• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persamaan Hak Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia T2 322014002 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persamaan Hak Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia T2 322014002 BAB IV"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, KEPERCAYAAN DAN PENGANUT KEPERCAYAAN DI INDONESIA

Bab ini akan menjelaskan muatan materi beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak melindungi penganut kepercayaan. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut negara melakukan intervensi terhadap kebebasan berkeyakinan dan membatasi hak penganut kepercayaan. Berikutnya akan dijelaskan mengenai pertentangan muatan materi dalam peraturan perundang-undangan tersebut dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama dan kepercayaan.

Terakhir akan dijelaskan preskripsi mengenai peraturan perundang-undangan yang seyogyanya dalam melindungi penganut kepercayaan. Hal prinsip yang penulis pertahankan adalah bagaimana supaya peraturan perundang-undangan tersebut memosisikan secara sejajar antara penganut agama dan penganut kepercayaan.

A. Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut Kepercayaan Melalui Peraturan Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur keyakinan (belief) di Indonesia membuat dikotomi „agama‟ dan „kepercayaan‟. Adanya dikotomi

tersebut berakibat pada perlakuan yang berbeda dari negara terhadap penganut „kepercayaan‟ dan „agama‟. Bagi penganut agama diluar „agama resmi‟ negara,

(2)

dilayani oleh Kementerian Agama. Pemerintah dengan alasan menjalankan peraturan perundang-undangan kerap melakukan tindakan yang membatasi, bahkan merampas hak-hak dasar penganut kepercayaan.

Penganut kepercayaan juga mendapatkan perlakuan intoleran dari masyarakat dan tokoh agama (enam agama yang diakui negara). Para tokoh agama kerap menstigma miring dengan memberikan label sesat terhadap penganut kepercayaan. Akibat pelabelan sesat itu, penganut kepercayaan terancam keselamatannya dengan bayang-bayang penyerangan. Pelabelan sesat tak lepas dari peraturan perundang-undangan yang mengatur agama dan kepercayaan di Indonesia. Pengaturan mengenai agama dan kepercayaan memberi celah kepada warga mayoritas untuk bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap penganut kepercayaan.

1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama berdampak buruk terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi dalam UU No. 1/PNPS Tahun 1965 mengancam hak/kebebasan menganut kepercayaan dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan. Pengaturan tersebut membuat penganut kepercayaan berada dibawah bayang-bayang ancaman penodaan agama.

(3)

keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.1

Pasal 2 ayat (1) “barang siapa melanggar ketentuan pasal 1, diberi perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat

(2) menyatakan “apabila pelanggaran dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau

sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.2

Pasal 3 menyatakan “apabila telah dilakukan tindakan oleh Menag bersama Jaksa Agung, dan Mendagri/Presiden, terhadap orang/organisasi aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan pasal 1, maka orang/penganut, pengurus organisasi dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara

1

Penjelasan: dengan kata "dimuka umum" dimaksudkan apa yang diartikan dalam KUHPidana. Agama-agama yang dipeluk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Kecuali enam agama itu, mendapat jaminan seperti dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Kata "kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah dalam mengamalkan ajaran kepercayaannya. Lihat, UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

2

(4)

selama-lamanya lima tahun.”3 Pasal 4 menyatakan ”pada KUHPidana diadakan pasal baru yang berbunyi; pasal 156a ”dipidana dengan pidana penjara selama -lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, selain yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”4

UU di atas menimbulkan diskriminasi karena seseorang/kelompok penganut kepercayaan bisa divonis melakukan penyalahgunaan atau penodaan terhadap „agama resmi‟ negara. Peraturan ini tidak berpihak bagi penganut agama

„diluar agama resmi‟ yang dikelompokan kedalam penganut kepercayaan. Pengaturan di atas hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara, sementara

penganut kepercayaan tidak terlindungi bahkan terancam pidana. 2. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan

Pelayanan administrasi penganut kepercayaan diatur dalam UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berawal dari undang-undang inilah terjadi pembedaan perlakuan

3

Penjelasan: ancaman pidana ini adalah tindak lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan dalam pasal 2. Karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk organisasi, maka mengenai aliran kepercayaan, penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.

4

(5)

negara terhadap penganut agama dan penganut kepercayaan. Negara membedakan pelayanan administrasi penganut kepercayaan dengan penganut agama mengenai identitas agama di KTP, kewajiban mendaftarkan organisasi, dan pencatatan perkawinan yang berimplikasi pada pembuatan akta kelahiran, pembuatan Kartu Keluarga (KK), pengesahan dan pengakuan anak.

2.1. Pengaturan tentang Mengakui dan tidak Mengakui Agama (Identitas Agama di KTP)

Pengaturan tentang mengakui dan tidak mengakui agama menjadi pintu perlakuan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Diskriminasi semakin jelas dilakukan negara dengan adanya keharusan mencantumkan identitas agama di KTP. Penganut keyakinan diluar enam „agama resmi‟ negara dikosongkan identitas agamanya di KTP. Sementara penganut enam „agama resmi‟ negara

dicantumkan sesuai dengan agama masing-masing.

UU No. 24 Tahun 2013 pasal 8 ayat (4) menyatakan “...., persyaratan dan

tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan”.5 Pasal 64 ayat (1) menyatakan “KTP-el mencantumkan..., “agama”...”. Ayat (5) menyatakan “data penduduk tentang agama bagi penduduk

yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan „tidak diisi‟ tetapi

tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

2.2. Pengaturan tentang Tata Cara dan Syarat Pencatatan Perkawinan

5

(6)

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan penganut kepercayaan berdampak diskriminasi bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki pemuka penghayat kepercayaan. Syarat untuk memiliki pemuka kepercayaan, harus ada surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi kepercayaan. Artinya bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki SKT, maka perkawinannya tidak bisa dicatatkan. Perkawinan yang tidak bisa dicatatkan maka tidak mendapat akta perkawinan sehingga berdampak pada pembuatan akta kelahiran, KK, pengesahan anak, bahkan berdampak pada perkawinan sang anak dikemudian hari.

Pencatatan perkawinan bagi penganut „agama resmi‟ negara diatur dalam

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sahnya perkawinan diatur dalam pasal 2 yang menyatakan “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing -masing agama dan kepercayaannya itu”. PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (2) menyatakan “pencatatan perkawinan bagi penganut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.”6

Peraturan perundang-undangan di atas sama sekali tidak mengatur perkawinan penganut kepercayaan.

