...”. Pasal 31 ayat (1) menyatakan ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ayat (5) “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 12

menyatakan “setiap orang berhak, ... memperoleh pendidikan, ... sesuai dengan hak asasi manusia”.

Sayangnya fundamentalnya hak pendidikan setiap orang, tidak diimbangi dengan pengaturan pendidikan ‟agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.32 Dalam undang-undang tersebut, hak pendidikan kepercayaan siswa penganut kepercayaan sama sekali tidak diatur.

UU Sisdiknas ini sama sekali tidak mengakomodir hak pendidikan kepercayaan bagi siswa yang menganut kepercayaan. Padahal, siswa penganut „agama resmi negara‟ disediakan mata pelajaran sekaligus gurunya. Siswa penganut kepercayaan telah terdiskriminasi dengan tidak diaturnya pendidikan penganut kepercayaan di sekolah. Adanya peraturan itu, mengakibatkan siswa penganut kepercayaan kerap mendapatkan diskriminasi di sekolah berupa pemaksaan pengajaran pendidikan agama. Banyak kasus di sekolah dimana siswa penganut kepercayaan dipaksa untuk mengikuti pelajaran agama, utamanya pelajaran agama Islam.

Melihat kondisi demikia, peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005. UU Sisdiknas bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan

32

prinsip toleransi yang harus dibangun oleh peraturan perundang-undangan untuk melindungi semua warga negaranya.

4. Inkoherensi Pengaturan tentang Penempatan Kepercayaan pada

Dokumen terkait