Pengaturan pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003 tentang Adminduk. Pasal 81 ayat (1) menyatakan “perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “pemuka penghayat kepercayaan,

6

(7)

ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan7 tugasnya mengisi dan menandatangani surat perkawinan”.8Ayat (3) menyatakan “pemuka penghayat

kepercayaan, didaftar pada kementerian yang tugasnya secara teknis membina organisasi kepercayaan”.9

Pencatatan perkawinan berimplikasi pada pengangkatan anak dan pengesahan anak. UU Adminduk pasal 49 ayat (2) menyatakan “pengakuan anak

hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara”. Pasal 50 ayat

(2) menyatakan “pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya

telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.10 2.3. Pengaturan tentang Keharusan Mendaftarkan Organisasi Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan yang mengharuskan organisasi kepercayaan didaftarkan di pemerintahan substansinya membatasi hak penganut kepercayaan. Keharusan mendaftar ini bertentangan dengan prinsip bahwa “setiap orang bebas

berserikat”, tanpa harus diformalkan oleh negara. Negara ini terlalu latah terhadap

kebiasaan yang ada di masyarakat bahwa sebuah perserikatan harus diformalkan.

7Penjelasan ayat (2): “yang dimaksud dengan organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu

wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi

pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

8

Lihat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003 tentang Administrasi Kependudukan.

9Pasal 82 menyatakan “peristiwa per

kawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan: a. Surat perkawinan penghayat kepercayaan; b. Foto kopi KTP; c. Pas foto suami dan istri; d. Akta kelahiran; dan e. Paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

10

(8)

Pengakuan negara terhadap sebuah perserikatan seharusnya tidak sebatas pada formalitas.

Selain itu, persyaratan supaya bisa terdaftar sebagai organisasi di pemerintah sulit dipenuhi karena sangat eksklusif bagi penganut kepercayaan. Salah satu syaratnya harus memiliki cabang organisasi yang sudah terdaftar ditiga kabupaten/kota. Bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki cabang ditiga kabupaten/kota tidak bisa terdaftar.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) menyatakan “gubernur menerbitkan SKT organisasi penghayat kepercayaan tingkat provinsi. Ayat (2) “penerbitan SKT dengan persyaratan

sebagai berikut: ..., d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota; ..., k. surat keterangan domisili ditandatangani oleh lurah dan camat; l. surat kontrak/izin pakai tempat bermaterai cukup; ...”.11 Pasal 6 ayat (1) “bupati/walikota

menerbitkan SKT organisasi penghayat kepercayaan tingkat kabupaten/kota”. Ayat

(2) “penerbitan SKT dengan persyaratan sebagai berikut: ..., d. SKT minimal di

3 (tiga) Kabupaten/Kota; ..., k. surat keterangan domisili ditandatangani oleh lurah dan camat; l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;...”.

3. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadah, Pemakaman dan Hak Pendidikan Penganut Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan mengenai pendirian tempat ibadah/sanggar, pemakaman dan hak pendidikan agama bagi penganut kepercayaan menimbulkan

11

(9)

diskriminasi bagi penganut kepercayaan. Ketiga persoalan ini merupakan fasilitas publik yang harus dipenuhi oleh negara tanpa perlakuan yang berbeda.

3.1. Pengaturan tentang Fasilitas Pemakaman

Pengaturan mengenai fasilitas pemakaman bagi penganut kepercayaan tidak kondusif karena memberikan celah bagi kelompok mayoritas bertindak intoleran terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi tersebut menjadi celah melakukan penolakan pemakaman. Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009, pasal 8 ayat (1) menyatakan “penghayat kepercayaan yang

meninggal dunia dimakamkan pemakaman umum”. Ayat (2) “jika pemakaman

penghayat kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari tanah wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum”. Ayat (3) “lahan

pemakaman umum dapat disediakan oleh penghayat kepercayaan”. Ayat (4)

“bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh penghayat kepercayaan, untuk menjadi pemakaman umum”.

3.2. Pengaturan Mengenai Pendirian Rumah Ibadah/Sanggar

(10)

foto kopi KTP warga sekitar. Syarat ini tentu sangat memberatkan penganut kepercayaan karena mereka kelompok minoritas.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 9 ayat (1) menyatakan “penyediaan sanggar didasarkan atas keperluan nyata dan

sungguh-sungguh bagi penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “penyediaan sangggar, dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan”. Pasal 10

“pembangunan sanggar, harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 11 ayat (1) “penghayat kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan

bangunan untuk penyediaan sanggar dengan bangunan baru, kepada bupati/walikota”. Ayat (2) “bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat

90 hari sejak diterimanya permohonan pendirian sanggar yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Pasal 12 ayat (1) “penyediaan sanggar yang telah mendapat ijin sebagaimana mendapat penolakan dari masyarakat, pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud”. Ayat (2)

“ketika pemerintah daerah dalam memfasilitasi tidak berhasil, pemerintah daerah

berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sanggar”. Pasal 13 menyatakan ”bupati/walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan

gedung sanggar yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah”.

(11)

Pengaturan tentang Sistem Pedidikan Nasional (Sisdiknas) membuat siswa penganut kepercayaan tidak mendapat pendidikan kepercayaan di sekolah umum. Sekolah-sekolah umum12 tidak menyediakan guru dan mata pelajaran kepercayaan sebagai pengganti mata pelajaran agama. UU Sisdiknas hanya mengatur mengenai guru dan mata pelajaran bagi penganut agama „resmi negara‟.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama……..”.13

UU ini, sama sekali tidak menyinggung mengenai pendidikan „agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU tentang pendidikan ini berlaku diskriminatif bagi penganut kepercayaan. Padahal setiap orang berhak mendapatkan pengajaran dan pendidikan termasuk pendidikan agama.

4. Pengaturan tentang Menempatkan Kepercayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Peraturan yang tidak kondusif mengatur penganut kepercayaan tidak hanya dari sisi substansi muatan materinya. Kebijakan pemerintah memindahkan kepercayaan dari Departemen Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga bermasalah. Adanya pengaturan itu membuat posisi kepercayaan tersubordinasi oleh agama. Penghayat kepercayaan dinyatakan bukan agama sehingga ditempatkan pada kementerian budaya dan pariwisata dan diawasi pula

12

Kenapa sekolah umum? Karena sekolah umumlah yang wajib menerima semua anak bangsa bersekolah. Apabila sekolah-sekolah yang berada dibawah yayasan berhaluan agama, akan sangat sulit bagi penganut kepercayaan untuk sekolah di sekolah tersebut.

13

(12)

oleh Mendagri. Kepercayaan diposisikan sebagai ajaran atau budaya bangsa, bukan agama yang disejajarkan dengan „agama resmi‟ negara.

Pada tahun 1975 penghayat kepercayaan dimasukan pada Kanwil Depag (Kemenag) pada tingkat Propinsi. Berdasarkan Instruksi Menag No. 13 Tahun 1975, pembinaan penganut kepercayaan dialihkan pada sub Bagian Umum Tata Usaha, Menag. Pada tahun 1978, pelayanan penganut kepercayaan dialihkan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah Direktorat Bina Hayat Kepercayaan berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 1978.

Alasan mendasar penghayat kepercayaan tidak dibawah naungan Depag karena penghayat keperayaan dinilai bukan merupakan agama. Atas dasar itu, Perpres No. 14 Tahun 2015 pasal 19 mengatur bahwa ”dalam melaksanakan

tugasnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan fungsi: ..., d. Melakukan pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ……”.14

Sebagai turunannya dibuatlah Permendikbud No. 73 Tahun 2012 tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya. Pasal 1 ayat 13 menyatakan ”komunitas

kepercayaan adalah kesatuan sosial genealogis, memiliki keyakinan dan pandangan kosmologis yang terikat oleh kekuatan adi kodrati, mempunyai kitab yang dijadikan rujukan, orang yang terpilih sebagai penerima ajaran, ada upacara peribadatan”. Pasal 4 menyatakan ”bantuan sosial diberikan kepada: ..., b.

14

(13)

komunitas kepercayaan, yang terdiri atas organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar di pemerintah”.15

5. Pengaturan tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap Penganut Kepercayaan

Pembinaan dan pengawasan kementerian secara berlebihan mengakibatkan penganut kepercayaan mendapat perlakuan diskriminatif dan intoleran. Penganut kepercayaan seakan kelompok keyakinan yang membahayakan sehingga harus diawasi dan harus dibina.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 15 ayat (1) menyatakan “Mendagri melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan. Ayat (2) “pembinaan itu dilakukan

dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan”. Ayat (3) “pengawasan umum itu dilakukan dengan

memantau gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan”.

Pasal 16 ayat (1) menyatakan “Menbudpar melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan”. Ayat (2)

“pembinaan teknis itu meliputi: a. pemberian pedoman; b. pemberian bimbingan

teknis, konsultasi, supervisi; dan c. dokumentasi dan publikasi. Ayat (3)

15

(14)

“pengawasan teknis itu dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi terhadap

pelayanan penghayat kepercayaan”.

Kemudian pasal 17 menyatakan “gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan penghayat kepercayaan”.

Pasal 18 ayat (1) “bupati/walikota melaporkan tugas pelayanan penghayat

kepercayaan di kabupaten/kota kepada gubernur”. Ayat (2) “gubernur melaporkan tugas pelayanan penghayat kepercayaan di provinsi kepada Mendagri dan Menbudpar”. Ayat (3) “laporan sebagaimana yang dimaksud disampaikan setiap 6

(enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan”.

Bukan hanya ‟dibina‟ oleh Kemendagri dan Kemendikbud, penganut kepercayaan juga diawasi oleh Kejaksaan melalui lembaga Bakor Pakem. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan16 pasal 30 ayat (3) menyatakan “..., dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:…….. d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; ……”.17

UU di atas menjadi landasar Kejaksaan membuat Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem. Pasal 2 ayat (4) 59:

a. Ketua merangkap anggota: Kepala Kejaksaan Negeri. Susunan dan Keanggotaan Pakem Tingkat 2 adalah:

b. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Seksi Intel

16

UU tentang Kejaksaan sudah mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali dibentuk pada tahun 1961.

17

(15)

c. Anggota-anggota dari wakil: Pemda tingkat II, Kemenag, Polres, Kodim, Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya.”18

Pasal 3 ayat (1) 60: tugas tim Pakem menurut pasal 3 Keputusan Jaksa Agung bertugas:

a. Menerima dan menganalisa laporan dan atau informasi tentang aliran kepercayaan di Masyarakat;

b. Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman umum;

c. Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melihat peraturan perundang-undangan di atas, negara telah turut campur dalam keyakinan individu penganut kepercayaan. Hak-hak dasar penganut keperayaan dibatasi oleh UU tentang penodaan agama, keharusan mencantumkan identitas agama di KTP, pelayanan administrasi kependudukan, dan pembentukan Bakor Pakem. Pengaturan itu merugikan hak-hak dasar penganut kepercayaan bahkan pada beberapa kasus, seseorang dipidana karena dianggap telah menodai agama. Artinya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak kondusif dalam mengatur kepercayan.

18

(16)

B. Pengaturan tentang Kepercayaan Bertentangan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan tentang kepercayaan pada bagian A di atas bertentangan dengan asas/prinsip hukum universal yang melindungi hak-hak dasar setiap individu manusia (lihat; bab II). Pengaturan tersebut juga bertentangan dengan hakikat kesamaan agama dan kepercayaan (lihat; bab III) dimana sejatinya penganut agama dan penganut kepercayaan posisinya sejajar dimata hukum. Tak hanya dari sisi muatan materiilnya, peraturan perundang-undangan tersebut juga bertentangan dengan syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

1. Inkoherensi19 Pengaturan tentang UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan, serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Materi muatan dalam UU No. 1/PNPS 1965 bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2015. Substansi undang-undang tersebut juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi, prinsip non-diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat; bab III) terhadap menganut kepercayaan. UU tersebut hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara. Sementara penganut kepercayaan tidak dilindungi, bahkan posisinya terancam

19

(17)

pidana. Ancaman ini terbukti dengan adanya beberapa pimpinan kelompok agama/kepercayaan yang dipidana karena dianggap menodai agama.

Padahal, kebebasan menganut agama atau kepercayaan serta beribadah sesuai dengan yang diyakini dijamin dan dilindungi UUD NRI 1945. Pasal 28E ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya.” Ayat (2) ”setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28I ayat (1) “kebebasan beragama dan

berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan ”negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”20

Prinsip kebebasan beragama ditegaskan juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 pasal 4 yang menyatakan “..., hak beragama, ... adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.21

Pasal 22 ayat (1)”setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” Ayat (2) ”negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.22

Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan ”setiap orang berhak atas kebebasan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

20

Lihat, perubahan keempat UUD NRI 1945.

21

Lihat, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

22

Jimly Asshiddiqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi,

(18)

menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

Ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu

kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Ayat (3) ”kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan dan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.23

Pengaturan kebebasan beragama di Indonesia tidak kondusif lantaran adanya UU No. 1/PNPS Tahun 1965 (lihat; Bab IV bagian A point 1). UU ini tidak kondusif melindungi hak kebebasan menganut kepercayaan, bahkan mengancam pidana. Muatan materi penjelasan pasal satu misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Apabila suatu kelompok kepercayaan melakukan kegiatan/ibadah mirip dengan ritual agama di atas, , maka bisa saja melanggar UU No. 1/PNPS Tahun 1965.

Ancaman ini bukan isapan jempol belaka, di Indonesia terdapat beberapa putusan pengadilan yang memidana seseorang karena keyakinannya. Bukan hanya sangsi pidana, kebijakan pemerintah yang menghentikan kegiatan organisasi

23

(19)

keagamaan nyata terjadi di Indonesia. Hasil investigasi Amnesty Interbasional merilis beberapa kasus yang berujung pemidaan terhadap penganut kepercayaan.

Salah satunya menimpa Andreas Guntur Wisnu Sarsono, pemimpin kepercayaan Amanat Keagungan Ilahi (AKI), sekte keagamaan di Jawa Tengah. Andreas dipenjara empat tahun karena dianggap menodai agama. Andreas dituntut berdasarkan Pasal 156(a) KUHP tentang penodaan agama. Melalui putusan Pengadilan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt24 Andreas dijatuhi hukuman empat tahun penjara pada Maret 2012. Keputusan itu juga dipertahankan oleh Pengadilan Tinggi Semarang pada April 2012 dengan Putusan No. 98/PID/2012/PT.SMG25 dan putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/201226 pada Agustus 2012.

Pada akhir laporannya, Amnesty International merilis daftar 106 nama penganut kepercayaan dan penganut sekte „agama resmi‟ yang secara individu

telah dipenjara karena undang-undang penodaan agama.27 Putusan-putusan pengadilan tentang penodaan/penghinaan terhadap agama, menjadi landasan bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara uji materi KUHP jo UU No.

24

Lebih lengkapnya mengenai saksi-sakis, buki-bukti dalam persidangan serta pertimbangan hakim, lihat Putusan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt.

25

Lebih lengkapnya mengenai pertimbangan hakim, saksi-saksi, serta bukti dalam persidangan lihat Putusan No. 98/PID/2012/PT.SMG.

26

Lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/2012. Putusan ini menguatkan putusan PN Klaten dan PT Semarang.

27

Laporan Amnesty Internasional, dipublikasikan pertama kali pada tahun 2014 oleh Amnesty International Ltd, Peter Benenson House, 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom,

(20)

1/PNPS Tahun 1965. Melalui putusan No. 84/PUU-X/2012,28 MK menolak seluruh permohonan para pemohon. Sebelumnya, pada tahun 2009 MK juga telah menolak permohonan Uji Materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 terhadap UUD NRI 1945. Permohonan para pemohon yang diwakili perorangan termasuk salah satunya KH Abdurrahman Wahid (alm) dan beberapa LSM pegiat HAM, ditolak majelis hakim melalui putusan No. 140/PUU-VII/2009.29

Melihat fakta hukum tersebut, UU tentang penodaan agama sangat bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak konsisten dengan norma hukum kebebasan beragama dan perlindungan hak asasi manusia sebagai ciri negara hukum (lihat bab I). Analisis penulis di atas sejalan dengan pandangan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan No.

140/PUU-VII/2009. Maria berpendapat pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965, apabila dihubungkan dengan penjelasannya maka negara hanya menjamin, melindungi, dan memberikan bantuan secara penuh hanya kepada enam agama di Indonesia, (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Sedangkan terhadap agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tidak dilarang di Indonesia asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangan lain”. Demikian pula dengan penganut aliran kepercayaan “pemerintah berusaha menyalurkannya ke

28

Lebih lengkapnya mengenai saksi dan bukit serta pendapat hakim, lihat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 84/PUU-X/2012 mengenai uji materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 dan KUHP terhadap UU NRI 1945.

29

(21)

arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa ...”. Melalui ayat itu, pemerintah diberikan wewenang untuk menyalurkannya penganut kepercayaan ke arah „pandangan yang sehat‟ dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Seakan, penganut kepercayaan diasumsikan dalam kondisi tidak sehat (tidak sehat keyakinannya atau apanya?)

Terhadap pasal 2, Maria berpendapat bahwa rumusan pasal 2 dan penjelasannya terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam ayat (1) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “barangsiapa ...” yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan biasanya dimaknai dengan setiap orang atau badan hukum (korporasi). Sedangkan pada ayat (2) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan.” Dengan demikian ketentuan pasal 2 sebenarnya hanya ditujukan terhadap “orang

ataupun penganut suatu kepercayaan atau pengurus organisasi, atau aliran terlarang”. Bukankah negara tidak dapat ikut campur terhadap keyakinan

seseorang?

Terhadap pasal 3 yang mengatur “apabila telah dilakukan sesuai pasal 2

masih melanggar ketentuan pasal 1, maka orang/anggota atau pengurus organisasi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”, Maria berpendapat bahwa terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam pasal tersebut yang menjadi adressat, yang dapat dijatuhi pidana penjara lima tahun adalah ”pengurus organisasi atau badan aliran kepercayaan” sedangkan

(22)

Terhadap rumusan pasal 4, Maria berpendapat bahwa pengaturan yang memerintahkan penambahan suatu pasal ke dalam UU lain adalah sesuatu yang tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Pendapat tersebut boleh saja dapat dikesampingkan, dengan alasan karena pada saat terbentuknya UU itu belum terdapat pedoman yang mengatur tentang pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itu, Maria Farida Indrati menyimpulkan bahwa, UU No. 1/PNPS Tahun 1965 merupakan produk masa lampau, meskipun berdasarkan aturan peralihan pasal I UUD 1945 secara formal masih berlaku (validity).30 Namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap UUD NRI 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Merujuk penjelasan di atas, muatan materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 jelas bertentangan dengan norma hukum UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2015, dan UU No. 12 Tahun 2015.

Negara melakukan pembatasan yang berlebihan, melebihi ketentuan syarat-syarat pembatasan forum eksternum (lihat: bab III). UU a quo juga bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi negara, karena negara telah membeda-bedakan status agama yang diakui dan tidak diakui. Agama yang tidak diakui dan penganut kepercayaan tersubordinasi dan menjadi tidak setara dengan agama yang diakui negara. UU a quo juga bertentangan dengan prinsip toleransi sehingga memicu

30

(23)

terjadinya tindakan intoleransi sesama warga negara dengan label sesat dan menyesatkan.

2. Inkoherensi Pengaturan Administrasi Kependudukan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan mengenai pelayanan administrasi kependudukan yang dimaksud pada pembahasan ini yakni pencantuman identitas agama di KTP, pencatatan perkawinan, dan keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan. Ketiga pengaturan tentang administrasi kependudukan ini inkonsisten dengan hakikat konsep kesamaan antara agama dan kepercayaan dan bertentangan juga dengan konsep hukum kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan. Adanya peraturan perundang-undangan tersebut, membuat penganut kepercayaan terdiskriminasi bahkan kerap mendapat cap/label sesat dari kelompok agama mayoritas.

2.1. Inkoherensi Pengaturan tentang Mengakui/Tidak Mengakui Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

(24)

kepercayaan. Keharusan mengisi kolom agama di KTP juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi, non-diskriminasi, dan prinsip toleransi yang menghendaki semua orang hidup selaras, sejajar, saling menghargai dan harmonis.

Kesetaraan hak pelayanan administrasi penganut agama dan penganut kepercayaan dapat dirunut mulai UUD NRI 1945. Pasal 28D ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28E ayat (1)

menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, ……”. Ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, ...”. Pasal 28H ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak

mendapat, ..., kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Selanjutnya, pasal 28I ayat (1) menyatakan “hak untuk hidup, hak tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,..., adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap

orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.

Pengaturan tentang kesetaraan hak juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2005. Pasal 18 ayat (2) menyatakan “tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menganut

atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”.

(25)

masing-masing dan beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Merujuk pada peraturan perundang-undangan di atas, negara tidak berhak untuk mengakui dan tidak mengakui agama.

Sayangnya norma hukum di atas tidak koheren dengan norma hukum UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 khususnya pasal yang mengatur pencantuman identitas agama di KTP dan pembedaan pelayanan adminduk (lihat; Bab IV bagian A point 2). Padahal, sesuai dengan pemaparan di atas setiap orang berhak bebas dari tindakan diskriminas. Artinya negara telah menabrak prinsip hukum kesetaraan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

Pencantuman identitias agama dalam KTP tidak sebatas persoalan perbedaan tulisan, kosong dan tidak kosong dalam KTP. Jauh dari itu, pencantuman identitas agama dalam KTP menyangkut substansi hak sebagai warga negara Indonesia. Warga Indonesia yang agamanya tidak diakui dan penganut kepercayaan ketika hendak membuat KTP harus susah payah menjelaskan keyakinan yang dipeluknya.

(26)

agama resmi negara. Padahal, ibadah mereka sehari-hari tidak berdasarkan „agama resmi‟ negara, melainkan sesuai dengan agama/kepercayaan mereka sendiri.

Atas dasar inilah, penganut kepercayaan kerap disangka melakukan penodaan agama terhadap „agama resmi‟ negara. Disinilah lertak kekeliruan negara mengharuskan mencantumkan kolom agama dalam KTP. Singkat kata, negara harus menyamakan hak pencantuman identitas mereka tanpa adanya pembedaan. Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi negara dan kesamaan hak penganut agama dan kepercayaan (lihat; bab III).

2.2. Inkoherensi Pengaturan mengenai Keharusan Mendaftarkan Organisasi Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan supaya mendapat Surat Keterangan Terdaftar (SKT), bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara. Negara tidak berhak memaksa sebuah organisasi atau perserikatan supaya mendaftar di pemerintahan. Untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi penganut kepercayaan, tidak hanya sebatas pada kelompok yang memiliki SKT. Karena itu, syarat formil muatan materi tentang keharusan mendaftar sebagai organisasi tidak terpenuhi.

Berkenaan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28J ayat (1) menyatakan “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. UU No. 12 Tahun 2005

(27)

ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan politik publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”.

Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 69 ayat (1) menyatakan “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Ayat (2)

menyatakan “setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar

dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan memajukannya”.

Kehendak mulia dalam peraturan perundang-undangan di atas tidak konsisten dengan muatan materi Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 utamanya mengenai kewajiban mendaftarkan organisasi kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 2). Pada intinya, pasal-pasal dalam Perber di atas tidak memenuhi syarat formil pembuatan peraturan perundang-undangan. Untuk melindungi, memenuhi, serta menghormati penganut kepercayaan, negara tidak perlu mengharuskan penganut kepercayaan mendaftarkan diri di pemerintahan.

(28)

Selain itu pasal-pasal yang menjadi persyaratan tidak ramah bagi penganut kepercayaan, karena aturan tersebut terlalu memberatkan penganut kepercayaan terkhusus mengenai keharusan adanya SKT di tiga kabupaten/kota dan keharusan adanya tanda tangan dari lurah dan camat. Padahal, apabila tidak bisa mendaftar sebagai organisasi, maka hak-hak administrasi kepercayaan tidak bisa dilayani utamanya dalam pencatatan perkawinan.

2.3. Inkoherensi Pengaturan Pencatatan Perkawinan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan mengandung norma yang diskriminatif utamanya bagi yang tidak memiliki pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan yang bisa mencatatkan perkawinan hanya yang memiliki izin menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya mempunyai pemuka kepercayaan yang memiliki izin mengawinkan, organisasinya sudah memiliki SKT. Bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki SKT secara otomatis tidak memiliki pemuka penghayat kepercayaan yang mendapat „lisensi‟

mengawinkan dari negara.

Padahal, hak untuk membentuk keluarga yang sah amat fundamental sehingga UUD NRI 1945 mengaturnya. Pasal 28B ayat (1) menyatakan “setiap

(29)

dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005, pasal 23 ayat (1) menyatakan “keluarga adalah sendi dasar masyarakat yang dialami dan mendasar yang berhak

atas perlindungan dari masyarakat dan negara”. Ayat 2 menyatakan “hak laki-laki dan perempuan dewasa untuk menikah dan membentuk suatu keluarga harus diakui”. Penjelasan ayat ini menyatakan “pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan”.

Sayangnya, kehendak bebas melakukan perkawinan seperti dalam pengaturan di atas bertentangan dengan PP No. 37 Tahun 2007 khususnya mengenai pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 2). Muatan materi dalam PP tersebut berintikan bahwa dapat dicatatkan atau tidaknya perkawinan penganut kepercayaan ditentukan oleh pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan tersebut harus mendapat lisensi mengawinkan dari pemerintah.

(30)

anak tidak memiliki akta perkawinan maka keturunannya tidak bisa dicatatkan perkawinannya.

Padahal Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 52 ayat (1) mengatur syarat bahwa pencatatan kelahiran penduduk WNI..., dilakukan dengan memenuhi syarat berupa: a. ….., c. KK orang tua; d. KTP orang tua; dan e. Kutipan akta

nikah/akta perkawinan orang tua”. Ekses hukum tidak mempunyai akta

perkawinan, dalam akta kelahiran tertulis „anak luar kawin‟ bukan anak dari „pasangan suami istri‟. Status „anak luar kawin‟ ini diasumsikan anak yang lahir

dari hubungan gelap atau lahir dari hubungan yang bukan suami istri. Stigma negatif „anak luar kawin‟ akan melekat pada anak dan timbul persoalan ketika sang

anak hendak mendaftar pekerjaan atau hendak mendaptar sekolah.

Persoalan selanjutnya mengenai hak pelayanan Kartu Keluarga akibat tidak adanya akta perkawinan. Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 12 ayat (1) menyatakan “penerbitan KK baru bagi penduduk dilakukan setelah memenuhi syarat berupa: a. ..., b. Foto kopi atau menunjukkan Kutipan Akta Nikah/Kutipan Akta Perkawinan;...”. Penganut kepercayaan yang tidak memiliki akta perkawinan,

mereka bisa mendapatkan KK dari Dinas Catatan Sipil namun dengan catatan „kepala keluarga‟ perempuan.31

Status hukum administrasi ini menjadi kebalik-balik dan tidak mengandung norma kepastian hukum. Akibat dari kepala keluarga perempuan, penganut Sedulur

31

(31)

Sikep Kudus pernah ditolak meminjam uang oleh salah satu bank karena dianggap tidak akan mampu membayar utang jika kepala keluarganya perempuan.

Fakta demikian tentu sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005 yang menghendaki setiap orang dan setiap warga negara sejajar dihadapan hukum. UU yang mengatur tentang pencantuman identitas agama di KTP, keharusan mendaftar sebagai organisasi, dan pencatatan perkawinan penganut kepercayaan, jelas bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara, prinsip non-diskriminasi negara, dan prinsip toleransi negara terhadap penganut kepercayaan. Padahal prinsip-prinsip itu merupakan kunci untuk menyamakan hakikat konseptual agama dan menyamakan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

3. Inkoherensi Pengaturan Pendirian Tempat Ibadah, Pemakaman dan Pendidikan Agama/Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

(32)

3.1. Inkoherensi Pengaturan Pemakaman dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pemakaman bagi penganut kepercayaan memberikan celah bagi kelompok mayoritas untuk berbuat intoleran. “jika ditolak di

pemakaman yang berasal dari tanah wakaf” menjadi celah bagi masyarakat untuk

menolak pemakaman penganut kepercayaan. Penganut agama mayoritas selalu beralasan bahwa pemakaman umum adalah berasal dari tanah wakaf sehingga penganut kepercayaan sah jika ditolak pemakamannya.

Mengenai hak pemakaman yang layak berkaitan dengan UUD NRI 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) menyatakan

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal itu berkaitan juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 9 ayat (2) “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera

lahir dan batin. Ayat (3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat”.

(33)

belakang dengan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 khususnya mengenai pengaturan pemakaman (lihat; Bab IV bagian A point 3).

Mencermati frasa “mengenai adanya penolakan pemakaman” betul-betul dijadikan pijakan kelompok mayoritas untuk betul-betul menolak jenazah penganut aliran kepercayaan. Terdapat beberapa kasus penolakan pemakaman penganut kepercayaan, sementara pemerintah tidak juga kunjung memberikan fasilitas pemakaman bagi penganut kepercayaan secara merata. Sehingga dengan terpaksa jenazah penganut kepercayaan harus dimakamkan di pekarangan rumah.

Kondisi demikian tentu tidak ramah dan tidak memihak bagi penganut kepercayaan. Bagi jenzah sendiri memang tidak mengetahui apa yang terjadi, termasuk mendapat penolakan, namun yang merasakan pelanggaran ini adalah kerabatnya yang masih hidup. Kerabat yang mendapat musibah tidak mendapat penghidupan sejahtera lahir dan batin seperti yang dijamin dalam UUD NRI 1945. 3.2. Inkoherensi Pengaturan Mengenai Pendirian Sanggar dengan Hakikat Konsep

Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

(34)

Penekanan pada kebebasan untuk mengejawentahkan keyakinannya menjadi landasan bahwa semua kelompok kepercayaan bebas untuk mendirikan rumah ibadah. UUD NRI 1945 pasal 28E menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”. Pasal 29 ayat (2)

menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu. Ayat (2) “negara menjamin

(35)

point 3). Persyaratan pembangunan sanggar penganut kepercayaan di atas hanya mengatur teknis mengenai proses perizinan pembangunan rumah ibadah.

Syarat-syaratnya dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah, yakni; Perber Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat (2) menyatakan “..., pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Bagi penganut kepercayaan akan sangat kesulitan mendapatkan tanda tangan dan bukti KTP seperti yang ditentukan di atas, karena mereka kelompok minoritas dan di lapangan kerap terjadi tekanan hebat dari perangkat desa. Pengaturan ini tidak lazim “melemparkan kebijakan kepada rakyat”. Adanya syarat

90/60 merupakan kebijakan yang sejatinya ada di tangan rakyat, bukan ditangan pemerintah. Selain itu, juga terdapat klausula mengenai penolakan dan pemerintah daerah harus memfasilitasi ketika ada persoalan dengan warga sekitar. Muatan materi ini bermasalah karena memberikan ruang terjadi tindakan intoleransi berupa penolakan perizinan pembuatan sanggar bagi penganut kepercayaan.

(36)

yakini. Dengan demikian, jelas bahwa beberapa kejadian tentang penolakan dan pembakaran sanggar penganut kepercayaan merupakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan prinsip toleransi negara terhadap penganut kepercayaan.

3.3. Inkoherensi Pengaturan Pendidikan Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pendidikan merupakan hak dasar setiap orang yang harus dipenuhi oleh negara. Hak untuk memperoleh pendidikan agama yang layak tidak boleh direnggut oleh siapa pun termasuk negara. Sayangnya UU tentang pendidikan nasional tidak mengatur pendidikan kepercayaan bagi siswa-siswi penganut kepercayaan. Muatan materi UU tersebut tidak mengatur pendidikan kepercayaan dan guru mata pelajaran kepercayaan. Sehingga hak pendidikan kepercayaan tidak dipenuhi sebagaimana hak pendidikan agama bagi penganut agama „resmi negara‟.

Padahal UUD NRI 1945 Pasal 28C ayat (1) menyatakan “setiap orang

berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, ...”. Pasal

28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, ...”. Pasal 31 ayat (1) menyatakan ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ayat (5)

“pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi

(37)

menyatakan “setiap orang berhak, ... memperoleh pendidikan, ... sesuai

dengan hak asasi manusia”.

Sayangnya fundamentalnya hak pendidikan setiap orang, tidak diimbangi dengan pengaturan pendidikan ‟agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan “setiap peserta didik

pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.32 Dalam undang-undang tersebut, hak pendidikan kepercayaan siswa penganut kepercayaan sama sekali tidak diatur.

UU Sisdiknas ini sama sekali tidak mengakomodir hak pendidikan kepercayaan bagi siswa yang menganut kepercayaan. Padahal, siswa penganut „agama resmi negara‟ disediakan mata pelajaran sekaligus gurunya. Siswa

penganut kepercayaan telah terdiskriminasi dengan tidak diaturnya pendidikan penganut kepercayaan di sekolah. Adanya peraturan itu, mengakibatkan siswa penganut kepercayaan kerap mendapatkan diskriminasi di sekolah berupa pemaksaan pengajaran pendidikan agama. Banyak kasus di sekolah dimana siswa penganut kepercayaan dipaksa untuk mengikuti pelajaran agama, utamanya pelajaran agama Islam.

Melihat kondisi demikia, peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005. UU Sisdiknas bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan

32

(38)

prinsip toleransi yang harus dibangun oleh peraturan perundang-undangan untuk melindungi semua warga negaranya.

4. Inkoherensi Pengaturan tentang Penempatan Kepercayaan pada Kemendibud dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Kesetaraan status dimata hukum merupakan hak setiap warga negara dan setiap orang. Sayangnya prinsip ini tidak dirasakan penganut kepercayaan karena tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana penganut „agama resmi‟ negara. Penganut kepercayaan dilayani oleh Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan sementara Penganut Agama dilayani oleh Kementerian Agama. Alasan pembedaan pelayanan ini karena kepercayaan dianggap bukan agama, padahal antara agama dan kepercayaan hakikatnya sama. Adanya pembedaan ini berakibat pada perlakuan yang setara pada penganut kepercayaan.

Berkaitan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28D ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28H ayat (2)

menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 3 ayat (1) menyatakan “setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia

(39)

jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. Ayat (3) “setiap orang berhak atas

perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi”.

Selanjutnya pasal 4 menyatakan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2015 pasal 18 ayat (1) menyatakan “setiap

orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

(40)

Inti dari peraturan perundang-undangan di atas yakni penghayat kepercayaan bukanlah agama. Sehingga tidak dinaungi oleh Departemen Agama yang sekarang menjadi Kementerian Agama. Masalah muncul ketika sekarang penganut kepercayaan meminta status yang sama kepada negara dalam pengisian identitas agama di KTP. Penghayat kepercayaan meskipun secara formalitas berbeda (yakni agama/kepercayaan) namun mereka menuntut hak-hak yang sama dari negara. Hak administrasi publik, perkawinan, pendidikan, hak beribadah di rumah ibadah, penganut kepercayaan menuntut supaya negara menyamakan dengan hak penganut agama.

Kondisi demikian menjadi persoalan hukum tata negara yang tidak sesuai dengan hakikat konseptual agama dan kepercayaan, serta kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan. Kebijakan menempatkan kepercayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005, konsep kesamaan hak penganut agama dan kepercayaan, serta bertentangan dengan prinsip non-intervensi, non-diskriminasi, dan toleransi negara terhadap kepercayaan. Ketiga prinsip ini dilanggar oleh peraturan perundang-undangan tersebut karena memosisikan kepercayaan tidak sejajar dengan penganut agama. Padahal hakikat agama dan kepercayaan sama dan memiliki hak hukum yang sama.

(41)

Peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan terhadap penganut kepercayaan sangat eksklusif. Akibatnya penganut kepercayaan tidak bebas melakukan ibadah, pengamalan, dan pengajaran tentang kepercayaan. Adanya peraturan perundang-undangan tersebut membelenggu kebebasan berekspresi penganut kepercayaan karena berada dalam bayang-bayang penyesatan. Adanya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem) setidaknya membuat tiga kelompok kepercayaan/agama dinyatakan sesat dan harus dibubarkan. Kondisi peraturan perundang-undangan demikian bertentangan dengan prinsip bahwa agama dan kepercayaan hakikatnya sama sehingga harus mendapatkan hak-hak yang sama.

Hal itu senada dengan spirit UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, ...”. Ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ayat (3) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Pasal 28I ayat (1) menyatakan “..., hak beragama, ..., adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap

(42)

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kebebasan beragama, beribadah, berkumpul dan berserikat juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap

orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2) menyatakan “negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1) menyatakan ”setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”. Selanjutnya ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa

sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(43)

tentang Kejaksaan khususnya mengenai pengawasan aliran kepercayaan dan SK No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem (lihat; bab IV bagian A point 5).

Adanya beberapa contoh kasus pelarangan dan penyesatan yang menimpa penganut kepercayaan di Indonesia menjadi bukti bahwa pengawasan dan pembinaan terhadap penganut „kepercayaan diluar agama‟ membuat kebebasan

beragama terlanggar. Negara telah masuk dalam keyakinan individu yang melekat pada setiap orang. Akibat intervensi negara melalui pengaturan di atas mengakibatkan seseorang penganut kepercayaan kerap dituduh sesat. Kondisi hukum demikian tentu bertentangan dengan hakikat kesamaan konseptual agama dan kepercayaan dan kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

Pengaturan mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap kepercayaan di atas jelas bertentangan norma hukum yang terkandung dalam UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 utamanya yang mengatur kebebasan beragama, beribadah, mengamalkan ajarannya. Peraturan perundang-undangan a quo juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara, prinsip non-diskriminasi, dan prinsip toleransi negara (lihat: bab III) terhadap penganut kepercayaan.

C. Preskripsi Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip Kesamaan Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia

Berdasarkan penjelasan pada bagian B di atas kesalahan utamanya berpangkal karena negara „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Pangkal

(44)

hak-hak dasar penganut kepercayaan. Karena itu, preskripsi yang dipertahankan dalam penelitian ini, utamanya negara tidak perlu „mengakui‟ suatu agama.

Negara tidak berhak menentukan keyakinan seseorang/kelompok masuk pada kategori agama atau kepercayaan. Yang paling berhak menentukan bahwa suatu keyakinan masuk kriteria agama atau kriteria kepercayaan adalah hanya individu masing-masing. Karena itu peraturan perundang-undangan yang tidak tepat mengatur kepercayaan harus dirubah bahkan harus dihapus karena tidak memenuhi syarat formil supaya hak dasar penganut kepercayaan sejajar dengan penganut agama.

1. Kesalahan Praktik Pemerintah dalam Hubungan Agama-Kepercayaan Menelaah beberapa peraturan perundang-undangan di atas yang tidak kondusif mengatur kepercayaan, pangkal persoalannya pada UU No. 1/PNPS Tahun 1965, UU No. 24 Tahun 2013, dan PP No. 37 Tahun 2007 yang secara substansi mengatur „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Permasalahan utama

dari segala permasalahan yang dialami penganut kepercayaan karena negara melakukan praktik diskriminatif dengan hanya mengekaui „enam agama resmi

negara‟. Padahal, berdasarkan asas/prinsip hukum kesetaraan (equality) dan

keadilan (justice), negara tidak berhak menjustifikasi suatu kelompok keyakinan masuk pada kategori agama atau masuk pada kategori kepercayaan.

Negara tidak boleh membuat perundang-undangan untuk mengatur „mengakui dan tidak mengakui‟ agama. Asas/prinsip yang harus dipegang negara

(45)

non-diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat: bab III). Keyakinan adalah wilayah forum internum yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apa pun termasuk dengan perundang-undangan. Keyakinan seseorang merupakan wilayah yang sangat privat, inheren, dan melekat pada setiap individu manusia. Ketika negara membuat kebijakan berupa mengakui enam agama, maka yang terjadi adalah penganut kepercayaan terlanggar hak-hak dasarnya. Pemenuhan hak dasar penganut kepercayaan tidak setara dengan hak yang didapat penganut „enam agama resmi negara‟.

Merunut pangkal persoalan peraturan perundang-undangan tentang penganut kepercayaan, dapat dimulai dari persoalan administrasi kependudukan yang paling riil menimpa penganut kepercayaan. Persoalan administrasi kependudukan yang dialami penganut kepercayaan adalah frasa „anak luar‟ kawin dalam akta kelahiran, perempuan menjadi kepala keluarga dalam KK, tidak bisa mengesahkan status anak, dan identitas agama di KTP.33 Persoalan-persoalan tersebut merupakan „efek domino‟ karena perkawinan penganut kepercayaan tidak

bisa dicatatkan.

Perkawinan penganut kepercayaan dapat dicatatkan dengan syarat telah dinikahkan oleh pemuka penghayat kepercayaan yang memiliki „lisensi‟

menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya memiliki pemuka penghayat kepercayaan yang mendapat „lisensi‟ dari pemerintah, organisasi kepercayaan

harus terdapatar di pemerintahan sebagai organisasi kepercayaan. (lihat: PP No.

33

(46)

37/2007). Syarat mendaftar sebagai organisasi kepercayaan merupakan penjabaran dari kebijakan negara yang hanya mengakui enam „agama resmi‟ negara. Jadi,

pangkal persoalan administrasi kependudukan penganut kepercayaan ketika dirunut pengaturannya, persoalan utamanya karena negara “mengakui dan tidak

mengakui agama‟.

Persoalan selanjutnya mengenai hak pendidikan kepercayaan di sekolah umum. Siswa penganut kepercayaan tidak mendapatkan mata pelajaran kepercayaan di sekolah karena UU Sisdiknas hanya mengatur pendidikan agama bagi siswa yang menganut enam „agama resmi‟ negara (lihat: UU No. 20/2005).

Begitu juga dengan hak fasilitas pemakaman, negara telah membeda-bedakan dan akibatnya banyak kasus penolakan pemakaman.34 Pengaturan pemakaman dengan adanya frasa „jika mengalami penolakan” (lihat: Perber Mendagri dan Menbudpar

No. 43/41 Tahun 2009) merupakan pengejawentahan dari peraturan perundang-undangan tentang penyalahgunaan dan penodaan agama.

Persoalan nyata akibat negara mengakui „enam agama‟ resmi negara adalah

adanya lembaga Bakor Pakem. Adanya Bakor Pakem merupakan turunan dari UU tentang Kejaksaan yang mempunyai tugas untuk mengawasi aliran kepercayaan (lihat: UU No. 16/2004 dan SK Jaksa Agung No.KEP004/J.A/01/1994). UU Kejaksaan merupakan pengejawentahan dari peraturan pemerintah yang memindahkan pelayanan penganut kepercayaan dari Kementerian Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Alasan dipindahkannya pelayanan

34

(47)

penganut kepercayaan ke Kemendikbud karena kepercayaan dianggap bukan agama dan negara hanya mengakui „enam agama resmi‟ negara.

Berdasarkan uraian tentang pokok-pokok persoalan hukum yang menimpa penganut kepercayaan di atas, jelaslah bahwa persoalan utamanya adalah negara „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Negara telah masuk pada wilayan

internum individu yang sangat privat. Negara seharusnya menciptakan peraturan

perundang-undangan yang mendorong terciptanya toleransi dalam menyikapi perbedaan. Sementara itu, tidak akan terjadi kondisi toleransi dan saling menghargai selama ada peraturan perundang-undangan di atas, justru yang akan terjadi mendorong intoleransi.

2. Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip Kesamaan Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan

Preskripsi pengaturan tentang agama dan kepercayaan yang sesuai dengan asas/prinsip kesamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan adalah negara „tidak mengaturnya‟. Pilihan terbaik pengaturan relasi antara agama

dan negara adalah negara tidak mengintervensi agama/kepercayaan dengan cara tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Negara tidak perlu mengatur keyakinan (baik agama, kepercayaan, atau sebutan lainnya) karena merupakan wilayah privat-individu dengan „sesuatu yang dianggap melebihi dirinya yang lazimnya disebut Tuhan‟. Ketika wilayah „privat‟ diatur, yang terjadi

(48)

Berdasarkan hasil pembahasan di atas yang seharusnya sebagai preskripsi, penulis merekomendasikan perlunya;

Pertama, peraturan perundang-undangan tentang agama/kepercayaan yang secara substansial bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara maka harus dicabut/dibatalkan secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tersebut yakni; UU No. 1/PNPS Tahun 1965, Kepres No. 40 Tahun 1978, Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43/41 Tahun 2009.

Kedua, ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan tentang agama/kepercayaan harus dihapus atau diperbaiki. Pengaturan tersebut yakni; UU No. 24 Tahun 2013, PP No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

2.1. Pembatalan/Penghapusan Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama harus dibatalkan. Alasan dibatalkannya UU a quo karena muatan materinya bertentangan dengan kesamaan hakikat dan kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan. Penulis sejalan dengan pandangan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan MK No. 140/PUU-VII/2009. Maria berpendapat bahwa permohonan para pemohon yang menginginkan UU a quo dibatalkan, seharusnya dikabulkan.

(49)

tersebut bertentangan dengan U

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip inkarnasi Yesus, menjadi model dalam pelayanan penginjilan kepada bangsa yang multikultur, karena Yesus sebagai Penginjil Agung telah melakukannya selama melayani di

Temuan data isi nilai pendidikan karakter dalam sastra anak bacaan nonfiksi biografi pahlawan nasional yang dikaji, maka terdapat berbagai varian, yaitu isi/makna

Sebagai bagian dari membangun hubungan, pelaku melakukan penyesuaian perilaku dan gaya berkomunikasi sehingga membuat korban nyaman berbicara dengan pelaku. Selain

Taking a viewpoint of environmental history, with the main focus on corporeal and trans- corporeal experiences of the human political prisoner inhabitants on Goli otok (Barren

Ali fikri (2015) yang berjudul pengaruh penerapan standar akuntansi pemerintahan, kompetensi aparatur dan peran audit internal terhadap kualitas informasi laporan

Sistem telah berhasil dibangun dan dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan teknologi AJAX, pengguna tidah perlu melakukan refresh pada halaman web untuk

Hasil penelitian yang pertama adalah tentang upaya guru pendidikan agama islam dalam membina akhlak siswa SMA Taruna Dra Zuleha yang diperoleh dari wawancara kepada guru

Dalam sebuah jaringan komputer terdapat bermacam-macam tipe user dengan berbagi tingkatan yang berbeda. Disini juga dibutuhkan perlakuan yang berbeda pada tiap user yang